• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

5. Problem Posing

A. Tinjauan Pustaka

1. Prestasi Belajar Matematika

Saifuddin Azwar (1999: 164) mengemukakan bahwa prestasi atau

keberhasilan belajar dapat dilihat dalam bentuk indikator-indikator yang

berupa nilai rapor, indeks prestasi studi, angka kelulusan predikat

keberhasilan dan semacamnya. Sementara menurut Mulyono Abdurahman

(2003: 37), prestasi belajar atau hasil belajar adalah kemampuan yang

diperoleh anak setelah melakukan kegiatan.

Sutratinah Tirtonegoro (2001: 43) mengemukakan bahwa prestasi

commit to user

dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat

mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak dalam periode

tertentu.

Berdasarkan pandangan ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

prestasi belajar matematika adalah keberhasilan yang dicapai siswa setelah

melakukan kegiatan belajar matematika dalam jangka waktu tertentu,

berupa penguasaan pengetahuan dan pemahaman yang diyatakan dalam

bentuk nilai yang berupa simbol-simbol baik angka, huruf maupun

kalimat.

2. Keaktifan Belajar Matematika

Aktif adalah giat, rajin, selalu berusaha dengan sungguh-sungguh,

dalam hal ini pada waktu guru mengajar harus mengusahakan agar anak

didiknya aktif jasmani maupun rohani. Keaktifan dalam pembelajaran

matematika adalah keaktifan siswa dalam bertanya, mengemukakan

pendapat dan memecahkan masalah (Sriyono dkk, 1992: 75).

Keaktifan jasmani maupun rohani itu antara lain :

a. Keaktifan indera: pendengaran, penglihatan, peraba, dan lain-lain.

Siswa harus dirangsang agar dapat menggunakan alat inderanya sebaik

mungkin.

b. Keaktifan akal: akal anak harus aktif atau diaktifkan untuk

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

c. Keaktifan ingatan: pada waktu mengajar anak harus aktif menerima

bahan pengajaran yang disampaikan guru dan menyimpannya dalam

otak, kemudian pada suatu saat siap dan mapu mengutarakan kembali.

Keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar dapat

dilihat dalam :

a. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya.

b. Terlihat dalam memecahkan masalah.

c. Bertanya kepada siswa lain atau guru apabila tidak memahami

persoalan yang dihadapinya.

d. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk

memecahkan masalah.

e. Melatih diri dalam memecahkan masalah atau soal.

f. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperoleh.

g. Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah

diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang

dihadapinya.

Menurut Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (2005), proses

belajar bermakna adalah proses yang melibatkan berbagai aktivitas para

siswa. Untuk itu guru harus berupaya untuk mengaktifkan kegiatan belajar

mengajar tersebut. Selanjutnya tingkat keaktifan belajar siswa dalam suatu

proses pembelajaran juga merupakan tolak ukur dari kualitas pembelajaran

itu sendiri. E. Mulyasa (2003) mengemukakan bahwa pembelajaran

commit to user

sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara aktif, baik secara fisik,

mental, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran di samping

menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat yang besar, dan

rasa percaya pada diri sendiri. Sedangkan menurut Lynch dalam Reese

(2002) ,

”To most high school students, the traditional teaching methods involving lecturing, lecturing with overhead or chalkboard, and working or reading at one’s desk are boring. As a result, these disengaged students not only do not learn well, but they also have difficulty retaining, and subsequently applying, what they learned in both the short and long term. This contrasts sharply with the result of studies who are actively engaged in their learning, apply the content in context, draw on prior knowledge to construct and sinthesize new knowledge, and are allowed to demonstrate knowledge acquisition in a variety of ways. These students are demonstrated to retain the knowledge and its practices far into the future”.

Dalam proses pembelajaran matematika, melibatkan siswa secara

aktif sangatlah penting karena dalam matematika banyak kegitan

pemecahan masalah yang menuntut kreativitas dan aktifitas. Siswa sebagai

subyek didik adalah yang merencanakan dan ia sendiri yang melaksanakan

belajar.

3. Pendekatan Pembelajaran Matematika

Syaiful Sagala (2006: 68) mengemukakan bahwa pendekatan

pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa

dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional

tertentu. Pendekatan pembelajaran merupakan aktivitas guru dalam

memilih kegiatan pembelajaran, apakah guru akan menjelaskan suatu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

tertentu, ataukah dengan menggunakan materi yang terkait satu dengan

lainnya dalam tingkat kedalaman yang berbeda, atau bahkan merupakan

materi yang teritegrasi dalam suatu kesatuan multi disiplin ilmu.

