• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Kapasitas Perencanaan Daerah Dalam Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu Di Pantai Timur, Propinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengembangan Kapasitas Perencanaan Daerah Dalam Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu Di Pantai Timur, Propinsi Sumatera Utara"

Copied!
373
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KAPASITAS PERENCANAAN DAERAH

DALAM PENGELOLAAN PESISIR SECARA TERPADU

DI PANTAI TIMUR, PROPINSI SUMATERA UTARA

DISERTASI

Oleh

R. HAMDANI HARAHAP

058106003/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

(2)

PENGEMBANGAN KAPASITAS PERENCANAAN DAERAH

DALAM PENGELOLAAN PESISIR SECARA TERPADU

DI PANTAI TIMUR, PROPINSI SUMATERA UTARA

DISERTASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Wibawa Rektor Universitas

Sumatera Utara Prof. Chairuddin P Lubis, DTM & H., Sp.A(K) Dipertahankan pada Tanggal 1 Februari 2010 di Medan

Oleh

R. HAMDANI HARAHAP

058106003/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Disertasi : PENGEMBANGAN KAPASITAS PERENCANAAN DAERAH DALAM PENGELOLAAN PESISIR SECARA TERPADU DI PANTAI TIMUR, PROPINSI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : R. Hamdani Harahap Nomor Pokok : 058106003

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra, MS) Promotor

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc., Ph.D)

Co - Promotor Co - Promotor

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)

(4)

TIM PENGUJI LUAR KOMISI PEMBIMBING

(Prof. Dr. Zainuddin)

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)

(Prof. Dr. Suwardi Lubis, MS)

(5)

Telah diuji pada

Tanggal01 Februari 2010

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra, MS Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

2. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc, Ph.D 3. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE 4. Prof. Dr. Suwardi Lubis, MS

5. Prof. Dr. Zainuddin

(6)

ABSTRAK

Fokus penelitian ini adalah pengembangan kapasitas perencanaan untuk mencapai pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Tujuan penelitian adalah untuk merumuskan konsep pengembangan kapasitas perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang mampu menjaga kualitas lingkungan hidup dan meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial budaya masyarakat pesisir. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Langkat, Deli Serdang dan Asahan, pesisir Timur Propinsi Sumatera Utara yang merupakan lokasi kegiatan Marine Coastal Resource Management

Program (MCRMP). Penelitian ini dilakukan dengan metode analitis deskriptif

komparatif, dan dianalisis secara kualitatif dan juga kuantitatif. Untuk menentukan prioritas kebijakan yang akan dipilih, dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan rusaknya ekosistem mangrove sangat erat terkait dengan rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir. Rendahnya kondisi sosial ekonomi ini terkait erat dengan rendahnya kapasitas perencanaan daerah dalam mengelola wilayah pesisir di pantai Timur Sumatera Utara. Kondisi sosial budaya dan pola pemanfaatan terhadap sumberdaya alam termasuk kategori cukup baik. Namun untuk indikator pemanfaatan sumberdaya laut dan kawasan pesisir termasuk kategori rendah. Kondisi ini kurang terkait dengan kapasitas perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang rendah. Tidak ada perbedaan yang signifikan kondisi sosial ekonomi, sosial budaya, dan pola pemanfaatan sumberdaya alam pesisir antara desa dengan program MCRMP dan desa tidak melaksanakan program MCRMP. Berdasarkan metode AHP diperoleh prioritas strategi yang harus dilakukan dalam rangka pengembangan kapasitas perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yaitu elemen SDM merupakan prioritas pertama dalam alternatif pengembangan kapasitas perencanaan pengelolaan wilayah pesisir pantai Timur Sumatera Utara, disusul oleh kerjasama, aturan dan organisasi. Menempatkan SDM sebagai prioritas utama dalam alternatif pengembangan kapasitas perencanaan tentunya diarahkan pada peningkatan kompetensi, peningkatan pendapatan serta pembinaan karir dan kemampuan SDM secara teratur dan terukur. Kriteria pengembangan kapasitas perencanaan wilayah pesisir pantai Timur Sumatera Utara adalah elemen ekonomi, elemen sosial, dan elemen ekologi. Ini artinya ketiga elemen ini menjadi bagian penting ketika upaya pengembangan kapasitas perencanaan wilayah pesisir akan dilakukan. Untuk dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan di wilayah pesisir pantai Timur Sumatera Utara adalah dengan meningkatkan kapasitas perencanaan daerah dengan mengusulkan sebelas strategi.

Kata Kunci: Pengembangan Kapasitas, Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu,

(7)

ABSTRACT

This research focused on planning capacity building for the integrated coastal management. The orientation is to formulate the alternative of capacity development of coastal management plan that able to maintain the quality of environment and increase the economy and social culture of coastal community. The research is conducted in subdistrict of Langkat, Deli Serdang and Asahan, East Coast of North Sumatera where Marine Coastal Resource Management Program (MCRMP) activity located. The reasearch is conducted by comparison descriptive method, and analysed through qualitative and quantitative. Policy priority will be determined by Analytical Hierarchy Process (AHP). Research output indicated that have relate between damage mangrove ecosystem condition with low community’s social economy condition. The low community’s social economy condition relate to capacity building of coastal management in East Coast North Sumatera Province. Community’s social culture condition and pattern of using mangrove ecosystem resources is properly conducted. In other hand the indicator of using marine and coastal resources is low. This condition is less relate to capacity building of coastal management. The research’s output showed that is no significant difference however, in condition of social economy, social culture and patern of using marine and coastal resources between villages that conduct MCRMP program and villages with no MCRMP program.

Based on AHP analysis, human resources is the first priority in building the capacity of marine and coastal management plan in east coast of north Sumatera, followed by cooperation, rules and organization. As the human resources is the first priority in alternatives in capacity building on coastal management in East Coast North Sumatera Province are directing for competency improvement, income generating, carerr creation and human resources skill achivement regularly and measurable. The criteria of capacity building coastal management are economic element, social element and ecology element. It means the three elements are important when efforts for capacity building coastal management will be conducted. The reaching of sustainable development in coastal management in East Coast North Sumatera Province will propose eleven strategies.

(8)

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang utama penulis ingin memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan

Disertasi yang berjudul: “Pengembangan Kapasitas Perencanaan Daerah dalam

Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu di Pantai Timur, Propinsi Sumatera Utara”. Disertasi ini merupakan tugas akhir penulis pada Program Studi S3 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya pada kesempatan yang baik ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan kesempatan serta bantuan biaya bagi penulis untuk mengikuti Program Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan juga atas kesediaan beliau sebagai Ketua Tim Penguji Ujian Disertasi bagi penulis.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan dan fasilitas bagi penulis untuk mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku Ketua Program Doktor (S3)

(9)

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS, selaku Promotor penulis yang dengan penuh kesabaran mendorong, memotivasi dan mengarahkan penulis sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan.

5. Bapak Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc., Ph.D selaku Co-Promotor penulis

yang telah menyediakan waktu beliau untuk berdiskusi serta banyak memberikan asupan bagi penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.

6. Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS selaku Sekretaris maupun sebagai Staf

Pengajar Program Doktor (S3) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang banyak memberikan petunjuk kepada penulis dan rekan-rekan Angkatan II Mahasiswa Program Studi S3 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dalam persiapan penelitian.

7. Bapak Dekan FISIP USU, Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA yang

memberikan rekomendasi dan dorongan bagi penulis untuk mengikuti Program Doktor.

