• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Problema normatif pada Undang Undang Nomor

3. Problema Normatif Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Sebuah Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku efektif, yang dibentuk atas dasar upaya tulus untuk mengatasi permasalahan seperti pelanggaran HAM, adalah satu bagian yang pokok dalam rangka menjaga berfungsinya sistem peradilan pidana terpadu. Setelah melewati proses negosisasi bertahun-tahun, akhirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban disahkan juga pada tanggal 11 Agustus 2006. Apakah undang-undang tersebut akan menolong negara ini keluar dari skandal korupsi yang berkepanjangan dan menyediakan penggantian yang diperlukan bagi para korban dapat kita lihat kenyataannya di masa mendatang. Bila dicermati lebih dalam, Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut, menunjukkan beberapa permasalahan serius lebih dari sekedar niat baik di balik undang-undang tersebut (http://zpador.wordpress.com/2008/10/15/prospek-uu-perlindungan-saksi/)[2Mei 2011pukul 20.20].

Adapun beberapa problematik normatif yang penulis cermati pada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai berikut:

commit to user

a. Pasal 1 ayat 1 Undang Nomor 13 Tahun 2006

”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”

Definisi “saksi” kurang memadai dan masih dibebani oleh pengertian saksi dalam KUHAP sehingga menutup kemungkinan perlindungan terhadap

whistleblower. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) memberikan batasan pengertian saksi itu sendiri sebagai seseorang yang melihat , mendengar, atau mengalami” suatu tindak pidana. Pengertian yang sama dijumpai dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 ayat (1). Dalam beberapa kasus, orang-orang masih banyak yang takut untuk melapor suatu tindak pidana. Seseorang yang mengetahui suatu tindak pidana dan bahkan memiliki bukti penting tetapi tidak masuk dalam kategori sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, tidak akan mendapatkan perlindungan saksi, yang mana berarti bahwa mereka dapat saja mengalami bentuk-bentuk intimidasi dan ancaman. Keamanan seseorang yang tampil ke depan dan mempublikasikan informasi masih dibatasi, mengingat tidak semua orang dapat melaporkan sebuah kejahatan atau menyediakan bukti mendapatkan perlindungan seperti dalam kasus terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, hal pokok termasuk keperluan untuk menjaga aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok masyarakat sipil lainnya ( Sapto Budoyo,2008:87).

Pengertian saksi dalam undang-undang ini berupaya mencoba memasukkan atau (memperluas) perlindungan terhadap orang-orang yang membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang masih berstatus pelapor atau pengadu. Walaupun pun tidak secara tegas dinyatakan bahwa pelapor juga dilindungi, tapi para perumus berkeyakinan bahwa pelapor sudah tercakup dalam wilayah penyelidikan. Namun perlindungan terhadap status saksi dalam konteks penyelidikan ini pun masih terbatas dan kurang memadai karena terbentur pada doktrin yang terdapat dalam KUHAP, dimana saksinya haruslah

commit to user

orang yang keterangan perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri ( Artikel Sebuah tinjauan kritis mengenai Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban,Juli 2007).

Melihat lebih dalam lagi dengan keberadaan pendamping yang umumnya terdapat dalam kasus – kasus terhadap perempuan. Keberadaan pendamping ini juga tidak dilindungi oleh undang – undang perlindungan saksi dan korban tersebut, meski kenyataannya pendamping juga ini juga sering mendapat ancaman dan tekanan ketika mendampingi korban.

Selain saksi dan korban, saksi juga punya peranan penting dalam penyelesaian kasus – kasus kejahatan. Keberadaan saksi ahli tersebut menjadi sangat krusial sehingga keberadaannya sangat perlu untuk dilindungi. Dengan definisi saksi yang masih terpola dari KUHAP, maka keberadaan saksi ahli menjadi tidak termasuk dalam usaha perlindungan saksi ( Anna Christina Sinaga, 2006:8 )

b. Pasal 1 poin 5 Undang Nomor 13 Tahun 2006

Keluarga saksi dan/atau korban adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan saksi dan/atau korban”.

