BAB III. PENDAMPINGAN KAUM MUDA DALAM GEREJA
A. Pengertian Kaum Muda
3. Problematika dalam Perkembangan Kaum Muda
Dalam perkembangan menuju suatu kematangan hidup seseorang, tentu saja sering dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi serta keberadaan seseorang dalam lingkungan dan wilayah tertentu. Kaum mudapun mengalami hal tersebut, dimana lingkungan dan situasi kondisi setempat mendukung perkembangan dirinya. Orang tua, teman maupun masyarakat sekitar sangat berperan perting dalam perkembangan dirinya. Demi menuju suatu kematangan dalam dirinya, tentu kaum muda mengalami berbagai macam persoalan, entah itu datang dari dalam maupun dari luar dirinya. Namun kadangkala mereka merasa sulit dan bahkan tidak mampu untuk keluar dari berbagai permasalahn maupun kesulitan hidp yang dialami.
Dalam kehidupan sehari-hari, secara keseluruhan masalah yang seringkali ditemui dalam kehidupan kaum muda yakni, iman yang dimiliki oleh kaum muda kurang mendalam dan pribadi yang belum mantap. Tentu saja masih banyak permsalahan-permasalahan lain yang sering dialami oleh mereka, namun dua permasalahan ini sungguh menjadi keprihatinan dan mereka sangat membutuhkan
bantuan, bimbingan dan pendampingan khusus bagi mereka dalam memecahkan persoalan yang bagi mereka sulit mencari dan menemukan jalan keluarnya. Tentu saja perlu dimaklumi bahwa dalam situasi perkembangan dalam menemukan jati diri, menuntut setiap pribadi untuk mempu bertindak, bahkan diharapkan mampu menanggapi permasalahan tersebut sebagai wujud perkembangann dirinya.
a. Problematika dalam keluarga
Kesenjangan yang terjadi antara orang tua dan anak, hal ini dikarenakan adanya perbedaan pandangan dan pengertian antara nilai dan norma. Orang tua masih memakai ukuran tempo dulu (past oriented), sementara kaum muda cenderung lebih mengikuti perkembangan dan melihat ke depan (future oriented).
Konflik-konflik yang terjadi sering dikarenakan orang tua yang merasa dirinya paling benar dari segi pengalaman hidup, dimana orang tua sering gagal membantu anak-anak menyimak dan menyadari nilai-nilai yang tersirat dalam pengalaman yang cenderung normatif dan disampaikan dalam nada yang imperatif. Kesenjangan ini akan menjadi masalah, manakala berkembang menjadi konflik (Tangdilintin, 1984: 26).
Konflik antara orang tua dan anak tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tetapi di pedesaanpun sering terjadi. Di kota-kota besar, konflik terjadi karena orang tua terlalu sibuk mengejar prestise dan status sosial yang telah banyak menyita waktu dan anak kurang diperhatikan, sehingga kadangkala kurang ada komunikasi antara anak dan orang tua, sehingga orang tua tidak terlalu tau perkembangan anaknya. Dipedesaan sendiri, adanya perbedaan tingkat pendidikan antara orang tua dan anak menjadi penyebab kesulitan dialog.
Selain kedua hal diatas, kesenjangan antara orang tua dan kaum muda juga nampak jelas dalam perbedaan bahasa, dimana perbedaan-perbedaan itu menyangkut alam pikiran, cita rasa dan aspirasi. Misalnya, pengertian orang tua yang baik bagi orang muda atau kaum muda berarti mereka yang bisa memberi perhatian dan bisa berdialog dengan mereka, sementara bagi orang tua sendiri identik dengan penyediaan biaya dan fasilitas-fasilitas yang ada. Wibawa orang tua cenderung menurun dimata kaum muda, apabila mereak menyaksikan ketidak harmonisan hubungan orang tua dengan mereak. Posisi anak dalam keluarga juga membawa masalah tersendiri, adanya kesenjangan cara didik antara si sulung dan si bungsu dapat mengakibatkan cara pandang mereka dalam hidup.
b. Problematika dalam masyarakat
Pesatnya kemajuan dan peningkatan taraf hidup membawa akibat-akibat sampingan, seperti materialisme, hedonisme (paham atau sikap mencari kenikmatan hidup) dan konsumerisme. Bagi kaum muda, sifat-sifat diatas membawa pengaruh yang berbahaya, dimana kecenderungan kaum muda mengikuti mode jamannya tanpa harus adanya sikap kritis.
