BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
B. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen
Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum ini. Tentunya prinsip-prinsip tersebut bukan sesuatu yang khas hanya terdapat dalam hukum perlindungan konsumen, akan tetapi juga diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang, tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang meningkat.
Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Prinsip-prinsip tersebut antara lain47 :
a. Let The Buyer Beware
46
Ibid., hal. 305-306
47
Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor sebagai embrio lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagai konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya, konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan kemampuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Akhirnya konsumen didikte oleh pelaku usaha, jika konsumen mengalami kerugian, pelaku usaha dapat dengan ringan berdalih hal itu karena kelalaian konsumen itu sendiri.
b. The Due Care Theory
Prinsip ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan. Untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha melanggar prinsip kehati-hatian.
c. The Privity of Contract
Prinsip ini menyatakan pelau usaha mempunyai kewajiban uintuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan, artinya konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat sejumlah asas yang terkandung di dalam usaha memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Asas-asas tersebut antara lain :
1. Asas Manfaat
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dalam arti materil dan spirituil.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 adalah :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Dalam penerapan hukum pidana di bidang perlindungan konsumen dikenal beberapa asas baru yang selama ini cenderung belum diterapkan dalam penggunaan hukum pidana, terutama dalam KUHP, asas-asas tersebut antara lain :
1. Asas Pembuktian Terbalik
Sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijsslast) merupakan sistem baru dalam hukum pidana. Pembuktian terbalik yang dikenal dalam sistem pertanggungjawaban pidana ini berbeda dengan sistem pembuktian konvensional, dimana seseorang yang mengajukan sesuatu dalil, dalam hal ini jaksa penuntut umum, membuat dakwaan atau tuduhan melakukan perbuatan pidana kepada pelaku usaha, maka jaksa penuntut umum tersebutlah yang dibebani kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa.
Namun dengan asas pembuktian terbalik, terdakwa dibebankan kewajiban untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepadanya. Dalam Pasal 22 UUPK beban pembuktian terbalik tidak semata-mata dibebankan kepada terdakwa (pelaku usaha), tetapi jaksa penuntut umum juga mempunyai hak untuk melakukan pembuktian jika dipandang perlu.
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.
Pasal 61 UUPK menentukan, penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan atau pengurusnya. Pasal ini menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang konsumen. Korporasi dikualifikasikan sebagai subjek tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan disamping orang atau pengurus. Dengan demikian criminal liabilty dapat dibebankan baik kepada direksi, pengurus atau pimpinan suatu perusahaan (sifatnya factual leader), maupun juga terhadap person pemberi perintah dari perusahaan itu (instuction giver). Kesimpulan itu berangkat dari kemampuan korporasi melakukan tindak pidana dan kemampuan korporasi untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
3. Vicarious Liability
Dalam teori pertanggungjawaban pidana, pelaku usaha tidak dapat berdalih bahwa suatu perbuatan yang ada dilingkungan usahanya bukan dilakukannya, atau bukan atas perintahnya. Pelaku usaha dalam sistem hukum pidana tertentu dituntut bertanggung jawab atas setiap perbuatannya termasuk perbuatan orang lain tetapi masih di dalam lingkungan aktivitas usahanya atau akibat bersumber dari aktivitasnya yang dapat merugikan orang lain.
Vicarious Liabilty dapat diidentifikasi oleh undang-undang jika timbul hal-hal sebagai berikut :48
a. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang lain bilamana seseorang tersebut telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada
48
Hamzah Hatrik, Asas-Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability Dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 116
orang lain. Disini dibutuhkan suatu syarat tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan (the delegation principle)
b. Seorang majikan dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik atau jasmaniah dilakukan oleh buruh atau pekerja, jika menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikannya (the servants act is the matters act in law)