• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut Anonim dalam Yayasan Wisnu (2001), air adalah segala-galanya bagi kehidupan, sebagaimana yang tertulis dalam Lontar Prakempa secara gamblang menyuratkan bahwa air sebagai sumber hidup dan kehidupan bagi mahluk hidup. Tanpa air, mahluk hidup yang terdiri dari taru, lata, gulma, janggama, dan sthawara tidak akan bisa bertahan hidup. Sthawara yakni mahluk hidup yang tidak bergerak seperti taru, lata, gulma, dan tanaman pada umumnya tidak bisa hidup dan berkembang biak tanpa air. Terlebih lagi janggama, mahluk hidup yang bisa bergerak yakni manusia dan hewan, tidak mungkin hidup dan berkembang biak tanpa ada air.

Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat esensial bagi sistem produksi pertanian. Air bagi sektor pertanian tidak hanya berkaitan dengan aspek produksi, melainkan juga sangat menentukan potensi perluasan areal tanam (ekstensifikasi), luas areal tanam, intensitas pertanaman, serta kualitas hasil. Pemberian air pada lahan sawah telah menjadi prioritas pembangunan pertanian selama beberapa Pembangunan Lima Tahun (Pelita dalam Kurnia, 2004). Di Provinsi Bali terdapat suatu kelompok yang mengkordinasikan sistem pengaturan dan penggunaan air untuk pertanian, organisasi ini disebut subak. Menurut Cantika (1985), subak merupakan organisasi tradisional yang mampu mengelola air irigasi dari empelan yaitu suatu bangunan dengan pengambilan air di sungai yang dibangun oleh subak secara swadaya, sampai ke petak sawahnya.

Keunggulan subak sebagai suatu sistem irigasi yang dikelola petani secara swadaya untuk semusim, khususnya padi, telah banyak diulas dalam berbagai tulisan. Subak tidak hanya terbatas pada organisasi pengelolaan air dan jaringan irigasi, namun berkaitan erat pada produksi pangan, ekosistem lahan sawah beririgasi, dan ritual keagamaan yang terkait dengan budidaya padi. Oleh karena itu subak dikatakan memiliki banyak manfaat (Sutawan dalam Aryawan, dkk., 2013).

Sebagai suatu organisasi pengelola air irigasi, subak juga memiliki aturan-aturan (awig-awig). Dalam awig-awig subak mengatur tentang sanksi-sanksi bagi anggota subak yang melanggar aturan. Sanksi yang diberikan dapat berupa sanksi finansial maupun sanksi sosial, tergantung pada pelanggaran yang dilakukan (Sumiyati, dkk., 2012). Lembaga yang mengeluarkan awig-awig subak adalah lembaga pemerintahan,

(2)

2

yang disahkan oleh raja, melalui persidangan kerajaan yang diwakili oleh ketiga golongan masyarakat, yaitu Brahmana, Satrya, dan Wesya. Salah satu keputusan penting dalam awig-awig subak adalah hak istimewa dari pembuatan saluran irigasi (telabah) yang mendapat ijin raja, adalah boleh melalui (nerebak) pekarangan, sanggah dan pura. Hak saluran irigasi untuk menerebak pekarangan telah dilakukan sejak jaman Bali Kuna. Struktur organisasi subak, terdiri atas Sedahan Agung, Sedahan, Keliang Subak (Pekaseh), Penyarikan dan Saya (Juru Arah). Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, semua pejabat tersebut di atas wajib mengikuti prosedur buku yang telah ditetapkan (Arga, 2011).

Eksistensi sistem irigasi subak yang ada di Bali sudah ada sejak beradab-abad lamanya dan mengalami perkembangan pesat sejak masa pemerintahan raja-raja di Bali dianggap sebagai penopang pertanian di Bali. Namun hal ini pun kini dapat di goyahkan dengan arus alih fungsi lahan yang kuat melihat perkembangan alih fungsi lahan dari tahun ke tahun sangat terlihat nyata terjadi di perkotaan (Suputra, dkk., 2012). Alih fungsi lahan pertanian merupakan salah satu tantangan yang dihadapi subak, hal ini dikarenakan sawah berigasi jumlahnya akan semakin tertekan. Semakin meningkatnya alih fungsi lahan ini dikarenakan harga tanah yang semakin tinggi di pulau Bali. Hal ini memicu para pemilik sawah untuk menjual sawah yang dimilikinya. Dengan semakin cepatnya alih fungsi lahan di Bali yang terjadi belakangan ini maka organisasi subak dapat terancam punah. Subak merupakan salah satu yang menjadikan keidentikan sistem pertanian di Bali atau dengan kata lain hal ini merupakan salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh Bali. Menurut Sutawan (2003), jika subak hilang apakah kebudayaan Bali dapat bertahan karena diyakini bahwa subak bersama lembaga sosial tradisional lainnya seperti banjar dan desa adat merupakan tulang punggung kebudayaan Bali. Dalam kaitan ini para petani anggota subak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masalah pengalih fungsian lahan sawah yang berada dalam wilayah subak mereka.