8. Bapak dan Ibu Staf Pengajar Program Doktor (S3) Pengelolaan Sumberdaya

Alam dan Lingkungan Sekolah Pasacasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P Lubis, DTM&H Sp.A(K), Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, Prof. Dr. Ir. Sumono, MS, Prof. Dr. Sengly J. Damanik, MS, Prof. Dr. Alexander Ternala Barus, Prof. Dr. Herman Mawengkang, MSc, Prof. Dr. Abu Dardak, MSc, Prof. Dr Chalida Fachruddin, Prof. Dr. Suwardi Lubis, MS, Prof. Syamsul Arifin, SH, MH, Dr. Sutarman, MSc, Dr. Hartrisari H Hardjomidjoho, DEA, Dr. Riyatno, SH, LLM, yang telah memberikan bekal yang sangat berharga berupa ilmu pengetahuan baik teori maupun pengalaman beliau serta memotivasi penulis selama mengikuti perkuliahan pada Program Doktor (S3) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

9. Rekan-rekan penulis khususnya Angkatan II mahasiswa Program Doktor

(10)

Universitas Sumatera Utara yang telah menunjukkan rasa kebersamaannya dan dorongan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

10.Kepada Sdr. Maya Apriani, SH dan seluruh staf Program Doktor (S3)

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah melayani penulis selama studi di Program Doktor (S3) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

11.Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Rudolf S.Sos, Didi

S.Sos dan Indra S.Sos, alumni FISIP USU yang telah membantu penulis sebagai enumerator di lokasi penelitian. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada sahabat-sahabat penulis yang telah membantu baik dalam hal pengolahan data, mendiskusikan hasil penelitian yaitu Haryono Tampubolon S.Sos, Saruhum Rambe, S.Sos, MS, Ir. Imanuel Ginting, MSi, dan khususnya Akhyar Nasution, S.Sos, MS yang setia menjadi teman berdiskusi ketika menulis disertasi ini.

12.Secara khusus pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima

kasih dan sayang yang mendalam kepada yang amat mulia kedua orang tua penulis, ayah Alm. Tua Harahap dan emak Alm. Hasnah Siregar yang telah bersusah payah membesarkan, menyekolahkan, membiayai dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan do’a yang tiada hentinya. Demikian juga kepada almarhum ayah mertua saya dan ibu mertua saya yang menyayangi kami.

(11)

Akhirnya sekali lagi penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada mereka yang penulis sebutkan sebelumnya, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan perlindungan, kesehatan dan limpahan RahmatNya kepada mereka atas kebaikan-kebaikan tersebut.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak mungkin terlepas dari kesalahan yang ada di luar kemampuan penulis. Oleh sebab itu penulis dengan senang hati akan menerima kritik dan saran demi kesempurnaannya.

Medan, 01 Februari 2010 Hormat Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 27 Februari 1964, sebagai anak kesebelas dari pasangan Tua Harahap (almarhum) dan Hasnah Siregar (Almarhumah). Pendidikan dasar diselesaikan di SD Taman Siswa Pematang Siantar, pada tahun 1976, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri VII Pematang Siantar pada tahun 1980, pendidikan menengah atas di SPG Negeri Pematang Siantar dan selesai pada tahun 1983. Penulis masuk Perguruan Tinggi pada tahun 1983 di Fakultas Sastra USU Jurusan Antropologi, dan pada tahun 1985 Jurusan Antropologi pindah ke FISIP USU dan memperoleh gelar Drs pada tahun 1988. Pada tahun 1990 penulis melanjutkan S2 di Program Pasca Sarjana IPB, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan selesai pada tahun 1994, dengan gelar MSi. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi S3 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara penulis peroleh pada tahun 2005.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL………...………. xi

DAFTAR GAMBAR……….. xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xx

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 6

1.3. Tujuan Penelitian... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1. Pembangunan Berkelanjutan dan Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir... 9

2.2. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu (Integrated Coastal Management)... 22

2.3. Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Pesisir... 39

2.4. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Kerusakan Sumberdaya Pesisir. 44 2.5. Pengembangan Kapasitas (Capacity Building) Kelembagaan Perencanaan Pengelolaan Pesisir... 54

2.6. Perencanaan Pembangunan... 62

BAB III KEADAAN UMUM WILAYAH STUDI... 71

3.1. Kabupaten Langkat... 72

3.1.1. Letak Geografis dan Administrasi... 72

3.1.2. Karakteristik Topografi dan Klimatologi... 75

3.1.3. Kependudukan dan Kondisi Sosial Budaya... 76

3.2. Kabupaten Deli Serdang... 82

3.2.1. Letak Geografis dan Administrasi... 82

3.2.2. Karakteristik Topografi dan Klimatologi... 85

3.2.3. Kependudukan dan Kondisi Sosial Budaya... 87

3.3. Kabupaten Asahan... 90

3.3.1. Letak Geografis dan Administrasi... 90

3.3.2. Karakteristik Topografi dan Klimatologi... 92

(14)

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN... 100

4.1. Kerangka Konsep Penelitian... 100

4.2. Proses Penelitian... 102

4.2.1. Unit Analisis/Lokasi Penelitian... 102

4.2.2. Objek Penelitian... 103

4.2.3. Sumber Data... 105

4.3. Variabel Penelitian... 108

4.4. Metode Analisis Data... 116

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 125

5.1. Kondisi Ekosistem Mangrove... 125

5.1.1. Kondisi dan Pola Pemanfaatan Kawasan Mangrove.. 130

5.2. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir... 139

5.2.1. Tanggapan Masyarakat terhadap Pemanfaatan Sumberdaya dan Kerusakan Kawasan Mangrove... 139

5.2.2. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Laut (Perikanan Tangkap dan Budidaya)... 134

5.2.3. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir... 148

5.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Timur Sumatera Utara... 154

5.3.1. Tingkat Pendidikan Masyarakat... 161

5.3.2. Kondisi Perumahan Masyarakat Pesisir... 163

5.4. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Terkait Kondisi Sumberdaya Pesisir... 176

5.4.1. Kearifan Budaya yang Berkaitan dengan Pengelolaan Kawasan Mangrove, Sumberdaya Laut dan Pesisir... 176

5.4.2. Larangan yang Berkaitan dengan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Sumberdaya Laut Serta Pesisir 180 5.4.3. Hubungan Sosial Masyarakat di Pesisir Timur Sumatera Utara... 185

5.4.4. Keberadaan Norma Sosial/Adat Istiadat dan Norma Agama di Masyarakat... 187

5.4.5. Analisis Kondisi Sosial Budaya Masyarakat... 189

5.5. Instrumen, Kapasitas dan Proses Perencanaan Wilayah Pesisir... 197

5.5.1. Instrumen Penelitian... 198

5.5.2. Kapasitas Perencanaan Wilayah Pesisir... 205

5.5.3. Proses Perencanaan Pengelolaan Pesisir Pantai Timur... 252

(15)

5.6.1. Perbandingan Kondisi Sosial Ekonomi Andardesa.... 275

5.6.2. Perbandingan Kondisi Sosial Budaya... 280

5.7. Analisa AHP... 292

5.7.1. Matriks Banding Berpasangan (Pairwise Comparison)... 294

5.8. Pembahasan Pengembangan Kapasitas Perencanaan Kawasan Pesisir... 310

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN……….. 321

6.1. Kesimpulan………. 321

6.2. Saran……… 324

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Indikator Pembangunan Berkelanjutan... 12

2.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir dan Laut.. 14

3.1. Kota dan Kabupaten yang Terletak di Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara... 72

3.2. Pembagian Wilayah Kabupaten Langkat Tahun 2006……… 74

3.3. Pengelompokan Tingkat Kepadatan Penduduk……… 77

3.4. Luas dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Pesisir di Kabupaten Langkat Tahun 2006……… 78

3.5. Tipologi Rumah Tangga Nelayan di Pesisir Kabupaten Langkat... 80

3.6. Persentase Penduduk di Kecamatan Pesisir Kabupaten Langkat Menurut Agama yang Dianut dan Suku Bangsa (Hasil Sensus Tahun 2000)... 82

3.7. Pembagian Wilayah Kabupaten Deli Serdang Tahun 2006…………. 84

3.8. Jumlah Penduduk, Kepadatan dan Sex Ratiodi Wilayah Pesisir Deli Serdang……… 88

3.9. Pembagian Wilayah Kabupaten Asahan Tahun 2006……….. 91

3.10. Jumlah Penduduk, Kepadatan dan Status Kepadatan Wilayah Pesisir Asahan………. 96

4.1. Lokasi Penelitian dan Unit Analisis... 103

4.2. Daftar Variabel dan Indikator Penelitian... 109

4.3. Tingkat Kepentingan dan Definisinya... 122

5.1. Luas Hutan Mangrove di Lokasi Penelitian Tahun 1997 dan 2006.... 132

5.2. Luas Mangrove Menurut Kabupaten di Pesisir Timur Sumatera Utara... 131

5.3. Pemanfaatan Ekosistem Mangrove... 139

(17)

