• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Mengenai urgensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah dapat lihat dari politik hukum Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 maupun dari dokumentasi fakta empiris persebaran tindak pidana di seluruh wilayah NKRI.

Untuk mempermudah alur pikir mengenai urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah, maka dapat digambarkan alur pikir sebagai berikut :

commit to user

Gambar 3. Skematik Alur urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah

Adapun politik hukum lahirnya Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 adalah sebagai berikut:

1. bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana;

2. bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelakutindak pidana Bering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu;

Politik Hukum Lahirnya UU NO.13 Tahun 2006 Urgensi LPSK di daerah Dokumnetasi Fakta Empris Amanat UU No.13 th 2006

Kasus – Kasus tindak pidana yang terbengkalai karena ketiadaan saksi

( hal tersebut disebabkan tidak adanya jaminan perlindungan

commit to user

3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, perlu dilakukan perlindungan bagi Saksi dan/atau Korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana;

Selain politik hukum dari undang – undang tersebut di atas, urgensi mengenai keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah dapat lihat dari adanya dokumentasi fakta empiris persebaran tindak pidana yang terjadi diseluruh wilayah NKRI. Tidak sedikitnya kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi, merupakan suatu realita kelemahan dari undang – undang perlindungan saksi dan korban yang hanya memprioritaskan kedudukan LPSK di daerah ibukota negara saja. Ketiadaan saksi tersebut disebabkan karena keengganan korban tindak pidana untuk menjadi saksi. Tidak adanya jaminan perlindungan hukum yang memadai, ditambah dengan munculnya intimidasi, kriminalitas atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikan merupakan alasan enggannya seseorang untuk menjadi saksi. Berdasarkan dokumentasi yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch ( ICW ) ada beberapa daftar kasus ancaman, intimidasi terhadap saksi bahkan diantaranya digugat juga secara perdata.

Tabel 2. Contoh kasus ancaman, intimidasi terhadap saksi

No Nama Perkara Tahun Keterangan

1 Arif Rahman Sejumlah dugaan kasus korupsi di Kabupaten Flores Timur yang melibatkan Bupati Felix Fernandez

2003 Arif Rahman yang seorang anggota DPRD NTT asal Flores Timur, diadukan pencemaran nama baik oleh Bupati Felix Fernandez,dan oleh PN Larantuka divonis 3 tahun penjara.

commit to user Koordinator Pusat Telaah Informasi Regional ( Pattiro ) dan Koordinator Forum Peduli Anggaran Solo korupsi APBD kota Solo 2003 yang melibatkan Darsono, Bandung Joko Suryanto, dan Ipmawan M. Iqbal kota Solo 1999-2004 terhukum 2,5 tahun penjara kasus korupsi yang

dilaporkan Alif

Basuki.Ketiga Anggota DPRD tersebut menggugat ganti rugi Alif Basuki secara perdata ke PN Surakarta sebesar 3 miliar, Alif dituduh telah mencemarkan nama baik ketiganya. 3 Simon ( Ketua Lembaga Pengawasan Pembagunan Mamasa) Dugaan korupsi APBD oleh Pemkab Mamasa dan DPRD Kab.Mamasa Tahun Anggaran 2003 ( dilaprkan Des 2004,Feb 2005, dan Jan 2006 ke Kejakgung dan KPK )

2006 Bupati Mamasa pada Februari 2006 melaporkan Simon ke Polres Mamasa karena dugaan pencemaran nama baik. Hingga saat ini kasus korupsi yang dilaporkan Simon tidak jelas perkembangannya. 4 Kamzul Abrar( Aktivis Dugaan korupsi yang dilakukan oleh

2006 Abar sempat diculik selama 5 hari ( 2-7 Juni 2006) oleh sejumlah orang tidak

commit to user Forum Peduli Nurani Rakyat ( FPNR ) sulit air Firdaus Kahar, Wali Nagari Sulit iar, Kab.Solok Sumbar dikenal. Penculikan dikaitkan denganaktivitas Abrar dalam mengungkap kasus korupsi yang dilakukan oleh Wali Nagari Sulit iar, Kab.Solok Sumbar.

Pihak Kepolisian belum melakukan penyelidikan atas kasus penculikan tersebut.

Bertolak dari realita yang demikian, maka kehadiran LPSK di daerah sangat dibutuhkan. Walaupun Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibukota Negara Republik Indonesia, namun disamping berkedudukan di ibukota Negara, Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juga memberi keleluasan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK. Pilihan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan di daerah adalah pilihan yang tepat karena secara geografis wilayah Republik Indonesia yang akses informasi dan komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota Negara dengan wilayah lainnya. Apalagi, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi maupun korban yang terjadi selama ini justru paling banyak terjadi diluar wilayah Ibukota Negara Republik

Indonesia. Perwakilan LPSK di daerah ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa

berada di tingkat region tertentu ataupun di tiap provinsi. Bahkan bisa juga didirikan di level Kabupaten. Bahkan dalam kondisi khusus (Penting dan Mendesak) LPSK bisa didirikan di wilayah terpilih. Disamping itu Perwakilan

commit to user

LPSK di daerah juga bisa didirikan secara permanen atau secara ad hoc, sangat tergantung dari dari situasi yang mendukungnya.

