• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM PIDANA SEBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM PIDANA SEBA"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

S k r i p s i

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

O l e h :

J A M I L H A N D Y

0 3 0 2 0 0 1 4 5

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

S k r i p s i

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

O l e h :

J A M I L H A N D Y

0 3 0 2 0 0 1 4 5

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Abul Khair S.H, M.Hum

NIP : 131 842 854

Pembimbing I Pembimbing II

Nurmalawaty S.H, M.Hum Rafiqoh Lubis S.H, M.Hum

NIP : 131 803 347 NIP : 132 300 076

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

i

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,

Alhamdulilliahi Robbil „alamiin, puji dan syukur sudah sepantasnya

Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang atas berkat dan

rahmatnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini

Penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Shalawat dan salam juga tidak lupa penulis sampaikan kepada junjungan

besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan

dan kezaliman kealam yang terang benderang berilmu pengetahuan seperti

sekarang ini. Skripsi ini berjudul “ IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM

PIDANA SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP

KONSUMEN (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan) “.

Pemilihan judul ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan Penulis terhadap

posisi dan kedudukan konsumen. Dengan disadari ataupun tanpa disadari,

konsumen seringkali menjadi korban dari perbuatan pelaku usaha yang merugikan

konsumen, apalagi dengan posisi konsumen yang lemah dibandingkan dengan

posisi pelaku usaha pada saat bersinggungan dengan lapangan hukum baik pidana

maupun perdata.

Besar harapan Penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi

para pembaca dan ilmu pengetahuan, terutama bagi Penulis sendiri, walaupun

(4)

ii

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis banyak mendapatkan bantuan,

bimbingan serta masukan dari Bapak dan Ibu Dosen, oleh karena itu sudah

sepatutnya Penulis mengucapkan terima kasih yakni kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan dan sekaligus Dosen Wali Penulis selama

masa perkuliahan.

3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH. MH. DFM, selaku Pembantu Dekan

II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak M. Husni, SH. MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Abul Khair S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Ibu Nurmalawaty S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I

yang telah memberi petunjuk dan bimbingan sehingga skripsi ini selesai.

7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberi petunjuk dan bimbingan dengan sabar sehingga skripsi ini selesai.

8. Dosen-Dosen Pengajar dan Pegawai pada Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

9. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera

(5)

iii

Dalam menuntut ilmu di Fakultas Hukum yang penuh perjuangan, suka

dan duka maka Penulis kiranya tidak dapat melupakan segala bantuan dan

dorongan dari berbagai pihak, sehingga sudah seharusnya Penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Kedua orangtua penulis yang tercinta yaitu Ayahanda Rizal Ritonga SP dan

Ibunda Mahmiatun SPd yang telah memberikan segalanya bagi penulis baik

materil maupun moril sehingga Penulis dapat melangkah sampai sekarang

ini. Doa dan bimbingannya selalu Andy harapkan agar dapat membahagiakan

dan membanggakan bagi ayah dan mamak.

2. Adik-Adik Penulis yaitu Irfan Azhari, Hafiz Ihsan dan Rita. Yang telah

menjadi sahabat, teman bermain maupun sebagai kompetitor bagi Penulis

yang telah memberikan perhatian dan motivasi selama ini. Jangan sia-siakan

perjuangan orang tua kita, kesuksesan dimulai dari pendidikan, jangan

pernah berhenti untuk menuntut ilmu

3. Buat Keluarga Besar Alm. H. Djafar Yahya di Dolok Masihul dan di Medan

dan keluarga Besar Alm. M. Yusuf Udin Ritonga di Rantau Prapat, terima

kasih atas dukungannya.

4. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas

Hukum USU yang memberikan kesempatan bagi Penulis untuk menempah

diri dan sebagai wadah Penulis untuk beraktivitas dan bereksperimen dalam

kehidupan kampus. Bahagia HMI, Yakin Usaha Sampai.

5. Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Kelompok Aspirasi Mahasiswa Madani

(6)

iv

6. Pengurus HMI Komisariat Fakultas Hukum USU peride 2006-2007, terima

kasih atas segala prosesnya.

7. Buat Muslih “Pakem”, Reza Kiss, Sersan Mayor Taruna Zainul Fachri, Lukfi, Gatot, Fauzan, Manov, Butong, Sem Maliki, Andi Jin, Winda, Cipta

dan Maharani SH. Terima kasih atas kebersamaannya.

8. Buat Kakanda Dedy Irsan SH, Khomaidi Hambali Siambaton SH, Paul D

Sinulingga SH, Zulfikri Lubis SH, Ahmad Junaidi Lubis, Rinaldi, Rifai

Damanik dan Rini Mirza, Maratua Harahap, Wahana, Jefri Witantra

Nasution, Iqbal Adjo, Fauzi SH, A. Hadi Siregar SH, Bobby TM Sebayang

SH, Muksin Hasibuan SH, Ivan Sankrang, Yolanda Septina SH, Indah

Prasetyowati SH, Intan Harahap SH. Terima kasih atas kebersamaannya

9. Rekan-rekan Penulis angkatan 2003 khususnya teman-teman klinisku, Fidia

Ulfa, Juwita Nainggolan, Rafida Aflah, Ernita, Mimi, Mega, Adra, Arpan,

Sihol Junior, Ari Matumona, Kanin, Ahmad Aman, Obrika, Lae Polda

Simbolon, Frans Sinaga, Dolok, Eric, Agus Rinaldi, Kiki, Budi Brahim, Rise

dan lain-lain yang belum disebutkan disini yang telah memberikan

kontribusinya kepada Penulis.

10. Anak-anak Griyasana, buat Bang Juned, Chandra, Nazli dan Fitri, Kancil,

Piyans ST, Jack, Hasan, Ali, Kodok, Iwan, Syaiful, Taufik Adjo S.Sos,

Novanda Syahputra S.Sos, Novie PKL, Dhanie, Tika.

11. Buat Puput, Ilham P. Lubis, Nico, Heri dan Citra, Alm. Syaiful Bahri, Rudi,

Ilmi, Yowa, Suthe, Erni, Tyas, Putri, Teteh, Dara, Fitri, Zaki, Agus Daulay,

(7)

v

12. Buat Putra Halomoan, Erwin, Khoiruddin, Iqbal, Diki, Dudi, Arief, Wesi,

Samsul, Sadli, Fauzi, Sahnal, Dhini.