5.5. Kondisi Hutan Mangrove di Kabupaten yang Diteliti Menurut

BKSDA Wilayah I Sumatera Utara... 143

5.6. Produksi Perikanan di Lokasi Penelitian Tahun 2007 144 5.7. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Laut... 144

5.8. Alat Tangkapan Ikan, Jumlah dan Ukuran GT yang Beroperasi di Daerah Tangkapan Nelayan Kecil/Tradisional... 146

5.9. Jumlah Produksi Perikanan di Lokasi Penelitian... 147

5.10. Penilaian tentang Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir………148

5.11. Skor untuk Komponen Pemanfaatan dan Laju Kerusakan Sumberdaya Alam Laut……… 150

5.12. Jumlah Penduduk di Tiga Kabupaten yang Diteliti Tahun 2006……. 154

5.13. Persentase Pertumbuhan Penduduk di Lokasi Penelitian... 154

5.14. Perkembangan PDRB Kabupaten yang Diteliti Tahun 2006……….. 156

5.15. Kontribusi Kabupaten di Wilayah Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara terhadap PDRB Propinsi Sumatera Utara Tahun 2002-2006.... 157

5.16. Tingkat Pendapatan Responden………159

5.17. Tingkat Pengeluaran Responden... 160

5.18. Jumlah Tanggungan Rumah Tangga Responden... 160

5.19. Tingkat Pendidikan Responden... 162

5.20. Kondisi Rumah Responden………. 164

5.21. Kondisi Perumahan Responden……… 164

5.22. Status Kepemilikan Rumah Responden………165

5.23. Sumber Air untuk MCK di Rumah Responden……… 166

5.24. Sumber Air Minum Responden Menurut Lokasi Penelitian………… 167

5.25. Sumber Energi Penerangan yang Digunakan Responden... 167

5.26. Kepemilikan Tambak Udang dan Keramba Apung………. 168

5.27. Indikator Sosial Ekonomi... 169

(18)

5.29. Nilai-nilai yang Berkaitan dengan Pengelolaan Ekosistem

Mangrove………. 177

5.30. Nilai-nilai yang Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Laut…. 178 5.31. Nilai yang Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir... 180

5.32. Larangan Sosial Terkait dengan Pengelolaan Ekosistem Mangrove…181 5.33. Larangan Sosial Terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut... 183

5.34. Larangan Sosial Terkait Dengan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir.... 184

5.35. Kondisi Hubungan Sosial Antara Individu di Masyarakat... 186

5.36. Kondisi Konflik Sosial dengan Warga dalam Lima Tahun Terakhir.. 186

5.37. Kondisi tentang Keberadaan Norma Sosial/Adat Istiadat... 188

5.38. Kondisi Nilai-nilai/Norma-norma Agama di Desa Ini... 189

5.39. Skor Indikator Sosial Budaya Masyarakat Pesisir yang Diteliti………196

5.40. Keberadaan Dokumen Perencanaan Pengelolaan Pesisir di Lokasi Penelitian... 198

5.41. Pendapat Responden Masyarakat tentang Perencanaan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir (n=330)……….. 199

5.42. Pendapat Responden tentang “ICM/MCRMP” (n=330)... 200

5.43. Instansi/Lembaga yang Dianggap Bertanggung Jawab untuk Melakukan Perencanaan Pengelolaan Kawasan Pesisir………203

5.44. Skor Komponen Instrumen Perencanaan………. 205

5.45. Usia Responden Petugas yang Berhasil Diwawancarai………206

5.46. Pendidikan Formal Terakhir Responden Petugas……… 206

5.47. Pendidikan Non Formal Responden... 207

5.48. Penghasilan Responden Petugas/Bulan... 207

5.49. Kompetensi Sumberdaya Manusia yang Terlibat dalam Proses Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu... 208

5.50. Lama Aktif Responden di Institusi/Lembaga yang Terkait dengan Proses Perencanaan Pengelolaan………. 209

(19)

5.52. Kondisi Sumberaya Manusia yang Terlibat dalam Menyusun

Renstra………. 211

5.53. Tanggapan Responden tentang Status Renstra Sebagai Rujukan

dalam Pembuatan Program Pengelolaan Pesisir………213

5.54. Beberapa Alasan Responden dalam Menilai Perencanaan dan

Pelaksanaan Program dalam Kaitannya dengan Renstra yang Ada… 213

5.55. Kondisi Sumberdaya yang Terlibat dalam menyusun Rencana

Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir (n=122)……….. 214

5.56. Program Pengelolaan Pesisir yang Ada Saat Ini Mengacu Kepada

Rencana Zonasi yang Disusun... 215

5.57. Kondisi Sumberdaya Manusia yang Terlibat dalam Penyusunan

Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir di Kabupaten………215

5.58. Program Pengelolaan Pesisir yang Ada Saat ini Mengacu Kepada

Rencana Pengelolaan yang Disusun……… 217

5.59. Kondisi Sumberdaya Manusia yang Terlibat dalam Menyusun

Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir……… 218

5.60. Program Pengelolaan Pesisir yang Ada Saat Ini Mengacu Kepada

Rencana Aksi yang Disusun……… 219 5.61. Skor atas Komponen Sumberdaya Manusia... 220

5.62. Daya Dukung Organisasi dalam Proses Perencanaan Pengelolaan

Pesisir Terpadu... 221

5.63. Program Pengelolaan Lingkungan Hidup Pesisir yang Telah

Dilakukan... 223

5.64. Lama Pelaksanaan Program Oleh Lembaga Tempat Bekerja

Responden... 224

5.65. Pencapaian Target Program………. 225

5.66. Skor atas Komponen Organisasi... 226

5.67. Relevansi Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan

Menteri dan Gubernur Dengan Rencana Pengelolaan Wilayah

Pesisir………228

5.68. Daya Dukung Aturan dalam Proses Perencanaan ICM (SK atau

(20)

5.69. Status Produk (Aturan/Perda) yang Dihasilkan dari Proses

Perencanaan………. 241

5.70. Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Gubernur Sumatera Utara

Sektor Kelautan dan Perikanan di Masa Orde Baru……… 242

5.71. Daftar Perda yang Dikeluarkan Kabupaten Asahan yang Berkaitan

dengan Sektor Perikanan dan Kelautan……… 245 5.72. Skor Parameter Aturan... 246

5.73. Frekuensi Kerjasama yang Pernah Dilakukan Oleh Lembaga

Pengelola... 247

5.74. Skor Kapasitas Perencanaan……… 251

5.75. Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam Menyusun Perda... 253

5.76. Penilaian Responden Kelompok Pelaksana tentang Keterlibatan

DPRD dalam Berbagai Tahapan Proses Penyusunan Renstra………. 253

5.77. Tanggapan Responden tentang Proses Konsultasi Publik

Penyusunan Renstra Wilayah Pesisir……….. 255

5.78. Penjaringan Aspirasi Publik dalam Penyusunan Rencana Zonasi... 256

5.79. Keterlibatan DPRD dalam Berbagai Tahapan Proses Penyusunan

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut di Kabupaten……… 257

5.80. Tanggapan Responden tentang Kualitas Konsultasi Publik

Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir………. 258

5.81. Penjaringan Aspirasi Masyarakat tentang Isu dan Harapan

Masyarakat dalam Penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah

Pesisir………259

5.82. Keterlibatan DPRD dalam Berbagai Tahapan Proses Penyusunan

Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir………. 260

5.83. Tanggapan Responden tentang Kualitas Konsultasi Publik

Penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir………. 261

5.84. Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam Rencana Aksi Pengelolaan

