• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Kerusakan Sumberdaya Pesisir

Meskipun belum ada kesepakatan tentang definisi (batasan) wilayah pesisir

(coastal zone) baik di tingkat nasional maupun dunia, namun terdapat kesepakatan

umum bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat

dan ekosistem laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah

pesisir memiliki dua macam batas (boundaries) yaitu: batas yang sejajar garis pantai

(longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross shore). Untuk

keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah. Akan tetapi, penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada kesepakatan, dengan perkataan lain, batas wilayah pesisir berbeda dari suatu negara ke negara yang lain. Hal ini dapat dimengerti, karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri (khas) (Bengen, 2002).

Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh prosess alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976).

Sedangkan menurut kesepakatan internasional, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut

meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Beatley et al, 1994).

Sumber: Bengen, 2002.

Gambar 2.3. Skema Batas Wilayah Pesisir

Secara ekologis, batas ke arah laut dari suatu wilayah pesisir adalah mencakup daerah perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses alamiah (seperti aliran air

tawar dari sungai maupun run-off) maupun kegiatan manusia (seperti pencemaran dan

sedimentasi) yang terjadi di daratan. Sementara itu, batas ke arah darat adalah mencakup daerah daratan yang masih dipengaruhi oleh proses laut, seperti jangkauan pengaruh pasang surut, salinitas air laut, dan angin laut. Oleh karena itu, batas ke

arah darat dan ke arah laut dari suatu wilayah pesisir bersifat sangat specific atau

bergantung pada kondisi biogeofisik wilayah berupa topografi dan geomorfologi pesisir, keadaan pasang surut dan gelombang, kondisi DAS (Daerah Aliran Sungai), dan kegiatan pembangunan yang terdapat di daerah hulunya.

Definisi wilayah pesisir sebagaimana dikemukakan di atas memberikan suatu pengertian bahwa wilayah pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir. Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem darat

di wilayah pesisir dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run-

off), aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung

di dalamnya (seperti nutrien, sedimen dan bahan pencemar) yang akhirnya bermuara di perairan pesisir. Pola sedimentasi dan abrasi juga ditentukan pergerakan massa air baik dari daratan maupun laut. Di samping itu pergerakan massa air ini juga berperan dalam perpindahan biota perairan (misalnya plankton, ikan, dan udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Alikodra, 2008).

Besarnya potensi wilayah pesisir menimbulkan pola pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan, yang berakibat timbulnya berbagai masalah lingkungan. Saat ini permasalahan lingkungan di wilayah pesisir Indonesia sangat beragam, mulai dari

karang dan padang lamun serta abrasi pantai dan gelombang pasang hingga masalah tsunami. Permasalahan ini sangat terkait dengan kemiskinan masyarakat pesisir,

kebijakan yang tidak tepat, rendahnya penegakan hukum (law enforcement), dan

rendahnya kemampuan sumberdaya manusia (Dahuri, 2003).

Permasalahan perikanan misalnya disebabkan karena buruknya pengelolaan

perikanan yang dapat dilihat dari adanya fenomena over capacity. Fenomena over

capacity disebabkan kekuatan armada perikanan dunia lebih cepat daripada

perkembangan produksi (Fauzi, 2005). Selain masalah over capacity, masalah yang

menonjol adalah destruksi habitat. Dahuri (2003) menyatakan selain hal-hal di atas permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir adalah penggunaan teknik dan peralatan penangkap ikan yang merusak lingkungan, pencemaran, introduksi spesies asing, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya serta perubahan iklim global serta bencana alam.

Masalah penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak

lingkungan disebabkan karena alat pengumpul ikan atau Fish Aggregating Devices

(FAD) digunakan untuk mengumpulkan ikan di daerah lepas pantai. Alat tersebut

mampu mengumpulkan spesies ikan pelagis yang berenang secara bergerombol di perairan dalam dan tidak berhubungan dengan karang atau daerah dasar yang

dangkal. Masalahnya seringkali FAD tersebut digunakan tidak di perairan dalam,

tetapi di perairan dangkal dan berhubungan dengan daerah dasar yang dangkal (Dahuri, 2003).