Bertambahnya infrastuktur untuk pariwisata membutuhkan berbagai sarana dan prasarana yang secara langsung meningkatkan kebutuhan akan penyediaan lahan. Dengan banyaknya hotel, villa, pemukiman penduduk, dan sejenisnya mengakibatkan generasi muda tidak merasa keberatan kehilangan lahan pertaniannya. Generasi muda lebih bangga untuk bekerja pada bidang pariwisata dibandingkan dengan sektor

(3)

3

pertanian. Mereka juga memiliki persepsi bahwa pariwisatalah yang akan menunjang kehidupannya kedepan, sehingga mereka beranggapan apabila tanah yang mereka jual nantinya menjadi pusat pariwisata mereka akan dapat terlibat didalamnya, misalnya menjadi karyawan di tempat pariwisata tersebut.

Masalah air menjadi serius dengan munculnya sektor pariwisata yang saat ini menjadi salah satu sektor penting bagi pelaksanaan pembangunan di tingkat lokal, regional, dan internasional. Data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2010), disebutkan bahwa dengan pesatnya perkembangan pariwisata di Kabupaten Badung telah terjadi peningkatan jumlah wisatawan. Disebutkan bahwa jumlah wisatawan pada tahun 2000 mencapai 803.826 kemudian meningkat hingga tahun 2010 yakni 2.481.592. Melihat data ini tentu ada korelasi dengan jumlah pemakaian air yang dibutuhkan. Lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi bangunan-bangunan mengakibatkan air irigasi yang mengairi areal persawahan mereka kuantitas dan kualitasnya semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan produksi yang dihasilkan semakin berkurang dan akan mempengaruhi pendapatan para petani.

Dalam penelitian ini lokasi kajian akan difokuskan di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar sebagai objek penelitian, dasar pertimbangannya adalah lokasi tersebut merupakan kawasan dimana sektor pariwisata berkembang dengan sangat pesat. Dipilihnya kedua Kabupaten ini sebagai lokasi penelitian juga dengan pertimbangan bahwa infrastruktur di kedua Kabupaten terutama di sektor pariwisata berkembang sangat pesat dan disisi lain telah terjadi pengurangan luasan lahan pertanian produktif dalam 10 tahun terakhir dengan cukup signifikan. Dalam penelitian ini akan dikaji secara mendalam apakah terdapat korelasi antara persepsi dengan keaktifan mengikuti penyuluhan serta luas lahan yang dikelola dengan keaktifan mengikuti penyuluhan. Kemudian akan dikaji tingkat penerapan awig-awig subak, serta membandingkan tingkat eksistensi subak antara Kabupaten Badung dengan Kabupaten Gianyar.

(4)

4 1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat korelasi antara:

a. Persepsi petani dengan keaktifan mengikuti penyuluhan? b. Luas lahan pertanian dengan keaktifan mengikuti penyuluhan?

2. Apakah tingkat penerapan awig-awig subak di Kabupaten Gianyar lebih tinggi dibandingan Kabupaten Badung?

3. Apakah eksistensi subak di Kabupaten Gianyar lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Badung?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui adanya korelasi antara:

a. Persepsi petani dengan keaktifan mengikuti penyuluhan b. Luas lahan pertanian dengan keaktifan mengikuti penyuluhan 2. Mengetahui tingkat penerapan awig-awig subak di Kabupaten Gianyar dan

Kabupaten Badung

3. Mengetahui tingkat eksistensi subak di Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung

(5)

5

II. TINJUAUAN PUSTAKA

2.1. TINJAUAN PUSTAKA

Proses pembangunan dan pengelolaan sistem irigasi dilakukan manusia sejak awal kebudayaan dan disesuaikan secara harmoni antara alam dan lingkungannya. Proses keharmonisan ini masih dijumpai dalam sistem irigasi subak sebagai salah satu bentuk organisasi pengelolan irigasi tradisonal yang bersifat religius. Subak mendasarkan sistem pembangunan dan pengelolaan irigasi berdasarkan konsep Tri Hita Karana yang didasarkan atas konsep agama Hindu (Edi, 2005). Menurut Surata (2013), subak telah ada lebih dari seribu tahun yang lalu. Subak pada awalnya terbentuk pada kawasan lembah dengan sumber mata air yang relatif besar sehingga cukup mengairi lahan persawahan yang luas.