13. Buat Sheila Miranda Hasibuan, terima kasih atas kesempatan untuk kembali

merasakan yang selama ini telah hilang, suatu kebahagian yang tak terhingga

untuk dapat mengenal kembali rasa itu. Kebahagian yang sejati dapat

dirasakan ketika dapat melihat orang lain bahagia. Hasil bukan merupakan

segalanya, suatu proses yang dilakukan dengan usaha dan kerja keras

membuat sesuatu menjadi lebih matang dan bermakna. Semoga semua rasa

ini menjadi pengalaman, motivasi dan semangat yang akan selalu mendorong

ke arah yang lebih maju dan lebih baik. Hasta La Victoria Siempre

14. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh

karenanya Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi

kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu

pengetahuan. Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2007

Penulis,

(8)

vi DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAKSI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

1. Pengertian Tindak Pidana ... 10

2. Pengertian Pidana dan Pemidanaan ... 14

3. Pengertian Perlindungan Konsumen ... 22

4. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan ... 28

F. Metode Penelitian... 30

G. Sistematika Penulisan ... 32

BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen... 34

B. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen ... 42

C. Hak-Hak Konsumen ... 48

(9)

vii

BAB III KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR

PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN ... 57

A. Pengaturan Perlindungan Terhadap Konsumen Dengan Ketentuan Hukum Pidana Di Dalam KUHP ... 57

B. Pengaturan Perlindungan Terhadap Konsumen Dengan Ketentuan Hukum Pidana Di Dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ... 68

C. Pengaturan Perlindungan Terhadap Konsumen Dengan Ketentuan Hukum Pidana Di Luar KUHP dan Undang Undang Perlindungan Konsumen ... 77

BAB IV IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM PIDANA SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN ... 102

A. Kasus Posisi ... 102

1. Perkara No. 54/Pid.B/2003/PN.MDN ... 102

2. Perkara No. 1.805/Pid.B/2005/PN.MDN ... 107

B. Analisa Kasus... 114

1. Perkara No. 54/Pid.B/2003/PN.MDN ... 114

2. Perkara No. 1.805/Pid.B/2005/PN.MDN ... 118

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 126

A. Kesimpulan ... 126

B. Saran ... 129

(10)

viii ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul “Implementasi Ketentuan Hukum Pidana Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Konsumen (Studi Kasus Di Pengadilan negeri

Medan)”. Skripsi ini merupakan tugas akhir Penulis untuk memenuhi syarat -syarat dan tugas dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Perlindungan terhadap konsumen merupakan sesuatu yang mutlak untuk dilakukan, hal ini timbul seiring dengan kemajuan zaman terutama menyangkut kedudukan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sebagai pemakai barang maupun jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Dalam kedudukannya sebagai penikmat barang maupun jasa seringkali konsumen dirugikan oleh perbuatan pelaku usaha, baik dalam kaitannya dengan hubungan perdata maupun hukum pidana. Oleh karena itu penggunaan ketentuan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan konsumen dapat dilaksanakan sebagai sarana represif dan dapat memberikan rasa keadilan dalam masyarakat.

Adapun permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah bagaimana sejarah perkembangan perlindungan konsumen, peraturan-peraturan mana sajakah yang mengatur perlindungan terhadap konsumen dengan ketentuan hukum pidana dan bagaimana implementasi hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan menginventarisir ketentuan hukum pidana dalam berbagai hukum positif yang berkaitan dengan perlindungan terhadap konsumen dan dengan menganalisis putusan pengadilan negeri untuk melihat bagaimana implementasi ketentuan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk

meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia, baik materil maupun spiritual,

yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok. Tujuan lain adalah mencerdaskan

kehidupan bangsa, yang berarti bahwa tersedianya pendidikan dalam arti luas bagi

seluruh rakyat. Kesejahteraan dan kecerdasan itu merupakan wujud dari

pembangunan yang berprikemanusiaan sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila

yang telah diterima sebagai falsafah dan ideologi negara Indonesia serta

Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang-Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan

bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk memperoleh hidup yang layak bagi

kemanusiaan. Untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan itu dalam

rangka mewujudkan kesejahteraan dan kecerdasan, perlu penyediaan barang dan

jasa dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan dengan harga yang

terjangkau bagi masyarakat.

Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia telah tumbuh dan

berkembang banyak industri barang dan jasa, baik yang berskala besar maupun

kecil, terutama sejak dilaksanakannya pembangunan nasional secara bertahap dan

terencana melalui rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Pertumbuhan dan

perkembangan industri barang dan jasa di satu pihak membawa dampak positif,

antara lain tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang

(12)

kebutuhannya1. Akan tetapi, di lain pihak terdapat dampak negatif yaitu dampak

penggunaan dari teknologi itu sendiri serta prilaku bisnis yang timbul karena

makin ketatnya persaingan yang mempengaruhi masyarakat konsumen.

Para produsen atau pelaku usaha akan mencari keuntungan yang

setinggi-tingginya sesuai dengan prinsip ekonomi. Dalam rangka mencapai untung yang

setinggi-tingginya itu, para produsen/pelaku usaha harus bersaing antar sesama

mereka dengan prilaku bisnisnya sendiri-sendiri yang dapat merugikan

konsumen.2

Oleh karena itu secara mendasar konsumen membutuhkan perlindungan

hukum mengingat lemahnya kedudukan konsumen dibandingkan kedudukan

produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal3. Perlindungan terhadap

konsumen dipandang secara materil maupun formil terasa sangat penting,

sehingga diperlukan campur tangan negara melalui penetapan sistem perlindungan

konsumen. Secara politis perlunya perlindungan hukum bagi konsumen secara

umum sudah dinyatakan di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)

antara lain melalui Ketetapan MPR RI Nomor II Tahun 1988 dan Ketetapan MPR

RI Nomor II Tahun 1993, meskipun keduanya memakai istilah yang agak berbeda

di mana GBHN 1988 memakai istilah menjamin kepentingan konsumen dan

GBHN 1993 memakai istilah melindungi kepentingan konsumen.