Dalam masyarakat, kaum muda juga sering mendapat perlakuan yang menyamaratakan dan kurang simpatik, misalnya: hanya karena sebagian kaum muda melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik, maka semua kaum muda mendapat tanggapan negatif dari masyarakat. Dalam masa transisi masyarakat, tata nilai dan norma lama yang menjadi standart tingkah laku mengalami kegoncangan dan kerasa terjadi pergeseran. Nilai-nilai lama diragukan dan cenderungditinggalkan, tetapi nilai-nilai baru belum dipegang. Proses transisi sering terjadi secara mendadak,
sehingga menimbulkan kejutan, ketegangan dan kebingungan, sebagai contoh: tejadi demonstrasi-demonstrasi sebagai wujud ketidakpuasan kaum kaum muda dalam berbagai hal (Tangdilintin, 1984: 29).
Kaum muda merupakan lapisan yang paling merasakan transisi itu. Kaum muda sering diberi predikat sebagai pendobrak dan pembaharu, kaum muda ingin mendobrak kelambanan transisi, memberantas berbagai praktek tidak sehat serta merombak berbagai sistem tertentu yang melambangkan ketidakadilan dalam masyarakat, walaupun tidak jarang kaum muda tidak diberi kesempatan untik menyuarakan pendapat mereka. Tidak jarang pula kaum muda dipojokkan hanya untuk kepentingan-kepentingan organisasi tertentu yang mengatasnamakan kaum muda dan mereka boleh bangga dan puas denfan atribut-atribut yang melekat dalam diri kaum muda.
Sementara itu, pencarian lapangan kerja belum mampu mengatasi pengangguran yang semakin membengkak oleh banyaknya usia angkatan kerja yang tergolong tidak memiliki ketrampilan atau keahlian yang memadai. Gambaran surgawi tentang hidup di kota-kota besar, mengakibatnya kaum kuda pedesaan melakukan urbanisasi yang membawa masalah-masalah sosial baru di kota.
c. Problematika dalam Gereja
Gereja sedang dalam masa transisi, dimana Gereja sedang mencari terus menerus menemukan jatidirinya untuk semakin hadir sebagai sakramen keselamatan bagi umatnya. Perubahan dan perkembangan Gereja dewasa ini sangatlah mengagumkan, dimana Gereja sedang bergerak dan digerakkan kearah Gereja
tenaga pelayanan. Peran awam dalam perkembangan Gereja sangat dibutuhkan. Salah satu hasil atau penemuan yang sangat berarti dari Konsili Vatikan II (1962-1965) adalah Gereja Umat Allah. Perkembangan Gereja tidak hanya terletak pada Hirarkhi, melainkan juga umat. Melihat kaum awam sudah lama tenggelam dengan segala potensi yang dimilikinya dan juga tenggelam dalam gambaran Gereja yang lebih institusional-hirarkhi dan kaum awam berada pada posisi pasif-parasiter, menungggu dilayani dan bahkan diajari (Tangdilintin, 1984: 34). Dalam memahami akan gambaran Umat Allah, kaum awam bersama para hirarkhi harus menyadari diri sebagai komponen konstitutif yakni keduanya sebagai unsur pembentuk Gereja (Tangdilintin, 1984: 34).
Kaum muda yang hidup antara transisi dengan segala akibatnya, seringkali belum bahkan tidak diperhitungkan dalam Gereja, mengakibatkan tidak jarang kaum muda menggambil jarak dan bahkan acuh tak acuh. Bahkan ada anggapan, Gereja sebagai “urusan orang tua” dan bahkan kurang memberi perhatian kepada kaum muda bahkan menjadikan kaum muda sebagai partner dalam perkemangan Gereja (Bons-Storm, 2003: 1).
Bahkan Tangdilintin, 1984: 34 menulis: Timbul keluhan beberapa anak muda: mengapa orang tua sekarang ini selalu mendominir, memonopoli dan memperbudak kaum muda? Kami dimohon kerjasama dangan kaum tua, itu baik sekali. Tetapi mengapa kami hanya diperbudak dalam kerjasama tersebut, sedang orang tualah penentunya?
Berbicara mengenai kaum muda, umumnya berbicara mengenai Gereja masa depan. Gereja yang tidak lagi digerakkan hanya oleh para religius, melainkan didalamnya ada keterlibatan umat, dalam hal ini kaum muda saat ini. Kadangkala
orang tua kurang menyadari bahwa kaum muda juga merupakan bagian dari Gereja dan mereka juga memiliki peran aktif dalam perkembangan Gereja.