Kajian tentang subak lebih banyak diteliti oleh ahli-ahli dari barat seperti Leifrink, Covarrubias, Ggrader, Birkelbach, Geetz, Lansing, dan sebagainya. Organisasi tradisional petani pengelola air irigasi ini tidak hanya terdapat di Bali saja, namun hal ini dapat kita lihat diberbagai belahan dunia, dengan nama-nama serta ciri-ciri khas yang berbeda. Adapun organisasi tradisional petani yang terkenal dan mempunyai ciri khas tersendiri, yakni L Muang Fai di Thailand, Zangera di Filipina Utara, dan Subak di Indonesia (Pitana dalam Sunaryasa, 2002). Salah satu hal yang menjadikan identitas sistem pertanian di Bali adalah sistem subak yang sudah menjadi ciri khas sistem pertanian di Bali.

Menurut Pitana dalam Sunaryasa (2002), sistem subak memiliki lima ciri-ciri yang khas, yakni:

1. Subak merupakan organisasi petani pengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak memiliki pengurus dan peraturan organisasi (awig-awig) baik tertulis maupun tidak tertulis.

2. Subak mempunyai suatu sumber air bersama, berupa bendung (empelan) di sungai, mata air, air tanah ataupun saluran utama suatu sistim irigasi.

3. Subak memiliki suatu areal persawahan.

4. Subak memiliki otonomi, baik internal maupun eksternal.

5. Subak memiliki satu atau lebih Pura Bedugul atau pura yang berhubungan dengan persubakan.

(6)

6

Hal inilah yang menjadi pembeda antara sistem pertanian di Bali dengan sistem yang terdapat di luar Bali. Konsep kebersamaan dalam kelompok petani di Bali diaplikasikan melalui kegiatan gotong royong yang merupakan ciri yang kuat dari masyarakat petani Bali. Berpijak dari kegotong royongan inilah kepentingan bersama yang dilandasi rasa paras paros selunglung sebayantaka (tenggang rasa, susah, dan senang sama dirasakan atau ditanggung bersama), semua yang terkait dengan masalah pertanian disatukan, sehingga munculah suatu organisasi sosial yang disebut subak (Sumarta dalam Sunaryasa, 2002).

Sebagai warisan budaya, landasan yang dipergunakan sistem subak dalam mengelola organisasinya adalah landasan harmoni dan kebersamaan, yang merupakan perwujudan universal dari konsep Tri Hita Karana yang menjiwai sistem subak di Bali. Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. Tri Hita Karana merupakan trilogi konsep hidup dimana Tuhan, manusia, dan alam berdiri di masing-masing sudut sebagai unsur mutlak terselenggaranya denyut nadi alam raya. Dunia semesta dibagi menjadi tiga lapis alam. Pertama alam Parhyangan, alam di mana Tuhan bersinggasana. Kedua alam Pawongan, alam manusia dimana manusia melangsungkan hidupnya pada dimensi jasmani maupun rohaninya. Alam ketiga adalah alam Pelemahan, alam semesta raya di bawah derajat manusia, seperti dunia tumbuhan, binatang, atau pendek kata merupakan lingkungan hidup (Suyastiri, 2012). Perwujudan ketiga unsur Tri Hita Karana di dalam sistem subak dicirikan oleh:

1. Adanya bangunan-bangunan suci sebagai wujud parhyangan seperti Sanggah Catu, Pura Bedugul, Pura Ulun Empelan.

2. Adanya organisasi dengan perangkatnya, yaitu anggota (krama), pengurus (prajuru) dengan segala peraturan (awig-awig) dan sanksi-sanksi sebagai wujud dari unsur Pawongan.

3. Subak memiliki wilayah dengan perbatasan alam yang jelas dan jaringan irigasi (prasarana dan sarana) yang lengkap sebagai perwujudan unsur Palemahan. Menurut Windia (2004), untuk mengatur anggota-anggotanya subak memiliki aturan tersendiri yang biasa disebut dengan awig-awig subak. Awig-awig subak dibuat berdasarkan hasil dari musyawarah para anggota subak atau lebih dikenal dengan sangkepan. Aturan subak berisi perintah, larangan dan kebolehan serta sanksi dalam

(7)

7

kelembagaan subak. Bentuk dari awig-awig subak ada dua yaitu awig-awig tertulis yang berisi aturan pokok dan pararem tertulis yang sifatnya lebih fleksibel sebagai aturan pelaksana. Awig-awig memuat hak dan kewajiban serta sanksi atas pelanggaran hak dan kewajiban. Berikut tabel 1.1 terkait isi awig-awig salah satu subak di Tabanan (Subak Caguh) yang akan dijabarkan dari nomer 1 hingga 9 sedangkan nomer 10 hingga 13 merupakan isi awig-awig subak di Gianyar (Arga, 2011):

Tabel 1. 1. Isi Awig-Awig Subak dan Jenis Sanksi Atas Pelanggaran

No Isi Awig-Awig Sanksi

1 Ayah-ayahan tempekan

Sanksi material berupa hukuman denda berupa nilai atau besaran dari hasil panen (misalnya 1 kw padi) dan atau sawahnya tidak diberi air (ditutup sumber airnya atau tidak teraliri air ke petak sawahnya)

