S k r i p s i
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
O l e h :
J A M I L H A N D Y
0 3 0 2 0 0 1 4 5
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
S k r i p s i
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
O l e h :
J A M I L H A N D Y
0 3 0 2 0 0 1 4 5
Disetujui oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
Abul Khair S.H, M.Hum
NIP : 131 842 854
Pembimbing I Pembimbing II
Nurmalawaty S.H, M.Hum Rafiqoh Lubis S.H, M.Hum
NIP : 131 803 347 NIP : 132 300 076
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim,
Alhamdulilliahi Robbil „alamiin, puji dan syukur sudah sepantasnya
Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang atas berkat dan
rahmatnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini
Penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Shalawat dan salam juga tidak lupa penulis sampaikan kepada junjungan
besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan
dan kezaliman kealam yang terang benderang berilmu pengetahuan seperti
sekarang ini. Skripsi ini berjudul “ IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM
PIDANA SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP
KONSUMEN (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan) “.
Pemilihan judul ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan Penulis terhadap
posisi dan kedudukan konsumen. Dengan disadari ataupun tanpa disadari,
konsumen seringkali menjadi korban dari perbuatan pelaku usaha yang merugikan
konsumen, apalagi dengan posisi konsumen yang lemah dibandingkan dengan
posisi pelaku usaha pada saat bersinggungan dengan lapangan hukum baik pidana
maupun perdata.
Besar harapan Penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
para pembaca dan ilmu pengetahuan, terutama bagi Penulis sendiri, walaupun
ii
Dalam penyusunan skripsi ini Penulis banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan serta masukan dari Bapak dan Ibu Dosen, oleh karena itu sudah
sepatutnya Penulis mengucapkan terima kasih yakni kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan dan sekaligus Dosen Wali Penulis selama
masa perkuliahan.
3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH. MH. DFM, selaku Pembantu Dekan
II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak M. Husni, SH. MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Bapak Abul Khair S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6. Ibu Nurmalawaty S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I
yang telah memberi petunjuk dan bimbingan sehingga skripsi ini selesai.
7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberi petunjuk dan bimbingan dengan sabar sehingga skripsi ini selesai.
8. Dosen-Dosen Pengajar dan Pegawai pada Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
9. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera
iii
Dalam menuntut ilmu di Fakultas Hukum yang penuh perjuangan, suka
dan duka maka Penulis kiranya tidak dapat melupakan segala bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak, sehingga sudah seharusnya Penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Kedua orangtua penulis yang tercinta yaitu Ayahanda Rizal Ritonga SP dan
Ibunda Mahmiatun SPd yang telah memberikan segalanya bagi penulis baik
materil maupun moril sehingga Penulis dapat melangkah sampai sekarang
ini. Doa dan bimbingannya selalu Andy harapkan agar dapat membahagiakan
dan membanggakan bagi ayah dan mamak.
2. Adik-Adik Penulis yaitu Irfan Azhari, Hafiz Ihsan dan Rita. Yang telah
menjadi sahabat, teman bermain maupun sebagai kompetitor bagi Penulis
yang telah memberikan perhatian dan motivasi selama ini. Jangan sia-siakan
perjuangan orang tua kita, kesuksesan dimulai dari pendidikan, jangan
pernah berhenti untuk menuntut ilmu
3. Buat Keluarga Besar Alm. H. Djafar Yahya di Dolok Masihul dan di Medan
dan keluarga Besar Alm. M. Yusuf Udin Ritonga di Rantau Prapat, terima
kasih atas dukungannya.
4. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas
Hukum USU yang memberikan kesempatan bagi Penulis untuk menempah
diri dan sebagai wadah Penulis untuk beraktivitas dan bereksperimen dalam
kehidupan kampus. Bahagia HMI, Yakin Usaha Sampai.
5. Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Kelompok Aspirasi Mahasiswa Madani
iv
6. Pengurus HMI Komisariat Fakultas Hukum USU peride 2006-2007, terima
kasih atas segala prosesnya.
7. Buat Muslih “Pakem”, Reza Kiss, Sersan Mayor Taruna Zainul Fachri, Lukfi, Gatot, Fauzan, Manov, Butong, Sem Maliki, Andi Jin, Winda, Cipta
dan Maharani SH. Terima kasih atas kebersamaannya.
8. Buat Kakanda Dedy Irsan SH, Khomaidi Hambali Siambaton SH, Paul D
Sinulingga SH, Zulfikri Lubis SH, Ahmad Junaidi Lubis, Rinaldi, Rifai
Damanik dan Rini Mirza, Maratua Harahap, Wahana, Jefri Witantra
Nasution, Iqbal Adjo, Fauzi SH, A. Hadi Siregar SH, Bobby TM Sebayang
SH, Muksin Hasibuan SH, Ivan Sankrang, Yolanda Septina SH, Indah
Prasetyowati SH, Intan Harahap SH. Terima kasih atas kebersamaannya
9. Rekan-rekan Penulis angkatan 2003 khususnya teman-teman klinisku, Fidia
Ulfa, Juwita Nainggolan, Rafida Aflah, Ernita, Mimi, Mega, Adra, Arpan,
Sihol Junior, Ari Matumona, Kanin, Ahmad Aman, Obrika, Lae Polda
Simbolon, Frans Sinaga, Dolok, Eric, Agus Rinaldi, Kiki, Budi Brahim, Rise
dan lain-lain yang belum disebutkan disini yang telah memberikan
kontribusinya kepada Penulis.
10. Anak-anak Griyasana, buat Bang Juned, Chandra, Nazli dan Fitri, Kancil,
Piyans ST, Jack, Hasan, Ali, Kodok, Iwan, Syaiful, Taufik Adjo S.Sos,
Novanda Syahputra S.Sos, Novie PKL, Dhanie, Tika.
