• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SMARTPHONE YANG TERMASUK DALAM KATEGORI

2. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Kebutuhan-kebutuhan akan informasi hukum, khususnya hukum ekonomi dalam perkembangannya dewasa ini sangatlah mendesak. Apabila dalam era globalisasi seperti saat ini, yang ditandai dengan saling ketergantungan antara negara satu dengan negara lainnya, pembentukan hukum nasional yang baru perlu memperhatikan dimensi internasional, Indonesia dituntut membentuk hukum nasional yang harus mampu berperan dalam memperlancar lalu lintas ditingkat internasional.49

Prinsip perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 2 UUPK terdiri dari 5 (lima) prinsip yang merupakan usaha bersama dalam pembangunan nasional, yaitu:

a. Prinsip manfaat bertujuan untuk mempercayakan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen harus

48 Ibid, hlm 47

49 Celine Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Sinar Grafika, 2017, hlm 98

memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan

b. Prinsip keadilan bertujuan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Prinsip keseimbangan bertujuan untuk memberi keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.

d. Prinsip keamanan dan keselamatan konsumen bertujuan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian serta pemanfaatan barang dan/atau jasa yang digunakannya.

e. Prinsip kepastian hukum yaitu ditujukan kepada pelaku usaha maupun konsumen untuk menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen serta negara memiliki tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum tersebut.50 3. Tanggungjawab Produsen Terhadap Konsumen

Secara teoritis pertanggung jawaban terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggung jawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab. Oleh karena itu berdasarkan jenis hubungan hukum atau peristiwa hukum yang ada, maka dapat dibedakan:

pertama pertanggung jawaban atas dasar kesalahan adalah tanggung jawab

50 Abdul Halim Barakatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Bandung, Nusa Media, 2016, hlm.7

yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum dan/atau karena tindakan yang kurang hati-hati. Kedua, pertanggung jawaban atas dasar risiko adalah tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pelaku usaha atas kegiatan usahanya.51

Tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen.

Dalam kasus-kasus pelanggaran konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab tersebut dibebankan kepada pihak yang terkait. Dan kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan yang paling banyak mengalami kerugian yang disebabkan produk dari pelaku usaha itu sendiri.

Beberapa sumber formal hukum, seperti perundang-undangan dan perjanjian di hukum keperdataan sering memberikan pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen yaitu pelaku usaha.52

Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen khususnya menentukan tanggung jawab pelaku usaha dengan konsumen yang menderita kerugian karena produk cacat, maka fakta-fakta sekitar peristiwa yang menimbulkan kerugian itu terlebih dahulu dikualifisir menjadi suatu perbuatan melawan hukum. Artinya dapat ditunjukkan bahwa perbuatan pelaku usaha adalah perbuatan yang melanggar hukum, baik itu berupa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, dan/atau pelaku usaha melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, melanggar kesusilaan,

51 Janus Sidabalok, Op.Cit, hlm 90-91

52 Louis Yulius, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Produk Yang Merugikan Konsumen, Lex Privatum, Vol.I/No.3/Juli/2013, hlm 29

ataupun telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dan pergaulan hidup masyarakat dalam menjalankan usahanya, khususnya kepatutan dalam hal berproduksi dan mengedarkan produknya.53

Prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan, antara lain:

a. Tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault). Prinsip liability based on fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana maupun perdata. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukanya.

b. Praduga selalu bertanggungjawab (presumption of liability). Prinsip ini menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka dari itu beban pembuktian terdapat pada si tergugat.

c. Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption of nonliability).

Lingkup transaksi konsumen dalam prinsip ini sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

d. Tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip ini menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, terdapat pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari prinsip ini, misalnya keadaan memaksa (force majeure). Keadaan memaksa ini adalah keadaan yang terjadi diluar kuasa dari para pihak yang bersangkutan,

53 Ibid, hlm 89

seperti terjadi bencana alam. Secara umum prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha (produsen), yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen.

e. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability) Prinsip ini sangat disenangi oleh produsen untuk dicantumkan sebagai klausul pengecualian kewajiban dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen apabila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.54

4. Hak-hak Konsumen terhadap Produk yang Di Beli

Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Ditambah dengan globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi kiranya memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa.