Pendekatan pembelajaran ini sebagai penjelas untuk mempermudah bagi

para guru memberikan pelayanan belajar dan juga mempermudah bagi

siswa untuk memahami materi ajar yang disampaikan guru, dengan

memelihara suasana pembelajaran yang menyenangkan.

Pendekatan pembelajaran merupakan salah satu komponen

pembelajaran yang menentukan situasi belajar yang akan berlangsung.

Pendekatan pembelajaran adalah cara yang dilakukan untuk menyelesaikan

persoalan pembelajaran secara menyeluruh. Cara ini akan tampak dalam

suatu urutan aktivitas yang dipilih dari berbagai alternatif, dan

direncanakan secara sistematis. Pilihan pendekatan pembelajaran ini akan

menentukan variasi metode, media dan pola pengelompokan subyek

(Suwarna dkk, 2006: 101).

Pendekatan dalam pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau

kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian

tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau

materi pembelajaran itu, umum atau khusus dikelola.

For learning in general, different teaching approaches in classrooms influence the outcomes for students in different ways. Setting were students are allowed and encouraged to cooperate with classmates and teachers give the students more opportunities to understand and succeed (Granstrom dalam Samuelsson, 2009).

commit to user

Dalam pembelajaran secara umum Granstrom mengemukakan

bahwa pendekatan pembelajaran yang berbeda berpengaruh pada hasil

belajar siswa. Suasana pembelajaran dimana siswa diperkenankan dan

didorong untuk bekerjasama dengan teman sekelas dan guru memberikan

kesempatan kepada siswa untuk lebih mengerti dan lebih berhasil.

Dari berbagai uraian tersebut dapat dipastikan bahwa pendekatan

pembelajaran merupakan hal yang sangat penting yang harus dikuasai oleh

seorang guru untuk membuat pembelajaran matematika menjadi lebih

efektif. Ketika memilih suatu pendekatan yang sesuai, guru harus

memperhatikan tingkat perkembangan psikologis dan kemampuan siswa

sehingga materi akan sampai pada siswa secara maksimal.

4. Contextual Teaching and Learning (CTL)

Konsorsium Pusat Washington untuk pembelajaran kontekstual

(The State Consortium for CTL), yaitu sebuah proyek yang dibiayai

Departemen Pendidikan Amerika Serikat untuk meningkatkan perhatian

pada pengajaran kontekstual dalam program persiapan guru-guru,

mendefinisikan pembelajaran kontekstual sebagai pengajaran yang

memungkinkan siswa-siswa sekolah dari tingkat pra-sekolah sampai

menengah atas mendapat penguatan, memperluas dan menerapkan

pengetahuan dan keterampilan akademiknya dalam berbagai macam situasi

di sekolah maupun diluar sekolah agar mampu memecahkan masalah di

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

Belajar kontekstual akan terjadi ketika siswa menerapkan dan

mengalami apa yang telah diajarkan yang berkaitan dengan masalah nyata

dengan peranan dan tanggung jawabnya sebagai anggota keluarga, warga

negara, siswa dan pekerja. Pembelajaran kontekstual menekankan pada

tingkat berpikir yang tinggi, transfer pengetahuan yang lintas disiplin

akademik, pengumpulan, analisis dan sintesis infomasi dan data dari

berbagai sumber dan sudut pandangan.

Menurut John Dewey (1916) dalam Tatag Yuli (2002) Contextual

Teaching and Learning (CTL) adalah suatu teori pembelajaran berakar

dari filosofi pendidikan yang menganjurkan suatu kurikulum dan metode

belajar yang mendasarkan pada pengalaman-pengalaman dan minat anak.

Definisi operasional pembelajaran kontekstual berakar dari teori

progresivisme Dewey dan hasil-hasil temuan riset yang menunjukkan

bahwa siswa akan belajar dengan baik, ketika apa yang dipelajarinya

dikaitkan dengan apa yang mereka ketahui dan ketika mereka secara aktif

belajar sendiri.

Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan Lynch dalam

Predmore (2005), “Ninety-four percent of students said that they learned a

lot more in CTL-aprroach classes than in other traditional courses in that

same subject area”. Sembilan puluh empat persen siswa mengatakan

bahwa pada mata pelajaran yang sama, mereka belajar lebih banyak di

kelas yang menerapkan pendekatan CTL daripada di kelas yang

commit to user

mengungkapkan, “Some students learn best through CTL approaches and

they really need more hands on real world experience”. Beberapa siswa

belajar sangat baik dengan pendekatan CTL dan mereka benar-benar

membutuhkan lebih banyak belajar tentang pengalaman di dunia nyata.