11. Buat Puput, Ilham P. Lubis, Nico, Heri dan Citra, Alm. Syaiful Bahri, Rudi,
Ilmi, Yowa, Suthe, Erni, Tyas, Putri, Teteh, Dara, Fitri, Zaki, Agus Daulay,
v
12. Buat Putra Halomoan, Erwin, Khoiruddin, Iqbal, Diki, Dudi, Arief, Wesi,
Samsul, Sadli, Fauzi, Sahnal, Dhini.
13. Buat Sheila Miranda Hasibuan, terima kasih atas kesempatan untuk kembali
merasakan yang selama ini telah hilang, suatu kebahagian yang tak terhingga
untuk dapat mengenal kembali rasa itu. Kebahagian yang sejati dapat
dirasakan ketika dapat melihat orang lain bahagia. Hasil bukan merupakan
segalanya, suatu proses yang dilakukan dengan usaha dan kerja keras
membuat sesuatu menjadi lebih matang dan bermakna. Semoga semua rasa
ini menjadi pengalaman, motivasi dan semangat yang akan selalu mendorong
ke arah yang lebih maju dan lebih baik. Hasta La Victoria Siempre
14. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karenanya Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan. Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih.
Medan, Juni 2007
Penulis,
vi DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... vi
ABSTRAKSI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Keaslian Penulisan ... 9
E. Tinjauan Kepustakaan ... 10
1. Pengertian Tindak Pidana ... 10
2. Pengertian Pidana dan Pemidanaan ... 14
3. Pengertian Perlindungan Konsumen ... 22
4. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan ... 28
F. Metode Penelitian... 30
G. Sistematika Penulisan ... 32
BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen... 34
B. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen ... 42
C. Hak-Hak Konsumen ... 48
vii
BAB III KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR
PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN ... 57
A. Pengaturan Perlindungan Terhadap Konsumen Dengan Ketentuan Hukum Pidana Di Dalam KUHP ... 57
B. Pengaturan Perlindungan Terhadap Konsumen Dengan Ketentuan Hukum Pidana Di Dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ... 68
C. Pengaturan Perlindungan Terhadap Konsumen Dengan Ketentuan Hukum Pidana Di Luar KUHP dan Undang Undang Perlindungan Konsumen ... 77
BAB IV IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM PIDANA SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN ... 102
A. Kasus Posisi ... 102
1. Perkara No. 54/Pid.B/2003/PN.MDN ... 102
2. Perkara No. 1.805/Pid.B/2005/PN.MDN ... 107
B. Analisa Kasus... 114
1. Perkara No. 54/Pid.B/2003/PN.MDN ... 114
2. Perkara No. 1.805/Pid.B/2005/PN.MDN ... 118
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 126
A. Kesimpulan ... 126
B. Saran ... 129
viii ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul “Implementasi Ketentuan Hukum Pidana Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Konsumen (Studi Kasus Di Pengadilan negeri
Medan)”. Skripsi ini merupakan tugas akhir Penulis untuk memenuhi syarat -syarat dan tugas dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Perlindungan terhadap konsumen merupakan sesuatu yang mutlak untuk dilakukan, hal ini timbul seiring dengan kemajuan zaman terutama menyangkut kedudukan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sebagai pemakai barang maupun jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Dalam kedudukannya sebagai penikmat barang maupun jasa seringkali konsumen dirugikan oleh perbuatan pelaku usaha, baik dalam kaitannya dengan hubungan perdata maupun hukum pidana. Oleh karena itu penggunaan ketentuan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan konsumen dapat dilaksanakan sebagai sarana represif dan dapat memberikan rasa keadilan dalam masyarakat.
Adapun permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah bagaimana sejarah perkembangan perlindungan konsumen, peraturan-peraturan mana sajakah yang mengatur perlindungan terhadap konsumen dengan ketentuan hukum pidana dan bagaimana implementasi hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan menginventarisir ketentuan hukum pidana dalam berbagai hukum positif yang berkaitan dengan perlindungan terhadap konsumen dan dengan menganalisis putusan pengadilan negeri untuk melihat bagaimana implementasi ketentuan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia, baik materil maupun spiritual,
yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok. Tujuan lain adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang berarti bahwa tersedianya pendidikan dalam arti luas bagi
seluruh rakyat. Kesejahteraan dan kecerdasan itu merupakan wujud dari
pembangunan yang berprikemanusiaan sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila
yang telah diterima sebagai falsafah dan ideologi negara Indonesia serta
Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang-Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan
bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk memperoleh hidup yang layak bagi
kemanusiaan. Untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan itu dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan dan kecerdasan, perlu penyediaan barang dan
jasa dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan dengan harga yang
terjangkau bagi masyarakat.
Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia telah tumbuh dan
berkembang banyak industri barang dan jasa, baik yang berskala besar maupun
kecil, terutama sejak dilaksanakannya pembangunan nasional secara bertahap dan
terencana melalui rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Pertumbuhan dan
perkembangan industri barang dan jasa di satu pihak membawa dampak positif,
antara lain tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang
kebutuhannya1. Akan tetapi, di lain pihak terdapat dampak negatif yaitu dampak
penggunaan dari teknologi itu sendiri serta prilaku bisnis yang timbul karena
makin ketatnya persaingan yang mempengaruhi masyarakat konsumen.
Para produsen atau pelaku usaha akan mencari keuntungan yang
setinggi-tingginya sesuai dengan prinsip ekonomi. Dalam rangka mencapai untung yang
setinggi-tingginya itu, para produsen/pelaku usaha harus bersaing antar sesama
mereka dengan prilaku bisnisnya sendiri-sendiri yang dapat merugikan
konsumen.2
Oleh karena itu secara mendasar konsumen membutuhkan perlindungan
hukum mengingat lemahnya kedudukan konsumen dibandingkan kedudukan
produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal3. Perlindungan terhadap
konsumen dipandang secara materil maupun formil terasa sangat penting,
sehingga diperlukan campur tangan negara melalui penetapan sistem perlindungan
konsumen. Secara politis perlunya perlindungan hukum bagi konsumen secara
umum sudah dinyatakan di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
antara lain melalui Ketetapan MPR RI Nomor II Tahun 1988 dan Ketetapan MPR
RI Nomor II Tahun 1993, meskipun keduanya memakai istilah yang agak berbeda
di mana GBHN 1988 memakai istilah menjamin kepentingan konsumen dan
GBHN 1993 memakai istilah melindungi kepentingan konsumen.
