• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI PADI

Dalam dokumen I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang (Halaman 45-60)

sehingga produksi yang dihasilkan optimal. Ketiga komponen ini sangat berpengaruh pada produksi padi yang dihasilkan. Menurut Sudirja (2008), disebutkan bahwa dengan

0 25000 50000 75000 100000 125000 150000 175000 200000 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 TO N TAHUN

PRODUKSI PADI

Badung Gianyar

46

adanya alih fungi lahan tidak hanya berdampak pada tingkat produksi saja, namun juga akan berpengaruh pada ketersediaan lapangan kerja bagi petani maupun buruh tani yang terkena oleh alih fungsi tersebut.

Menurut informasi yang diperoleh dari anggota subak di Kabupaten Badung, alih fungsi lahan ini terjadi diakibatkan oleh harga tanah yang sangat tinggi. Harga tanah yang mencapai ± 1 Milyar/100 m² mengakibatkan banyak petani atau anggota subak tergiur untuk menjual lahan. Begitu pula yang terjadi di Kabupaten Gianyar, harga tanah mencapai ± 250 juta/100 m². Menurut salah satu ketua subak atau pekaseh di Kabupaten Badung, bahwa warga negara asing (WNA) terlebih dahulu menikah dengan warga negara Indonesia (WNI) sebelum melakukan pembelian tanah, hal ini dilakukan karena adanya peraturan mengenai kepemilikan tanah oleh warga negara asing. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di kedua kabupaten didominasi oleh pembangunan infrastuktur yakni villa dan perumahan-perumahan yang sebagian besar pembeli tanah merupakan warga negara asing. Lokasi yang berdekatan dengan pusat kota dan pusat pariwisata menjadi penyebab warga negara asing melakukan investasi di kedua kabupaten ini. 6.3. Bergesernya Peran dan Fungsi Sektor Pertanian

Bali menjadi destinasi wisata bagi wisatawan mancanegara maupun domestik. Banyaknya warisan budaya yang dimiliki Bali merupakan daya tarik bagi kebanyakan wisatawan. Semakin banyaknya jumlah wisatawan yang datang ke Bali membuat para pemilik modal melakukan investasi di Bali. Tempat penginapan baik hotel, villa, guest house, dan lain sebagainya sangat mudah ditemukan di Bali. Dengan semakin banyaknya hotel maupun villa yang berdiri maka alih fungsi lahan pertanian semakin tahun semakin meningkat. Sektor pertanian yang menjadi mata pencaharian utama bergeser menjadi sektor pariwisata. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan beberapa tantangan yang terdapat dilapangan, antara lain usia, luas lahan, modal yang dimiliki petani. Rata-rata usia petani di Kabupaten Badung yakni 61 tahun dan di Kabupaten Gianyar yakni 59 tahun sedangkan luas lahan yang dimiliki petani di Kabupaten Badung seluas 31 are (0,31 Ha) dan Kabupaten Gianyar seluas 27 are (0,27 Ha).

47 a. Luas lahan

Peningkatan produksi hasil pertanian dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dominan, antara lain luas lahan, modal, dan tenaga kerja. Anggota subak yang memiliki lahan yang luas akan mempengaruhi produksi sehingga pendapatan yang diperoleh petani mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, yang terjadi dilapangan menunjukkan bahwa rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh anggota subak kurang dari 0,5 Ha, hal ini tentu akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh petani. Pendapatan petani yang rendah akan berdampak pada motivasi untuk berusaha tani.

Biaya sarana produksi yang dikeluarkan oleh petani dalam menunjang usahataninya cukup besar, namun pendapatan yang diterima tidaklah seberapa. Hal inilah yang dapat menjadi penyebab petani menjual lahan pertaniannya sehingga alih fungsi lahan semakin marak terjadi. Selain itu, harga tanah yang semakin tahun semakin meningkat juga menjadi penyebab banyaknya petani yang menjual lahannya.

b. Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang sangat dominan dalam meningkatkan produksi hasil pertanian. Dari data yang diperoleh peneliti dilapangan didapatkan bahwa rata-rata usia anggota subak mencapai 60-an tahun, hal ini menunjukkan bahwa usia petani akan memasuki usia non-produktif. Semakin bertambahnya usia petani mengakibatkan tingkat kinerja mereka dalam berusaha tani semakin rendah. Produksi yang dihasilkan oleh petani tidak dapat optimal dibandingkan ketika mereka masih berusia produktif.