Wilayah Pesisir di Kabupaten Ini……… 263

5.85. Keterlibatan DPRD dalam Berbagai Tahapan Proses Penyusunan

Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir di Kabupaten Ini……… 263

5.86. Tanggapan Responden tentang Kualitas Konsultasi Publik

(21)

5.87. Penilaian tentang Ketepatan Waktu Penyusunan Dokumen………… 265

5.88. Keragaman Stakeholder dalam Proses Penyusunan Renstra Pengelolaan Wilayah Pesisir……… 267

5.89. Keragaman Stakeholder dalam Penyusunan Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir……… 267

5.90. Keragaman Stakeholder dalam Penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir……… 268

5.91. Keragaman Stakeholder dalam Proses Penyusunan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir……… 269

5.92. Skor Komponen Proses Perencanaan Menurut Lokasi Penelitian... 273

5.93. Desa yang Terlibat dalam Pelaksanaan Program MCRM... 274

5.94. Penghasilan Rata-rata Responden Menurut Desa Tempat Tinggal... 276

5.95. Pengeluaran Responden Menurut Desa Tempat Tinggal... 277

5.96. Tingkat Pendidikan Formal Responden Menurut Desa... 278

5.97. Kondisi Rumah Responden Menurut Desa... 279

5.98. Status Kepemilikan Rumah………280

5.99. Persepsi Responden terhadap Ekosistem Mangrove……… 281

5.100. Persepsi Responden terhadap Sumberdaya Alam Laut... 282

5.101. Persepsi Responden terhadap Sumberdaya Pesisir... 283

5.102. Nilai-nilai yang Berkaitan dengan Pengelolaan Ekosistem Mangrove... 284

5.103. Nilai-nilai yang Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Laut di Desa Penelitian……… 285

5.104. Nilai-nilai yang Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir.. 286

5.105. Tanggapan Responden tentang Hubungan Sosial Masyarakat Pesisir 287 5.106. Penilaian Responden tentang Konflik Sosial Antarwarga... 288

5.107. Orientasi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Menurut Responden.... 289

5.108. Orientasi Pemanfaatan Sumberdaya Laut……… 290

(22)

5.110. Matriks Banding Berpasangan Antarelemen Level 2 (Kriteria)... 294 5.111. Matriks Banding Rata-rata Antarelemen Level 2... 294 5.112. Rekapitulasi Bobot Parsial dan Prioritas Setiap Level……… 297 5.113. Bobot Prioritas Level 4 (Alternatif)……… 299 5.114. Peringkat Alternatif Pengembangan Kapasitas Perencanaan

Pengelolaan Wilayah Pesisir... 304 5.115. Besar Prioritas Tiap Elemen Kriteria... 305 5.116. Besar Prioritas Tujuan Berdasarkan Kriteria... 305 5.117. Rasio Konsistensi Matrik……… 306 5.118. Rasio Konsistensi Hierarki……….. 307 5.119. Pengembangan Kapasitas Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir

(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Hirarki Perencanaan dalam Konsep MCRMP (Alikodra, 2005)... 26

2.2. Hirarki Rencana-rencana ICZM (Bappedasu, 2007)... 38 2.3. Skema Batas Wilayah Pesisir... 45

2.4. Bagan Tingkatan Pengembangan Kapasitas Menurut Karwono

(2008)... 60

4.1. Hubungan Kapasitas Perencanaan, Manajemen Lingkungan,

Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekosistem Pesisir

(Sumber: Siregar, 2004)...104 4.2. Kerangka Berpikir Penelitian... 115

4.3. Diagram Alir Penelitian Pengembangan Kapasitas Perencanaan

Pengelolaan Pesisir Propinsi Sumatera Utara... 126 5.1. Peta Propinsi Sumatera Utara (Sumber: Bappedasu, 2007)... 127 5.2. Peta Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara... 129 5.3. Diagram tentang Kondisi Hutan Mangrove... 151 5.4. Grafik Produksi Perikanan di Daerah Penelitian (2003-2007)... 152 5.5. Luas dan Kondisi Lahan Tambak Tahun 2007... 153

5.6. Diagram tentang Kondisi Pendapatan dan Pengeluaran Responden... 170

5.7. Diagram Kondisi PDRB Kabupaten yang Diteliti Tahun 2006... 171

5.8. Kondisi dan Status Kepemilikan Rumah Responden... 172

5.9. Diagram tentang Kepemilikan Tambak dan Keramba Apung... 173

5.10. Diagram tentang Kondisi Sosial Budaya dalam Kaitannya dengan

Keberadaan Sumberdaya Kelautan... 191

5.11. Diagram tentang Kondisi Sumberdaya Pesisir dalam Pandangan

(24)

5.13. Diagram tentang Penilaian Masyarakat terhadap Konsep

Perencanaan dan MCRMP/ICM... 204 5.14. Struktur Organisasi BAPPEDA... 227 5.15. Struktur Organisasi Dinas Kelautan dan Perikanan... 228 5.16. Diagram Kondisi Sumberdaya yang ada di Lembaga... 249

5.17. Diagram tentang Komponen Organisasi, Aturan dan Kerjasama... 250

5.18. Kondisi Keterlibatan DPRD dan Ketepatan Waktu dalam

Penyusunan Seluruh Dokumen Perencanaan... 270

5.19. Diagram Kondisi Keragaman Stakeholder dan Kesesuaian

Konsultasi Publik dengan Prinsip Partisipatif dalam Penyusunan

Dokumen Perencanaan... 272

5.20 Model AHP Pengembangan Kapasitas Perencanaan Daerah dalam

Pengelolaan Wilayah Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara yang

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

(26)

ABSTRAK

Fokus penelitian ini adalah pengembangan kapasitas perencanaan untuk mencapai pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Tujuan penelitian adalah untuk merumuskan konsep pengembangan kapasitas perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang mampu menjaga kualitas lingkungan hidup dan meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial budaya masyarakat pesisir. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Langkat, Deli Serdang dan Asahan, pesisir Timur Propinsi Sumatera Utara yang merupakan lokasi kegiatan Marine Coastal Resource Management

Program (MCRMP). Penelitian ini dilakukan dengan metode analitis deskriptif

komparatif, dan dianalisis secara kualitatif dan juga kuantitatif. Untuk menentukan prioritas kebijakan yang akan dipilih, dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan rusaknya ekosistem mangrove sangat erat terkait dengan rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir. Rendahnya kondisi sosial ekonomi ini terkait erat dengan rendahnya kapasitas perencanaan daerah dalam mengelola wilayah pesisir di pantai Timur Sumatera Utara. Kondisi sosial budaya dan pola pemanfaatan terhadap sumberdaya alam termasuk kategori cukup baik. Namun untuk indikator pemanfaatan sumberdaya laut dan kawasan pesisir termasuk kategori rendah. Kondisi ini kurang terkait dengan kapasitas perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang rendah. Tidak ada perbedaan yang signifikan kondisi sosial ekonomi, sosial budaya, dan pola pemanfaatan sumberdaya alam pesisir antara desa dengan program MCRMP dan desa tidak melaksanakan program MCRMP. Berdasarkan metode AHP diperoleh prioritas strategi yang harus dilakukan dalam rangka pengembangan kapasitas perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yaitu elemen SDM merupakan prioritas pertama dalam alternatif pengembangan kapasitas perencanaan pengelolaan wilayah pesisir pantai Timur Sumatera Utara, disusul oleh kerjasama, aturan dan organisasi. Menempatkan SDM sebagai prioritas utama dalam alternatif pengembangan kapasitas perencanaan tentunya diarahkan pada peningkatan kompetensi, peningkatan pendapatan serta pembinaan karir dan kemampuan SDM secara teratur dan terukur. Kriteria pengembangan kapasitas perencanaan wilayah pesisir pantai Timur Sumatera Utara adalah elemen ekonomi, elemen sosial, dan elemen ekologi. Ini artinya ketiga elemen ini menjadi bagian penting ketika upaya pengembangan kapasitas perencanaan wilayah pesisir akan dilakukan. Untuk dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan di wilayah pesisir pantai Timur Sumatera Utara adalah dengan meningkatkan kapasitas perencanaan daerah dengan mengusulkan sebelas strategi.