Penggunaan bahan peledak, bahan beracun (sodium dan potasium sianida)

dan pukat harimau dalam penangkapan ikan karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, hal ini juga dapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan merupakan target. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak (bom) dan bahan beracun berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang

(Dahuri, 2003). Pengeboman yang menggunakan bahan karbit (Ca2C) sebesar 0,5 kg

biasanya dilakukan pada daerah terumbu karang yang memiliki kedalaman lebih dari 15 meter. Pengaruh ledakan bom 0,5 kg pada radius tiga meter dapat menghancurkan terumbu karang, sedangkan pada radius yang lebih besar dapat menyebabkan

patahnya cabang-cabang jenis karang Acropora. Selanjutnya pecahan karang lambat

laun ditutupi oleh algae (Cladophira spp.), sehingga rekolonisasinya akan berjalan

lambat, sebab kehadiran algae mengganggu proses penempelan larva karang batu

(planula) pada pecahan karang. Ekosistem terumbu karang yang rusak akibat bahan

peledak biasanya didominasi oleh karang dari marga fungia dan bulu babi (Diadema

spp.).

Dahuri (2003) juga menjelaskan bahwa bahan beracun yang sering dipergunakan, seperti sodium atau potasium sianida, dapat menyebabkan kepunahan

jenis-jenis ikan karang yang diracun, seperti ikan hias (ornamental fish), kerapu

(Epinephelus spp.), napoleon (Chelinus), dan ikan sunu (Plectropoma sp.). Racun

residunya dapat menimbulkan stres bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai dengan keluarnya lendir.

Menurut Dahuri (2003) pengoperasian pukat harimau adalah salah satu alat penangkap ikan yang telah dilarang di wilayah perairan Indonesia. Namun, pada kenyataannya masih banyak nelayan yang mengoperasikan alat tersebut. Data yang disampaikan oleh Dahuri (2003) menunjukkan bahwa sampai saat ini masih banyak nelayan yang menggunakan pukat harimau dan modifikasinya seperti Dogol di Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Jambi, Pukat Tepi di Jawa Timur, Otok

di Jawa Barat, Trawl Mini di Kalimantan Timur, Payang Alit di Jawa Timur,

Sondong Sambo di Riau, Lampara Dasar di Kalimantan Timur, Riau, Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah, Jor Arad di Jawa Barat, dan Lampung dan Centrang di Lampung. Sedangkan di wilayah Sumatera Utara modifikasi pukat harimau ini disebut juga pukat ikan (PI) (Bappeda Sumatera Utara dan PKSPL IPB, 2002).

Masalah pencemaran wilayah pesisir di Indonesia terutama bersumber dari kegiatan manusia di daratan, seperti kegiatan industri, pertanian, dan rumah tangga. Menurut Dahuri (2003) sumber pencemaran di wilayah pesisir di Indonesia dapat

dikelompokkan menjadi tujuh kelas yaitu industri, limbah cair pemukiman (sewage),

limbah cair perkotaan (urban stormwater), pertambangan, pelayaran (shipping),

pertanian dan perikanan budi daya. Sedangkan jenis-jenis bahan pencemar utamanya

eksotik, organisme patogen, dan bahan-bahan yang menyebabkan oksigen terlarut

dalam air berkurang (oxygen depleting substance).

Sebagai akibat pencemaran yang terjadi di wilayah pesisir menimbulkan dampak lanjutan yaitu persoalan sedimentasi, etrofikasi, anoxia, kesehatan umum dan perikanan. Contoh klasik pencemaran di pesisir adalah peristiwa pencemaran logam berat (Hg dan Cd) di Teluk Minamata, Jepang. Limbah logam tersebut telah dibuang ke teluk Minamata sejak tahun 1940-an, tetapi dampaknya baru terdeteksi pada tahun 1960-an. Contoh kasus yang lain juga pernah terjadi di Indonesia yaitu berkaitan dengan pembuangan air tambak udang yang dikelola secara intensif dan semi intensif ke perairan pantai Utara Jawa yang berlangsung sejak tahun 1981. Namun, akibatnya terhadap penurunan kualitas perairan baru dapat dirasakan pada tahun 1990-an, yang menyebabkan produktivitas tambak mengalami penurunan (Dahuri, 2003).