Gambar 6.7. Anggota Subak di Kabupaten Badung dan Gianyar (sumber: analisis data primer, 2015)

48

Peneliti menemukan terjadi beberapa perubahan pada kegiatan usahatani di subak, antara lain dalam melakukan penanaman bibit dan panen. Pada zaman dahulu anggota subak secara bersama-sama secara sukarela bergotong royong membantu anggota lainnya pada saat melakukan penanaman dan panen. Namun, yang terjadi dilapangan saat ini yakni beberapa anggota subak menggunakan jasa buruh dalam melakukan penanaman bibit. Selain itu dalam melakukan panen, sebagian besar anggota subak menjual hasil panennya dalam bentuk Gabah Kering Giling (GKG) dengan sistem tebasan (Rp. 175.000-Rp. 250.000/100m²). Dengan menggunakan sistem ini, petani tdak mengetahui jumlah produksi padi hasil panen. Pada awalnya terjadi kesepakatan harga pembelian antara petani dengan penebas (tengkulak), petani tidak dilibatkan dalam kegiatan pemanenan. Dahulu, petani menjual hasil panennya ke Koperasi Unit Desa (KUD), namun dalam 10 tahun terakhir ini sebagian besar petani menjual dalam bentuk tebasan. Penjualan hasil panen oleh anggota subak sulit untuk dihindari karena mereka memiliki kebutuhan yang mendesak untuk hidupnya.

c. Modal

Modal merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh petani yakni sarana produksi (pupuk, bibit, pestisida), upah tenaga kerja, dan pajak tanah. Dalam mengembangkan usahatani, petani membutuhkan biaya yang besar, kurangnya modal yang dimiliki mengakibatkan kegiatan bertani tidak maksimal. Anggota subak di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar menghadapi permasalahan dalam kemampuan permodalan. Dalam hal ini, pihak pemerintah Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar telah memberikan subsidi sarana produksi kepada petani.

Namun, sebagian besar petani tetap menghadapi masalah pada permodalan. Hal ini dikarenakan petani membagi keuntungan yang didapat dari panen sebelumnya untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya dan sebagian lagi untuk berusahatani selanjutnya. Untuk mengatasi permasalahan modal yang dimiliki oleh petani, bantuan yang diberikan pemerintah berupa uang cash digunakan pekaseh untuk membeli sarana produksi. Pekaseh membuat kesepakatan kepada anggotanya untuk meminjam sarana produksi yang telah disediakan, namun apabila petani sudah melakukan panen mereka berkewajiban

49 untuk membayarnya.

Gambar 6.8. Tempat Penyimpanan Saprodi Subak Kab. Badung dan Gianyar (sumber: analisis data primer, 2015)

Menurut Supriatna dalam Ariwibowo (2013), petani di Indonesia membutuhkan kredit untuk tujuan produksi, belanja hidup sehari-hari, dan pertemuan-pertemuan sosial. Luasan lahan garapan yang sempit yang dimiliki oleh petani, lapangan pekerjaan yang terbatas diluar musim tanam, dan pemborosan menyebabkan petani tidak dapat mengelola hidup dari satu panen ke panen lainnya tanpa adanya pinjaman. Berdasarkan hasil diatas, pemerintah provinsi dan kabupaten seharusnya tidak hanya memberikan bantuan berupa subsidi sarana produksi (saprodi), alat mesin pertanian (alsintan), bantuan perbaikan irigasi, bantuan berupa uang cash yang digunakan subak untuk membeli sarana produksi dan kegiatan upacara ritual, namun pemerintah perlu memperkuat kelembagaan subak. Subak perlu diperkuat dengan adanya koperasi subak, sehingga anggota subak dapat meminjam modal untuk kegiatan usaha taninya. Dengan adanya modal ini nantinya anggota subak tidak sampai meminjam uang ke bank yang bunganya jauh lebih besar yang nantinya akan menyengsarakan mereka. Selain itu, anggota subak dapat menjual hasil panennya ke koperasi sehingga pemasaran akan lebih mudah dan akan terhindar dari para tengkulak yang membeli hasil panen petani dengan harga rendah sehingga akan memperkuat bargaining power.