Kata Kunci: Pengembangan Kapasitas, Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu,

(27)

ABSTRACT

This research focused on planning capacity building for the integrated coastal management. The orientation is to formulate the alternative of capacity development of coastal management plan that able to maintain the quality of environment and increase the economy and social culture of coastal community. The research is conducted in subdistrict of Langkat, Deli Serdang and Asahan, East Coast of North Sumatera where Marine Coastal Resource Management Program (MCRMP) activity located. The reasearch is conducted by comparison descriptive method, and analysed through qualitative and quantitative. Policy priority will be determined by Analytical Hierarchy Process (AHP). Research output indicated that have relate between damage mangrove ecosystem condition with low community’s social economy condition. The low community’s social economy condition relate to capacity building of coastal management in East Coast North Sumatera Province. Community’s social culture condition and pattern of using mangrove ecosystem resources is properly conducted. In other hand the indicator of using marine and coastal resources is low. This condition is less relate to capacity building of coastal management. The research’s output showed that is no significant difference however, in condition of social economy, social culture and patern of using marine and coastal resources between villages that conduct MCRMP program and villages with no MCRMP program.

Based on AHP analysis, human resources is the first priority in building the capacity of marine and coastal management plan in east coast of north Sumatera, followed by cooperation, rules and organization. As the human resources is the first priority in alternatives in capacity building on coastal management in East Coast North Sumatera Province are directing for competency improvement, income generating, carerr creation and human resources skill achivement regularly and measurable. The criteria of capacity building coastal management are economic element, social element and ecology element. It means the three elements are important when efforts for capacity building coastal management will be conducted. The reaching of sustainable development in coastal management in East Coast North Sumatera Province will propose eleven strategies.

(28)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki 17.508 gugusan pulau-pulau. Daruri (2000) menyatakan ada sebanyak 5.700 pulau telah memiliki nama, meskipun merupakan pemberian oleh masyarakat lokal dan sekitar 931 pulau didiami oleh manusia. Beberapa propinsi merupakan pulau-pulau kecil seperti NTT, NTB dan beberapa propinsi memiliki pulau-pulau kecil seperti Riau dan Lampung. Sumberdaya pesisir

dapat digolongkan sebagai kekayaan alam yang dapat diperbaharui (renewable

resources), sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources), dan sumberdaya yang tidak dapat habis (continous resources) (Gany, 2000). Berbagai ragam sumberdaya hayati pesisir yang penting dan dapat diperbaharui adalah hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, rumput laut, dan perikanan. Hutan mangrove adalah daerah/zona yang unik yang merupakan

peralihan antara komponen laut dan darat, yang berisi vegetasi laut dan perikanan

(pesisir) yang tumbuh di daerah pantai dan sekitar muara sungai (selain dari formasi hutan pantai) yang selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut serta dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasi laut dan perikanan (pesisir) mangrove dicirikan oleh

(29)

(Sonneratia spp.) dan tinjang (Bruguiera spp.). Data luas hutan mangrove di dunia ini sekitar 15,9 juta ha, sedangkan di Indonesia terdapat 4,25 juta ha (Dahuri, 1997) yang tersebar di seluruh wilayah pantai di Indonesia (Wartapura, 1991). Menurut data pada tahun 1993, di Sumatera terdapat hutan mangrove seluas 856.134 ha (Dahuri, 1997). Dari luas tersebut di Propinsi Sumatera Utara terdapat 60.000 ha (Wartapura, 1991, Dartius, 1988).

Hutan mangrove di Sumatera terutama tersebar di Pantai Timur, disebabkan karena: 1) Pantai Timur mempunyai dataran lebih rendah dibanding Pantai Barat Sumatera. 2) Banyak sungai-sungai besar di Sumatera yang mengalir ke Pantai Timur. Kondisi ini mendorong pertumbuhan mangrove di muara sungai makin subur dan makin luas, karena banyak endapan yang terbawa arus sungai (Dahuri, 1997). Menurut Dahuri (2000) hingga tahun 1993 telah terjadi penurunan kawasan laut dan perikanan (pesisir) mangrove sebesar 52% dari 5,2 juta ha pada tahun 1982 menjadi 2,5 juta ha, yang berarti dalam jangka waktu 11 tahun telah rusak setengahnya. Dari data luasan tersebut 40% terdapat di Irian Jaya dan sisanya di pulau-pulau lain.

Terumbu karang merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Medreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1992). Di Indonesia, ekosistem terumbu karang

(30)

yang dapat dimanfaatkan seperti berbagai jenis ikan hias, lobster, penyu, kima, teripang dan lain-lain. Terumbu karang juga dimanfaatkan untuk bahan bangunan, pembuatan jalan, pelabuhan udara dan bahan baku industri pupuk (Dahuri, 2000).

Padang Lamun (seagrass) yang merupakan komponen utama yang dominan

di lingkungan pesisir. Biasanya berkembang pada perairan dangkal, agak berpasir dan berasosiasi dengan laut dan perikanan (pesisir) bakau dan terumbu karang. Komunis padang lamun di Indonesia merupakan terluas.

Rumput laut berbeda dengan padang lamun, di mana komunitas rumput laut berkembang pada substrat yang keras sebagai tempat melekat. Jadi mereka mampu mendaurulangkan nutrien kembali ke dalam ekosistem agar tidak terperangkap di dasar laut (Nybakken, 1992). Beberapa jenis rumput laut dijadikan makanan ternak, bahan baku obat-obatan, agar-agar dan lain-lain. Dari 555 jenis rumput laut di Indonesia, sekitar 4 jenis yang telah dikomersilkan yaitu Euchema, Gracillaria,

Gelidium, dan Sargasum. Potensi rumput laut di Indonesia dapat dilihat dari potensi lahan budidaya rumput laut yang tersebar di 26 propinsi di Indonesia. Potensi ini secara keseluruhan mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400 ton per tahun (Dahuri, 2000).

Sumberdaya pesisir laut sangat beragam, antara lain dari jenis-jenis ikan pelagis (cakalang, tuna, layar) dan jenis ikan dumersal (kakap, kerapu). Selain itu, terdapat juga biota lain yang dapat ditemukan di seluruh pesisir di Indonesia, seperti kepiting, udang, teripang, dan kerang. Berdasarkan hukum laut yang baru, yaitu

(31)

dengan potensi ikannya 6,62 juta ton/tahun. Sementara kemampuan rakyat Indonesia untuk memungutnya 1,6 juta ton pertahun (Danusaputro, 1991).

Selain memiliki potensi kekayaan alam, pesisir di Indonesia merupakan kawasan yang padat oleh penduduk, dan aktivitas industri. Menurut Alikodra (2005) hingga tahun 2000, terdapat 42 kota dan 181 kabupaten berada di wilayah pesisir, diantaranya adalah kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Manado, Surabaya, Ujung Pandang, Denpasar, merupakan tempat pusat-pusat pertumbuhan, bahkan banyak diantaranya yang telah melakukan reklamasi pantai. Di lain pihak, kawasan pesisir juga telah menjadi pusat-pusat industri, di mana 80% industri berlokasi di pesisir dan membuang limbahnya ke laut. Sehingga, pada umumnya di kota-kota pantai mempunyai tingkat pencemaran yang tinggi. Selanjutnya Alikodra (2005) juga mengatakan bahwa 60% penduduk dunia bermukim di wilayah pesisir, termasuk Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim, di mana 140 juta penduduknya bermukim di wilayah pesisir (terutama di wilayah 50 km dari garis pantai ke arah darat).

(32)

Besarnya potensi kekayaan alam pesisir telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan hidup seperti over capacity di sektor perikanan, perusakan hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun serta abrasi pantai dan gelombang pasang hingga masalah tsunami. Permasalahan ini sangat terkait dengan kemiskinan masyarakat pesisir, kebijakan yang tidak tepat, rendahnya penegakan

hukum (law enforcement), dan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia (SDM).