Menurut Johnson (2002: 86) terdapat tiga prinsip ilmiah dalam

CTL, yaitu :

a. CTL mencerminkan prinsip kesaling-bergantungan.

Kesaling-tergantungan mewujudkan diri, misalnya ketika para siswa

bergabung untuk memecahkan masalah dan ketika para guru

mengadakan pertemuan dengan rekannya.

b. CTL mencerminkan prinsip differensiasi.

Differensiasi menjadi nyata ketika CTL menantang siswa untuk saling

menghormati keunikan masing-masing, untuk menghormati

perbedaan, untuk menjadi kreatif, untuk bekerjasama, untuk

menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda, dan untuk

menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan dan kekuatan.

c. CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri.

Pengorganisasian diri terlihat ketika para siswa mencari dan

menemukan kemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda,

mendapat manfaat dari umpan balik yang diberikan oleh penilaian

autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam tuntunan tujuan yang

kegiatan-perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

kegiatan yang berpusat pada siswa yang membut hati mereka

bernyanyi.

Sistem CTL mencakup delapan komponen berikut ini :

a. Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna.

b. Melakukan pekerjaan yang berarti.

c. Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri.

d. Bekerjasama.

e. Berpikir kritis dan kreatif.

f. Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang.

g. Mencapai standar tinggi.

h. Menggunakan penilaian autentik.

(Johnson, 2002: 86)

Belajar secara kontekstual adalah belajar yang akan terjadi bila

dihubungkan dengan pengalaman nyata sehari-hari. Blanchard (2001)

menjelaskan sebuah hasil penelitian kognitif yang menunjukkan bahwa

sekolah-sekolah (yang pengajarannya dikelola secara tradisional) tidak

membantu siswa dalam menerapkan pemahamannya terhadap bagaimana

seseorang itu harus belajar dan bagaimana menerapkan sesuatu yang

dipelajari pada situasi baru. Selain itu dijelaskan juga perbedaan

pembelajaran konvensional dan pembelajaran yang kontekstual sebagai

commit to user

Tabel 2.1

Perbedaan Pengajaran Konvensional dan Kontekstual

Pengajaran Konvensional Pengajaran Kontekstual 1. Mengandalkan pada hafalan 1. Mengandalkan pada berpikir

spasial 2. Mengfokuskan secara khusus

pada satu subjek (materi pelajaran)

2. Memadukan secara khusus materi-materi pelajaran yang lain (multiple subjects) 3. Nilai-nilai informasi ditentukan

oleh guru

3. Nilai informasi didasarkan pada kebutuhan siswa sendiri

(individual siswa) 4. Memberikan kepada siswa

semua informasi-informasi yang ada, tanpa

menghubungkan dengan pengetahuan awalnya.

4. Menghubungkan dengan pengetahuan awal

5. Penilaian dalam belajar hanya bersifat formal akademis, seperti ujian

5. Penilaian autentik melalui kegiatan-kegiatan aplikasi atau memecahkan masalah nyata.

(Tatag Yuli, 2002: 66)

Secara umum penerapan pembelajaran kontekstual melibatkan

bermacam langkah pembelajaran sebagai berikut.

a. Pembelajaran aktif: Siswa diaktifkan untuk mengkonstruksikan

pengetahuan dan memecahkan masalah.

b. Multi konteks: Pembelajaran dalam konteks yang ganda (multi

konteks) memberikan siswa pengalaman yang dapat digunakan untuk

mempelajari dan mengidentifikasi ataupun memecahkan masalah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

c. Kooperasi dan diskursus (penjelasan/ceramah): Siswa belajar dari

orang lain melalui kooperasi (kerjasama), diskursus

(penjelasan-penjelasan), kerja tim dan mandiri (self reflection).

d. Berhubungan dengan dunia nyata: Pembelajaran yang

menghubungkan dengan isu-isu kehidupan nyata melalui kegiatan

pengalaman di luar kelas dan simulasi.

e. Pengetahuan prasyarat/awal: Pengalaman awal siswa dan situasi

pengetahuan yang didapat mereka akan berarti atau bernilai dan

nampak sebagai dasar dalam pembelajaran.

f. Ragam nilai: Pengajaran yang fleksibel menyesuaikan kebutuhan dan

tujuan-tujuan dari siswa-siswa yang berbeda.

g. Kontribusi pada masyarakat: Suatu cara yang dapat meningkatkan

pemberdayaan masyarakat melalui pembelajaran atau akibat

prosesnya harus diutamakan.

h. Penilaian autentik: Proses belajar siswa perlu dinilai dalam konteks

ganda yang bermakna.

i. Pemecahan masalah: Berpikir tingkat tinggi yang diperlukan dalam

memecahkan masalah nyata harus ditekankan dalam hal

kebermaknaan memorisasi dan pengulangan-pengulangannya.

j. Mengarahkan sendiri (self-direction): Siswa ditantang dan

dimungkinkan diperbolehkan membuat pilihan-pilihan,

commit to user

dengan guru. Dengan demikian mereka bertanggung jawab sendiri

dalam belajarnya.

k. Melibatkan kerjasama: Melibatkan kerjasama antara guru dengan

siswa dan siswa dengan siswa di kelas sangat membantu/mendukung

proses pembelajaran.