Permasalahan masuknya spesies asing ke wilayah pesisir dapat menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati wilayah pesisir. Menurut Dahuri (2003), spesies asing di dalam suatu ekosistem dapat menjadi pemangsa atau kompetitor bagi spesies alami yang hidup pada habitat yang sama. Menurut Dahuri (2003), salah satu sumber utama terjadinya introduksi spesies asing ke dalam kawasan pesisir adalah air

ballast kapal. Selain bahan abiotik, air limbah kapal juga mengandung bahan biotik.

Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia menunjukkan

bahwa di dalam air ballast pada setiap perjalanan kapal ditemukan lebih dari 50 jenis

spesies asing yang terdiri dari fitoplankton dan zooplankton. Bila air ballast tersebut

mengakibatkan struktur komunitas, baik fitoplankton maupun zooplankton berubah.

Selain itu, di dalam air ballast tersebut juga banyak dijumpai berbagai jenis bakteri,

virus, alga, cacing polychaeta, larva ikan dan moluska. Sebagai contoh adalah

masuknya spesies asing jenis krustasea Exopalemon styliferus yang berasal dari

Indonesia ke perairan Irak dan Kuwait (Dahuri, 2003).

Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi beragam jenis ikan, kepiting,

udang, kerang, reptil dan mamalia. Detritus dari mangrove merupakan dasar

pembentukan rantai makanan bagi banyak organisme pesisir. Penurunan luas hutan mangrove dari tahun ke tahun dan dampaknya sudah mulai dirasakan. Penyebab utama hilangnya mangrove adalah antara lain: (a) konversi lahan mangrove untuk

tambak udang;(b) pengelolaan pertambakan tidak berwawasan lingkungan; (c) tidak

ada kebijakan yang jelas mengenai penguasaan dan pemanfaatan lahan pesisir

di desa; (d) kurangnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pelestarian

mangrove dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove masih

rendah. Selanjutnya penebangan hutan mangrove secara besar-besaran mempunyai

dampak terhadap (1) penurunan luas vegetasi mangrove; (2) penurunan kualitas air terutama meningkatnya sedimentasi yang berakibat negatif terhadap kehidupan terumbu karang; (3) penurunan hasil tangkapan, terutama kepiting, kerang dan udang. Pencemaran air merupakan salah satu masalah serius yang bisa mengganggu kesehatan manusia, lingkungan bahkan bisa mempengaruhi kegiatan ekonomi. Bahan

pencemaran atau polutan di perairan pantai berasal dari kegiatan rumah tangga,

Penyebab utama pencemaran wilayah pesisir adalah: (1) masih rendahnya kepedulian industri sepanjang DAS dan pesisir terhadap sistem pengolahan limbah cair yang masuk ke perairan umum; (2) kurang ketatnya pengawasan limbah oleh instansi terkait; (3) belum jelasnya penerapan sanksi terhadap industri yang melanggar isi dokumen Amdal dan peraturan perundangan yang berlaku (PP No. 27 Tahun 99 tentang Amdal dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup) ; (4) rendahnya kepedulian masyarakat pesisir terhadap

pengelolaan sampah dan kebersihan lingkungan sekitarnya serta pola bangunan yang membelakangi pantai; (5) rendahnya pengetahuan masyarakat pantai tentang pengetahuan lingkungan (Dahuri, 2003).

Pencemaran perairan pantai dapat mengakibatkan (a) rendahnya daya dukung lingkungan dan kualitas perairan pesisir; (b) menimbulkan bau yang tidak menyenangkan untuk daerah kunjungan wisata; (c) meningkatnya wabah penyakit menular terhadap kehidupan masyarakat pesisir; (d) menurunnya tingkat keberhasilan

budidaya perikanan (tambak dan mariculture) dan kegiatan ekonomi lainnya

(pariwisata) (Dahuri, 2003). Lebih lanjut Dahuri (2003) menyatakan penyebab utama meningkatnya sedimentasi di perairan pantai antara lain: (1) penebangan hutan di daerah aliran sungai; (2) penambangan pasir di sepanjang aliran sungai; (3) curah hujan yang tinggi. Selanjutnya sedimentasi dapat mengakibatkan pendangkalan muara sungai dan alur pelayaran; kekeruhan air di muara sungai serta rusaknya terumbu karang.