1

Sri Wahyuni Endang, Aspek Hukum Sertifikasi Dan Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 8

2

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 2

3

(13)

Sebelum keluarnya Undang Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun

1999, prinsip-prinsip pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia bukan

berarti tidak ada sama sekali. Ada tiga bidang hukum yang memberikan

perlindungan secara umum bagi konsumen yaitu bidang hukum perdata, pidana

dan administrasi negara4.

Perlindungan hukum di bidang perdata diadakan bertitik tolak dari tarik

menarik kepentingan antar sesama anggota masyarakat. Jika seseorang merasa

dirugikan oleh masyarakat lain tentu ia menggugat pihak lain itu agar bertanggung

jawab atas perbuatannya. Dalam hal ini diantara mereka mungkin saja sudah

terdapat hubungan hukum berupa perjanjian atau perikatan, hubungan hukum

tersebut juga dapat muncul karena undang-undang. Jika seseorang sebagai

konsumen mempunyai hubungan hukum berupa perjanjian dengan pihak lain, dan

pihak itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama maka konsumen berhak

menggugat lawannya berdasarkan melakukan wanprestasi (cidera janji)5.

Secara hukum pidana, tuntutan tidak lagi semata-mata karena pihak lain

melanggar perjanjian. Filosofi dari penuntutan secara pidana lebih luas dari itu,

yaitu untuk melindungi masyarakat dari tindak pidana tertentu. Perlindungan

demikian itu diberikan oleh negara kepada warga masyarakatnya. Untuk itu

penuntutan secara pidana tidak dibebankan kepada perorangan, tetapi kepada

suatu instansi pemerintah yaitu kejaksaan.

4

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 48

5

(14)

Dalam lapangan hukum administrasi negara, perlindungan yang diberikan

biasanya lebih bersifat tidak langsung, preventif dan proaktif. Pemerintah

biasanya mengeluarkan berbagai ketentuan normatif yang membebani pelaku

usaha dengan kewajiban tertentu. Sebagai contoh hasil produksi harus memenuhi

standar kualitas yang telah ditetapkan, limbah harus di bawah ambang batas, harga

jual yang dikendalikan dan sebagainya.

Contoh kasus yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen

yakni yang terjadi pada awal tahun 1989, masyarakat dihebohkan dengan kasus

biskuit beracun (CV Gabisco)6. Kasus bermula dari kematian dari beberapa

konsumen biskuit produksi CV Gabisco, yang pabriknya terletak di kawasan

Tangerang. Peristiwa ini menelan korban 29 orang, selain itu tidak sedikit yang

sakit, muntah, pingsan dan yang dirawat dirumah sakit. Korban berjatuhan tidak

hanya di Tangerang, akan tetapi sudah meluas sampai ke Sumatera Selatan, Jambi

bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Kematian-kematian beruntun ini menyulut

suatu histeria massa sehingga orang tidak mau lagi mengkonsumsi biskuit pada

saat itu (tahun 1989). Omzet penjualan biskuit semua merek menurun drastis,

sehingga mengancam kelangsungan pabrik-pabrik biskuit di berbagai daerah di

Indonesia.

Kasus yang juga sempat menghebohkan adalah kasus bumbu penyedap

makanan Ajinomoto yang mengandung bactosoytone yang diekstarsikan dari daging babi, padahal pada label kemasannya dicantumkan label halal. Hal ini

6

(15)

tentu saja mengundang reaksi yang sangat keras dari masyarakat terutama umat

Islam. Beberapa orang dari pihak Ajinomoto kemudian ditangkap dan produk

Ajinomoto ditarik dari pasaran.

Kasus-kasus di atas merupakan sebagian kecil dari pelanggaran hak-hak

konsumen yang mencuat ke permukaan. Masih banyak lagi kasus-kasus lain yang

dibiarkan begitu saja oleh masyarakat karena masyarakat enggan mengajukan

gugatan ganti rugi maupun melaporkan kepada pihak yang berwajib atas

pelanggaran hak-haknya sebagai konsumen. Kondisi ini dilatarbelakangi alasan

beragam, alasan yang paling dominan adalah tidak mau repot, khawatir urusan

akan lebih panjang dan tidak mau terlibat urusan di kepolisian. Masyarakat juga

pesimistis laporannya akan ditanggapi dengan baik, sebagian masyarakat malah

takut kasus yang menimpanya akan menimbulkan kehebohan jika mereka

mengadukan kasus yang menimpanya7.

Kecenderungan yang demikian merupakan gambaran objektif suatu

budaya masyarakat yang permisif8. Pola masyarakat yang permisif justru semakin

merugikan masyarakat itu sendiri. Pihak-pihak lain di luar masyarakat yang tidak

menjadi korban tidak akan mengetahui apa yang sesungguhnya yang menimpa

masyarakat. Para pengusaha dan pemerintah tidak mengetahui masalah yang

diakibatkan tindakannya jika tidak ada pengaduan dari konsumen. Pada saat yang

sama, para pengusaha tidak akan terdorong untuk mengambil langkah preventif

melindungi konsumen karena mengira tidak ada yang salah dengan produknya.

7

Warta Konsumen No. 1, Januari 2005/XXX

8

(16)

Pihak produsen cenderung merespon peristiwa yang merugikan

masyarakat dengan cara memojokkan konsumen dan mencari kelemahan korban,

untuk menutupi dan melepaskan tanggungjawabnya. Sebuah rumah sakit misalnya

bisa dengan gampang menuduh pasien yang meninggal dunia sebagai pengidap

penyakit yang sangat berbahaya, seperti penyakit AIDS untuk menangkis tuduhan

adanya kesalahan penanganan oleh pihak rumah sakit9 .

Untuk mewujudkan suatu sistem perlindungan konsumen yang baik dapat

digunakan dua sistem hukum yang ada yaitu hukum publik dan hukum privat.

Umumnya yang termasuk ke dalam kelompok hukum publik adalah keseluruhan

peraturan hukum yang mengandung/memuat norma-norma kepentingan umum

sedangkan hukum privat mengatur kepentingan hukum yang bersifat perorangan.