Secara sederhana pembelajaran dengan pendekatan CTL

digambarkan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Guru menyampaikan tujuan, pokok-pokok materi pelajaran dan

melakukan apersepsi.

b. Guru memberikan permasalahan kontekstual yang berkaitan dengan

materi yang akan dipelajari.

c. Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil.

d. Siswa bekerja dalam kelompok untuk mendiskusikan permasalahan

yang diberikan.

e. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi di depan

kelas.

f. Guru dan siswa mengadakan refleksi terhadap kejadian, aktivitas atau

pengetahuan yang baru diterima.

g. Guru memberikan kesimpulan, penguatan dan tes kepada siswa.

5. Problem Posing

Menurut Silver (1996) dalam Zahra Chairani (2007), dalam

pustaka pendidikan matematika problem posing mempunyai tiga

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan

agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal

yang rumit. Kedua, problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan

dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka

mencari alternatif pemecahan lain (sama dengan mengkaji kembali

langkah problem solving yang telah dilakukan). Ketiga, problem posing

adalah merumuskan atau membuat soal dari situasi yang diberikan.

In mathematics teaching of primary and secondary schools, teachers usually devise some mathematical problems for students to solve, such as mathematical proof, algebraic computation, numerical inspection etc. Most of them are characterized by their clear statements and definite targets. Obviously, they could have helped students to master mathematical knowledge and skills, however, these problems are far from all mathematical activities. In fact, whether it is a science subject or a mathematics activity, mathematics consists of two aspects: “problem posing” and “problem solving”. So, when the “problem” is regarded as the heart of mathematics, it seems to be not only the "problem-solving" object, but also the mathematical creativity which can be found. (Xia, Lü dan Wang: 2008).

Pada pembelajaran matematika di sekolah dasar dan sekolah menengah guru biasanya memberikan soal matematika pada siswa untuk diselesaikan, seperti pembuktian matematis, operasi aljabar, inspeksi bilangan dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka terbentuk dari pernyataan yang jelas dan objek yang terbatas. Sehingga tidak dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan matematika karena soal-soal ini jauh dari semua aktivitas matematika. Pada kenyataannya, ada aktivitas matematika, matematika terdiri dari dua aspek: “problem posing”

dan“problem solving”. Jadi ketika masalah/problem/soal dipandang

commit to user

yang menjadi objek dalam matematika, tetapi kreativitas matematika dapat

juga ditemukan.

Dalam pelaksanaanya menurut Zahra Chairani (2007) dikenal

beberapa jenis model problem posing antara lain:

a. Situasi problem posing bebas, siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki . Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal.

b. Situasi problem posing semi terstruktur, siswa diberikan situasi/informasi terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan mengkaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan konsep tertentu.

c. Situasi problem posing terstruktur, siswa diberi soal atau selesaian soal tersebut, kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal baru.

Lebih lanjut Zahra Chairani (2007) mengemukakan bahwa dari

beberapa jenis situasi problem posing yang diberikan pada siswa,

diperoleh beberapa respon siswa terhadap tugas-tugas problem posing.

Ada 3 (tiga) jenis respon pengajuan soal siswa terhadap tugas problem

posing, yaitu:

a. Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang mengandung masalah dalam matematika dan mempunyai kaitan dengan informasi yang ada pada situasi yang diberikan. Pertanyaan matematika dapat dikategorikan dengan, (i) pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan yaitu jika pertanyaan tersebut memuat informasi yang cukup dari situasi yang ada untuk diselesaikan dan (ii) pertanyaan matematika yang tidak dapat diselesaikan jika pertanyaan tersebut

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

tidak memiliki informasi yang cukup dari situasi yang ada untuk diselesaikan atau jika pertanyaan tersebut memiliki tujuan yang tidak sesuai dengan informasi yang ada.

b. Pertanyaan non matematika adalah pertanyaan yang tidak mengandung masalah matematika.

c. Pernyataan adalah kalimat yang bersifat ungkapan/berita yang bernilai benar atau salah saja.