1
Sri Wahyuni Endang, Aspek Hukum Sertifikasi Dan Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 8
2
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 2
3
Sebelum keluarnya Undang Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun
1999, prinsip-prinsip pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia bukan
berarti tidak ada sama sekali. Ada tiga bidang hukum yang memberikan
perlindungan secara umum bagi konsumen yaitu bidang hukum perdata, pidana
dan administrasi negara4.
Perlindungan hukum di bidang perdata diadakan bertitik tolak dari tarik
menarik kepentingan antar sesama anggota masyarakat. Jika seseorang merasa
dirugikan oleh masyarakat lain tentu ia menggugat pihak lain itu agar bertanggung
jawab atas perbuatannya. Dalam hal ini diantara mereka mungkin saja sudah
terdapat hubungan hukum berupa perjanjian atau perikatan, hubungan hukum
tersebut juga dapat muncul karena undang-undang. Jika seseorang sebagai
konsumen mempunyai hubungan hukum berupa perjanjian dengan pihak lain, dan
pihak itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama maka konsumen berhak
menggugat lawannya berdasarkan melakukan wanprestasi (cidera janji)5.
Secara hukum pidana, tuntutan tidak lagi semata-mata karena pihak lain
melanggar perjanjian. Filosofi dari penuntutan secara pidana lebih luas dari itu,
yaitu untuk melindungi masyarakat dari tindak pidana tertentu. Perlindungan
demikian itu diberikan oleh negara kepada warga masyarakatnya. Untuk itu
penuntutan secara pidana tidak dibebankan kepada perorangan, tetapi kepada
suatu instansi pemerintah yaitu kejaksaan.
4
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 48
5
Dalam lapangan hukum administrasi negara, perlindungan yang diberikan
biasanya lebih bersifat tidak langsung, preventif dan proaktif. Pemerintah
biasanya mengeluarkan berbagai ketentuan normatif yang membebani pelaku
usaha dengan kewajiban tertentu. Sebagai contoh hasil produksi harus memenuhi
standar kualitas yang telah ditetapkan, limbah harus di bawah ambang batas, harga
jual yang dikendalikan dan sebagainya.
Contoh kasus yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen
yakni yang terjadi pada awal tahun 1989, masyarakat dihebohkan dengan kasus
biskuit beracun (CV Gabisco)6. Kasus bermula dari kematian dari beberapa
konsumen biskuit produksi CV Gabisco, yang pabriknya terletak di kawasan
Tangerang. Peristiwa ini menelan korban 29 orang, selain itu tidak sedikit yang
sakit, muntah, pingsan dan yang dirawat dirumah sakit. Korban berjatuhan tidak
hanya di Tangerang, akan tetapi sudah meluas sampai ke Sumatera Selatan, Jambi
bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Kematian-kematian beruntun ini menyulut
suatu histeria massa sehingga orang tidak mau lagi mengkonsumsi biskuit pada
saat itu (tahun 1989). Omzet penjualan biskuit semua merek menurun drastis,
sehingga mengancam kelangsungan pabrik-pabrik biskuit di berbagai daerah di
Indonesia.
Kasus yang juga sempat menghebohkan adalah kasus bumbu penyedap
makanan Ajinomoto yang mengandung bactosoytone yang diekstarsikan dari daging babi, padahal pada label kemasannya dicantumkan label halal. Hal ini
6
tentu saja mengundang reaksi yang sangat keras dari masyarakat terutama umat
Islam. Beberapa orang dari pihak Ajinomoto kemudian ditangkap dan produk
Ajinomoto ditarik dari pasaran.
Kasus-kasus di atas merupakan sebagian kecil dari pelanggaran hak-hak
konsumen yang mencuat ke permukaan. Masih banyak lagi kasus-kasus lain yang
dibiarkan begitu saja oleh masyarakat karena masyarakat enggan mengajukan
gugatan ganti rugi maupun melaporkan kepada pihak yang berwajib atas
pelanggaran hak-haknya sebagai konsumen. Kondisi ini dilatarbelakangi alasan
beragam, alasan yang paling dominan adalah tidak mau repot, khawatir urusan
akan lebih panjang dan tidak mau terlibat urusan di kepolisian. Masyarakat juga
pesimistis laporannya akan ditanggapi dengan baik, sebagian masyarakat malah
takut kasus yang menimpanya akan menimbulkan kehebohan jika mereka
mengadukan kasus yang menimpanya7.
Kecenderungan yang demikian merupakan gambaran objektif suatu
budaya masyarakat yang permisif8. Pola masyarakat yang permisif justru semakin
merugikan masyarakat itu sendiri. Pihak-pihak lain di luar masyarakat yang tidak
menjadi korban tidak akan mengetahui apa yang sesungguhnya yang menimpa
masyarakat. Para pengusaha dan pemerintah tidak mengetahui masalah yang
diakibatkan tindakannya jika tidak ada pengaduan dari konsumen. Pada saat yang
sama, para pengusaha tidak akan terdorong untuk mengambil langkah preventif
melindungi konsumen karena mengira tidak ada yang salah dengan produknya.
7
Warta Konsumen No. 1, Januari 2005/XXX
8
Pihak produsen cenderung merespon peristiwa yang merugikan
masyarakat dengan cara memojokkan konsumen dan mencari kelemahan korban,
untuk menutupi dan melepaskan tanggungjawabnya. Sebuah rumah sakit misalnya
bisa dengan gampang menuduh pasien yang meninggal dunia sebagai pengidap
penyakit yang sangat berbahaya, seperti penyakit AIDS untuk menangkis tuduhan
adanya kesalahan penanganan oleh pihak rumah sakit9 .