Hak-hak konsumen dapat ditegakkan secara perdata dan juga secara pidana, yaitu

memakai KUHPerdata dengan HIR/RBG serta KUHPidana dengan KUHAP.

Seorang konsumen yang dirugikan haknya dapat mengajukan tuntutan

penggantian kerugian dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan dan

sebaliknya dalam hal tertentu seorang produsen yang menimbulkan kerugian

kepada konsumen dapat dituntut pertanggungjawabannya secara pidana.

Hak-hak konsumen yang bersifat publik dapat dipertahankan melalui

hukum pidana. Perbuatan produsen yang menimbulkan kerugian kepada

konsumen dalam tingkatan dan kompleksitas tertentu mungkin saja berdimensi

kejahatan. Artinya perbuatan produsen yang merugikan/melanggar hak konsumen

dan bertentangan dengan norma-norma hukum pidana dapat dikategorikan sebagai

9ibid

(17)

tindak pidana, karena itu diselesaikan dengan hukum pidana dan memakai

instrumen pidana. Berdasarkan pemikiran defence social yang berkembang sejak akhir abad ke 19 yaitu adanya upaya yang menjadikan hukum pidana tidak lagi

sebagai alat pembalasan semata-mata, maka penggunaan hukum pidana dalam

bidang perlindungan konsumen dapat diterima sebagai cara untuk memberikan

perlindungan hukum bagi konsumen dan untuk mengarahkan masyarakat ke

penataan hukum yang lebih baik.

Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas

masalah implementasi hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap

konsumen. Hal tersebut dikarenakan tindak pidana yang terjadi terhadap

konsumen selain merugikan konsumen juga dikategorikan sebagai tindak pidana

di bidang ekonomi karena ada kepentingan ekonomi didalamnya yang hendak

dilindungi, agar tatanan perekonomian nasional tetap langgeng, berkembang baik,

dan tidak kacau.

Dalam hal ini penulis mencoba membahas tentang sejarah perkembangan

perlindungan konsumen, peraturan-peraturan manasajakah yang mengatur

perlindungan terhadap konsumen dengan ketentuan hukum pidana dan

implementasi hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.

Oleh karena itu untuk membahas hal tersebut penulis memilih judul dalam skripsi

ini yaitu “ IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM PIDANA SEBAGAI

(18)

B. Permasalahan.

Dari uraian latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka

dapatlah dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini :

1. Bagaimana sejarah perkembangan perlindungan konsumen ?

2. Peraturan-peraturan mana sajakah yang mengatur perlindungan

terhadap konsumen dengan ketentuan hukum pidana ?

3. Bagaimana implementasi ketentuan hukum pidana sebagai bentuk

perlindungan terhadap konsumen ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan

yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan dari

penulisan skripsi ini adalah :

1. Mengetahui sejarah perkembangan perlindungan konsumen.

2. Mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur perlindungan terhadap

konsumen dengan ketentuan hukum pidana.

3. Mengetahui implementasi ketentuan hukum pidana sebagai bentuk

perlindungan terhadap konsumen.

Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulisan

(19)

1. Manfaat teoritis

a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana,

khususnya yang berkaitan dengan ketentuan hukum pidana sebagai bentuk

perlindungan terhadap konsumen.

b. Dapat memberi masukan kepada masyarakat, pemerintah, lembaga

konsumen, aparat penegak hukum tentang ketentuan-ketentuan hukum

pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen yang terdapat

dalam berbagai undang-undang.

2. Manfaat praktis

a. Dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan

mahasiswa, masyarakat, lembaga konsumen, praktisi hukum, dan

pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan ketentuan

hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.

b. Dapat memberikan masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum,

lembaga konsumen, dan masyarakat tentang hal-hal yang harus dilakukan

dalam upaya memberikan perlindungan terhadap konsumen dengan

menggunakan sarana hukum pidana.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui oleh penulis, di lingkungan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang

Implementasi Ketentuan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang

(20)

Hal ini sejalan dengan pemeriksaan di perpustakaan Departeman Hukum

Pidana dan tidak ada judul yang sama. Dengan demikian, dilihat dari

permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat

penulis katakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya penulis yang asli.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Hindia

Belanda, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud

dengan straafbaar feit tersebut. Karena itu para ahli hukum berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat.10

Istilah-istilah yang pernah dipergunakan baik dalam perundang-undangan

maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah straafbaar feit adalah : tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan pidana. Nyatalah kini setidak-tidaknya ada

dikenal tujuh istilah bahasa Indonesia. Straafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni

straaf, baar, feit. Dari tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari

straafbaar feit, ternyata straaf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit

diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

10

(21)

Menurut wujud dan atau sifatnya, tindak pidana adalah perbuatan yang

melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini merugikan masyarakat, dalam arti

bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan

masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan

pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial.

Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah

straafbaar feit antara lain11: a. Rumusan Simon

Simon merumuskan straafbaar feit adalah suatu handeling

(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh

undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) yang dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur,

yakni : unsur objektif berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat

keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang berupa kesalahan

(schuld) dan kemampuan bertanggung jawab dari petindak. b. Rumusan Van Hammel

Van Hammel merumuskan “straafbaar feit” itu sama dengan yang

dirumuskan oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”.

11

(22)

c. Rumusan VOS

VOS merumuskan “straafbaar feit” adalah suatu kelakuan manusia

yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

d. Rumusan Pompe

Pompe merumuskan “straafbaar feit” adalah suatu pelajaran kaidah

(penggangguan ketertiban umum), terhadap dimana pelaku mempunyai

kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk

menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan

umum.

Para sarjana Indonesia telah memberikan definisi mengenai tindak pidana,

yaitu :12

a. Mr. Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh

dihukum.

b. Mr. R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.

c. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana.

d. Wiryono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagi suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan

pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana13.

e. Komariah E. Sapardjaja, tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia

yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat

bersalah melakukan perbuatan itu.14

12

Adami Chazawi, op.cit., hal. 69

13

(23)

f. Indriyanto Seno Adji, tindak pidana adalah perbuatan seseorang yang

diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu

kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya.15

Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi

pengertian straafbaar feit dan beliau mendefenisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

Beliau tidak setuju istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih

pendek daripada perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak

seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.16

Dari definisi diatas, Moeljatno memberi unsur tindak pidana sebagai

berikut :

a. Perbuatan

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar)

Dari uraian unsur tindak pidana di atas, maka yang dilarang adalah

perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata

perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah pada perbuatan itu, tetapi tidak

dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan

14

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 26

15

Ibid. 16

(24)

bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang dalam

hukum.

Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti tercermin dalam

istilah yang beliau gunakan dalam rumusannya, menampakkan bahwa beliau

memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukannya.

Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 KUHP seseorang yang melakukan tindak

pidana dapat dihukum apabila memenuhi hal-hal berikut :

a. Ada norma pidana tertentu

b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang

c. Norma pidana tersebut telah berlaku sebelum perbuatan terjadi

Dengan perkataan lain, bahwa tidak seorangpun karena suatu perbuatan

tertentu, bagaimanapun bentuk perbuatan tersebut dapat dihukum kecuali telah

ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu.

Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa

ada aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barangsiapa

yang melanggar larangan tersebut.

2. Pengertian Pidana dan Pemidanaan.

Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman yang berasal

dari kata straf, istilah ini merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi

dengan bidang yang cukup luas. Namun oleh Andi Hamzah kedua istilah tersebut

dibedakan. Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang

(25)

pidana yang merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum

pidana.17

Dalam kepustakaan hukum pidana, menurut alam pemikiran yang normatif

murni, maka pembicaraan tentang pidana akan terbentur pada suatu titik

pertentangan yang paradoxal, yaitu bahwa pidana di satu pihak diadakan untuk melindungi kepentingan seseorang, akan tetapi di pihak lain ternyata memperkosa

kepentingan seseorang yang lain dengan memberikan hukuman berupa

penderitaan kepada seseorang yang dipidana.18

Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus dari hukuman

maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat

menunjukkan ciri-ciri atau sifatnya yang khas. Berikut ini dikemukakan beberapa

pendapat dari para sarjana sebagai berikut :

1. Sudarto mengatakan pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara

kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.19

Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada

seorang pelanggar ketentuan undang-undang tidak lain dimaksudkan agar

orang itu menjadi jera.

2. Roeslan Saleh menyatakan pidana adalah reaksi atas delik dan ini

berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat

17

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal. 1

18

Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 6

19

(26)

delik itu.20 Reaksi-reaksi atas delik menunjukkan bahwa suatu delik dapat

memberikan reaksinya atau imbalannya apabila dilanggar, yaitu ancaman

hukuman atau pidana. Nestapa ini bukanlah suatu tujuan yang terakhir

yang dicita-citakan masyarakat, melainkan tujuan yang terdekat.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pidana

mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut 21:

1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau

nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau badan hukum (korporasi)

yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Namun pengertian pidana tidak terbatas hanya pada pemberian nestapa,

pidana juga digunakan untuk menyerukan tata tertib, pidana pada hakikatnya

mempunyai dua tujuan utama yakni mempengaruhi tingkah laku dan untuk

menyelesaikan konflik.22 Pidana di satu sisi tidak hanya dimaksudkan untuk

memberikan penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, tapi di sisi lain

juga agar membuat pelanggar dapat kembali hidup bermasyarakat sebagaimana

layaknya.

20

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta, Aksara Baru, 1983, hal. 9

21

Dwidja Priyatno, Op.cit., hal. 7

22

(27)

Demikian pula GP. Hoefnagels menyatakan bahwa pidana bukan

semata-mata pencelaan (cencure) atau suatu penjeraan (discouragement) atau merupakan penderitaan (suffering). Pendapat ini bertolak pada pengertian yang luas bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi pada pelanggaran hukum yang

telah ditentukan oleh undang-undang, sejak penahanan dan pengusutan terdakwa

oleh polisi sampai sampai vonis dijatuhkan. Jadi Hofnagels melihatnya secara

empiris bahwa pidana merupakan suatu proses waktu. Pemberian sanksi

merupakan suatu proses pembangkitan semangat (encouragement) dan pencelaan (cencure) untuk tujuan agar seseorang berorientasi atau menyesuaikan diri dengan suatu norma atau undang-undang yang berlaku.23

Pidana yang dikenakan pada seseorang harus dirumuskan secara eksplisit

dalam peraturan perundang-undangan yang tertulis, hal ini ditemukan dalam

KUHP sebagai induk dari hukum pidana Indonesia. Bagian terpenting dari suatu

KUHP adalah stelsel pidananya, karena KUHP tanpa stelsel pidana tidak akan ada

artinya.24 Menurut Pasal 10 KUHP pidana dibedakan dalam pidana pokok dan

pidana tambahan. Jenis hukuman atau macam hukuman dalam Pasal 10 tersebut

adalah :

a. Pidana Pokok

1) Pidana mati

2) Pidana penjara

3) Pidana kurungan

23

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 1992, hal. 9-10

24

(28)

4) Pidana denda

5) Pidana tutupan

b. Pidana Tambahan

1) Pencabutan hak-hak tertentu

2) Perampasan barang-barang tertentu

3) Pengumuman putusan hakim

Dalam perkembangannya pengaturan jenis-jenis sanksi pidana dalam

hukum pidana sudah lebih maju dibandingkan KUHP warisan Belanda yang

masih berlaku sampai sekarang ini. Jenis-jenis pidana dalam Konsep Rancangan

KUHP tahun 2004 yang diatur dalam Pasal 62 ayat (1) terdiri dari :

1. Pidana penjara

2. Pidana tutupan

3. Pidana denda

4. Pidana kerja sosial

Sedangkan pidana tambahan dimuat dalam Pasal 64 ayat (1). Pidana

tambahan tersebut antara lain :

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan

3. Pengumuman putusan hakim

4. Pembayaran ganti kerugian

5. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum

yang hidup

(29)

Bagian yang tidak terpisahkan dari hukum pidana adalah pemidanaan.