Proses terjadinya abrasi pantai dan intrusi air laut sangat kompleks karena tidak hanya mencakup hal yang bersifat alami tetapi terkait juga dengan beberapa kegiatan manusia. Intrusi air laut ke areal persawahan akibat konversi sawah jadi tambak udang di beberapa lokasi. Namun permasalahan ancaman abrasi pantai dengan intrusi air laut dapat dipahami dan dicegah atau dikurangi dengan tindakan relatif sederhana. Penyebab utama intrusi air laut adalah: (1) penebangan mangrove untuk pemukiman; (2) masuknya air laut ke sawah; (3) eksploitasi air tanah yang

berlebihan. Sedangkan akibat yang ditimbulkannya adalah degradasi kualitas air

tanah dan korosi konstruksi bangunan pipa logam di bawah tanah (Dahuri, 2008). Permasalahan terakhir yang terdapat di daerah pesisir adalah perubahan iklim global dan bencana alam. Menurut Dahuri (2003) dan Alikodra (2008), perubahan

iklim global terutama disebabkan oleh meningkatnya produksi gas CO2 dan gas

lainnya yang dikenal dengan istilah gas rumah kaca. Dampak lanjutan dari pemanasan global ini adalah mencairnya es yang ada di kutub, sehingga permukaan laut naik, curah hujan berubah, salinitas menurun, dan sedimentasi meningkat di wilayah ekosistem pesisir. Fenomena kematian terumbu karang yang ditandai

adanya pemutihan atau bleaching yang disebabkan kandungan pigmen terumbu

karang menurun drastis sebagai akibat peningkatan temperatur 1-20 C di atas normal pada musim panas. Di Indonesia, pemutihan terumbu karang diakibatkan oleh arus hangat dari Laut Cina Selatan yang mengalir melewati Kepulauan Riau, Laut Jawa, hingga ke perairan Lombok. Sedangkan di Kepulauan Spermonde bagian Utara,

Sulawesi Tenggara (dekat Ujung Pandang), Menado, Bunaken atau di sekitar Bangka dan Sulawesi Utara tidak terjadi pemutihan (Dahuri, 2003).

Bencana alam, juga fenomena alam yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak negatif bagi lingkungan hayati pesisir. Bencana alam yang sering terjadi di pesisir adalah kenaikan paras laut dan tsunami. Negara Jepang dan Indonesia adalah negara yang paling sering terkena tsunami. Bencana alam ini banyak merusak lingkungan hidup wilayah pesisir. Misalnya wilayah NAD mengalami kerusakan lingkungan pesisir yang luar biasa besarnya karena tsunami tahun 2004.

2.5. Pengembangan Kapasitas (Capacity Building) Kelembagaan Perencanaan Pengelolaan Pesisir

Terminologi institusi (kelembagaan) seringkali hanya ditafsirkan sebagai lembaga atau organisasi. Padahal pengertian institusi lebih dari itu. Definisi umum

mengenai institusi (kelembagaan) adalah suatu gugus aturan (rule of conduct) formal

(hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar dan lain sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial, dan lain sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok (Fauzi, 2005).

Demikian juga dengan pengelolaan lingkungan hidup, juga terjadi stagnasi, di mana konsep dan ide yang dibangun sukar dimplementasikan karena institusinya ternyata tidak turut serta dikembangkan. Dalam kaitan di atas perlu membahas

wacana pengembangan institusi khususnya dalam pengelolaan lingkungan hidup terutama di wilayah pesisir. Pengembangan institusi lingkungan hidup membahas tentang pengertian pengembangan institusi di bidang lingkungan dan kapasitas pengembangan dalam konteks pengembangan institusi, strategi (meliputi tujuan, pengembangan partisipasi, prinsip dalam pengembangan, metodologi, konsultasi) teknik kerjasama di bidang lingkungan, berbagai bentuk konsultasi, manajemen sumberdaya manusia, fungsi dan peran pilot proyek dan berbagai contoh pengembangan institusi di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Sementara itu, institusi lingkungan hidup di wilayah pesisir bertujuan untuk mengatasi laju kerusakan lingkungan di wilayah pesisir seperti masalah perikanan,

kemiskinan nelayan, over fishing, masalah lingkungan hidup, kebijakan termasuk

di dalamnya desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir. Dalam rangka mengatasi permasalahan lingkungan hidup di wilayah pesisir, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan kelembagaan yaitu pengembangan institusi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kaitan ini menarik apa yang disampaikan oleh Uphoff (1986), yang menyatakan terminologi kelembagaan

dikaitkan dengan tingkatan aktivitas dan pengambilan keputusan yaitu International