2 Ngawit-pengiwit (penetapan batas awal dan batas akhir musim tanam)

3 Pedum yeh (pembagian air)

4 Indik ngawit nandur (perihal mulai menanam padi)

5 Indik mapuah (perihal menghalau hama, misalnya burung, monyet, dan hewan menyusui lain)

6 Indik mabiyu kukung (upacara biyu kukung) 7 Indik Manyi (perihal panen)

Sanksi sosial atau adat, seperti dikeluarkan dari anggota subak atau maksimumnya terusir dari Desa Adat mereka.

8 Indik Sarin tahun (perihal tentang hasil padi untuk keperluan upacara pada tiga pura, antara lain pura desa, pura dalem, dan bale agung) 9 Indik luput ayahan (perihal bebas dari kerja

rodi)

10 Tata tertib yang menyangkut ternak besar (wewalungan), dari fatsal 1-24

11 Tata tertib bidang pengairan dari fatsal 25-60 12 Tata tertib yang menyangkut ternak ungags dan

ternak kecil (ayam, itik, babi) dan lain-lain dari fatsal 61-132

13 Masalah perkara-perkara, sumpah, aci-aci, dan adat subak dari fatsal 133-157

Menurut Gusti (2006), sistem irigasi subak terdiri dari empelan (bendungan dam), yang berfungsi sebagai bangunan pengambilan air dari sumbernya (sungai), aungan (terowongan), telabuh (saluran primer), tembukuaya (bangunan bagi primer), telabah gede (bagunan sekunder), tembuku gede (bangunan bagi sekunder), telabah pemaron (saluran tersier), tembuku pamaron (bagunan bagi tersier), telabah penyahean (saluran kuarter), tebuku penyahean (bangunan bagi kuater terdiri dari 10

(8)

8

orang), tembuku penyulupan (Pemasukan secara individual), dan tali kuda (saluran individu).

Pembangunan sektor pariwisata diantara sektor yang lain sebagai motor penggerak perekonomian tidak terlepas dari dukungan kehidupan sosial budaya masyarakat Bali, seperti penduduknya yang ramah, keindahan alam yang unik atau menarik, adat-istiadat dan kebudayaan yang khas memberi nuansa berbeda dengan daerah pariwisata lainnya. Keunggulan atas potensi yang dimiliki tersebut membuat pemerintah daerah Bali lebih mengarahkan pembangunan yang dimiliki oleh masyarakat Bali melalui program kegiatan pariwisata budaya yang dijiwai agama Hindu (Perda No. 3 tahun 1991 dalam Suwena, dkk., 2012). Pembangunan pariwisata yang semakin pesat dan terkonsentrasi ternyata menimbulkan dampak tidak hanya positif, akan tetapi juga negatif terhadap kebudayaan Bali. Menurut Spillane (1989), dampak positif dari kemajuan pariwisata meliputi: memperluas lapangan kerja, bertambahnya kesempatan berusaha, meningkatkan pendapatan, terpeliharanya kebudayaan setempat. Dampak negatif yang semakin dirasakan oleh masyarakat Bali dewasa ini adalah semakin terdesaknya lahan pertanian untuk membangun fasilitas kepariwisataan dan terancamnya keberadaan dan fungsi organisasi (subak) sebagai sistem pengairan tradisional. Bahkan menurut Picard (1996), dengan pesatnya pembangunan kepariwisataan telah terjadi perubahan terhadap pemandangan alam Bali secara drastis.

Ketimpangan tersebut terlihat dari perubahan yang mendasar pada titik berat sektor pariwisata terhadap sektor pertanian, yaitu sektor pariwisata telah mendongkrak 80% dari struktur perekonomian Bali, sedangkan sisanya 20% dari sektor pertanian (Korry, S., dalam Suwena, dkk., 2002). Gejala ini didukung dengan semakin meningkatnya jumlah sarana dan prasarana pariwisata seperti: hotel, pondok, wisata, restoran, dan akomodasi pariwisata lainnya mengimbangi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke Bali. Peningkatan jumlah sarana pariwisata tersebut telah berpengaruh terhadap keberadaan subak dan luas areal persawahan yang tersebar di Bali dari tahun ke tahun seperti yang terlihat di Tabel 1.2. berikut:

(9)

9

Tabel 1.2. Jumlah Subak dan Luas Areal Sawah 5 Tahun Terakhir

Sumber : Dinas Kebudayaan (Data Bali Membangun), 2009.