Pemidanaan adalah suatu rangkaian cara untuk memberikan kepada seseorang

yang telah melakukan suatu tindak pidana, wujud dari penderitaan yang dapat

dijatuhkan oleh negara, cara menjatuhkannya, dimana dan bagaimana cara

menjalankan pidana itu, oleh karena itu pemidanaan merupakan suatu proses.25

Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah

tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya tersebut. Perlu dipahami bahwa

pemidanaan terhadap seseorang harus dilihat dari tujuan dijatuhkannya pidana

terhadap seseorang tersebut. Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan umumnya

dihubungkan dengan dua pandangan besar, yaitu retributivism dan utilitarianism. Baik retributivism maupun utilitarianism menjadi pangkal tolak dalam menentukan tujuan-tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan.26 Tujuan

pemidanaan pada umumnya tidak dirumuskan dalam peraturan

perundang-undangan, oleh karena itu para penulis menyebutnya dengan teori. Peletak dasar

retributivism adalah Kant, Pada pokoknya paham ini menentukan bahwa pengenaan pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan pelaku. Hal ini

umumnya dijelaskan dengan teori retributif atau teori pembalasan.

Berbeda halnya dengan utilitarianism yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Bentham. Pandangan ini menentukan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan

berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan) dan bukan hanya

sekedar membalas perbuatan pembuat. Pidana bukanlah sekedar melakukan

25

Ibid, hal. 2

26

(30)

pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak

pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Manfaat

terbesar dengan dijatuhkannya pidana terhadap pembuat adalah pencegahan

dilakukannya tindak pidana. Baik pencegahan atas pengulangan oleh pembuat

(prevensi khusus) maupun pencegahan mereka yang sangat mungkin (potential offender) melakukan tindak pidana tersebut (prevensi umum).27

Selanjutnya Karl O. Cristansen memberi ciri pokok atau karakteristik

antara teori retributivism dan teori utilitarianism antara lain28 : 1. Pada Teori Retributivism.

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung

sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan

masyarakat.

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana.

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pelanggar.

e. Pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan

tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan

kembali si pelanggar.

2. Pada Teori Utilitarianism

a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention).

27

Ibid, hal.

28

(31)

b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk

mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat.

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dipersalahkan kepada si

pelaku saja.

d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan.

e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat

mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun

pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan

kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Disamping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan, terdapat

teori ketiga yang disebut Teori Gabungan (vereningings theorieen). Teori ini lahir sebagai jalan keluar dari teori retributivism (absolut) dan teori utilitiarinism

(relatif) yang belum memberikan hasil yang mamuaskan. Teori ini didasarkan

pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang

diterapkan secara terpadu.

Dalam KUHP tujuan pengenaan pidana tidak dirumuskan secara eksplisit,

namun demikian Rancangan KUHP tahun 2004 telah merumuskan secara eksplisit

tujuan pemidanaan yang terdapat dalam Pasal 51 yaitu :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat.

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

(32)

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Sedangkan dalam Pasal 51 ayat (2) Konsep Rancangan KUHP mnyebutkan bahwa

pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan

merendahkan martabat manusia.

3. Pengertian Perlindungan Konsumen.

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau

consument itu tergantung dari posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata

consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”.29

Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk

konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula kamus

Inggris-Indonesia30 memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. Konsumen umumnya juga diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang

diserahkan kepada mereka oleh pengusaha31, yaitu setiap orang yang

mendapatkan barang untuk dipakai dan nuntuk tidak diperdagangkan atau

diperjualbelikan lagi.

29

AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2002, hal. 3

30

Jhon M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta 1986, hal. 124

31

(33)

Dalam literatur ekonomi dikenal dua macam konsumen, yaitu konsumen

antara dan konsumen akhir. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat

akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang

menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk

lainnya.

Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli

hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi

terakhir dari benda dan jasa (uitendelijke gebruiker van goederen en diensten). Dengan rumusan itu Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai

terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti

luas mencakup kedua kriteria itu sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya

mengacu pada konsumen pemakai terakhir.

Dalam hukum positif terlihat untuk pengertian konsumen digunakan

istilah-istilah, antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Undang-undang kesehatan tidak menggunakan istilah konsumen untuk

pemakai, pengguna barang dan/atau pemanfaat jasa kesehatan. Untuk itu

digunakan berbagai istilah, antara lain setiap orang (Pasal 1 Angka 1, Pasal

3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 56), masyarakat (Pasal 9, 10, dan 21).

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

(34)

Konsumen menurut undang-undang ini adalah setiap pemakai dan atau

pengguna barang dan jasa, baik untuk kepentingan sendiri atau maupun

kepentingan orang lain.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam undang-undang ini terdapat beberapa istilah tentang konsumen

antara lain : pembeli (Pasal 1460, 1513, dst. Jo. Pasal 1457), penyewa

(Pasal 1550 dst. Jo. Pasal 1548) penerima hibah (Pasal 1670 dst. Jo. Pasal

1666), peminjam pakai (Pasal 1743 jo. Pasal 1740) peminjam (Pasal 1744)

dan sebagainya.

4. Dalam Pasal 1 Angka 2 Undang Undang Perlindungan Konsumen Nomor

8 Tahun 1999 disebutkan :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Dari definisi konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen

diatas dapat diperoleh unsur-unsur konsumen antara lain32 :

1. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus

sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya

menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut

natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon). Yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas

32

(35)

pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan

usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

2. Pemakai

Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 Angka 2 UUPK, kata pemakai

menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan

tersebut, sekalipun menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak

serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai

konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara

membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa.

3. Barang dan/atau jasa

UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun

tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat

dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan,

dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak

menjelaskan perbedaan istilah-istilah dipakai, dipergunakan, atau

dimanfaatkan.

Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk

pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk

dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian disediakan bagi masyarakat

menunjukkan jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat, artinya harus

lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus

(36)

4. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus

tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa

ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.

Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi.

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi

ini mencoba untuk memeperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini

tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang

dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan

keluarganya).

6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen

akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan

konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup

baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun

dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan

(37)

memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu

sendiri.33

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan :

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi

perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap

kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari

pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua

aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut34 :

1) Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkannya kepada konsumen barang

dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau

melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk

persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses

distribusi, desain produk dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar

sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan

tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian

karena memakai atau mengkonsumsi produk yang tidak sesuai.

2) Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat syarat yang

tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan

periklanan, standar kontrak, harga, layanan, purnajual, dan sebagainya. Hal ini

33

(38)

berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan

produknya.

4. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum)

pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri35.

Sampai saat inipun, hukum pidana masih digunakan sebagai salah satu sarana

politik kriminal. Hukum pidana hampir selalu digunakan dalam produk legislatif

untuk “menakuti dan mengamankan” bermacam-macam kejahatan yang mungkin

timbul diberbagai bidang.36

Penanggulangan kejahatan tidak dapat diselesaikan hanya dengan

penerapan hukum pidana, karena hukum pidana memiliki keterbatasan. Terdapat

dua sisi keterbatasan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan :37

a. Dari sisi hakikat terjadinya kejahatan. Kejahatan sebagai suatu masalah

yang berdimensi sosial dan kemanusiaan disebabkan oleh faktor yang

kompleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana. Jadi, hukum pidana

tidak akan mampu melihat secara mendalam akar persoalan kejahatan jika

tidak dibantu oleh disiplin ilmu lain. Oleh karena itu hukum pidana harus

terpadu dengan pendekatan sosial.

b. Dari hakikat berfungsinya hukum pidana itu sendiri. Penggunaan hukum

pidana pada hakikatnya hanya obat sesuai dengan penanggulangan gejala

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 39-40

37

(39)

semata (kurieren am symptom) dan bukan alat penyesuaian yang tuntas dengan menghilangkan sumber penyakitnya. Hukum pidana dianggap

berfungsi setelah kejahatan terjadi sehingga hukum pidana tidak

mempunyai efek pencegah sebelum kejahatan terjadi.

Kejahatan dikatakan sebagai suatu fenomena sosial yang dinamis, tumbuh

dan terkait dengan fenomena dan stuktur kemasyarakatan lainnya yang kompleks,

maka disebut juga sebagai socio political problem. 38 Pada hakikatnya kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu

kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana

(penal policy) dan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana (non penal policy). Barda Nawawi Arief (berdasarkan pendapat Hoefnagels) menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan perlu

ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti :39

1. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial ;

2. Ada keterpaduan antara upaya penaggulangan kejahatan “penal dan non

penal”

Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.

Menurut pandangan dari sudut politik kriminal secara makro, non penal policy

merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu

38

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti , 1996, hal. 6

39

(40)

dikarenakan non penal policy lebih bersifat tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal policy adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak

pidana.40

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan atau penanggulangan

suatu tindak pidana termasuk ke dalam bidang kebijakan krimial (criminal policy). Kebijakan kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu

kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy)41.

F. Metode Penelitian.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif),

yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai

peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang

berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.

Penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan menginventarisir hukum

positif yang berkaitan dengan hukum pidana di bidang perlindungan

konsumen dan dengan menganalisis putusan pengadilan negeri untuk

40

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, Politik Hukum Pidana -Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 13

41

(41)

mengetahui bagaimana implementasi hukum pidana sebagai bentuk

perlindungan terhadap konsumen.

2. Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder.

Adapun data sekunder yang dimaksudkan penulis adalah sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat

dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang. Yakni berupa KUHP

dan Undang-Undang.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan

informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana di bidang

perlindungan konsumen, seperti seminar hukum, majalah-majalah,

karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang

perlindungan konsumen, dan beberapa sumber dari situs internet yang

berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep

dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, bibliograpi, dan

lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode sebagai berikut :

(42)

Yakni melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti :

peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet,

pendapat sarjana dan bahan lainnya yang berkaitan dengan skripsi.

b. Field research (penelitian lapangan)

Yaitu dengan mengambil putusan pengadilan menyangkut kasus tindak

pidana terhadap konsumen khususnya putusan di Pengadilan Negeri

Medan untuk dianalisis sesuai dengan permasalahan dalam skripsi.

5. Analisa Data

Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.

Analisis secara kualitatif dilakukan untuk menjawab permasalahan di

dalam skripsi.

G. Sistematika Penulisan.

Bab I : Pendahuluan

Merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna memberikan

informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis

terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat

penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab II : Sejarah Perkembangan Perlindungan Konsumen

Hal ini terdiri dari pembahasan mengenai perlindungan

konsumen secara umum yaitu tentang sejarah perlindungan

(43)

konsumen, serta hukum konsumen dan hukum perlindungan

konsumen.

Bab III : Ketentuan Hukum Pidana Yang Mengatur Perlindungan

Terhadap Konsumen.

Memberikan penjelasan mengenai ketentuan hukum pidana yang

berkaitan dengan tindak pidana terhadap konsumen yang diatur

dalam KUHP, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan

ketentuan di luar KUHP dan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen.

Bab IV : Implementasi Hukum Pidana Sebagai Bentuk Perlindungan

Terhadap Konsumen.

Memberikan penjelasan mengenai implementasi hukum pidana

sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen dengan metode

menganalisa kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri

Medan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.

Bab V : Kesimpulan Dan Saran

Merupakan bagian akhir yang berisikan kesimpulan dan saran

dari hasil penulisan dan kaitannya dengan masalah yang

(44)

34 BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen.

Perjalanan sejarah perlindungan konsumen baik nasional maupun dalam

pola yang lebih global, perlu diketahui untuk melihat tahap-tahap masa lalu guna

melangkah lebih bijak ke arah depan, dan menciptakan budaya konsumen yang

lebih baik. Tumbuhnya sistem perlindungan konsumen berjalan seiring dengan

tumbuh dan berkembangnya pola perekonomian yang makin lama semakin pesat.

Perhatian terhadap perlindungan konsumen, terutama di Amerika Serikat

(1960-1970) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek kajian

bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Di Amerika Serikat pada era

tahun-tahun tersebut berhasil diundangkan banyak sekali peraturan dan dijatuhkan

putusan-putusan hakim yang memperkuat kedudukan konsumen.

Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme)42 dewasa ini

sebenarnya masih pararel dengan gerakan pertengahan abad ke-20. Di Indonesia

gerakan perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika

Serikat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer

dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun

waktu itu, yaitu 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini termasuk cukup responsif

terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB

(Ecosoc) No. 2111 Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen.