Untuk mewujudkan suatu sistem perlindungan konsumen yang baik dapat
digunakan dua sistem hukum yang ada yaitu hukum publik dan hukum privat.
Umumnya yang termasuk ke dalam kelompok hukum publik adalah keseluruhan
peraturan hukum yang mengandung/memuat norma-norma kepentingan umum
sedangkan hukum privat mengatur kepentingan hukum yang bersifat perorangan.
Hak-hak konsumen dapat ditegakkan secara perdata dan juga secara pidana, yaitu
memakai KUHPerdata dengan HIR/RBG serta KUHPidana dengan KUHAP.
Seorang konsumen yang dirugikan haknya dapat mengajukan tuntutan
penggantian kerugian dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan dan
sebaliknya dalam hal tertentu seorang produsen yang menimbulkan kerugian
kepada konsumen dapat dituntut pertanggungjawabannya secara pidana.
Hak-hak konsumen yang bersifat publik dapat dipertahankan melalui
hukum pidana. Perbuatan produsen yang menimbulkan kerugian kepada
konsumen dalam tingkatan dan kompleksitas tertentu mungkin saja berdimensi
kejahatan. Artinya perbuatan produsen yang merugikan/melanggar hak konsumen
dan bertentangan dengan norma-norma hukum pidana dapat dikategorikan sebagai
9ibid
tindak pidana, karena itu diselesaikan dengan hukum pidana dan memakai
instrumen pidana. Berdasarkan pemikiran defence social yang berkembang sejak akhir abad ke 19 yaitu adanya upaya yang menjadikan hukum pidana tidak lagi
sebagai alat pembalasan semata-mata, maka penggunaan hukum pidana dalam
bidang perlindungan konsumen dapat diterima sebagai cara untuk memberikan
perlindungan hukum bagi konsumen dan untuk mengarahkan masyarakat ke
penataan hukum yang lebih baik.
Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas
masalah implementasi hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap
konsumen. Hal tersebut dikarenakan tindak pidana yang terjadi terhadap
konsumen selain merugikan konsumen juga dikategorikan sebagai tindak pidana
di bidang ekonomi karena ada kepentingan ekonomi didalamnya yang hendak
dilindungi, agar tatanan perekonomian nasional tetap langgeng, berkembang baik,
dan tidak kacau.
Dalam hal ini penulis mencoba membahas tentang sejarah perkembangan
perlindungan konsumen, peraturan-peraturan manasajakah yang mengatur
perlindungan terhadap konsumen dengan ketentuan hukum pidana dan
implementasi hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.
Oleh karena itu untuk membahas hal tersebut penulis memilih judul dalam skripsi
ini yaitu “ IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM PIDANA SEBAGAI
B. Permasalahan.
Dari uraian latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka
dapatlah dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini :
1. Bagaimana sejarah perkembangan perlindungan konsumen ?
2. Peraturan-peraturan mana sajakah yang mengatur perlindungan
terhadap konsumen dengan ketentuan hukum pidana ?
3. Bagaimana implementasi ketentuan hukum pidana sebagai bentuk
perlindungan terhadap konsumen ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan
yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan dari
penulisan skripsi ini adalah :
1. Mengetahui sejarah perkembangan perlindungan konsumen.
2. Mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur perlindungan terhadap
konsumen dengan ketentuan hukum pidana.
3. Mengetahui implementasi ketentuan hukum pidana sebagai bentuk
perlindungan terhadap konsumen.
Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulisan
1. Manfaat teoritis
a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana,
khususnya yang berkaitan dengan ketentuan hukum pidana sebagai bentuk
perlindungan terhadap konsumen.
b. Dapat memberi masukan kepada masyarakat, pemerintah, lembaga
konsumen, aparat penegak hukum tentang ketentuan-ketentuan hukum
pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen yang terdapat
dalam berbagai undang-undang.
2. Manfaat praktis
a. Dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan
mahasiswa, masyarakat, lembaga konsumen, praktisi hukum, dan
pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan ketentuan
hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.
b. Dapat memberikan masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum,
lembaga konsumen, dan masyarakat tentang hal-hal yang harus dilakukan
dalam upaya memberikan perlindungan terhadap konsumen dengan
menggunakan sarana hukum pidana.
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui oleh penulis, di lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang
Implementasi Ketentuan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang
Hal ini sejalan dengan pemeriksaan di perpustakaan Departeman Hukum
Pidana dan tidak ada judul yang sama. Dengan demikian, dilihat dari
permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat
penulis katakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya penulis yang asli.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Hindia
Belanda, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud
dengan straafbaar feit tersebut. Karena itu para ahli hukum berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat.10
Istilah-istilah yang pernah dipergunakan baik dalam perundang-undangan
maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah straafbaar feit adalah : tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan pidana. Nyatalah kini setidak-tidaknya ada
dikenal tujuh istilah bahasa Indonesia. Straafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni
straaf, baar, feit. Dari tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari
straafbaar feit, ternyata straaf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit
diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
10
Menurut wujud dan atau sifatnya, tindak pidana adalah perbuatan yang
melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini merugikan masyarakat, dalam arti
bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan
masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan
pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial.
Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah
straafbaar feit antara lain11: a. Rumusan Simon
Simon merumuskan straafbaar feit adalah suatu handeling
(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh
undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) yang dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur,
yakni : unsur objektif berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat
keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang berupa kesalahan
(schuld) dan kemampuan bertanggung jawab dari petindak. b. Rumusan Van Hammel
Van Hammel merumuskan “straafbaar feit” itu sama dengan yang
dirumuskan oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”.
11
c. Rumusan VOS
VOS merumuskan “straafbaar feit” adalah suatu kelakuan manusia
yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.
d. Rumusan Pompe
Pompe merumuskan “straafbaar feit” adalah suatu pelajaran kaidah
(penggangguan ketertiban umum), terhadap dimana pelaku mempunyai
kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan
umum.