Hubungannya yang mungkin terjadi antara respon siswa dengan

pertanyaan matematika dapat dilihat pada bagan di bawah ini :

Gambar 2.1.

Skema respon problem posing siswa

Langkah-langkah dalam pembelajaran dengan pendekatan

problem posing adalah sebagai berikut:

a. Guru mengingatkan kembali materi sebelumnya yang relevan,

menyampaikan tujuan, pokok-pokok materi pelajaran dan melakukan

apersepsi. Respon siswa Pertanyaan non matematika Pertanyaan matematika Pernyataan Dapat diselesaikan Tidak dapat diselesaikan Respon simetrik Respon berantai

commit to user

b. Guru memberi contoh tentang cara membuat soal dan memberikan

beberapa situasi (informasi) yang berkenaan dengan materi

pembelajaran yang sudah disajikan.

c. Berdasarkan situasi tersebut siswa diminta untuk membuat soal yang

berkaitan dengan situasi tersebut dan diminta untuk menyelesaikan

soal mereka sendiri.

d. Sebagai latihan, guru memberikan situasi yang lain dan meminta

siswa untuk membuat soal lagi.

e. Mempersilahkan siswa untuk mencoba menyelesaikan soal yang

dibuat teman mereka.

f. Guru dan siswa membahas soal yang telah dibuat oleh siswa dan

penyelesaiannya.

g. Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan dari materi yang

sudah dipelajarinya

B. Penelitian Yang Relevan

Banyak penelitian yang telah dilakukan dalam rangka peningkatan

kualitas pembelajaran matematika, diantaranya adalah penelitian yang

dilakukan oleh Edi Haryana (2004) yang menyatakan bahwa pembelajaran

matematika dengan pendekatan kontekstual memberikan prestasi yang lebih

baik daripada pembelajaran matematika dengan pendekatan konvensional.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

siswa dengan keaktifan sedang dan rendah, siswa dengan keaktifan sedang

memiliki prestasi yang lebih baik daripada siswa dengan keaktifan rendah.

Wahyu Wijayanti (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Efektivitas

Penerapan Pendekatan Kontekstual Bermedia VCD Terhadap Pencapaian

Kompetensi Belajar Matematika Ditinjau dari Minat Belajar Siswa SMP

Kabupaten Karanganyar” menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan

efektivitas antara pendekatan pembelajaran bermedia VCD dan pendekatan

pembelajaran bermedia LKS terhadap kompetensi belajar matematika siswa.

Tri Andari (2010), menyatakan bahwa peserta didik yang mengikuti

pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan kontekstual

mempunyai prestasi belajar yang lebih baik daripada peserta didik yang

mengikuti pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan

konvensional baik secara umum maupun kalau ditinjau dari kategori

kemampuan awal siswa tinggi, sedang maupun rendah..

Sumarno (2004) dalam tesisnya yang berjudul “Pengaruh

pembelajaran Problem Posing terhadap hasil belajar matematika ditinjau dari

kemampuan penalaran” menyatakan bahwa pembelajaran matematika dengan

Problem Posing mendapatkan hasil belajar yang lebih baik daripada

pembelajaran konvensional.

Penelitian Bambang Sugiarto (2009) pada siswa SMAN Kota

Surakarta menunjukkan bahwa strategi pembelajaran matematika yang

dilengkapi dengan model pembelajaran Problem Posing sama efektifnya

commit to user

pembelajaran Problem Posing. Dalam hal ini pembelajaran yang dimaksud

adalah pembelajaran konvensional.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas dapat diambil kesimpulan

bahwa pendekatan pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting

terhadap peningkatan prestasi belajar siswa. Pembelajaran dengan pendekatan

CTL memberikan prestasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan

pembelajaran konvensional, sementara pembelajaran dengan pendekatan

Problem Posing juga memberikan prestasi yang lebih baik jika dibandingkan

dengan pembelajaran konvensional. Pada variabel keaktifan belajar, siswa

dengan keaktifan belajar tinggi cenderung menghasilkan prestasi yang lebih

baik daripada siswa dengan keaktifan belajar sedang maupun rendah dan

siswa dengan keaktifan belajar sedang cenderung menghasilkan prestasi yang

lebih baik daripada siswa dengan keaktifan belajar rendah.

Sehubungan dengan hal tersebut maka akan diadakan penelitian

mengenai pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

dan Problem Posing ditinjau dari keaktifan belajar matematika siswa. Adapun

persamaan dan perbedaan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

Tabel 2.2

Persamaan dan Perbedaan Penelitian

No. Variabel Peneliti CTL Problem Posing Kemampuan awal Keaktifan Belajar Minat Belajar Prestasi belajar

Dokumen terkait