Dari data diatas terlihat bahwa dalam kurun waktu lima tahun telah terjadi penurunan luas areal sawah dari seluruh persubakan yang ada di Bali sekitar 5.323 hektar. Penurunan ini menggambarkan pesatnya perkembangan di luar sektor pertanian dengan memanfaatkan tanah persawahan sebagai lokasi pembangunan. Industri pariwisata merupakan salah satu sektor utama yang telah memberi andil semakin menyempit lahan persawahan yang ada di Bali.

Kelestarian atau ketangguhan subak nampak mulai terancam akibat pesatnya perkembangan pariwisata Bali yang telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali. Tantangan atau ancaman baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelestarian subak dari era globalisasi yang berasal dari berbagai sumber yaitu diantaranya pariwisata Bali. Adapun ancaman dari pariwisata antara lain: semakin menurunnya minat generasi muda menjadi petani. Pariwisata memang telah mampu meningkatkan peluang bagi penduduk pedesaan untuk mencari penghidupan di sektor pariwisata, sehingga tekanan penduduk di sektor pertanian bisa dikurangi. Walaupun demikian dampak dari pariwisata juga berpengaruh terhadap generasi muda Bali karena tidak mau lagi bertani karena kesenjangan yang lebar antara sektor pertanian dan pariwisata. Pesatnya alih fungsi lahan sawah beririgasi kearah penggunaan lain di luar pertanian (Sutawan dalam Suyastiri, 2012). Dari pemaparan ini dapat telihat bahwa persepsi masyarakat di Bali terhadap pertanian rendah dan begitu pula motivasi mereka untuk berusaha tani.

Atribusi merupakan salah satu konsep psikologi sosial yang paling dekat dengan aktivitas. Atribusi adalah proses yang menggambarkan cara individu menjelaskan, menginterpretasi, dan mengambil kesimpulan terhadap peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan dirinya maupu peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan

Tahun Jumlah subak (buah) Luas Areal Sawah (Ha)

2004 1.611 100.221

2005 1.611 98.117

2006 1.611 95.438

2007 1.611 95.348

(10)

10

orang lain. Salah satu jenis atribusi adalah atribusi kausalitas. Atribusi kausalitas adalah atribusi tentang hubungan sebab akibat terhadap dua peristiwa. Secara spesifik, atribusi sosial adalah cara seseorang dalam melakukan proses persepsi dan interpretasi terhadap sebab-sebab prilaku yang dilakukan oleh orang lain. Atribusi diterapkan dalam tiga wilayah penting. Pertama, persepsi seseorang tentang apa dan siapa yang menyebabkan timbulnya suatu perilaku atau pristiwa khusus. Kedua, penilaian seseorang terhadap tanggung jawab, atas terjadinya suatu pristiwa atau prilaku tertentu. Ketiga, penilaian terhadap kualitas kepribadian individu-individu yang terlibat dalam pristiwa atau prilaku tertentu (Umstot, D., 1988). Proses persepsi akan disajikan pada gambar dibawah ini:

2.2. Kerangka Pikiran

Pulau Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki keunikan dan kekayaan sumberdaya sehingga menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Salah satu keunikan yang tersimpan di pulau Bali adalah dengan adanya organisasi tradisional subak sebagai basis sistem pertanian dan irigasi yang telah ditetapkan oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) sebagai warisan dunia. Dari pemaparan yang telah disajikankan di bab sebelumnya, luas lahan pertanian semakin berkurang tiap tahunnya, hal ini dikarenakan sektor pariwisata yang menjadi sektor unggulan telah mampu menggeser peran dari sektor Informasi di lingkungannya Interpretasi dan pengaturan Penerimaan dan penyaringan Persepsi Objek Beberapa informasi dihilangkan dan ditolak Orang Situasi Perasaan

Gambar 1.1. Proses Terjadinya Persepsi

Perilaku Sikap

(11)

11

pertanian. Tergerusnya sektor pertanian ditambah lagi dengan adanya alih fungsi lahan yang tidak dapat terbendung akan mempengaruhi eksistensi subak.