Para sarjana Indonesia telah memberikan definisi mengenai tindak pidana,
yaitu :12
a. Mr. Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh
dihukum.
b. Mr. R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.
c. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana.
d. Wiryono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagi suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan
pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana13.
e. Komariah E. Sapardjaja, tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia
yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat
bersalah melakukan perbuatan itu.14
12
Adami Chazawi, op.cit., hal. 69
13
f. Indriyanto Seno Adji, tindak pidana adalah perbuatan seseorang yang
diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu
kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.15
Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi
pengertian straafbaar feit dan beliau mendefenisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
Beliau tidak setuju istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih
pendek daripada perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak
seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.16
Dari definisi diatas, Moeljatno memberi unsur tindak pidana sebagai
berikut :
a. Perbuatan
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar)
Dari uraian unsur tindak pidana di atas, maka yang dilarang adalah
perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata
perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah pada perbuatan itu, tetapi tidak
dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan
14
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 26
15
Ibid. 16
bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang dalam
hukum.
Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti tercermin dalam
istilah yang beliau gunakan dalam rumusannya, menampakkan bahwa beliau
memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukannya.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 KUHP seseorang yang melakukan tindak
pidana dapat dihukum apabila memenuhi hal-hal berikut :
a. Ada norma pidana tertentu
b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang
c. Norma pidana tersebut telah berlaku sebelum perbuatan terjadi
Dengan perkataan lain, bahwa tidak seorangpun karena suatu perbuatan
tertentu, bagaimanapun bentuk perbuatan tersebut dapat dihukum kecuali telah
ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu.
Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa
ada aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barangsiapa
yang melanggar larangan tersebut.
2. Pengertian Pidana dan Pemidanaan.
Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman yang berasal
dari kata straf, istilah ini merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi
dengan bidang yang cukup luas. Namun oleh Andi Hamzah kedua istilah tersebut
dibedakan. Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang
pidana yang merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum
pidana.17
Dalam kepustakaan hukum pidana, menurut alam pemikiran yang normatif
murni, maka pembicaraan tentang pidana akan terbentur pada suatu titik
pertentangan yang paradoxal, yaitu bahwa pidana di satu pihak diadakan untuk melindungi kepentingan seseorang, akan tetapi di pihak lain ternyata memperkosa
kepentingan seseorang yang lain dengan memberikan hukuman berupa
penderitaan kepada seseorang yang dipidana.18
Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus dari hukuman
maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat
menunjukkan ciri-ciri atau sifatnya yang khas. Berikut ini dikemukakan beberapa
pendapat dari para sarjana sebagai berikut :
1. Sudarto mengatakan pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara
kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.19
Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada
seorang pelanggar ketentuan undang-undang tidak lain dimaksudkan agar
orang itu menjadi jera.
2. Roeslan Saleh menyatakan pidana adalah reaksi atas delik dan ini
berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat
17
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal. 1
18
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 6
19
delik itu.20 Reaksi-reaksi atas delik menunjukkan bahwa suatu delik dapat
memberikan reaksinya atau imbalannya apabila dilanggar, yaitu ancaman
hukuman atau pidana. Nestapa ini bukanlah suatu tujuan yang terakhir
yang dicita-citakan masyarakat, melainkan tujuan yang terdekat.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pidana
mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut 21:
1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau badan hukum (korporasi)
yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Namun pengertian pidana tidak terbatas hanya pada pemberian nestapa,
pidana juga digunakan untuk menyerukan tata tertib, pidana pada hakikatnya
mempunyai dua tujuan utama yakni mempengaruhi tingkah laku dan untuk
menyelesaikan konflik.22 Pidana di satu sisi tidak hanya dimaksudkan untuk
memberikan penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, tapi di sisi lain
juga agar membuat pelanggar dapat kembali hidup bermasyarakat sebagaimana
layaknya.
20
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta, Aksara Baru, 1983, hal. 9
21
Dwidja Priyatno, Op.cit., hal. 7
22
Demikian pula GP. Hoefnagels menyatakan bahwa pidana bukan
semata-mata pencelaan (cencure) atau suatu penjeraan (discouragement) atau merupakan penderitaan (suffering). Pendapat ini bertolak pada pengertian yang luas bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi pada pelanggaran hukum yang
telah ditentukan oleh undang-undang, sejak penahanan dan pengusutan terdakwa
oleh polisi sampai sampai vonis dijatuhkan. Jadi Hofnagels melihatnya secara
empiris bahwa pidana merupakan suatu proses waktu. Pemberian sanksi
merupakan suatu proses pembangkitan semangat (encouragement) dan pencelaan (cencure) untuk tujuan agar seseorang berorientasi atau menyesuaikan diri dengan suatu norma atau undang-undang yang berlaku.23
Pidana yang dikenakan pada seseorang harus dirumuskan secara eksplisit
dalam peraturan perundang-undangan yang tertulis, hal ini ditemukan dalam
KUHP sebagai induk dari hukum pidana Indonesia. Bagian terpenting dari suatu
KUHP adalah stelsel pidananya, karena KUHP tanpa stelsel pidana tidak akan ada
artinya.24 Menurut Pasal 10 KUHP pidana dibedakan dalam pidana pokok dan
pidana tambahan. Jenis hukuman atau macam hukuman dalam Pasal 10 tersebut
adalah :
a. Pidana Pokok
1) Pidana mati
2) Pidana penjara
3) Pidana kurungan
23
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 1992, hal. 9-10
24
4) Pidana denda
5) Pidana tutupan
b. Pidana Tambahan
1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman putusan hakim
Dalam perkembangannya pengaturan jenis-jenis sanksi pidana dalam
hukum pidana sudah lebih maju dibandingkan KUHP warisan Belanda yang
masih berlaku sampai sekarang ini. Jenis-jenis pidana dalam Konsep Rancangan
KUHP tahun 2004 yang diatur dalam Pasal 62 ayat (1) terdiri dari :
1. Pidana penjara
2. Pidana tutupan
3. Pidana denda
4. Pidana kerja sosial
Sedangkan pidana tambahan dimuat dalam Pasal 64 ayat (1). Pidana
tambahan tersebut antara lain :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan
3. Pengumuman putusan hakim
4. Pembayaran ganti kerugian
5. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
yang hidup
Bagian yang tidak terpisahkan dari hukum pidana adalah pemidanaan.