Satu hal yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan adalah kebutuhan untuk mendirikan perwakilan LPSK di daerah, juga akan memberikan implikasi atas sumber daya yang besar pula dari segi pembiayaan maupun penyiapan infrastruktur dan sumberdaya manusia. Berkaitan dengan sumber daya manusia sebagai pejabat di dalamnya, harus benar – benar profesional dan jauh dari intervensi kepentingan kelompok. Hal ini menjadi penting karena jangan sampai pendirian perwakilan LPSK di daerah yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pendamba keadilan ini, justru akan menjadi sesuatu yang kontra produktif, jika ketiga aspek ini tidak dikaji dengan benar.

commit to user

81

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Adapun beberapa probematik normatif yang penulis cermati pada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai berikut:

a. Pasal 1 ayat 1 Undang Nomor 13 Tahun 2006, definisi “saksi” kurang memadai dan masih dibebani oleh pngertian saksi menurut KUHAP sehingga menutup kemungkinan perlindungan terhadap

whistleblower.

b. Pasal 1 poin 5 Undang Nomor 13 Tahun 2006, rumusan dalam pasal tersebut terlalu sempit, seharusnya konsep orang terkait ini tidak hanya menjangkau keluarga, namun dapat menjangkau orang lain yang mempunyai potensi membuat saksi tidak mau bersaksi bila orang tersebut di intimidasi.

c. Pasal 5 ayat (2) Undang Nomor 13 Tahun 2006, terlihat adanya pembatasan terhadap saksi yang akan dilindungi, dan hal ini merupakan suatu kemunduran dari niat yang baik di balik undang – undang tersebut

d. Ketidakjelasan Pemberian Perlindungan Kepada Saksi, Terkait dengan bentuk perlindungan yang diberikan oleh undang – undang perlindungan saksi tersebut, rumusan tersebut tidak menjelaskan secara memadai beberapa pertanyaan yang mendasar berkenaan dengan apakah hak-hak ini diberikan kepada seluruh saksi dalam

commit to user

perkara pidana ? apakah hanya saksi yang yang tertentu saja (dalam ancaman)?

e. Pasal 10 Undang Nomor 13 Tahun 2006, bila dicermati pasal tersebut masih akan menjadi penghalang bagi pengungkapan kasus-kasus sulit seperti korupsi. Tanpa adanya keberanian dari salah satu unsur tersebut untuk tampil sebagai whistleblower maka kecil sekali kemungkinan korupsi akan terbongkar.

f. Saksi yang harus dilindungi, tidak jelas mengatur “status saksi” berkaitan dengan saksi dari pihak manakah yang bisa dilindungi. Apakah saksi yang membantu pihak tersangka/ terdakwa ataukah saksi dari pihak yang membantu pihak aparat penegak hukum.

g. Undang - undang Perlindungan Saksi dan Korban juga Tidak Konsisten Pengaturan Jangka Waktu Perlindungan

h. Lahirnya Beban Ganda dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 akibat kondisi hukum acara pidana yang tidak memadai terkait dengan hak perlindungan saksi dan korban.

i. Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum mengatur tentang peran serta masyarakat dan penghargaan terhadap orang yang memberikan kesaksian atau melaporkan tindak pidana

2. Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di tingkat pengadilan, terutama yang berkenaan dengan saksi. Tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi. Bertolak dari realita yang demikian, maka terlepas dari tidak sempurnanya Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun kehadiran LPSK di daerah sangat dibutuhkan. Pilihan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan di daerah adalah pilihan yang tepat karena secara geografis wilayah Republik Indonesia yang akses informasi dan

commit to user

komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota Negara dengan wilayah lainnya. Apalagi, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi maupun korban yang terjadi selama ini justru paling banyak terjadi diluar wilayah Ibukota Negara Republik Indonesia.

B. Saran

1. Ketidak jelasan pengaturan – pengaturan, adanya unsur intervensi kepentingan politik dalam penyusunan peraturan perundang - undangan dan munculnya beberapa kemunduran – kemunduran dari niat baik dibalik cita – cita undang – undang tersebut, tidak menghadirkan sebuah kerangka untuk institusi yang independen dan stabil yang mampu untuk mengatasi permasalahan yang kini dihadapi. Maka untuk memperbaiki hal tersebut seyogyanya diperlukan suatu revisi dari Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

2. Dalam Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut juga dipandang masih ada keterbatasan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Untuk mengatasi hal tersebut, perlu adanya dukungan dan fasilitasi Presiden dengan membuat kesepakatan – kesepakatan kerjasama antar lembaga negara/instansi pemerintah lainnya untuk memperkuat kewenangan LPSK.

Dokumen terkait