Dalam rumusan pasal 1 poin 5 diatas, menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan keluarga saksi, yakni orang - orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus, atau mempunyai hubungan darah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga, atau mempunyai hubungan perkawinan dengan saksi dan atau orang-orang yang menjadi tanggungan saksi dan atau korban. Menurut penulis, rumusan ini terlalu sempit, seharusnya konsep orang terkait ini tidak hanya menjangkau keluarga, namun dapat menjangkau orang lain yang mempunyai potensi membuat saksi tidak mau bersaksi bila orang tersebut di intimidasi.

commit to user

c. Pasal 5 ayat (2) Undang Nomor 13 Tahun 2006

Hak sebagaimana di maksud pada ayat (1) diberikan pula kepada keluarga saksi dan/atau korban dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan lembaga perlindungan saksi dan korban”

Dalam pasal diatas secara jelas terlihat adanya pembatasan terhadap saksi yang akan dilindungi, dan hal ini merupakan suatu kemunduran dari niat yang baik di balik undang – undang tersebut. Maksud dari kata - kata " kasus- kasus tertentu " tersebut antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Ketentuan pembatasan atau kategori saksi yang berhak mendapatkan perlindungan dalam program perlindungan saksi di LPSK dalam Pasal 5 ayat (2) tersebut merupakan sebuah kemunduran dari Undang - Undang Perlindungan Saksi. Argumentasi atas munculnya pasal ini sebagian besar dilatar belakangi untuk mengurangi beban pembiayaan pemerintah agar biaya yang akan diberikan untuk perlindungan tidak terlalu besar. Argumentasi kedua adalah: mekanisme ini merupakan “alat penyaring” atas kasus-kasus yang akan masuk ke LPSK sehingga beban LPSK akan diminimalisir. Menurut penulis, argumentasi – argumentasi yang muncul diatas merupakan sebuah kemunduran dari niat yang baik di balik undang – undang tersebut.

d. Ketidakjelasan Pemberian Perlindungan Kepada Saksi

1) Pasal 5 seorang saksi dan korban berhak

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan

c. memberikan keterangan tanpa tekanan d. mendapatkan penerjemah

commit to user

f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan h. mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan

i. mendapatkan identitas baru

j. mendapatkan tempat kediaman baru (relokasi)

k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan l. mendapatkan nasihat hukum

m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

(2) hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pula kepada keluarga saksi dan/atau korban dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.

Terkait dengan bentuk perlindungan yang diberikan oleh undang – undang perlindungan saksi tersebut, rumusan tersebut tidak menjelaskan secara memadai beberapa pertanyaan yang mendasar berkenaan dengan apakah hak-hak ini diberikan kepada seluruh saksi dalam perkara pidana ? apakah hanya saksi yang yang tertentu saja (dalam ancaman) ? Ataukah hak ini hanya diberikan kepada saksi yang dilindungi oleh lembaga perlindungan saksi? Pertanyaan- pertanyaan ini menjadi relevan terkait dengan ruang lingkup kerja dari lembaga perlindungan saksi. Petanyaan ini sebenarnya bisa dijawab jika rumusan ini secara tegas memisahkan hak saksi yang melekat kepada seluruh saksi pidana dalam pemeriksaan peradilan pidana, dengan hak saksi yang hanya diberikan dalam kondisi terancam atau terintimidasi. Jika hak-hak dalam rumusan ini diberikan kepada seluruh saksi dalam “kondisi apapun” maka beban terberat tentunya ada di pundak lembaga perlindungan saksi dalam implementasinya, namun jika hak-hak tersebut hanya diberikan bagi saksi dalam (kategori) kondisi terintimidasi atau terancam.

Pasal 5 membuat kategori saksi-berdasarkan tindak pidana tertentu- yang mendapatkan perlindungan), akibatnya, seluruh saksi yang berperan dalam proses perkara pidana tidak akan pernah mendapatkan hak yang lebih baik karena hak- haknya menjadi sangat terbatas Oleh karena itu untuk menyelesaikan problem ini

commit to user

UU seharusnya membuat/membagi hak-hak saksi tersebut berdasarkan kategori- kategori saksi yakni kategori pertama, adalah perlindungan atas hak saksi dalam prosedural pidana hak ini diberikan secara umum kepada seluruh saksi yang membutuhkan dan kedua, untuk kategori hak saksi yang terintimidasi.

e. Pasal 10 Undang Nomor 13 Tahun 2006

(1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

(2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap

Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.

Secara substansial sesungguhnya masih ada pasal sandungan bagi saksi dalam Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Sekalipun dalam pasal 10 ayat (1) ditegaskan bahwa saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya. Namun ayat (2) pasal yang sama menegaskan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Bila dicermati pasal tersebut masih akan menjadi penghalang bagi pengungkapan kasus-kasus sulit seperti korupsi. Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan sangat rapi dan sistematis, melibatkan hampir seluruh elemen pemerintahan, aparat penegak hukum, dunia usaha dan masyarakat umum. Tanpa adanya keberanian dari salah satu unsur tersebut untuk tampil sebagai whistleblower maka kecil sekali kemungkinan