Anggapan orang tua bahwa kaum muda belum sepenuhnya anggota dari Gereja, mereka masih dalam proses persiapan, iman mereka belum “mantap”. Anggapan orang tua bahwa mereka dikatakan sepenuhnya anggota Gereja bila telah dewasa. Karena tidak mendapat tempat, maka dalam perkembangan Gereja masa kini, kecenderungan kaum muda memilih sikap pasif, masa bodoh dan tidak mau terlibat. Permasalahan ini (anggapan-anggapan orang tua) tanpa disadari menciptakan iklim yang tidak sehat bagi kaum muda, dimana kaum muda merasa asing, tersingkir, tidak diteri bahkan tidak dihargai dalam Gereja. Lebih mengecewakan lagi, kaum muda ada yang merasa tidak krasan, adanya ketidaknyamanan sebagai anggota Gereja.
d. Problematika dalam diri kaum muda sendiri
Dinamika hidup kaum muda sulit untuk dimengerti dan dipahami, mereka selalu terbuka dan labil, pendirian dan kondisi emosionalnya cepat berubah. Sesuatu dapat menjadi potensi sekaligus problem bagi kaum muda sendiri.
Dari segi fisik maupun psikis, masalah perkembangan kaum muda ditandai dua dorongan, yakni dorongan kelamin (nafsu sex) dan dorongan aku (nafsu ego) yang bisa mempengaruhi seluruh hidup kaum muda. Pengetahuan-pengetahuan tentang sex tidak jarang masih dianggap tabu oleh para orang tua, mengakibatkan banyak kaum muda yang berusaha mencari tau sendiri tentang semua itu, sehingga kenaifan mengenai sexualitas dengan gejala-gejala, tidak jarang menyebabkan kegelisahan
dan keingintahuan yang disalurkan dalam berbagai cara atau malah eksperimen yang pada gilirannya menimbulkan masalah-masalah baru (Tangdilintin, 1984: 47).
“Dorongan aku” menggejala dalam berbagai perilaku, dengan harapan minta diperhatikan, dihargai dan diterima sebagaimana adanya. Masalah timbul apabila orang lain tidak menerima dan menghargai ke “aku” apa adanya seseorang. Sikap egois ini dapat diartikan kebebasan, tidak terikat oleh apa dan siapapun dalam memilih dan menentukan tindakan. Kaum muda tidak suka didikte orang tua atau otorita lain. Hal ini mengakibatkan orang tua menjadi lebih otoriter dan cenderung mengatur, sehingga menimbulkan konflik.
Perkembangan emosi dan afeksi menyebabkan kaum muda dapat membina selera dan cita rasanya sendiri. Perkembangan intelek memampukan kaum muda melihat dan menilai segala sesuatu dengan skala nilainya sendiri, memandang jauh kedepan dan membuat rencana masa depannya sendiri. Semua itu ada dalam diri kaum muda dan merupakan potensi yang dimiliki oleh mereka. Menjadi masalah apabila mereka kurang menyadari potensi-potensi yang mereka miliki.
Perasaan minder tentu saja merupakan faktor utama bagi seseorang akan sangat menghambat perkembangan, karena menyulitkan seseorang untuk bergaul, berkenalan, sosialisasi dengan orang lain, dan bahkan lebih memilih memilih sikap untuk menutup diri. Keraguan, kurang yakin pada diri sendiri dan banyak berprasangka terhadap orang lain, membatasi ruang geraknya apalagi untuk berinisiatif dan berkreasi. Bagi mereka, ini merupakan gambaran hidup dan masa depan serba suram, bahkan kadang-kadang tidak berani menatap masa depan.
Sebagai contoh di daerah Mentawai, banyak remaja putus sekolah karena orang tua yang kurang mampu dan mereka harus bekerja membantu keluarga. Tidak
sedikit pula yang harus kawin muda yang menyebabkan kaum muda kehilangan fase yang amat berharga dalam hidupnya. Dimasa remaja, mereka sudah dibebani dengan tanggung jawab yang begitu besar sehingga kesempatan untuk berkembang normal lewat kontak sesama usia (bersosialisasi) apabila untuk pembinaan tidak mungkin terjadi. Mereka dituntut untuk cepat menjadi dewasa, sehingga ada sesuatu yang hilang dalam mata rantai proses perkembangannya. Berbagai adat yang memojokkan kaum muda tak urung membesarkan masalah dalam diri kaum muda sendiri, apalagi bila mereka pasrah tanpa usaha untuk mengubahnya (Tangdilintin, 1984: 40).