50

Tabel 6.5. Permasalahan Terkait Subak di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar Karakteristik usaha pertanian Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar

Luas lahan - Luas kepemilikan lahan krama subak < 0,5 Ha - Produktivitas lahan yang semakin menurun

- Adanya sistem pewarisan tanah mengakibatkan alih fungsi lahan tidak terkendali

Tenaga Kerja - Pendidikan formal yang masih rendah

- Kurangnya minat generasi muda untuk bertani (tidak adanya regenerasi)

- Bekerja kurang efisien

- Kurangnya orientasi agribisnis

Modal - Kurangnya modal krama subak dalam berusaha tani

- Tingginya biaya pajak yang wajib dibayar oleh krama setiap tahunnya

- Masih terdapat sistem tebasan

- Masih minimnya keberadaan koperasi pertanian (koperasi subak)

Sumber: analisis data primer, 2015 6.4. Eksistensi Subak

Pertumbuhan penduduk yang cepat akan diikuti pula dengan kebutuhan tempat tinggal dan area untuk membangun berbagai infrastuktur (industry, jasa, dll) yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk sehingga alih fungsi lahan yang terjadi akan semakin meningkat. Daya Tarik pada sektor pertanian terus menurun dikalangan masyarakat saat ini, hal ini menyebabkan petani cenderung untuk melepas kepemilikan lahannya. Harga tanah yang terus meningkat di Kabupaten Badung dan Gianyar akan menggiurkan petani untuk menjual sawahnya karena penghasilan untuk melakukan usaha tani rendah. Dengan adanya alih fungsi lahan ini nantinya akan mengakibatkan buruh tani serta petani penggarap akan kehilangan lapangan pekerjaan. Petani penggarap maupun buruh tani akan terjebak karena semakin sempitnya kesempatan kerja bagi mereka, hal inilah yang menjadi masalah serius di masyarakat saat ini. Subak

51

sebagai organisasi tradisional di Bali khususnya akan menghadapi masalah serius. Menurut Windia (2013), lahan pertanian dan pengairan merupakan bagian terpenting dalam subak, karena tanpa kedua komponen ini maka akan mempengaruhi eksistensi subak.

Menurut Darmanta (2013), dalam kaitannya dengan konsep Tri Hita Karana terutama pada konsep palemahan yang berkaitan dengan terjadinya alih fungsi lahan di salah satu subak Gianyar, disebutkan bahwa terdapat awig-awig sebagai berikut:

Sape sire sane ngadol utawi numbas carik ring weweidangan subak Pulagan-Kumba patut:

1. Mesadok ring prajuru subak utawi pekaseh gede

2. Patur nginutin sepopa-pali pemargin Subak Gede Pulagan-Kumba sane sampun memargi

3. Yening wenten salah sinungil carik krama Subak Gede Pulagan-Kumba magentos wiguna ayahan lan pola-pali ring kahyangan mangda kasungkemin

Artinya:

Siapapun yang menjual atau membeli sawah di wilayah Subak Gede Pulagan-Kumba, wajib:

1. Melapor kepada prajuru (pengurus) atau pekaseh (ketua) gede

2. Wajib mematuhi aturan yang sudah disepakati Subak Gede Pulagan-Kumba yang telah berjalan

3. Jika ada salah satu krama Subak Gede Pulagan-Kumbuh beralih fungsi terkait dengan kewajiban dan aturan di Khayangan (Pura atau tempat suci) agar disepakati.

Sedangkan disalah satu Subak di Badung (Subak Lip-lip), terdapat awig-awig berkaitan dengan terjadinya alih fungsi lahan. Isi dari awig-awig tersebut sebagai berikut:

52

1. Sang ngadol carik magentos wiguna utawi ngentosin wigunan carik, patut ngamargiang upakara panyapuh carik manut sastra Agama Hindu utamane sane munggah ring darmaning pamaculan

2. Ngantukang Dewa Nini ke Pura Pengulun Subak, tata titinyane manut pararem

3. Tan wenang mralina Pura Panyungsungan amongan subak, prade sami wawidangan subak magentos wiguna, Pura inucap patut kasungsung olih krama anyar sane wenten ring wewidangan inucap

Arinya:

Tata cara mengembalikan stana tuhan sebagai Dewi Sri apabila terjadi alih fungsi lahan:

1. Penjual lahan wajib melaksanakan upacara yang termuat dalam Sastra Dharma Pemaculan

2. Pengembalian fungsi lahan sesuai dengan aturan daerah setempat

3. Tidak diijinkan membongkar tanpa adanya upacara dan wajib bagi penjual untuk mengembalikan stana beliau ke Pura Pengulun carik. Pura tersebut dipelihara oleh warga sekitarnya.

Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa keseluruhan dari isi awig-awig tiap subak sepenuhnya sama. Awig-awig dibuat berdasarkan hasil rapat yang dilaksanakan oleh pekaseh, prajuru, dan krama subak. Menurut Wiyatna dan Lis (2013), awig-awig merupakan suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman untuk bertingkah laku dari dari anggota organisasi yang bersangkutan, dalam hal ini yakni anggota subak. Awig-awig yang terdapat dimasing-masing subak berisi tentang tata cara bercocok tanam dan pembagian air jaringan irigasi untuk krama subak.

53

Gambar 6.9. Awig-awig Subak di Kabupaten Badung dan Gianyar (sumber: analisis data primer, 2015)

Sebagian besar subak belum mengatur ketentuan mengenai larangan untuk melakukan alih fungsi lahan serta pengenaan sanksi terhadap krama subak yang melakukan alih fungsi lahan di dalam awig-awig subak. Dengan tidak adanya ketentuan seperti ini dikhawatirkan nantinya alih fungsi lahan tidak dapat dibendung. Berdasarkan awig-awig mengenai alih fungsi diatas, terlihat bahwa subak di Kabupaten Badung hanya mengatur tata cara apabila terjadi alih fungsi lahan di sekitar subaknya. Namun, subak yang berada di Kabupaten Gianyar lebih menitikberatkan pada aturan yang berlaku bagi pembeli lahan tersebut (aturan adat). Pembeli lahan yang berada disekitar subak wajib untuk melaksanakan ayah-ayahan di Pura Khayangan. Selain belum adanya perarutan mengenai larangan untuk mengalihfungsikan lahan serta pengenaan sanksi kepada krama yang menjual, ditambah lagi dengan pajak yang wajib dibayar oleh petani dengan harga tinggi setiap tahunnya mengakibatkan petani menjual lahannya. Selain awig-awig, subak juga memiliki peraturan yang bersifat tidak tertulis (perarem). Perarem merupakan kesepakatan yang tidak tertulis yang dibuat berdasarkan kesepakatan subak pada saat dilaksanakan rapat. Awig-awig dan perarem ini diberlakukan apabila terdapatkesepakatan dari semua krama subak. Rapat subak dilaksanakan secara rutin pada saat menjelang musim tanam.

54

Menurut Putrawan dan Sudirman (2012), adanya pengaruh pembangunan, perekonomian, pariwisata mengakibatkan alih fungsi lahan dari tanah sawah menjadi tanah kering untuk menjadi pemukiman, akomodasi pariwisata, seperti hotel, restoran, villa, ruko, art shop, perkantoran, dan lainnya sebagai penunjang dan pendukung pembangunan, perekonomian, dan pariwisata. Dengan beralih fungsinya lahan pertanian menjadi tanah kering maka akan mengakibatkan nilai tanah berubah, sehingga Nilai Jual Objek pajak (NJOP) akan naik dan pada akhirnya secara otomatis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) akan naik juga. NJOP merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli NJOP ditentukan melalui perbandingan dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru dan NJOP pengganti.

Kenaikan penerimaan PBB di masing-masing kecamatan se-Kabupaen Gianyar yakni Kecamatan Gianyar relatif stagnan karena sebagai kawasan perkotaan, Kecamatan Blahbatuh merupakan daerah berkembang, khususnya perumahan dengan asumsi kenaikan sekitar 3,5% pertahun, dan Kecamatan Ubud dan Kecamatan Tegallalang yang merupakan konsentrasi ke peruntukan obyek dan bangunan wisata komersiil dengan asumsi kenaikkan sebesar 5% pertahunnya (Putrawan dan Sudirman, 2012). Lahan pertanian yang berada pada kawasan strategispun akan mengakibatkan semakin tingginya nilai PBB. Tingkat pendapatan yang rendah ditambah dengan kewajiban membayar pajak setiap tahunnya mengakibatkan petani semakin tertekan. Hal ini berimbas pada keinginan petani untuk menjual atau menyewakan lahannya. Berdasarkan Keputusan Bupati Badung No. 1970/02/HK/2011 tentang “Pemberian Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau” di Kabupaten Badung pada tahun 2011 dan Keputusan Bupati Badung No. 1954/02/HK/2012 tentang “Pemberian Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau” di Kabupaten Badung pada tahun 2012 dijelaskan bahwa para wajib pajak yang berada pada kawasan jalur hijau tidak dikenakan kewajiban untuk membayar PBB, dana APBD digunakan untuk membayarkan seluruh PBB tersebut.

