• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Prioritas Masalah

Dalam menentukan prioritas masalah, terdapat dua macam metode yaitu non scoring technique (kualifikasi) dan scoring technique (kuantifikasi). Metode non scoring (kualifikasi) terdiri dari Delphi technique dan Delbeque Technique. Metode ini lazim digunakan bila tidak tersedia data yang lengkap dan mempergunakan berbagai parameter. Sedangkan metode scoring (kuantifikasi) merupakan cara pemilihan prioritas masalah dengan memberikan skor (nilai) untuk sebagai parameter tertentu yang telah ditetapkan. Metode ini terdiri dari metode Bryant, Hanlon, USG, CARL. (Maharani, dkk., 2014).

Untuk mencari prioritas masalah, salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan matriks USG. Untuk menentukan prioritas masalah menggunakan matriks USG, terdapat tiga faktor yang perlu dipertimbangkan. Ketiga faktor tersebut adalah urgency, seriuosness, dan growth (USG) (Asmoko, 2015).

1. Urgency

Berkaitan dengan seberapa mendesaknya masalah tersebut harus diselesaikan dengan waktu yang tersedia dan tekanan yang ada untuk memecahkan masalah tersebut. Semakin mendesak suatu masalah untuk diselesaikan maka semakin tinggi urgensi masalah tersebut.

Berkaitan dengan dampak dari adanya masalah yang timbul dengan penundaan pemecahan masalah tersebut. Dampak ini terutama yang menimbulkan kerugian bagi organisasi seperti dampaknya terhadap produktivitas, keselamatan jiwa manusia, sumber daya atau sumber dana. Suatu masalah yang dapat menimbulkan masalah lain adalah lebih serius bila dibandingkan dengan suatu masalah lain yang berdiri sendiri. Semakin tinggi dampak masalah tersebut terhadap organisasi maka semakin serius masalah tersebut.

3. Growth

Berkaitan dengan pertumbuhan masalah. Semakin cepat berkembang masalah tersebut maka semakin tinggi tingkat pertumbuhannya dan tentunya makin menjadi prioritas untuk segera di atasi.

Dalam penentuan prioritas masalah menggunakan matriks USG, skala penilaian yang digunakan berkisar dari 1-5. Keterangan skala penilaian tersebut adalah sebagai berikut :

5 = Sangat Besar 4 = Besar

3 = Cukup besar 2 = Kecil

1 = Sangat Kecil

Setelah itu setiap nilai pada setiap masalah yang sudah diidentifikasi dikalikan. Total nilai yang ada untuk melihat seberapa pesar nilai yang didapat lalu dari sana akan dapat dilakukan pembuatan peringkat. Masalah dengan total nilai terbesar diberi peringkat pertama, masalah dengan total nilai terbesar kedua diberi peringkat kedua, dan seterusnya. Dari cara tersebut akan terpilih prioritas masalah yang haru segera diintervensi dari peringkat pertama yang didapat pada suatu masalah. Hasil penentuan prioritas masalah menggunakan matriks USG adalah sebagai berikut.

Table 3.4 Prioritas Masalah

Berikut ini adalah uraian pertimbangan mengenai penilaian masalah- masalah yang akan dipilih satu untuk dijadikan prioritas:

Urgency

1. Karyawan kurang paham terhadap teknis pengisian form Hazard report dan Voluntary

Pada masalah ini, diberikan score 3 dikarenakan karyawan yang tidak mengetahui bisa melapor kepada supervisor atau delegasi untuk diarahkan dalam pengisian teknis pengisian form Hazard report dan Voluntary. Sehingga karyawan bisa diberi sosialisasi dan training mengenai teknis pengisian form Hazard report dan Voluntary

No. Daftar Masalah U S G Skor Prioritas masalah 1. Karyawan kurang paham terhadap teknis

pengisian form hazard report dan voluntary report

3 2 5 30 5

2. Mindset karyawan terhadap pelaporan dianggap akan diberikan sanksi oleh atasan

5 5 1 25 6

3. Presepsi karyawan terhadap definisi hazard minim.

2 5 5 50 3

4. Kurangnya perintah dari atasan dalam pelaporan hazard dan voluntary

4 3 5 60 2

5. Keterbatasan anggaran ketika hendak melakukan mitigasi atas pelaporan hazard

3 3 4 36 4

6. Belum adanya program software pelaporan hazard

2 3 4 24 7

7. Kurangnya jumlah pelaporan hazard dan voluntary hazard

2. Mindset karyawan terhadap pelaporan dianggap akan diberikan sanksi oleh atasan

Pada masalah ini diberikan score 5, dikarenakan jika mindset sudah terbentuk maka sampai kapanpun karyawan tidak ada yang melaporkan. Hal ini harus segera diperbaiki agar pelaporan dapat berjalan dengan maksimal.

3. Presepsi karyawan terhadap definisi hazard minim.

Pada masalah ini, diberikan score 2 dikarenakan pada dasarnya karyawan memiliki pemahaman dasar mengenai hazard. Persepsi yang minim membuat karyawan tidak peduli terhadap pentingnya hazard. Hal ini bisa diperbaiki dengan memberikan pelatihan-pelatihan tambahan mengenai pentingnya hazard.

4. Kurangnya perintah dari atasan dalam pelaporan hazard dan voluntary Pada masalah ini diberikan score 3 dikarenakan atasan sudah memerintahkan untuk melakukan pelaporan hazard dan voluntary. Namun karena faktor lain membuat perintah tersebut masih kurang maksimal. Hal ini harus segera diperbaiki karena mendapatkan pelaporan hazard dan voluntary merupakan tugas dan tanggung jawab dari atasan.