Akibatnya barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.55 Larangan terhadap pelaku usaha yang terdapat dalam Pasal 9 Ayat (2) ini, membawa akibat bahwa pelanggaran atas larangan tersebut dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum.56

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara memberikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam kepentingan tersebut.

Kekuasaan ini dilakukan secara terukur yaitu telah ditentukan keluasan dan

54 Celine Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hlm 92-97

55 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit,hlm. 37

56 Ibid, hlm 91

kedalamannya yang dapat disebut sebagai hak. Setiap kekuasaan dalam masyarakat tidak dapat disebut sebagai hak, karena kekuasaan itu tertentu saja yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.57 Hak tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi juga kehendak.58

Supaya hak-hak konsumen itu sempurna harus memenuhi tiga syarat, yakni hak itu dibutuhkan untuk perkembangan manusia, hak itu diakui oleh masyarakat dan hak itu dinyatakan demikian dan karena itu dilindungi dan dijamin oleh lembaga negara.59 Di Indonesia hak-hak konsumen diatur didalam Pasal 4 UUPK, terutama huruf b yang menyatakan “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”, dan huruf c menyatakan bahwa “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”. Dengan menggunakan kedua ayat pada Pasal 4 UUPK ini, maka dapat diketahui bahwa konsumen berhak atas segala janji yang dijanjikan oleh pelaku usaha dalam mempromosikan barang dan/atau jasa serta berhak atas segala informasi terkait dengan barang dan/atau jasa. Untuk itu dapat dikatakan bahwa pelaku usaha disisi lain berkewajiban untuk menepati janji-janji serta memberikan segala informasi terkait barang dan/atau jasa.60

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen tersebut. Produk barang dan/atau jasa itu

57 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm 53

58 Ibid

59 Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm. 50.

60 Ibid.

tidak boleh membahayakan, jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.61

5. Jenis-Jenis Produk dan Standarisasi

Produk adalah segala barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk berkaitan dengan teknologi.62 Produk terdiri atas barang dan/atau jasa. Pasal 1 angka 4 UUPK barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai dan/atau dimanfaatkan oleh konsumen.

Standarisasi berfungsi membantu menjembatani kepentingan konsumen dan pelaku usaha dengan menetapkan standard produk yang tepat dapat memenuhi kepentingan dan mencerminkan aspirasi kedua belah pihak. Dengan adanya standarisasi produk ini akan memberi manfaat yang optimum pada konsumen dan pelaku usaha, tanpa mengurangi hak milik konsumen.63

Jika suatu produk telah distandarisasi/disertifikasi, maka produk tersebut harus benar-benar memberikan jaminan atas kualitas dan keamanan dari produk yang bersangkutan. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa jika suatu produk telah memenuhi standar dan tersertifikasi, maka produk tersebut dipastikan akan memberikan jaminan dan perlindungan kepada konsumen. Namun dalam kenyataannya masih banyak ditemui produk-produk

61 Celine Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hlm 33

62 Janus Sidabalok, Op.Cit, hlm 15

63 Ibid, hlm 16

yang telah berstandar dan bersertifikasi masih merugikan konsumen, apalagi terhadap produk-produk yang belum memenuhi standar dan tersertifikasi.64

Seringkali konsumen merasa dirugikan atas beredarnya produk.

Misalnya yang sempat heboh adalah adanya produk susu kemasan yang mengandung melamin, ketidakhalalan bumbu masak ajinomoto, permen yang mengandung zat adiktif, tempe bongkrek yang beracun dan masih banyak lagi produk yang beredar di pasaran, terutama produk-produk home industry yang belum memenuhi standar mutu yang ditentukan.65

B. Penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Hukum Perdata

UUPK dan peraturan perundang-undangan lainnya yang materinya juga ada yang mengatur tentang perlindungan konsumen tidak ada yang merumuskan tentang pengertian atau definisi tentang hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Istilah hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen sudah seringkali kita dengar, namun belum jelas benar apa yang masuk ke dalam materi keduanya, apakah beda keduanya identik.66

Hukum perlindungan konsumen atau kadangkala dikenal juga dengan hukum konsumen (consumers law).67 Menurut Lowe, secara umum hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen yakni “…rule of law which

64 Tami Rusli, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Pranata Hokum Volume 7 Nomor 1 Januari 2012, hlm 81

65 Ibid

66 Shidarta, Op.Cit, hlm 11

67 Gunawan Wijaya, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm.12.

recognize the bargaining weakness of the individual cannot unfairly exploited”.68 Jadi sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan (berkaitan satu sama lain) dan ditarik batasnya.