Permasalahan di pesisir di atas bila dikaji lebih lanjut memiliki akar permasalahan

yang mendasar. Menurut Dahuri (2003) ada lima faktor, yaitu pertama tingkat

kepadatan penduduk yang tinggi dan kemiskinan, kedua konsumsi berlebihan dan

penyebaran sumberdaya yang tidak merata, ketiga kelembagaan, keempat, kurangnya

pemahaman tentang ekosistem alam, dan kelima kegagalan sistem ekonomi dan

kebijakan dalam menilai ekosistem alam.

(33)

keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarkhi pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain dan Knect, 1998; Kay dan Alder, 1999). Memang Departemen Perikanan dan Kelautan telah mengembangkan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia seperti Marine Coastal Resource Management Program (MCRMP), namun pengelolaan ini menghadapi masalah yaitu masih belum terpenuhinya standar kapasitas perencanaan pengelolaan pesisir.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka diperlukan penelitian perencanaan pengelolaan wilayah pesisir, dengan tujuan untuk menyusun strategi pengembangan kapasitas perencanaan untuk mencapai pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Apakah ada keterkaitan antara kerusakan ekosistem mangrove dengan kapasitas

perencanaan sumberdaya pesisir;

2. Apakah ada keterkaitan antara peran stakeholder di wilayah pesisir dalam

memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dengan kapasitas perencanaan;

3. Apakah ada keterkaitan antara kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya

masyarakat pesisir dengan kapasitas perencanaan sumberdaya pesisir;

4. Apakah ada perbedaan antara desa yang mendapatkan program perencanaan

(34)

perencanaan dalam hal sosial ekonomi, sosial budaya dan pemanfaatan wilayah pesisir;

5. Bagaimana meningkatkan kapasitas perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir

atas dasar strategi pengelolaan terpadu (integrated management).

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun konsep pengembangan kapasitas perencanaan pengelolaan pesisir melalui:

1. Analisis kerusakan dan pemanfataan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir

Timur Propinsi Sumatera Utara. Variabel kerusakan sumberdaya alam khususnya ekosistem mangrove;

2. Analisis sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat dalam kaitannya

dengan pemanfaatan dan pelestarian ekosistem/fungsi-fungsi ekologis sumberdaya alam pesisir;

3. Analisis instrumen perencanaan daerah, kapasitas lembaga perencanaan

Integrated Coastal Management (ICM) dan proses perencanaan daerah pada implementasi ICM;

4. Analisis hubungan antara kapasitas perencanaan daerah dengan kondisi-

(35)
(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Berkelanjutan dan Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir

Salah satu pendekatan pembangunan yang dilakukan untuk pengelolaan lingkungan hidup adalah pembangunan berkelanjutan. Istilah pembangunan berkelanjutan telah memasuki perbendaharaan kata para ahli serta masyarakat setelah diterbitkannya laporan mengenai pembangunan dan lingkungan serta sumberdaya alam. Laporan ini diterbitkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan

Pembangunan - PBB (UN World Commission on Environment and Development -

WCED) yang diketuai oleh Harlem Brundtland, dalam laporan tersebut didefinisikan

istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan

berkelanjutan adalah: Pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Lebih jauh, dikatakan bahwa pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.

(37)

Siregar (2004) menjelaskan ada 3 aset dalam pembangunan berkelanjutan yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan infrastruktur. Sumberdaya alam adalah semua kekayaan alam yang dapat digunakan dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sumberdaya manusia adalah semua potensi yang terdapat pada manusia seperti akal pikiran, seni, dan keterampilan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri maupun orang lain atau masyarakat pada umumnya. Sedangkan infrastruktur adalah sesuatu buatan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana untuk kehidupan manusia dan sebagai sarana untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan semaksimalnya, baik untuk saat ini maupun keberlanjutannya di masa yang akan datang.

Dalam pembangunan berkelanjutan terkandung dua gagasan penting yaitu pertama gagasan kebutuhan yaitu kebutuhan esensial yang memberlanjutkan kehidupan manusia. Kedua gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan (Djajadiningrat, dan Famiola, 2004). Selanjutnya Djajadiningrat dan Famiola (2004) menyatakan bahwa setiap elemen pembangunan berkelanjutan diuraikan menjadi empat hal yaitu: pemerataan dan keadilan sosial, keanekaragaman, integratif dan perspektif jangka panjang.

(38)

kebijakan di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya:

1. Mengelola sumberdaya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak

dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya;

2. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari perusakan

sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan;

3. Mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah dalam

pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara bertahap;

4. Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan

sumberdaya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal;

5. Menerapkan secara efektif penggunaan indikator untuk mengetahui keberhasilan

pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;

6. Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan

konservasi baru di wilayah tertentu; dan

7. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan

lingkungan global.

(39)

ditetapkan, serta terwujudnya keadilan antargenerasi, antardunia usaha dan masyarakat dan antarnegara maju dengan negara berkembang dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang optimal.

Selanjutnya sistem pengelolaan lingkungan termasuk pengelolaan lingkungan pesisir juga harus memerlukan indikator kinerja (performance indicator). Indikator kinerja pembangunan berkelanjutan telah dilakukan di berbagai negara di dunia ini. Indonesia belum menjadikan indikator kinerja pembangunan berkelanjutan. Tetapi Propinsi Sumatera Utara telah mulai menginisiasi indikator kinerja pembangunan berkelanjutan (Bapedalda SU). PBB divisi pembangunan berkelanjutan (UN, 2001) telah menyusun indikator pembangunan berkelanjutan. Adapun indikatornya adalah seperti yang tercantum pada Tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1. Indikator Pembangunan Berkelanjutan

No. Kategori Indikator Parameter

I. Indikator Sosial

1. Kemiskinan a. Jumlah persentase penduduk yang hidup

di bawah garis kemiskinan.

b. Indeks gini ketidakadilan pendapatan. c. Tingkat pengangguran.

2. Kesehatan a. Status gizi anak-anak.

b. Tingkat kematian anak-anak di bawah 5 tahun. c. Tingkat harapan hidup.

d. Persentase penduduk yang memiliki saluran pembuangan limbah (MCK).

e. Immunisasi.

f. Tingkat pemakaian alat kontrasepsi.

3. Tingkat Pendidikan a. Tamat SD.

b. Tamat SMP. c. Angka buta huruf. 4. Kondisi rumah tempat tinggal Luas rumah/jiwa.

5. Kriminalitas Jumlah kriminalitas per 100.000 penduduk.

6. Kependudukan a. Tingkat pertumbuhan penduduk.

b. Pemukiman penduduk formal dan informal

(40)

No. Kategori Indikator Parameter

II. Indikator Lingkungan

1. Perubahan Iklim Emisi gas rumah kaca.

2. Berlubangnya lapisan ozon Tingkat konsumsi zat yang merusak lapisan ozon.

3. Kualitas Air Konsentrasi pencemaran air ambien di perkotaan.

4. Pertanian a. Peruntukan lahan pertanian.

b. Penggunaan pupuk.

c. Penggunaan pestisida untuk pertanian.

5. Kehutanan a. Persentase lahan untuk hutan.

b. Intensitas pengambilan kayu.

6. Penggurunan Lahan yang menjadi gurun.

7. Perkotaan Permukiman penduduk formal dan informal

di perkotaan.

8. Pesisir a. Konsentrasi algae di laut.

b. Persentase dari total penduduk menetap

di pesisir.

9. Kuantitas Air Bersih Persentase air yang diambil dari ABT dan APU dari

air yang tersedia setiap tahun.

10. Kualitas Air Bersih a. BOD di badan air.

b. Konsentrasi Bakteri Coli pada air bersih.

11. Spesies Kelimpahan spesies terpilih.

III. Indikator Ekonomi

1. Kinerja ekonomi GDP perkapita.

2. Perdagangan Keseimbangan perdagangan barang dan jasa.

3. Status keuangan GNP.

4. Konsumsi Material Intensitas penggunaan material.

5. Penggunaan Energi a. Konsumsi penggunaan energi per kapita/tahun.

b. Intensitas penggunaan energi.

c. Pembagian konsumsi sumberdaya energi yang dapat diperbaharui.