55

Gambar 6.10. Subak yang Berada Pada Jalur hijau Kab. Badung dan Gianyar (sumber: analisis data primer, 2015)

Subak yang berada pada kawasan jalur hijau merasa terbantu dengan adanya kebijakan pemerintah Kabupaten seperti ini. Pembebasan kewajiban pembayaran PBB pada jalur hijau bentujuan untuk pelestarian lingkungan dan menekan terjadinya alih fungsi lahan, sehingga sustainable development dapat terlaksana. Berdasarkan hasil penelitian, subak yang berada di kawasan jalur hijau tidak mengalami alih fungsi.

Menurut Windia (2013), eksistensi subak dipengaruhi oleh dua komponen, yakni lahan dan irigasi. Tanpa adanya kedua komponen ini subak tidak dapat berjalan secara optimal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar pada tahun 2013, terjadi alih fungsi lahan seluas 2.696 Ha di Kabupaten Badung dan 1.201 Ha di Kabupaten Gianyar dari tahun 2007 hingga 2013. Hal ini menunjukkan bahwa alih fungsi sulit untuk dikendalikan mengingat bahwa sektor yang paling dominan di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar adalah sektor pariwisata. Dengan semakin cepatnya laju alih fungsi ini tentu akan berpengaruh pada eksistensi subak. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa eksistensi subak di Kabupaten Badung lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Gianyar. Eksistensi subak sepenuhnya didukung oleh ketersediaan air dan ketersediaan lahan pertanian, apabila keduanya menunjukkan indikasi negative maka akan mempengaruhi eksistensi subak. Kurang tersedianya air mulai dirasakan bagi anggota subak yang berada di bagian hilir. Subak yang berada dibagian hilir biasanya memiliki waktu tanam melebihi dari kesepakatan yang dibuat pada

56

saat rapat subak, hal ini dikarenakan mereka harus mengalah dengan subak yang berada pada bagian hulu. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menganalisis perbedaan dan persamaan yang mendasar antara subak yang terdapat di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar.

Tabel 6.6. Karakteristik Pengelolaan Subak Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar

Komponen Kabupaten

Badung Gianyar

Perbedaan 1. Sumber Keuangan

1. Tidak semua subak menerapkan iuran tiap anggota (sarin tahun). Untuk subak yang masih menerapkan biasanya dikenakan Rp. 1.000 per are per krama subak 2. Denda bagi krama yang

tidak hadir berkisar Rp. 10.000 – Rp. 20.000.

1. Semua subak masih menerapkan iuran tiap anggota (sarin tahun). Iuran berupa hasil panen sesuai dengan baik tidaknya produksi yang dihasilkan, yakni sekitar 1 kg beras/krama untuk pura khayangan tiga 2. Denda bagi krama

yang tidak hadir berkisar Rp. 10.000 – Rp. 15.000. 2. Jumlah krama subak Selalu mengalami penurunan Jarang mengalami penurunan 3. Sanksi adat

Pemilik lahan wajib mengembalikan stana beliau (Dewi Sri) ke Pura Pengulun carik

Pemilik lahan wajib mengembalikan stana beliau (Dewi Sri) ke Pura Pengulun carik, serta pembeli tanah waji

mengayah di pura

Khayangan Tiga

setempat. Persamaan 1. Pembagian

air

Besar kecilnya debit air yang didapatkan oleh subak, ditentukan oleh:

1. Debit sungai sepanjang musim 2. Luas area sawah suatu subak

3. Jarak antara bendungan dan wilayah subak 4. Keadaan tanah subak

57 2. Gotong

royong

Semua krama subak bergotong royong ketika ketersediaan air berkurang dan terjadi masalah disaluran irigasi yang menuju subak (membersihkan irigasi dari adanya sampah) serta pada saat pelaksanaan ritual di pura penghulun carik

3. Pemilihan pengurus

Pemilihan pengurus subak dilaksanakan secara demokratis oleh krama subak

4. Sanksi awal tanam

Ketersediaan air berkurang pada suatu musim, sehingga krama subak yang memiliki sawah di bagian hilir akan menunda waktu tanam. Dengan penundaan waktu tanam ini, subak tidak memberikan sanksi mengingat dari perbedaan ketersediaan air di subak bagian hulu dengan bagian hilir.

Sumber: analisis data primer, 2015.