Level, National Level, Regional (State of Provincial) Level, District Level, Sub

District Level (eg. Taluk in India or thana in Bangladesh), Locality Level, Household

Level, dan Individual level.

Esman dan Uphoff (1986) mengklasifikasikan enam kategori utama dari lembaga lokal, yaitu:

1. Local administration yaitu instansi di daerah yang merupakan aparat

departemen Pemerintah Pusat, yang bertanggung jawab kepada atasan langsung

(accountable to bureaucratic superiors);

2. Local government, yaitu badan perwakilan atau yang disetujui yang memiliki

kewenangan untuk menangani tugas pembangunan dan pengaturan yang

bertanggung jawab kepada Pemerintah Daerah (accountable to local resident);

3. Membership Organizations, merupakan local self-help associations, yang

anggotanya mungkin menangani:

a. Berbagai macam tugas (multiple tasks), seperti perkumpulan pembangunan

daerah atau komite pembangunan desa (LKMD, PKK dan sebagainya);

b. Tugas khusus (specific tasks), seperti perkumpulan pemakai air (P3A,

kelompencapir atau komite pembangunan desa (LKMD, PKK dan sebagainya);

c. Kebutuhan (needs) anggota yang memiliki karakteristik atau kepentingan

yang sama, seperti kelompok arisan ibu-ibu, perkumpulan pengajian, persekutuan doa, kelompok kharismatik atau persatuan penyewa, dan sebagainya.

4. Cooperatives, yaitu semacam organisasi lokal yang menyatukan sumberdaya

ekonomi anggotanya untuk memperoleh keuntungan, seperti koperasi pasar, koperasi kredit, masyarakat pemakai dan sebagainya;

5. Service organizations, yaitu organisasi lokal yang dibentuk terutama untuk

memberikan bantuan kepada orang yang bukan anggota, seperti lembaga pelayanan, palang merah dan sebagainya; dan

6. Private bussiness yaitu cabang atau kelompok pelaksana independent dari

perusahaan ekstra lokal yang bergerak di sektor pabrik, jasa ataupun perdagangan.

Masing-masing kategori di atas memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri, khususnya dalam mendukung pelaksanaan pembangunan di desa. Mereka merupakan kontinum yang merentang dari sektor publik sampai sektor swasta.

Lembaga lokal mencakup membership organizations, cooperativess dan service

organizations. Sedangkan local administration dan local government tidak termasuk

karena merupakan bagian dari lembaga lainnya (Departemen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) yang mana mempunyai kekuatan hukum dan sumberdaya dibalik

kedudukan mereka. Demikian juga private bussiness yang meskipun sama-sama

menghasilkan keuntungan bagi orang di luar organisasinya seperti service

organizations tetapi orang ini tidak sekaligus dianggap sebagai klien atau pelanggan

dan tidak memiliki hak untuk ikut menentukan aktivitas organisasi (Uphoof, 1986). Hampir sama dengan hal di atas (Alikodra, 2006) menyatakan bahwa institusi lingkungan terdiri dari berbagai organisasi yang ada. Lembaga formal yang mempunyai fungsi/peranan di bidang lingkungan, organisasi swasta ataupun NGO,

norma dan nilai sosial, termasuk kerangka kerja (framework) politik, program

menjelaskan bahwa struktur institusi merupakan hubungan dan interaksi yang kompleks di antara tiga variabel yaitu individu, organisasi, dan norma sosial. Institutionalisasi merupakan proses di mana perilaku dan interaksi dari ketiga variabel yang terkait dalam sistem institusi dipertegas, distandarisir, diperkuat, dan digerakkan dalam suatu proses jangka panjang, sehingga terbentuk pola institusi sesuai dengan harapan untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup. Hasil proses ini misalnya pembaharuan organisasi, kebijakan baru, peraturan baru ataupun mungkin perubahan nilai dan norma.