Pemidanaan adalah suatu rangkaian cara untuk memberikan kepada seseorang
yang telah melakukan suatu tindak pidana, wujud dari penderitaan yang dapat
dijatuhkan oleh negara, cara menjatuhkannya, dimana dan bagaimana cara
menjalankan pidana itu, oleh karena itu pemidanaan merupakan suatu proses.25
Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah
tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya tersebut. Perlu dipahami bahwa
pemidanaan terhadap seseorang harus dilihat dari tujuan dijatuhkannya pidana
terhadap seseorang tersebut. Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan umumnya
dihubungkan dengan dua pandangan besar, yaitu retributivism dan utilitarianism. Baik retributivism maupun utilitarianism menjadi pangkal tolak dalam menentukan tujuan-tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan.26 Tujuan
pemidanaan pada umumnya tidak dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan, oleh karena itu para penulis menyebutnya dengan teori. Peletak dasar
retributivism adalah Kant, Pada pokoknya paham ini menentukan bahwa pengenaan pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan pelaku. Hal ini
umumnya dijelaskan dengan teori retributif atau teori pembalasan.
Berbeda halnya dengan utilitarianism yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Bentham. Pandangan ini menentukan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan
berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan) dan bukan hanya
sekedar membalas perbuatan pembuat. Pidana bukanlah sekedar melakukan
25
Ibid, hal. 2
26
pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak
pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Manfaat
terbesar dengan dijatuhkannya pidana terhadap pembuat adalah pencegahan
dilakukannya tindak pidana. Baik pencegahan atas pengulangan oleh pembuat
(prevensi khusus) maupun pencegahan mereka yang sangat mungkin (potential offender) melakukan tindak pidana tersebut (prevensi umum).27
Selanjutnya Karl O. Cristansen memberi ciri pokok atau karakteristik
antara teori retributivism dan teori utilitarianism antara lain28 : 1. Pada Teori Retributivism.
a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung
sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan
masyarakat.
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana.
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pelanggar.
e. Pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan
kembali si pelanggar.
2. Pada Teori Utilitarianism
a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention).
27
Ibid, hal.
28
b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat.
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dipersalahkan kepada si
pelaku saja.
d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan.
e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat
mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun
pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan
kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Disamping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan, terdapat
teori ketiga yang disebut Teori Gabungan (vereningings theorieen). Teori ini lahir sebagai jalan keluar dari teori retributivism (absolut) dan teori utilitiarinism
(relatif) yang belum memberikan hasil yang mamuaskan. Teori ini didasarkan
pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang
diterapkan secara terpadu.
Dalam KUHP tujuan pengenaan pidana tidak dirumuskan secara eksplisit,
namun demikian Rancangan KUHP tahun 2004 telah merumuskan secara eksplisit
tujuan pemidanaan yang terdapat dalam Pasal 51 yaitu :
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Sedangkan dalam Pasal 51 ayat (2) Konsep Rancangan KUHP mnyebutkan bahwa
pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan
merendahkan martabat manusia.
3. Pengertian Perlindungan Konsumen.
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau
consument itu tergantung dari posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata
consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”.29
Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk
konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula kamus
Inggris-Indonesia30 memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. Konsumen umumnya juga diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang
diserahkan kepada mereka oleh pengusaha31, yaitu setiap orang yang
mendapatkan barang untuk dipakai dan nuntuk tidak diperdagangkan atau
diperjualbelikan lagi.
29
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2002, hal. 3
30
Jhon M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta 1986, hal. 124
31
Dalam literatur ekonomi dikenal dua macam konsumen, yaitu konsumen
antara dan konsumen akhir. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat
akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk
lainnya.
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli
hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi
terakhir dari benda dan jasa (uitendelijke gebruiker van goederen en diensten). Dengan rumusan itu Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai
terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti
luas mencakup kedua kriteria itu sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya
mengacu pada konsumen pemakai terakhir.
Dalam hukum positif terlihat untuk pengertian konsumen digunakan
istilah-istilah, antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Undang-undang kesehatan tidak menggunakan istilah konsumen untuk
pemakai, pengguna barang dan/atau pemanfaat jasa kesehatan. Untuk itu
digunakan berbagai istilah, antara lain setiap orang (Pasal 1 Angka 1, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 56), masyarakat (Pasal 9, 10, dan 21).
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Konsumen menurut undang-undang ini adalah setiap pemakai dan atau
pengguna barang dan jasa, baik untuk kepentingan sendiri atau maupun
kepentingan orang lain.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam undang-undang ini terdapat beberapa istilah tentang konsumen
antara lain : pembeli (Pasal 1460, 1513, dst. Jo. Pasal 1457), penyewa
(Pasal 1550 dst. Jo. Pasal 1548) penerima hibah (Pasal 1670 dst. Jo. Pasal
1666), peminjam pakai (Pasal 1743 jo. Pasal 1740) peminjam (Pasal 1744)
dan sebagainya.
4. Dalam Pasal 1 Angka 2 Undang Undang Perlindungan Konsumen Nomor
8 Tahun 1999 disebutkan :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Dari definisi konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diatas dapat diperoleh unsur-unsur konsumen antara lain32 :
1. Setiap orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus
sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya
menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut
natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon). Yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas
32
pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan
usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum.