42

(45)

Sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empat

tahapan perkembangan, yaitu43 :

a. Tahapan I (1881-1914)

Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk

melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal

akibat novel karya Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat

yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

b. Tahapan II (1920-1940)

Pada kurun waktu ini muncul pula buku berjudul Your Money‟s Wourth

karya Chase dan Schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas

hak-hak mereka dalam jual beli. Pada kurun waktu ini muncul slogan : fair deal, best buy.

c. Tahapan III (1950-1960)

Pada dekade 1950 an ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan

perlindungan konsumen dalam lingkup internasional. Dengan diprakarsai

oleh wakil-wakil dari Amerika serikat, Inggris, Belanda, Australia, dan

Belgia. Pada 1 April 1960 berdirilah International Organization of Consumer Union. Semula organisasi ini berpusat di Den Haag, kemudian pindah ke London pada tahun 1993.

43

(46)

d. Tahapan IV (pasca 1965)

Masa ini disebut sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan

konsumen karena ditandai dengan tumbuhnya secara mantap beberapa

organisasi perlindungan konsumen di tingkat negara, regional, dan

internasional.

Dalam rangka mengkaji perkembangan mengenai perlindungan konsumen

di Indonesia tidak hanya dilihat dari sudut reaktivitas masyarakat konsumen

seperti yang terjadi di Amerika atau Eropa. Pendekatan yang dilakukan

pertama-tama dimulai dari aspek perkembangan produk hukum yang ada44, termasuk pada

zaman Hindia Belanda, tentunya fase-fase perkembangan demikian, tidak

disangkal akan adanya pengaruh perkembangan kehidupan konsumen di luar

negeri. Fase-fase perkembangan produk hukum tersebut antara lain45 :

a. Masa Zaman Hindia Belanda

Pada masa zaman Hindia Belanda, upaya perlindungan konsumen telah

tampak melalui rumusan pasal-pasal dari berbagai peraturan perundang-undangan

yang ada. Meskipun rumusan-rumusan yang ada tersebut tidak secara eksplisit

menyebut istilah konsumen, produsen atau pelaku usaha, namun secara hakiki

objek pengaturannya adalah berkaitan pula terhadap konsumen atau pihak pelaku

usaha. Pengaturan tentang perlindungan konsumen pada zaman ini dapat dilihat

pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW), Kitab

44

N.H.T Siahaan, op.cit., hal. 296

45

(47)

Undang-Undang hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht/ WvS) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel/ WvK).

Beberapa hal yang diatur tentang persoalan konsumen di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata adalah tentang hak dan kewajiban dalam

melakukan suatu perjanjian atau transaksi, yang diletakkan dalam Buku III Van Vaerbintennissen (tentang perikatan). Dimuat disini tentang subjek-subjek hukum dari perikatan, syarat-syarat perikatan, tentang resiko jenis-jenis perikatan

tertentu, syarat-syarat pembatalannya dan berbagai bentuk perikatan yang dapat

diadakan. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, apabila terjadi

wanprestasi, pihak yang dirugikan berhak menggugat ganti rugi, biaya dan bunga.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat pasal-pasal

yang mengatur tentang perlindungan konsumen walaupun tidak menyebutkan kata

konsumen atau pelanggan dalam rumusannya. Pasal-pasal tersebut antara lain

ialah Pasal 204, Pasal 205, Pasal 258, Pasal 382 bis, Pasal 383, Pasal 386, Pasal

390.

b. Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1967

Gerakan kepedulian tentang nasib konsumen di Indonesia dalan kurun

waktu ini memang belum tampak jelas. Akan tetapi jika dilihat baik dari sudut

perkembangan legislasi maupun kepedulian pengadilan, terlihat tanda-tanda

perkembangan tentang adanya kesadaran perlindungan konsumen.

Dari sudut legislasi dapat dilihat dari beberapa peraturan yang dikeluarkan

(48)

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1961 tentang

Barang.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri.

Yang intinya mengatur tentang cara mendesain dan mengolah

bahan-bahan untuk industri, menetapkan jenis, bentuk, ukuran, mutu atau

pengamanan barang-barang industri, serta mengatur mencoba

menganalisis, memeriksa dan menguji hasil-hasil industri.

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Pokok-pokok

Perumahan.

4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygene.

c. Masa Periode Tahun 1967 hingga 1974

Periode ini ditandai dengan hadirnya investasi yang sangat pesat di

Indonesia, baik dilakukan secara joint venture maupun melalaui investasi dalam negeri. Industrialisasi sebagai jantung pemacu percepatan pembangunan dirintis

agar mampu memberikan kemakmuran bangsa. Namun arus indutrialisasi tidak

banyak diikuti kebijakan tentang pengelolaan dampak-dampaknya kepada

masyarakat secara luas. Sehingga terjadi pencemaran lingkungan, kerusakan hutan

dan aset alam lainnya.

Di bidang konsumen semakin dikhawatirkan akan adanya berbagai ekses

yang merugikan masyarakat berupa iklan gencar yang kurang sehat dan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang diatas dan tingginya penggunaan bahan tambahan pangan seperti pewarna dalam makanan dan minuman menyebabkan masih banyaknya penyalahgunaan pemakaian

Berdasarkan latar belakang diatas dan tingginya penggunaan bahan tambahan pangan seperti pewarna dalam makanan dan minuman menyebabkan masih banyaknya penyalahgunaan pemakaian

(4) Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. 7 Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan

Ada beberapa ketentuan ancaman pidana denda baik alternatif maupun kumulatif (dan / atau) yang memberi kebebasan kepada hakim untuk memilihnya apakah memberikan pidana

ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-undang No. 1), maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang. dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 dan sebagaimana

Hasil kejahatan yang diperoleh dari kejahatan korupsi, kemudian ia samarkan dengan tujuan untuk menambah dan menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya demi

Berdasarkan latar belakang diatas dan tingginya penggunaan bahan tambahan pangan seperti pewarna dalam makanan dan minuman menyebabkan masih banyaknya penyalahgunaan pemakaian

Kedua, pidana mati masih diberlakukan dalam hukum Islam (negara yang menganut syariat Islam) dan hukum pidana Indonesia. Ketiga, Pidana mati dalam ketentuan Hukum