Dalam penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa yang mempengaruhi alih fungsi lahan ada dua, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi persepsi petani terhadap pertanian sedangkan faktor eksternal yakni luas lahan yang dikelola oleh petani. Setiap orang memiliki kecenderungan untuk memperhatikan atau melihat suatu benda yang sama dengan caranya masing-masing. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni pengalaman, pengetahuan, dan sudut pandangnya. Persepsi juga memiliki tautan dengan cara pandang sesorang terhadap suatu objek dengan caranya masing-masing atau berbeda-beda dengan menggunakan alat indra yang dimiliki, kemudian berusaha untuk menfasirkannya. Begitupun juga pemilik tanah yang menjual tanahnya. Mereka beranggapan bahwa pariwisatalah yang akan menunjang kehidupannya kedepan, sehingga mereka beranggapan apabila tanah yang mereka jual nantinya menjadi pusat pariwisata mereka akan dapat terlibat didalamnya, misalnya menjadi karyawan di tempat pariwisata tersebut. Kemudian luas lahan yang dimiliki oleh petani faktor dalam alih fungsi lahan. Di Indonesia lahan pertanian yang dimiliki oleh masing-masing petani kurang dari 0,5 Ha atau biasa disebut petani gurem. Tanah merupakan warisan leluhur, sehingga akan diatur pembagiannya dalam setiap generasi. Dengan pembagian yang telah dilakukan tersebut dan setiap anggota keluarga mendapatkan tanah dengan luasan yang sedikit tentu mereka akan berpikiran untuk menjualnya karena penghasilan yang diterimanya dari berusaha tani akan sedikit. Tanah di Bali dalam periode belakangan ini memiliki harga tinggi, sehingga sebagian besar masyarakat memiliki keinginan untuk menjualnya (pragmatis), oleh karena itu alih fungsi lahan sering terjadi. Peneliti berasumsi bahwa persepsi dan luas lahan yang dikelola oleh petani mengakibatkan menurunnya keikutsertaan petani dalam penyuluhan pertanian. Keikutsertaan petani dalam kegiatan penyuluhan sangatlah penting, karena tujuan utama dari penyuluhan adalah kesejahteraan petani meningkat. Meningkatnya pendapatan yang diperoleh dalam usahatani mampu menekan sifat pragmatis petani yang ingin menjual sawahnya. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian merupakan fenomena yang sering terjadi. Pembangunan yang berkembang pesat di sektor pariwisata menyebabkan alih fungsi lahan tidak dapat dihindari. Berdasarkan data Badan Pusat

(12)

12

Statistik (BPS) Provinsi Bali pada tahun 2009 disebutkan bahwa luas lahan pertanian di Bali mengalami alih fungsi lahan antara 800-1.000 Ha pertahun. Dalam penelitian ini Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar dijadikan sebagai objek penelitian, karena sektor pariwisata yang sangat berkembang pesat. Semakin meningkatnya alih fungsi lahan tentu mempengaruhi anggota dalam penerapan awig-awig yang menjadi aturan dalam kelembagaan subak. Meningkatnya alih fungsi lahan pun juga akan mempengaruhi eksistensi subak. Pembangunan di Kabupaten Badung sangat pesat, dapat terlihat dari bangunan-bangunan baru baik restoran, villa, hotel, maupun pemukiman yang jumlahnya semakin banyak. Banyak persawahan yang terdapat di Kabupaten Badung yang telah beralih fungsi. Kabupaten Gianyar pun tidak luput dari pembangunan, namun di daerah ini cenderung keadaan alam yang masih asri. Pembangunan juga pesat, namun masih dapat dijumpai persawahan di Kabupaten ini. Bertitik tolak pada keadaan ini, peneliti memiliki asumsi bahwa eksistensi subak di Kabupaten Gianyar lebih tinggi dibandingkan dengan di Kabupaten Badung.

Berdasarkan latar belakang, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan dasar teori maka kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan pada gambar berikut ini:

Gambar 2.2. Kerangka berpikir penelitian Penjelasan:

= Hubungan, = Perbandingan, = Garis Proses Keaktifan mengikuti penyuluhan Faktor Internal: Persepsi Faktor Eksternal Luas lahan Eksistensi Subak di Kabupaten Badung Eksistensi Subak di Kabupaten Gianyar Tingkat penerapan awig-awig Subak di Kabupaten Gianyar Tingkat penerapan awig-awig Subak di Kabupaten Badung

(13)

13 2.3. Hipotesis

Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan pustaka, penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut:

1. Diduga terdapat korelasi antara:

a. Persepsi petani dengan keaktifan mengikuti penyuluhan b. Luas lahan pertanian dengan keaktifan mengikuti penyuluhan

2. Diduga tingkat penerapan awig-awig subak di Kabupaten Gianyar lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Badung

3. Diduga eksistensi subak di Kabupaten Gianyar lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Badung

(14)

14

III. METODE PENELITIAN

Di dalam bab ini diuraikan tentang beberapa aspek terkait dengan metode penelitian terkait dengan metode penelitian yang akan dipakai dalam mencapai tujuan penelitian. Aspek-aspek metode penelitian tersebut, yakni tipe penelitian (metode dasar), aspek-aspek yang diteliti, metode pengambilan sampel, sumber data dan teknik pengumpulan data, pemilihan lokasi.

3.1. Metode Dasar

Metode dasar yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat.

Secara terstruktur dengan metode deskriptif, peneliti mengumpulkan data, menyusun, menganalisis, kemudian membuat kesimpulan yang didukung dengan teori- teori yang sudah ada dari karangan ilmiah dan hasil penelitian terdahulu. Penelitian dilakukan dengan metode wawancara dan kuesioner.