2. Pemakai
Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 Angka 2 UUPK, kata pemakai
menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan
tersebut, sekalipun menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak
serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai
konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara
membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa.
3. Barang dan/atau jasa
UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun
tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat
dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak
menjelaskan perbedaan istilah-istilah dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan.
Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian disediakan bagi masyarakat
menunjukkan jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat, artinya harus
lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus
4. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus
tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa
ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.
Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi.
5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi
ini mencoba untuk memeperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini
tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang
dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan
keluarganya).
6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen
akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan
konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup
baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun
dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan
memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu
sendiri.33
Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan :
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi
perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap
kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari
pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua
aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut34 :
1) Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkannya kepada konsumen barang
dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau
melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk
persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses
distribusi, desain produk dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar
sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan
tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian
karena memakai atau mengkonsumsi produk yang tidak sesuai.
2) Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat syarat yang
tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan
periklanan, standar kontrak, harga, layanan, purnajual, dan sebagainya. Hal ini
33
berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan
produknya.
4. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum)
pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri35.
Sampai saat inipun, hukum pidana masih digunakan sebagai salah satu sarana
politik kriminal. Hukum pidana hampir selalu digunakan dalam produk legislatif
untuk “menakuti dan mengamankan” bermacam-macam kejahatan yang mungkin
timbul diberbagai bidang.36
Penanggulangan kejahatan tidak dapat diselesaikan hanya dengan
penerapan hukum pidana, karena hukum pidana memiliki keterbatasan. Terdapat
dua sisi keterbatasan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan :37
a. Dari sisi hakikat terjadinya kejahatan. Kejahatan sebagai suatu masalah
yang berdimensi sosial dan kemanusiaan disebabkan oleh faktor yang
kompleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana. Jadi, hukum pidana
tidak akan mampu melihat secara mendalam akar persoalan kejahatan jika
tidak dibantu oleh disiplin ilmu lain. Oleh karena itu hukum pidana harus
terpadu dengan pendekatan sosial.
b. Dari hakikat berfungsinya hukum pidana itu sendiri. Penggunaan hukum
pidana pada hakikatnya hanya obat sesuai dengan penanggulangan gejala
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 39-40
37
semata (kurieren am symptom) dan bukan alat penyesuaian yang tuntas dengan menghilangkan sumber penyakitnya. Hukum pidana dianggap
berfungsi setelah kejahatan terjadi sehingga hukum pidana tidak
mempunyai efek pencegah sebelum kejahatan terjadi.
Kejahatan dikatakan sebagai suatu fenomena sosial yang dinamis, tumbuh
dan terkait dengan fenomena dan stuktur kemasyarakatan lainnya yang kompleks,
maka disebut juga sebagai socio political problem. 38 Pada hakikatnya kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu
kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana
(penal policy) dan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana (non penal policy). Barda Nawawi Arief (berdasarkan pendapat Hoefnagels) menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan perlu
ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti :39
1. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial ;
2. Ada keterpaduan antara upaya penaggulangan kejahatan “penal dan non
penal”
Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.
Menurut pandangan dari sudut politik kriminal secara makro, non penal policy
merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu
38
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti , 1996, hal. 6
39
dikarenakan non penal policy lebih bersifat tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal policy adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak
pidana.40
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan atau penanggulangan
suatu tindak pidana termasuk ke dalam bidang kebijakan krimial (criminal policy). Kebijakan kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu
kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy)41.
F. Metode Penelitian.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif),
yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai
peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang
berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.
Penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan menginventarisir hukum
positif yang berkaitan dengan hukum pidana di bidang perlindungan
konsumen dan dengan menganalisis putusan pengadilan negeri untuk
40
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, Politik Hukum Pidana -Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 13
41
mengetahui bagaimana implementasi hukum pidana sebagai bentuk
perlindungan terhadap konsumen.
2. Jenis Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder.
Adapun data sekunder yang dimaksudkan penulis adalah sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat
dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang. Yakni berupa KUHP
dan Undang-Undang.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan
informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen, seperti seminar hukum, majalah-majalah,
karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen, dan beberapa sumber dari situs internet yang
berkaitan dengan persoalan di atas.
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep
dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, bibliograpi, dan
lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode sebagai berikut :
Yakni melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti :
peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet,
pendapat sarjana dan bahan lainnya yang berkaitan dengan skripsi.
b. Field research (penelitian lapangan)
Yaitu dengan mengambil putusan pengadilan menyangkut kasus tindak
pidana terhadap konsumen khususnya putusan di Pengadilan Negeri
Medan untuk dianalisis sesuai dengan permasalahan dalam skripsi.
5. Analisa Data
Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.
Analisis secara kualitatif dilakukan untuk menjawab permasalahan di
dalam skripsi.
G. Sistematika Penulisan.
Bab I : Pendahuluan
Merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna memberikan
informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis
terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II : Sejarah Perkembangan Perlindungan Konsumen
Hal ini terdiri dari pembahasan mengenai perlindungan
konsumen secara umum yaitu tentang sejarah perlindungan
konsumen, serta hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen.
Bab III : Ketentuan Hukum Pidana Yang Mengatur Perlindungan
Terhadap Konsumen.
Memberikan penjelasan mengenai ketentuan hukum pidana yang
berkaitan dengan tindak pidana terhadap konsumen yang diatur
dalam KUHP, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan
ketentuan di luar KUHP dan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.
Bab IV : Implementasi Hukum Pidana Sebagai Bentuk Perlindungan
Terhadap Konsumen.
Memberikan penjelasan mengenai implementasi hukum pidana
sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen dengan metode
menganalisa kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri
Medan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
Bab V : Kesimpulan Dan Saran
Merupakan bagian akhir yang berisikan kesimpulan dan saran
dari hasil penulisan dan kaitannya dengan masalah yang
34 BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen.
Perjalanan sejarah perlindungan konsumen baik nasional maupun dalam
pola yang lebih global, perlu diketahui untuk melihat tahap-tahap masa lalu guna
melangkah lebih bijak ke arah depan, dan menciptakan budaya konsumen yang
lebih baik. Tumbuhnya sistem perlindungan konsumen berjalan seiring dengan
tumbuh dan berkembangnya pola perekonomian yang makin lama semakin pesat.