6. Manajemen Sampah a. Sampah industri dan sampah padat.

b. Limbah B3. c. Sampah Radioaktif.

d. Penggunaan kembali dan recycle sampah.

IV. Indikator Kelembagaan

1. Implementasi Strategi Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan Berkelanjutan Nasional.

2. Kerjasama Internasional Implementasi dari ratifikasi Perjanjian Global.

3. Akses Informasi Jumlah internet yang terdaftar per 1000 penduduk.

4. Komunikasi Jumlah nomor telepon per 1000 penduduk.

5. Infrastruktur

6. Sains dan teknologi Persentase biaya litbang dibandingkan dengan GDP.

7. Persiapan dan tanggung jawab

terhadap bencana

(41)

Sementara itu Dahuri (2003) telah menulis indikator pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya keanekaragaman hayati laut, yang minimal harus meliputi 4 dimensi yaitu: (1) ekonomi, (2) sosial, (3) ekologi,

(4) pengaturan (governance). Adapun indikator pembangunan berkelanjutan

sumberdaya perikanan yang diungkap oleh Dahuri (2003) dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir

Dimensi Indikator

1. Ekonomi

• Volume dan nilai produksi.

• Volume dan nilai ekspor (dibandingkan dengan nilai total ekspor nasional).

• Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB.

• Pendapatan nelayan.

• Nilai investasi dalam bentuk kapal ikan dan pabrik pengolahan.

2. Sosial

• Penyerapan tenaga kerja.

• Budaya kerja.

• Tingkat pendidikan.

• Tingkat kesehatan.

• Distribusi jender dalam proses pengambilan keputusan (gender distribution in decision making).

• Kependudukan (demography).

3. Ekologi

• Komposisi hasil tangkap.

• Hasil tangkap per satuan upaya (CPUE).

• Kelimpahan relatif spesies target.

• Dampak langsung alat tangkap terhadap spesies non target.

• Dampak tidak langsung penangkapan terhadap struktur tropik.

• Dampak langsung alat tangkap terhadap habitat.

• Perubahan luas area dan kualitas habitat penting perikanan.

• Hak kepemilikan (property rights).

4. Governance • Ketaatan terhadap peraturan perundangan (compliance regime).

• Transparansi dan partisipasi. Sumber: Dahuri (2003).

(42)

populer disebut UU Otonomi Daerah. Selanjutnya UU Nomor 22 diganti menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyelenggarakan Otonomi Daerah berdasarkan Pemerintahan Negara Kesatuan RI menurut UUD 45. Penyelenggaraan Otonomi Daerah menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Untuk menghadapi perkembangan situasi, maka Pemerintah Pusat memandang perlu penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sesuai dengan prinsip tadi yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan RI.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengelolaan wilayah pesisir diatur mulai dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 18 (Aritonang, 2006). Adapun bunyi Pasal 17 sebagai berikut:

Ayat 1: Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya alam lainnya antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:

a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian

dampak, budidaya dan pelestarian;

b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya, dan

(43)

Ayat 2: Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya alam lainnya antarpemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:

a. Pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya alam lainnya

yang menjadi kewenangan daerah;

b. Kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam lainnya antar

pemerintahan daerah, dan

c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan

sumberdaya lainnya.

Ayat 3: Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya alam lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pada Pasal 18 disebutkan sebagai berikut:

Ayat 1: Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut.

Ayat 2: Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ayat 3: Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; b. Pengaturan administratif;

(44)

d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;

e. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan

f. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Ayat 4: Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dari 1/3 (sepertiga) dari

wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota.

Ayat 5: Apabila wilayah laut antara 2 (dua) propinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) propinsi

tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah

kewenangan propinsi dimaksud.

Ayat 6: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.

Ayat 7: Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pesisir selama ini masih dimasukkan dalam doktrin milik bersama (common

property), sehingga sering menjadi ajang perebutan bagi pihak-pihak yang ingin

mendapatkan keuntungan dari sumberdaya pesisir. Sehingga dikenal dengan Tragedy

(45)

dari sumberdaya yang bersifat common property adalah tidak terdefinisikannya hak pemilikan sehingga menimbulkan gejala yang disebut dissipated resource rent, yaitu hilangnya rente sumberdaya yang semestinya diperoleh dari pengelolaan sumberdaya yang optimal (Fauzi, 2005). Ada empat akibat buruk dari penerapan doktrin milik bersama tersebut yakni: (1) Pemborosan sumberdaya alam secara fisik, (2) Inefisiensi secara ekonomi, (3) Kemiskinan nelayan, dan (4) Konflik antarpengguna sumberdaya alam. Christy menawarkan solusinya dengan penerapan penggunaan wilayah pada perikanan (territorial use rights in fisheries) (dalam Bromley dan Cernea, 1989).

Pengalaman di Indonesia dalam kaitan dengan desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir adalah munculnya kondisi ekstrim yaitu pengkaplingan wilayah laut (Kamaluddin, 2000). Desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir juga mengutamakan potensi perikanan, dan membagi kekuasaan laut yang hanya bisa pulau-pulau besar, padahal potensi pesisir bukan saja di bidang perikanan, tetapi masalah parawisata bahari, transportasi/perhubungan laut dan potensi mineral. Misalnya Abubakar menyatakan dalam bukunya yang berjudul Menata Pulau-pulau Kecil di Perbatasan: Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan dan Sebatik (2006) bahwa pulau-pulau kecil

sering terabaikan karena pulau-pulau kecil terpisah dari induknya (mainland),

(46)

Akibat kondisi yang demikian itu, persoalan pesisir terjebak pada hal yang teknologis dengan menggunakan parameter ekonomis, sehingga alpa terhadap pentingnya kelestarian. Sebagai contoh adalah pukat harimau (trawl) yang nyata juga merusak masih saja ada yang menyatakan alat tangkap tersebut masih efektif dan mampu menangkap ikan lebih banyak. Sehingga persoalan pukat harimau masih pro-kontra antara realita (pengalaman nelayan tradisional) dan pandangan sebagian

ilmuwan. Sekalipun kebijakan tentang pelarangan trawl lewat Keppres 39 Tahun

1980 telah diberlakukan namun hal tersebut tetap menjadi persoalan. Kepentingan ekonomis lewat eksplorasi lebih kentara daripada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (nelayan) serta pentingnya kelestarian serta cenderung mengabaikan hukum yang berlaku.

Pengembangan teknologi tangkap ikan dengan berbagai modifikasi teknologi terus dilakukan, tetapi tetap saja bersifat merusak. Pada saat Pemerintah melarang alat jenis pukat harimau (trawl) muncul alat tangkap lampara dasar, pukat ikan yang sebenarnya cara kerja alat tangkap tersebut tidak ada bedanya seperti pukat harimau (trawl). Padahal banyak alat tangkap nelayan tradisional yang dapat dimodifikasi.

Juga pada saat Pemerintah melarang operasi pukat harimau (trawl), Pemerintah

(47)

nelayan tradisional memancing ikan ditutup untuk kepentingan irigasi tambak udang (JALA, 2007).

Menurut Bromley dan Cernea (1989), ada empat tipe pemilikan dan

penguasaan sumberdaya pesisir, yaitu: a. Open access property, b. Common

properyty, c. Public property, dan d. Private property. Masing-masing karakteristik tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir ini turut menentukan bagaimana cara pengelolaan wilayah pesisir dilakukan. Di Sulawesi Utara terdapat keempat tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya tersebut, namun yang dominan adalah tipe milik Pemerintah, dan di beberapa tempat berkembang tipe milik quasi-pribadi. Di perairan Bunaken masyarakat nelayan masih menganggap sumberdaya ikannya sebagai open access property sehingganelayan dari tempat lain dibiarkan menangkap ikan. Di Desa Tumbak dan Desa Biongko masyarakat menganggap sumberdaya ikan, mangrove dan terumbu karang yang ada di depan desa mereka adalah milik komunal dari desa tersebut (Mancoro, 1997). Akan tetapi UU Pokok Perairan No. 6 Tahun 1996 dengan tegas menyatakan sumberdaya alam yang ada di perairan adalah milik Pemerintah.