Menurut Pitana dan Sutawan dalam Kusuma, dkk. (2012), disebutkan bahwa kelestarian subak dapat diukur melalui lima komponen yang saling berkaitan, yaitu: organisasi petani pengelola air irigasi, jaringan irigasi atau sarana dan prasarana irigasi, produksi pangan, ekosistem lahan sawah beririgasi, serta ritual keagamaan yang menjadi ciri khas dalam budidaya padi. Kelima komponen ini merupakan penjabaran dari konsep Tri Hita Karana yang menjadi landasan atau konsep dari sistem pertanian di Bali yaitu subak berbasiskan konsep Tri Hita Karana. Untuk mengetahui tingkat eksistensi subak perlu dilihat sejauh mana pola keberlanjutan Tri Hita Karana, berikut akan disajikan tabel: Lanjutan tabel 6.6. Karakteristik Pengelolaan Subak Kabupaten Badung dan Kabupaten

58 Tabel 6.7. Pola Keberlanjutan Tri Hita Karana

Karakteristik perkotaan

Keberlanjutan Prinsip Tri Hita Karana

parahyangan palemahan Pawongan

Peningkatan Ketersediaan Fisik perkotaan 1. Ketersediaan fisik perkotaan tidak berpengaruh keberlanjutan secara langsung terhadap keberlanjutan komponen parahyangan 2. Jika komponen palemahan dan pawongannya terancam maka komponen parahyangan ini akan terancam keberlanjutannya 1. Fisik perkotaan akan menjadi penunjang pertumbuhan wilayah sehingga kebutuhan lahan non pertanian akan meningkat dan memicu alih fungsi lahan pertanian. hal ini menunjukkan semakin tinggi ketersediaan fisik perkotaan maka semakin tinggi ancaman terhadap komponen palemahan 1. Ketersediaan fisik perkotaan tidak berpengaruh langsung terhadap keberlanjutan komponen pawongan 2. Namun apabila komponen palemahan terancam akan mempengaruhi pengelolaan kelembagaan subak Perubahan sosial 1. Perubahan sosial kependudukan tidak berpengaruh langsung pada keberlanjutan komponen parahyangan 2. Jika komponen palemahan dan pawongannya terancam maka komponen parahyangan ini akan terancam keberlanjutannya 1. Perubahan sosial perkotaan akan berpengaruh pada komponen palemahan 2. Peningkatan jumlah dan migrasi penduduk menyebabkan kebutuhan lahan semakin meningkat yang secar langsung menyebabkan alih fungsi lahan pertanian 1. Perubahan sosial perkotaan akan berpengaruh pada komponen pawongan 2. Perubahan sosial kependudukan berpengaruh pada perilaku masyarakat

perkotaan. Hal ini akan

mempengaruhi pengelolaan kelembagaan subak

59 Perubahan ekonomi 1. Perubahanekonomi perkotaan akan berpengaruh pada komponen parahyangan 2. Perubahan ekonomi masyarakat perkotaan menjadi dominasi sektor non pertanian menyebabkan kegiatan yang berkairan dengan permohonan kelestarian usahatani mulai menurun 1. Perubahan ekonomi perkotaan akan berpengaruh pada kompnen palemahan 2. Penggunaan lahan sebagai pertanian sudah tidak lagi bernilai ekonomis maka akan memicu alih fungsi lahan pertanian 1. Perubahan ekonomi perkotaan akan berpengaruh pada komponen pawongan 2. Kegiatan pertanian bukan lagi penggerak utama perekonomian. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku krama subak yang kemudian berpengaruh kepada keterlibatan krama dalam organisasi dan pengaturan-pengaturan didalamnya Sumber: diadaptasi dari Equitari dan Suhirman (2012)

Dari tabel 6.7. tetlihat bahwa peningkatan ketersediaan fisik perkotaan, perubahan sosial, dan perubahan ekonomi akan mempenaruhi keberlangsungan Tri Hita Karana. Dari pemenuhan kriteria yang mempengaruhi pola keberlanjutan Tri Hita Karana dalam subak dapat diketahui bahwa komponen palemahan yang terwujud dari keberadaan sawah itu mempengaruhi keberlanjutan subak secara umum (Equitari dan Suhirman, 2012). Jika kelestarian subak tetap terjaga dengan konsep Tri Hita Karana, maka subak tidak

Dalam dokumen I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang (Halaman 45-60)

Dokumen terkait