3.2 Metode Penentuan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang akan dipakai dalam penelitian ini yakni di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Pemilihan kedua lokasi tersebut mempertimbangkan aspek lokasi, Kabupaten Badung saat ini memiliki sektor unggulan yakni sektor pariwisata, dengan banyaknya tempat wisata maka daerah ini akan berfokus pada sektor pariwisata sedangkan untuk sektor pertanian lambat laun akan tergusur. Sedangkan Kabupaten Gianyar saat ini mulai berkembang kearah pariwisata, namun di daerah ini tetap mempertahankan sektor pertaniannya karena dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang dikemas dalam agrowisata. Hal ini yang menarik mengingat banyaknya alih fungsi lahan pertanian, namun sektor pertanian di kabupaten ini tetap diperhatikan. Dari lokasi yang berbeda ini diharapkan dapat terlihat sejauh mana dampak alih fungsi lahan di masing-masing kabupaten mempengaruhi eksistensi subak. Dari lokasi yang berbeda ini diharapkan dapat terlihat juga sejauh mana nilai-nilai budaya yang masih diterapkan dan nilai-nilai yang telah

(15)

15

berubah akibat adanya pengaruh luar. Selain itu, nantinya akan dilihat bagaimana prospek kedepan untuk sektor pertanian di Kabupaten Badung dan kabupaten gianyar dan bagaimana perbandingan eksistensi subak di kedua Kabupaten ini.

3.3. Metode Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Purposive sampling yakni metode yang dilakukan dengan menentukan siapa yang termasuk anggota sampel penelitiannya dan seorang peneliti harus benar benar mengetahui bahwa responden yang dipilihnya dapat memberikan informasi yang diinginkan sesuai dengan permasalahan penelitian (Singarimbun dan Effendi dalam Ferdian, dkk., 2012). Kriteria yang dimaksud dalam pengambilan sampel pada penelitian ini yakni krama atau anggota subak yang masih aktif. Jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini pada tiap kabupaten minimal sebanyak 30 orang petani sebagai sampel.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Jenis Data dan Sumber Data

Adapun sumber dan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini yakni dengan pengumpulan data sekunder dan data primer. Wawancara kepada anggota subak, tokoh masyarakat, dan melakukan pengamatan langsung atau observasi dilapangan. Selain itu, data juga diperoleh dari instansi- instansi yng terkait dengan penelitian ini.

3.4.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan yaitu teknik pengamatan, wawancara, dan pencatatan. Teknik pengamatan dilakukan dengan mengamati secara langsung data dan memeriksanya agar didapatkan data yang jelas. Teknik wawancara dilakukan dengan responden untuk diperoleh data primer. Dan teknik pencatatan yaitu mencatat data yang ada di instansi- instansi terkait yang nantinya dijadikan data sekunder. Data sekunder didapat juga dari berbagai sumber, yakni pemerintah desa, pemerintah kecamatan, pemerintah kabupaten (dinas kebudayaan dan dinas pertanian), dan pakar pertanian Universitas Udayana.

(16)

16 3.5. Analisis Data

Dalam pengujian hipotesis yang pertama, peneliti menggunakan uji statistik non-parametrik karena teknik eksak dalam pengertian keangkaan melainkan semata-mata rank sesuai dengan sampel yang kecil. Dari beberapa teknik pengujian yang ada, peneliti menggunakan teknik pengujian korelasi Rank Spearman, hal ini dikarenakan penggunaan teknik ini merupakan ukuran asososiasi yang menuntut kedua variabel diukur sekurang-kurangnya dalam skala ordinal sehingga objek-objek atau individu-individu yang dipelajari dapat di rangking dalam dua rangkaian berturut-turut (Siegel, 1997). Untuk mengukur tingkat rank correlation, yang dinotasikan dengan rs,

dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Nilai pengamatan dari dua variabel yang akan diukur hubungannya diberi jenjang. Bila terdapat nilai yang sama dihitung nilai rata-ratanya.

2. Setiap pasangan jenjang dihitung perbedaanya.

3. Perbedaan setiap pasang jenjang tersebut dikuadratkan dan dihitung jumlahnya.

4. Nilai rs (koefisien korelasi Spearman) dihitung dengan rumus:

rs = 1 - 6 ∑ 𝑑𝑖² 𝑛 𝑖=1 𝑛(𝑛²−1)

Keterangan: rs = Koefisien Korelasi Spearman

di = selisih rank antar dua variabel

N = Ukuran Sampel

Hipotesa yang akan diuji menyatakan bahwa dua variabel yang diteliti dengan nilai jenjangnya itu independen, tidak ada hubungan antara jenjang variabel yang satu dengan jenjang variabel lainnya.