Dalam skala tertentu pemerintah membiarkan kelompok masyarakat pesisir

untuk mengelolanya. Sehingga timbul kerancuan (ambiguim) bahwa disatu sisi

pesisir dianggap milik penduduk, tetapi disisi lain dianggap milik Pemerintah.

Kerancuan pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir (ambiguity of property

(48)

namun yang dominan adalah kerancuan tipe pemilikan. Konflik yang berkaitan dengan penguasaan sumberdaya alam laut sering kali muncul misalnya seperti kasus di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara (Adhuri, 2005). Adhuri (2005) juga menyatakan ada dua tantangan dalam mempraktekkan manajemen sumberdaya laut secara berkelanjutan, yaitu pertama, kesadaran yang ditunjukkan oleh pelaku akan pentingnya manajemen yang berkelanjutan dan berkeadilan tidak tampak pada

stakeholder (termasuk aparat militer dan birokrasi daerah) di daerah. Kedua, terdapatnya kontestasi di antara semua kelompok yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya laut. Pada arena kontestasi ini tampaknya masing-masing kelompok cenderung saling mengklaim hak khusus mereka terhadap sumberdaya laut dan menafikan klaim dari pihak lain.

(49)

di daerah tersebut. Ketiga, devolusi yaitu penyerahan kekuasaan dan tanggung jawab hal spesial atau khusus dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Keempat swastanisasi yaitu penyerahan tanggung jawab tugas tertentu dari Pemerintah Pusat

kepada organisasi non Pemerintah, LSM, organisasi voluntir swasta (private

voluntary organization, atau PVO), organisasi atau asosiasi masyarakat dan perusahaan swasta. Senada dengan hal di atas, Person, G A, Diny M.E. van Est dan Tessa Minter yang menulis tentang desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Person dan kawan-kawan menyarankan bahwa dalam proses desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam sebaiknya mengarah pada bentuk pengelolaan bersama (co-management).

2.2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal

Management)

Kebijakan DKP tahun 2003 yang dikutip oleh Alikodra (2005) bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, mencakup pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya pesisir. Pemanfaatan sumberdaya pesisir meliputi sumberdaya alam hayati dan nonhayati, jasa lingkungan pesisir, sumberdaya binaan/buatan, dan tanah timbul. Dalam hal penguasaan sumberdaya wilayah pesisir, harus dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, hak ulayat dan masyarakat adat, hak pengelolaan perairan, dan berdasarkan kebiasaan serta hukum adat setempat.

(50)

1. Perlunya payung hukum tentang pengelolaan wilayah pesisir terpadu;

2. Membantu memfasilitasi pengambilan keputusan terpadu dan terintegrasi, melalui

proses koordinasi dan kerjasama antarberbagai sektor, secara terus menerus dan dinamis;

3. Meningkatkan peran instansi terkait yang memiliki instrumen pengelolaan baik

secara struktural, aturan, maupun prosedur/kebijakan bersifat insentif; dan

4. Membantu dan memfasilitasi setiap keputusan yang diambil, agar melalui

evaluasi formal dan konsisten.

Sejak tahun 2002/2003 atas bantuan ADB, Departemen Kelautan dan

Perikanan (DKP) telah mengembangkan program MCRMP (Marine and Coastal

Resources Management Programme). MCRMP merupakan suatu program DKP, yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan daerah, dalam pengelolaan sumberdaya pesisir secara bijaksana dalam suatu kerangka pengelolaan pesisir

terpadu (Integrated Coastal Management, ICM). Program ini bertujuan membantu

instansi terkait dalam fasilitasi dan sosialisasi, dan sekaligus mengimplementasikan program ICM, dalam sistem keterpaduan pengelolaan sumberdaya pesisir (Alikodra, 2005).

Seperti telah disampaikan sebelumnya, bahwa program yang tertuang dalam MCRMP terfokus pada penguatan kapasitas daerah. Karena pada dasarnya lemahnya pengelolaan sumberdaya pesisir adalah sangat ditentukan oleh pengembangan

kapasitas (capacity building) daerah, yang menjadi ujung tombak pengelolaan.

(51)

dengan kemampuannya dalam implementasi konservasi sumberdaya pesisir, baik rehabilitasi maupun pemanfaatannya secara bijaksana.

Dalam program MCRMP, dilakukan pendekatan peningkatan kapasitas daerah dengan cara mengembangkan hirarki perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, yang meliputi (Alikodra, 2005):

1. Renstra Pengelolaan Wilayah Pesisir: berperan dalam menentukan visi/wawasan

dan misi pengelolaan;

2. Rencana Zonasi: berperan dalam pengalokasian ruang, memilah kegiatan yang

sinergis dalam satu ruang dan kegiatan yang tidak sinergis di ruang lain dan pengendalian ruang laut sesuai tata cara yang ditetapkan;

3. Rencana Pengelolaan: berperan untuk menuntun pengelolaan atau pemanfaatan

sumberdaya di wilayah prioritas sesuai karakteristiknya; dan

4. Rencana Aksi: berperan menuntun penetapan dan pelaksanaan kegiatan sebagai

(52)

pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. MCRMP dipersiapkan dalam rangka memberikan bantuan teknis, pelatihan, data dan peralatan, serta fasilitasi, bagi Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Program ini sangat komprehensif, melibatkan berbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu, dan berbagai konsultan maupun kontraktor, baik dalam maupun luar negeri.

(53)

Gambar 2.1. Hirarki Perencanaan dalam Konsep MCRMP (Alikodra, 2005) Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya

keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Sebagai

kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak memenuhi kaidah pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Management, ICM). Apabila perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir tidak dilakukan secara terpadu, maka dikhawatirkan sumberdaya

RENSTRA PENGELOLAAN

Pengaturan koordinasi

Paket terpadu kegiatan

Tujuan

Cakupan kegiatan

Tatanan pelaksanaan

(54)

tersebut akan rusak bahkan punah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang keseimbangan pembangunan nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju, adil dan makmur. Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et al., 1996; Cicin-Sai and Knecht, 1998; Kay and Alder, 1999).

Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur essensial dari ICM adalah keterpaduan dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada: (1) pemahaman yang baik tentang proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan (produk) dan jasa lingkungan pesisir.

Gambar

Tabel 2.1. Indikator Pembangunan Berkelanjutan
Gambar 2.1. Hirarki Perencanaan dalam Konsep MCRMP (Alikodra, 2005)
Gambar 2.2. Hirarki Rencana-Rencana ICZM (Bappedasu, 2007)
Gambar 2.3. Skema Batas Wilayah Pesisir
+7

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum, rencana zonasi pesisir, pantai dan laut Propinsi Sumatera Barat adalah suatu proses penyusunan data dasar rencana tata ruang wilayah untuk meningkatkan kualitas

Hasil penelitian menunjukan kepadatan populasi belangkas di Pantai Timur Sumatera Utara telah mengalami penurunan populasi, berdasarkan data kepadatan populasi dan

Pantai Baru merupakan salah satu pantai di sepanjang Pesisir Pantai Timur Sumatera yang terdapat di Pantai Labu dan telah ditetapkan sebagai Daerah Penting

Keanekaragaman Jenis Burung Air di kawasan Pesisir Pantai Timur Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.. Medan: Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan

Kata Kunci : Pantai Timur Sumatera Utara, Aqua Modis , Klorofil-a, Suhu Permukaan Laut, dan Ikan Selar ( Selaroides leptolepis ).. Universitas

Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara dan upacara serta mantera ritual Puja Pantai, Tolak Bala, Mandi Bermiyak dan Tarian Lukah. Kawasan kajian meliputi

Daerah pesisir pantai mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian masyarakat dan pembangunan karena merupakan ruang yang menjembatani antara wilayah daratan dengan

Berdasarkan taraf regenerasinya, hutan mangrove pantai timur Sumatera Utara mirip dengan hutan mangrove di Aceh Singkil (Soehardjono, 1999), yakni berada pada taraf