Perhatian terhadap perlindungan konsumen, terutama di Amerika Serikat
(1960-1970) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek kajian
bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Di Amerika Serikat pada era
tahun-tahun tersebut berhasil diundangkan banyak sekali peraturan dan dijatuhkan
putusan-putusan hakim yang memperkuat kedudukan konsumen.
Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme)42 dewasa ini
sebenarnya masih pararel dengan gerakan pertengahan abad ke-20. Di Indonesia
gerakan perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika
Serikat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer
dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun
waktu itu, yaitu 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini termasuk cukup responsif
terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB
(Ecosoc) No. 2111 Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen.
42
Sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empat
tahapan perkembangan, yaitu43 :
a. Tahapan I (1881-1914)
Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk
melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal
akibat novel karya Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat
yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
b. Tahapan II (1920-1940)
Pada kurun waktu ini muncul pula buku berjudul Your Money‟s Wourth
karya Chase dan Schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas
hak-hak mereka dalam jual beli. Pada kurun waktu ini muncul slogan : fair deal, best buy.
c. Tahapan III (1950-1960)
Pada dekade 1950 an ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan
perlindungan konsumen dalam lingkup internasional. Dengan diprakarsai
oleh wakil-wakil dari Amerika serikat, Inggris, Belanda, Australia, dan
Belgia. Pada 1 April 1960 berdirilah International Organization of Consumer Union. Semula organisasi ini berpusat di Den Haag, kemudian pindah ke London pada tahun 1993.
43
d. Tahapan IV (pasca 1965)
Masa ini disebut sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan
konsumen karena ditandai dengan tumbuhnya secara mantap beberapa
organisasi perlindungan konsumen di tingkat negara, regional, dan
internasional.
Dalam rangka mengkaji perkembangan mengenai perlindungan konsumen
di Indonesia tidak hanya dilihat dari sudut reaktivitas masyarakat konsumen
seperti yang terjadi di Amerika atau Eropa. Pendekatan yang dilakukan
pertama-tama dimulai dari aspek perkembangan produk hukum yang ada44, termasuk pada
zaman Hindia Belanda, tentunya fase-fase perkembangan demikian, tidak
disangkal akan adanya pengaruh perkembangan kehidupan konsumen di luar
negeri. Fase-fase perkembangan produk hukum tersebut antara lain45 :
a. Masa Zaman Hindia Belanda
Pada masa zaman Hindia Belanda, upaya perlindungan konsumen telah
tampak melalui rumusan pasal-pasal dari berbagai peraturan perundang-undangan
yang ada. Meskipun rumusan-rumusan yang ada tersebut tidak secara eksplisit
menyebut istilah konsumen, produsen atau pelaku usaha, namun secara hakiki
objek pengaturannya adalah berkaitan pula terhadap konsumen atau pihak pelaku
usaha. Pengaturan tentang perlindungan konsumen pada zaman ini dapat dilihat
pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW), Kitab
44
N.H.T Siahaan, op.cit., hal. 296
45
Undang-Undang hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht/ WvS) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel/ WvK).
Beberapa hal yang diatur tentang persoalan konsumen di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah tentang hak dan kewajiban dalam
melakukan suatu perjanjian atau transaksi, yang diletakkan dalam Buku III Van Vaerbintennissen (tentang perikatan). Dimuat disini tentang subjek-subjek hukum dari perikatan, syarat-syarat perikatan, tentang resiko jenis-jenis perikatan
tertentu, syarat-syarat pembatalannya dan berbagai bentuk perikatan yang dapat
diadakan. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, apabila terjadi
wanprestasi, pihak yang dirugikan berhak menggugat ganti rugi, biaya dan bunga.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat pasal-pasal
yang mengatur tentang perlindungan konsumen walaupun tidak menyebutkan kata
konsumen atau pelanggan dalam rumusannya. Pasal-pasal tersebut antara lain
ialah Pasal 204, Pasal 205, Pasal 258, Pasal 382 bis, Pasal 383, Pasal 386, Pasal
390.
b. Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1967
Gerakan kepedulian tentang nasib konsumen di Indonesia dalan kurun
waktu ini memang belum tampak jelas. Akan tetapi jika dilihat baik dari sudut
perkembangan legislasi maupun kepedulian pengadilan, terlihat tanda-tanda
perkembangan tentang adanya kesadaran perlindungan konsumen.
Dari sudut legislasi dapat dilihat dari beberapa peraturan yang dikeluarkan
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1961 tentang
Barang.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri.
Yang intinya mengatur tentang cara mendesain dan mengolah
bahan-bahan untuk industri, menetapkan jenis, bentuk, ukuran, mutu atau
pengamanan barang-barang industri, serta mengatur mencoba
menganalisis, memeriksa dan menguji hasil-hasil industri.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Pokok-pokok
Perumahan.
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygene.
c. Masa Periode Tahun 1967 hingga 1974
Periode ini ditandai dengan hadirnya investasi yang sangat pesat di
Indonesia, baik dilakukan secara joint venture maupun melalaui investasi dalam negeri. Industrialisasi sebagai jantung pemacu percepatan pembangunan dirintis
agar mampu memberikan kemakmuran bangsa. Namun arus indutrialisasi tidak
banyak diikuti kebijakan tentang pengelolaan dampak-dampaknya kepada
masyarakat secara luas. Sehingga terjadi pencemaran lingkungan, kerusakan hutan
dan aset alam lainnya.
Di bidang konsumen semakin dikhawatirkan akan adanya berbagai ekses
yang merugikan masyarakat berupa iklan gencar yang kurang sehat dan