commit to user

korupsi akan terbongkar. Semestinya terhadap orang-orang yang terlibat tindak pidana korupsi tetapi bersedia tampil menjadi pelapor dibebaskan dari tanggung jawab pidana. Apalagi bila kemudian laporan dan kesaksiannya menjadi langkah awal terbongkarnya seluruh jaringan korupsi dengan kerugian negara relatif besar. Lain halnya terhadap mereka yang secara hukum wajib menjadi saksi, bila memang tidak ada insiatif pertama kali darinya untuk mengungkapkan tindak pidana bersangkutan tetapi terungkap belakangan mereka terlibat maka tetap orang seperti ini harus mempertangungjawabkan perbuatannya sekalipun dia menjadi saksi terhadap tersangka lainnya. Prinsipnya pengecualian berupa pembebasan dari tanggungjawab pidana hanya diberikan terhadap mereka yang memiliki inisiatif awal mengungkap sebuah tindak pidana sekalipun dia juga terlibat dalam kasus tersebut. Pembebasan tanggungjawab hukum baginya adalah sebuah bentuk penghargaan bagi upayanya mengungkap sebuah kejahatan luar biasa (Artikel Sang pelapor dan Perlindungan Saksi, Juli 2008 ).

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Anggara dalam artikelnya yang berjudul “ Pelapor dan Perlindungan Saksi ” bahwa sampai saat ini memang belum ada mekanisme khusus yang mengatur kedudukan peniup peluit (whistleblower) ini dalam kerangka hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Yang ada adalah mekanisme yang sangat ringkas sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa “…kesaksianya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”. Namun yang menjadi problema dengan siapa pelapor ini akan bernegosiasi? dan seberapa banyak keringanan hukuman yang akan dijatuhkan? dan bagaimana peran LPSK ataupun lembaga penegak hukum yang lain dapat memainkan perannya saat bernegosiasi dengan pelapor ini? Jika melihat dalam ketentuan Undang Nomor 13 Tahun 2006 maka peran hakim sangat menentukan kedudukan pelapor dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Ketua LPSK dalam tulisannya di kompas menuturkan dengan sangat baik apa yang menjadi kesulitan dalam mekanisme perlindungan saksi di Indonesia. Lebih lanjut beliau menyatakan:

commit to user

Meskipun telah ada peraturan perundang-undangan yang melindungi pelapor, ada perbedaan pengertian antara pelapor di Indonesia dan whistleblower. Seseorang hanya dapat disebut pelapor apabila telah menyampaikan laporan kepada aparat penegak hukum atau komisi. Adapun mereka yang mengungkapkan informasi kepada publik—bukan kepada aparat penegak hukum—tidak disebut pelapor, dan peraturan di atas tidak melindungi mereka. Perlindungan lengkap hanya diberikan kepada pelapor tindak pidana korupsi dan/atau pencucian uang, sedangkan untuk tindak pidana lainnya diatur di Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban berupa perlindungan terbatas, yaitu proteksi hukum semata. Artinya tidak dituntut secara pidana ataupun perdata atas laporan yang disampaikan dengan iktikad baik. Bahkan, pelapor yang laporannya tidak masuk kategori pidana, tidak mendapat perlindungan.

Ini berbeda dengan pelapor tindak pidana korupsi dan tindak pidana money laundering yang berhak mendapat jaminan keamanan, mengganti identitas, evakuasi, serta perlindungan hukum. Perlindungan hukum mencakup hak untuk tidak dituntut secara pidana atau perdata (imunitas) dan menuntut kerugian apabila ada pihak-pihak, dalam hal ini termasuk aparat penegak hukum, membocorkan identitas mereka sebagai pelapor.Untuk tindak pidana korupsi dan money laundring, menurut UU Tipikor dan UU KPK serta UU TPPU dan Peraturan Pelaksananya, perlindungan pelapor dilakukan oleh KPK, PPATK bersama dengan kepolisian serta aparat penegak hukum lainnya. Namun, sejak ada UU No 13 Tahun 2006, pelapor sekaligus saksi dan/atau korban dapat meminta perlindungan LPSK.Peraturan perlindungan pelapor yang tersebar dan dengan mekanisme yang berbeda-beda itu sangat membingungkan dan menyulitkan. Bahkan, dapat berimplikasi tidak berjalannya perlindungan terhadap pelapor. Karena itu, perlu dirumuskan mekanisme perlindungan yang lebih sederhana dan proaktif ” ( Artikel Pelapor dan Perlindungan Saksi,Juni 2010).