Menurut Alikodra (2006) proses selanjutnya adalah upaya pengembangan institusi lingkungan yaitu suatu proses supra sektoral dan supramedia di mana struktur institusi dibangun dalam suatu sistem interaksi dan hubungan diantara ketiga

variabel penentu sehingga diperoleh jaringan kerja (networking) di antara variabel.

Juga merupakan metode/prosedur mengembangkan pengetahuan, skill, standar dan

struktur dalam suatu proses partisipasi yang terdiri dari empat komponen yaitu

Human Resource Development, konsultasi sosial dan ekonomi serta komunikasi,

kerjasama dan konsultasi publik.

Pengembangan institusi juga sangat terkait dengan pengembangan kapasitas

(capacity development) yaitu suatu proses nasional yang panjang, di mana

kemampuan dan skill individu dalam memecahkan masalah menjadi semakin

meningkat berdasarkan pengembangan pengalaman mereka, sehingga kinerja kapasitas organisasi dan kelembagaan menjadi kuat dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari. Konsep pengembangan kapasitas

(capacity building) sebenarnya masih menyisakan sedikit perbedaan terminologi yang

digunakan. Sebagian ilmuwan memaknai pengembangan kapasitas (capacity

building) sebagai capacity development atau capacity strengthening, mengisyaratkan

suatu prakarsa pada pengembangan kemampuan yang sudah ada (existing capacity).

Sedangkan yang lain lebih merujuk pada contructing capacity, sebagai proses yang

kreatif membangun kapasitas yang belum nampak (Karwono, 2008).

Selanjutnya Brown dalam Karwono (2008) mendefinisikan capacity building

sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang, suatu organisasi atau suatu sistem untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Sedangkan

Morison (dalam Karwono, 2008) melihat capacity building sebagai suatu proses

untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian kegiatan, perubahan multilevel di dalam individu dan organisasi dan sistem dalam rangka untuk memperkuat kemampuan penyesuaian individu dan organisasi sehingga dapat tanggap terhadap perubahan lingkungan yang ada. Artinya tahapan pengembangan kapasitas dapat dilakukan pada level individu, organisasi dan sistem. Pada level individu, pengembangan kapasitas dilakukan pada aspek pengetahuan, keterampilan, kompetensi dan etika individu. Pada level kelembagaan, pengembangan kapasitas dapat dilakukan pada aspek sumberdaya, katatalaksanaan, struktur organisasi, dan sistem pengambilan keputusan. Pada level sistem, pengembangan kapasitas dapat dilakukan pada aspek peraturan perundangan dan kebijakan pendukung. Untuk lebih jelasnya Karwono (2008) menyampaikan tingkatan pengembangan kapasitas tersebut pada Gambar 2.4 di bawah ini.

Gambar 2.4. Tingkatan Pengembangan Kapasitas Menurut Karwono (2008)

Sedangkan prinsip dasar dalam pengembangan kapasitas meliputi: (1) Bersifat

multidimensi, berorientasi jangka panjang, (2) Melibatkan multi stakeholder,

(3) Bersifat demand driven, (4) Mengacu kepada kebijakan nasional.

Keban (2000) juga menjelaskan bahwa pengembangan kapasitas (capacity

building) merupakan serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan

efisiensi, efektivitas dan responsivitas dari kinerja pemerintahan, dengan memusatkan perhatian pada dimensi: (1) pengembangan sumber daya manusia; (2) penguatan organisasi; dan (3) reformasi kelembagaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa

peningkatan kemampuan difokuskan kepada (1) kemampuan tenaga kerja (labor);

(2) kemampuan teknologi yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau kelembagaan; dan (3) kemampuan kapital yang diwujudkan dalam bentuk dukungan sumberdaya, sarana dan prasarana, atau pada kemampuan tiga dimensi yaitu

Berkaitan dengan hal di atas World Bank misalnya memfokuskan peningkatan

Dokumen terkait