Hukum perlindungan konsumen membicarakan sejumlah hak konsumen yang perlu mendapat perlindungan hukum. Hak-hak tersebut adalah hak konsumen sebagai pribadi yang juga warga masyarakat (burger). Hak-hak konsumen itu adalah hak keperdataan yang dilindungi oleh perundang-undangan. Jika dilihat dari lahirnya hak sebagai hak konsumen, sebagian diantaranya adalah hak yang timbul karena adanya perjanjian, yaitu transaksi antara konsumen dan pelaku usaha, yaitu upaya atau cara yang ditempuh konsumen untuk mendapatkan produk seutuhnya. Umumnya produk sampai ke tangan konsumen melalui suatu peristiwa hukum yang disebut perjanjian.

Perjanjian berada dalam hukum perdata.69

Sebagai hak keperdataan, konsumen harus memperjuangkan sendiri haknya melalui saluran-saluran hukum perdata dan institusi hukum perdata yang disediakan oleh negara. Jelasnya jika seorang konsumen dilanggar haknya dan karena itu menimbulkan kerugian baginya, konsumen itu dapat mengajukan tuntutan secara perdata untuk mempertahankan dan/atau mendapatkan kembali haknya itu. Tuntutan diajukan ke pengadilan menurut ketentuan hukum yang berlaku. Persoalan untuk mendapatkan penggantian kerugian adalah masalah hukum perdata dan pemenuhannya ditempuh melalui

68 Shidarta, Loc.Cit.

69 Janus Sidabalok, Op.Cit, hlm 50

peradilan perdata. Jadi penegakan hukum atas hak-hak konsumen dapat ditempuh secara perdata melalui penggunaan ketentuan-ketentuan hukum perdata dan institusi hukum perdata.70

Regulasi transaksi perdagangan di Indonesia pada dasarnya mengacu kepada perjanjian yang didasarkan pada hukum perdata, dimana setiap orang (termasuk badan hukum) dapat melakukan perjanjian dalam bentuk apapun, tentang apapun, cara apapun. Pengaturan ini merupakan penerapan asas yang berlaku dalam hukum perdata.71

C. Smartphone yang termasuk dalam Kategori Black Market

Era perdagangan bebas di mana arus barang dan/atau jasa dapat masuk ke semua negara dengan bebas, maka yang seharusnya terjadi adalah persaingan jujur. Persaingan jujur adalah suatu persaingan di mana konsumen dapat memiliki barang dan/atau jasa karena jaminan kualitas dengan harga yang wajar. Oleh karena itu pola perlindungan konsumen perlu diarahkan pada pola kerjasama antarnegara, antarsemua pihak yang berkepentingan agar terciptanya suatu model perlindungan yang harmonis berdasarkan atas persaingan jujur.72

Keberadaan smartphone pada saat ini telah menjadi salah satu pelengkap di era globalisasi. Perkembangan telekomunikasi yang berlangsung

70 Ibid.

71 Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ctk. Tiga puluh Sembilan, Jakarta, Dnya Paramita, 2008. hlm 68-69

72 Sri Redjeki Hartono, Aspek-Aspek Perlindungan KonsumenPada Era Perdagangan Bebas, (Makalah) Dalam Dalam Erman Rajagukguk, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan l. Bandung, Mandar Maju, 2000, hlm. 38

sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan yang mendasar dan melahirkan lingkungan telekomunikasi baru. Beberapa masyarakat mencari smartphone dengan harga yang sangat murah tetapi memiliki bentuk atau kondisi fisik yang sempurna. Masuknya smartphone ke dalam wilayah negara Indonesia biasanya ditangani langsung oleh distributor resmi. Distributor smartphone di Indonesia biasanya memberikan jaminan atau garansi disetiap produk yang diedarkannya, tujuannya untuk menghindari dan mengatasi segala kemungkinan dan resiko-resiko yang dapat mengurangi fungsi maupun nilai dari smartphone tersebut. Lain halnya dengan black market smartphone bekas merupakan smartphone yang dijual secara ilegal dimana barang tersebut masuk tidak melalui jalur resmi atau distributor resmi. Dikarenakan tidak dilengkapi jaminan atau garansi yang dapat mengalihkan resiko-resiko yang nantinya barang tersebut bermasalah atau cacat produksi akan merugikan konsumen itu sendiri, sebab tidak adanya suatu jaminan atau garansi.73

Apabila nantinya ditemukan adanya kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk barang replika tersebut yang berupa kerugian materi, maka akan didasarkan pada beberapa ketentuan yaitu ketentuan tuntutan ganti rugi berdasar wanprestasi dan berdasar hukum.74

Konsumen yang membeli ponsel yang tak mengetahui bahwa perangkat yang dibeli adalah ilegal atau black market, konsumen bisa meminta ganti rugi ke pelaku usaha aturan IMEI resmi berlaku. Konsumen memiliki hak meminta

73 Faillasuf Septanu Adivon, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penjualan Telepon Seluler Replika, Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2015, hlm.3

74 Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Husada, 2011, hlm 71

ganti rugi jika mengetahui nomor IMEI ponsel yang dibelinya tidak valid atau belum teregistrasi. Ketentuan tersebut telah telah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 19. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang, penggantian barang, dan atau dalam bentuk lain.75

Direktur Pengawasan Barang dan Jasa Kementerian Perdagangan, mengemukakan bahwa agar para penjual dapat mengecek perangkat dari produsen atau importir dan memastikan bahwa IMEI ponsel yang akan dijual sudah valid dan teregistrasi di Kementerian Perindustrian. Tidak hanya pedagang offline, juga berlaku bagi pedagang online yang menjual produknya di commerce. Terkait dengan hal tersebut Kemendag meminta Indonesia e-commerce association yang mengasosiasi marketplace, untuk meminta anggotanya mengawasi merchant atau pedagang online. Marketplace ini bertanggung jawab atas merchant-merchat yang gabung di dalam marketplace itu untuk memperdagangankan perangkat tadi.76

D. Hubungan Hukum antara Produsen dengan Konsumen

Secara umum hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen merupakan hubungan yang berkesinambungan dan lahir dari adanya hukum permintaan dan penawaran dalam pasar. Hubungan hukum tersebut lahir dari

75 Wahyunanda.Kusuma, konsumen-bisa-minta-ganti-rugi-ke-penjual-jika-ponsel-yang-dibeli-ternyata-bm?page=all https://tekno.kompas.com/ read/2020/04/16/13000077/

diakses tanggal 13 Maret 2021 Pukul 21.08 Wib

76 Ibid.

kehendak kedua belah pihak dan keduanya saling memiliki ketergantungan satu sama lain.77 Hubungan hukum konsumen dan pelaku usaha dapat dicermati dari pengertian keduanya dalam ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 1 angka 2 UUPK menentukan “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Sedangkan Pelaku Usaha adalah mereka yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 UUPK.

Ruang lingkup yang melekat dalam hubungan pelaku usaha dan konsumen sebenarnya dibagi dalam dua dimensi hukum yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, dan tingkat pendidikan. Sementara, hukum perlindungan konsumen merupakan genus dari hukum konsumen yang mengatur dan melindungi kepentingan konsumen.78 Hukum perlindungan konsumen dapat juga didefinisikan sebagai keseluruhan peraturan perundang-undangan serta putusan hakim yang secara substansi mengatur kepentingan konsumen.79 Hukum perlindungan konsumen lahir dari adanya keasadaran konsumen bahwa adanya hubungan hukum yang

77 Zulham. Op.Cit, hlm 21

78 Firman Tumantara Endipradja. Hukum Perlindungan Konsumen (Filosofi Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Politik Hukum Negara Kesejahteraan). Malang:

Setara Press, Malang, 2016, hlm 21

79Inosentius Samsul. Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Jakarta, Universitas Indonesia, 2004, hlm 91

tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Secara sosiologis, hukum perlindungan konsumen hadir untuk memberikan kepastian hukum yang melindungi kepentingan konsumen. Hal ini mengingat konsumen seringkali ada dalam posisi pihak lebih lemah dari pelaku usaha.80 Konsep hukum perlindungan konsumen juga lahir dari gerakan perlindungan konsumen yang menjunjung tinggi perlindungan hak-hak konsumen dalam hubungan horizontal antara masyarakat dan pelaku usaha yang tidak lepas dari praktik eksplotasi.81

Lazimnya produk yang sampai ke tangan konsumen telah melalui tahap kegiatan perdagangan yang panjang mulai dari produsen-pelaku pembuat (pabrik), distributor, pengecer, hingga ke konsumen. Masing-masing pihak merupakan unit-unit kegiatan perdagangan dengan peranan tersendiri pula.

Semua pihak yang terkait dalam pembuatan suatu produk hingga sampai ke tangan konsumen disebut produsen. Seorang konsumen yang memakai atau mengonsumsi produk dapat memperolehnya dari pasar dengan cara membeli, atau dari pihak lain dengan tanpa membeli.82

Hubungan hukum dapat terjadi antara sesama subjek hukum dan antara subjek hukum dengan benda. Hubungan antara sesama subjek hukum dapat terjadi antara orang, orang dengan badan hukum, dan antara sesama badan hukum. Hubungan hukum antara subjek hukum dengan benda berupa hak apa yang dikuasai oleh subjek hukum itu atas benda tersebut, baik benda berwujud,

80 Firman Tumantara Endipradja, Loc.Cit.

81 Inosentius Samsul, Loc.Cit

82 Janus Sidabalok, Op.Cit, hlm 57

benda bergerak, atau benda tidak bergerak.83 Hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen:

1. Hubungan langsung

Hubungan langsung yang dimaksud adalah hubungan antara produsen dan konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian. Tanpa mengabaikan jenis perjanjian-perjanjian lainnya, pengalihan barang dari produsen kepada konsumen, pada umumnya dilakukan dengan perjanjian jula beli, baik yang dilakukan secara lisan maupun tertulis.84

2. Hubungan tidak langsung

Hubungan tidak langsung yang dimaksud pada bagian ini adalah hubungan antara produsen dengan konsumen yang tidak secara langsung terkait dengan perjanjian, karena adanya pihak diantara pihak konsumen dan produsen. Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk perjanjian antara pihak produsen dengan konsumen ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti kerugian kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki hubungan perjanjian, karena dalam hukum perikatan tidak hanya perjanjian yang melahirkan (merupakan sumber) perikatan, akan tetapi dikenal ada dua sumber perikatan yang berupa undang-undang, ini masih dapat dibagi lagi dalam undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan perbuatan manusia, yaitu yang sesuai hukum dan yang melanggar hukum. Berdasarkan pembagian sumber perikatan tersebut, maka sumber perikatan yang terakhir, yaitu

83 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prenanda Media Grup, 2012, hlm, 254

84 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Op.Cit, hlm. 4-6.

undang karena perbuatan manusia yang melanggar hukum merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen.85

E. Manfaat dan Fungsi Pengawasan terhadap Perlindungan Konsumen Untuk memenuhi tujuan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UUPK, perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap terselenggaranya perlindungan konsumen pertama-tama ditujukan kepada produsen.86

Konsumen senantiasa berada pada posisi lemah dan dirugikan. Perlu ada aturan yang dapat menjembatani kepentingan pelaku usaha dan kepentingan konsumen karena dua pihak tersebut bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, saling membutuhkan tidak mengambil keuntungan kemudian dibiarkan merugi, tidak ada bentuk pertanggungjawaban dan perlindungan bagi pihak yang dirugikan.87

Konsumen senantiasa berada pada posisi lemah dan dirugikan. Perlu ada aturan yang dapat menjembatani kepentingan pelaku usaha dan kepentingan konsumen karena dua pihak tersebut bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, saling membutuhkan tidak mengambil keuntungan kemudian dibiarkan merugi, tidak ada bentuk pertanggungjawaban dan perlindungan bagi pihak yang dirugikan.87

Dokumen terkait