Problema lain terdapat pada Pasal 10 ayat (3) yaitu “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan

commit to user

pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Dengan menghindari klarifikasi pada siapa yang berhak memberikan penilaian Itikad tidak baik dan atas dasar apa seseorang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini, teks tersebut meninggalkan celah interpretasi yang cukup besar bagi kepentingan para pelaku pelanggar ( Artikel Sebuah tinjauan kritis mengenai Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Juli 2007).

f. Saksi yang Harus Dilindungi

Undang - undang Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak jelas mengatur “status saksi” berkaitan dengan saksi dari pihak manakah yang bisa dilindungi? Apakah saksi yang membantu pihak tersangka/ terdakwa ataukah saksi dari pihak yang membantu pihak aparat penegak hukum? Tidak dicantumkannya secara tegas hal ini nantinya akan menimbulkan problem dan membebani lembaga perlindungan dalam pelaksanaannya. Sebaiknya ditegaskan bahwa saksi yang dilindungi dalam undang-undang ini adalah saksi dalam kasus pidana yang membantu aparat penegak hukum (saksi pihak penuntut) (Eka Wahyu Keptiany, 2010:41).

g. Tidak Konsisten Pengaturan Jangka Waktu Perlindungan

Dalam Pasal 1 No 5 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006, Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Namun menurut penulis, undang-undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban terbatas hanya dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Pasal ini akan membatasi jangka waktu perlindungan karena pengertian tahap proses peradilan pidana ini hanya mencakup, tahap penyelidikan sampai dengan pemberian putusan yang final, padahal dalam kondisi tertentu dimana kejahatan yang ada sifatnya serius, proteksi maupun perlindungan saksi harus diberikan pula pada tahapan setelah proses peradilan pidana. Pasal- pasal tersebut tidak konsisten bila dikaitkan dengan Pasal 5 huruf f, huruf h,

commit to user

huruf i yang memberikan kepada saksi hak untuk untuk mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, hak mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan dan hak identitas baru. Hak-hak ini diberbagai negara dalam prakteknya justru diberikan setelah kasus selesai di proses dalam peradilan pidana, bahkan untuk perlindungan dengan cara penggantian identitas maupun relokasi yang permanen bagi saksi, tahapan pemberiannya seharusnya menjangkau waktu yang sangat lama atau diberikan secara permanen (seumur hidup) (Eka Wahyu Keptiany, 2010:42).

h. Lahirnya Beban Ganda dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 Problema – problema dalam pemaparan diatas adalah tinjauan dari pasal demi pasal dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006. Namun apabila dicermati secara keseluruhan, muncul beban ganda yang harus diemban oleh cita – cita dan semangat luhur dari Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006.

Perlu dijelaskan bahwa akibat kondisi hukum acara pidana yang tidak memadai terkait dengan hak perlindungan saksi dan korban maka dilahirlah undang – undang perlindungan saksi dan korban yang ditugaskan untuk mengakomodasi seluruh hak – hak saksi, bahkan mencakup pula perlindungan dan bantuan bagi korban kejahatan. Akibatnya kemudian bisa diduga, substansinya ( hak – hak yang di akomodir ) dalam undang – undang tersebut menjadi sangat luas. Hal tersebut sebenarnya sudah harus menjadi konsekuensi karena sistem atau model hak – hak saksi yang selama ini berkaitan dengan prosedur peradilan pidana yang seharusnya diatur oleh sebuah prosedur peradilan pidana ( KUHAP ) tidak pernah terealisasi di Indonesia karena reformasi hukum acara pidana di Indonesia tidak pernah terjadi. Oleh sebab itu, undang – undang ini mau tidak mau memasukkan hamper seluruh hak – hak saksi secara prosedural yang seharusnya masuk ke dalam hukum acara pidana. Beban ganda yang terkandung dalam undang – undang perlindungan saski dan korban menjadi tidak terelakkan dan dalam kondisi tertentu mingkin bisa dibenarkan karena kondisi peraturan lainnya ( terutama hukum acara ) yang tidak mendukung sedangkan secara faktual peraturan yang mendukung kondisi saksi dalam proses

commit to user

peradilan ( baik dalam kondisi biasa maupun kondisi terintimidasi ) tidak pernah

ada dan justru sangat dibutuhkan pada saat sekarang ini ( Muhadar,dkk, 2010:97).

i. Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum mengatur tentang peran serta masyarakat dan penghargaan terhadap orang yang memberikan kesaksian atau melaporkan tindak pidana

Untuk mengungkap kasus tindak pidana, terutama pelanggaran HAM dan korupsi, peran serta masyarakat sangat menentukan. Beberapa kasus pelanggaran HAM dapat terungkap karena adanya kesaksian dari korban, tapi masih lebih banyak yang tidak terungkap karena korban tidak mau bersaksi mengingat besarnya risiko yang harus dihadapi. Sedangkan dalam kasus korupsi, peran

whistleblower sangat menentukan. Mengingat besarnya risiko yang harus dihadapi oleh masyarakat dalam berperan melaporkan atau menjadi saksi tindak pidana, sudah sewajarnya apabila mereka diberi penghargaan sesuai dengan perannya. Selain itu, memasukkan unsur penghargaan bagi peran serta masyarakat penting dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak pidana.

Dokumen terkait