5. Keterbatasan anggaran ketika hendak melakukan mitigasi atas pelaporan hazard

Pada masalah ini diberikan skor 3 dikarenakan dana yang terbatas bukan berarti tidak ada dana dalam mitigasi atas pelaporan hazard. Selain itu untuk mitigasi atas pelaporan hazard tidak semuanya memerlukan dana yang besar.

6. Belum adanya program software pelaporan hazard

Pada masalah ini diberikan skor 2. Hal imi dikarenakan pelaporan masih tetap berjalan walaupun tidak dengan program software. Dan dalam peraturan pemerintah tentang Safety Management System (SMS) juga tidak mengharuskan sistem pelaporan dengan program software 7. Kurangnya jumlah pelaporan hazard dan voluntary hazard

Pada masalah ini diberikan skor 4, dikarenakan jikar dibiarkan maka output dari hazard reporting system yakni HIRA tidak sesuai dengan

standar yakni berjumlah 3000 laporan. Sehingga harus di perbaiki agar pelaporan bisa berjalan sesuai dengan standar.

Seriousness

1. Karyawan kurang paham terhadap teknis pengisian form hazard report dan voluntary report

Pada masalah ini diberikan skor 2. Hal ini dikatenakan pada dasarnya karyawan mengetahui adanya Hazard. Sehingga karyawan hanya perlu diberi sosialisasi dan training mengenai teknis pengisian form hazard report dan voluntary.

2. Mindset karyawan terhadap pelaporan dianggap akan diberikan sanksi oleh atasan

Pada masalah ini diberikan skor 5. Hal ini sudah dianggap fatal karena tidak ada karyawan yang melapor akibat mindset tersebut, sehingga harus segera diperbaiki.

3. Presepsi karyawan terhadap definisi hazard minim.

Pada masalah ini diberikan skor 5, dikarenakan persepsi tersebut bisa membuat bentrok dilapangan. Hal ini harus segera ditanggulangi agar pemahaman karyawan terhadap definisi hazard semakin baik.

4. Kurangnya perintah dari atasan dalam pelaporan hazard dan voluntary

Pada masalah ini diberikan skor 3. Hal ini dikarenakan bahwa sebenarnya ada perintah dari atasan, namun masih kurang maksimal. Sehingga pelaporan hazard dan voluntary kepada Dep. Safety masih minim.

5. Keterbatasan anggaran ketika hendak melakukan mitigasi atas pelaporan hazard

Pada msalah ini diberikan skor 3. Hal ini dikarenakan masalah safety tidak semua mitigasi dilakukan dengan anggaran.

6. Belum adanya program software pelaporan hazard

Pada masalah ini diberikan skor 3 dikarenakan bukan merupakan masalah yang sangat serius. Hal ini dikarenakan sistem pelaporan masih

tetap berjalan walaupun personil menjadi kurang aktif karena pelaporan tidak menggunakan program software.

7. Kurangnya jumlah pelaporan hazard dan voluntary hazard

Pada masalah ini diberikan skor 5. Hal ini dikarenakan jumlah hazard yang kurang akan membuat program HIRA tidak berjalan dengan maksimal, sehingga pada saat di audit oleh Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara (DSKU) akan menjadi temuan dan mendapatkan sanksi.

Growth

1. Karyawan kurang paham terhadap teknis pengisian form hazard report dan voluntary report

Pada masalah ini diberikan skor 5 dikarenakan jika dibiarkan maka makin parah pemahaman terhadap teknis pengisian form hazard report dan voluntary report. Hal ini harus segera diperbaiki karena akan timbul resiko, yakni tidak adanya pelaporan hazard dan voluntary.

2. Mindset karyawan terhadap pelaporan dianggap akan diberikan sanksi oleh atasan

Pada masalah ini diberikan skor 1. Hal ini dikarenakan mindset yang sudah terbentuk tingkat pertumbuhannya sudah paling tinggi, sehingga tidak akan lagi bertumbuh.

3. Presepsi karyawan terhadap definisi hazard minim.

Pada masalah ini diberikan skor 5, dikarenakan persepsi tersebut bisa menyebar ke karyawan yang lain. Sehingga harus segera diberi perbaikan berupa sosialisasi agar persepsi para karyawan terhadap definisi hazard tidak minim.

4. Kurangnya perintah dari atasan dalam pelaporan hazard dan voluntary

Pada masalah ini diberikan skor 5, dikarenakan jika dibiarkan masalah ini akan terus bekembang. Sehingga membuat tidak adanya pelaporan hazard dan voluntary kepada Dep. Safety.

5. Keterbatasan anggaran ketika hendak melakukan mitigasi atas pelaporan hazard

Pada masalah ini diberikan skor 4, dikarenakan jika dibiarkan anggaran tersebut akan semakin terbatas. Sementara hazard sifatnya semakin berkembang.

6. Belum adanya program software pelaporan hazard

Pada maslah ini diberikan skor 4. Hal ini dikarenakan jika dibiarkan maka karyawan semakin tidak aktif melaporkan hazard karena pelaporan memakan waktu yang lebih lama.

7. Kurangnya jumlah pelaporan hazard dan voluntary hazard

Pada masalah ini diberikan skor 2. Hal ini dikarenakan pertumbuhannya sudah dianggap cukup tinggi karena sudah diberikan sanksi.

Berdasarkan hasil skoring dengan menggunakan metode USG, prioritas masalah pada pelaksanaan hazard reporting system adalah kurangnya jumlah pelaporan hazard dan voluntary hazard.

Dokumen terkait