H0 : rs ≠ 0

H0 ; rs = 0

Untuk n < 30 dapat dipergunakan table nilai t, dimana nilai t sampel dapat dihitung dengan rumus: t = rs√𝑛−2 1− rs² H0 diterima apabila – 𝑡𝛼 2; 𝑛 − 2 ≤ t ≤ tt𝑡 𝛼 2; 𝑛 − 2

(17)

17 H0 ditolak apabila t > 𝑡𝛼

2; 𝑛 − 2 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡 < −𝑡 𝛼

2; 𝑛 − 2

Dalam pengujian hipotesis yang kedua, peneliti menggunakan uji statistik Test Kolmogorov Smirnov Two Sample. Menurut Sugiyono (2010), test komogorov smirnov dua sampel digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel independen bila datanya berbentuk ordinal yang telah tersusun pada tabel distribusi frekuensi kumulatif dengan menggunakan kelas-kelas interval. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut

D = maksimum [Sn1(X) – Sn2(X)]

Keterangan: Sn1 = Jumlah Sampel 1

Sn2 = Jumlah Sampel 2

X = Frekuensi

Dalam tabel ditunjukkan berbagai rumus untuk menguji signifikansi harga KD yang

didasarkan pada tingkat kesalahan yang ditetapkan. Untuk kesalahan 5% (0,05) harga D sebagai pengganti tabel dapat dihitung dengan rumus:

𝐾D = 1,36√𝑛1+ 𝑛2 𝑛1. 𝑛2

H0 diterima apabila KD hitung ≤ KD tabel

H0 ditolak apabila KD hitung ≥ KD tabel

Peneliti dalam mengkaji tingkat eksistensi subak di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik tiap kabupaten. Data yang digunakan yakni data tentang luasan penanaman padi yang dilaksanakan pada 5 sampai 10 tahun terakhir. Untuk pengujiannya, peneliti membandingkan jumlah alih fungsi lahan yang terjadi selama kurun waktu 5-10 tahun sehingga dari data tersebut dapat terlihat tingkat eksistensi subak yang terjadi di kedua kabupaten tersebut.

(18)

18

IV. KONDISI UMUM

4.1. Kabupaten Gianyar

4.1.1. Potensi Dasar Wilayah Kabupaten Gianyar

Menurut BPS (2013), Kabupaten Gianyar merupakan salah satu dari Sembilan kabupaten atau kota di Provinsi Bali, terlentak diantara 8º18’48” – 8º35’58” lintang selatan 115º13’29” – 115º22’23” bujur timur. Berbatasan dengan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar disebelah barat, Kabupaten Bangli dan Kabupaten Klungkung disebelah timur serta selat Badung dan Samudra Indonesia disebelah selatan. Bagian terluas wilayah Kabupaten Gianyar (20,25%) terletak pada ketinggian 250-950 mdpl. Berikut adalah peta Kabupaten Gianyar:

Gambar 4.1. Peta Kabupaten Badung Sumber: BPS Kabupaten Gianyar, 2013

Jumlah penduduk Kabupaten Gianyar pada tahun 2013 berdasarkan hasil proyeksi penduduk adalah sebesar 486.000 orang, terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 245.500

(19)

19

orang dan penduduk perempuan 240.600 orang. Jumlah rumah tangga pada tahun 2013 102.086 rumahtangga. Sex ratio pada tahun 2013 adalah 101,99. Artinya setiap 100 penduduk perempuan terdapat 101 orang perempuan. Kalau kita cermati sex ratio perkecamatan, maka sex ratio tertinggi terdapat di Kecamatan Sukawati dan terendah di Kecamatan Payangan. Kepadatan penduduk Gianyar adalah 1.321 jiwa/km² pada tahun 2013. Kepadatan tertinggi ada di Kecamatan Sukawati (2.109 jiwa/km²), sedangkan kepadatan penduduk terendah di Kecamatan Payangan (553 jiwa/km²). Gambaran mengenai ketenagakerjaan di Kabupaten Gianyar berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2013, menunjukkan jumlah angkatan kerja pada tahun 2013 sebanyak 272.179 orang yang terdiri atas penduduk yang bekerja 266.288 orang dan yang tergolong ke dalam pengangguran sebanyak 5.891 orang. Sehingga Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja pada tahun 2013 sebesar 73,00% dan pengangguran sebesar 2,16%.. Penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja tidak penuh seminggu yang lalu, sebanyak 55.891 orang dari 266.288 orang yang bekerja pada tahun 2013. Pada sektor pertanian sebanyak 21.822 orang, Industri pengolahan 12.914 dan Perdagangan besar dan eceran, restoran dan hotel sebanyak 12.914 orang.

Tabel 4.1. Luas Wilayah, Jumlah Rumah Tangga, dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan Di Kabupaten Gianyar Tahun 2013

Kecamatan Luas wilayah (km) Jumlah tumah tangga Penduduk Laki-laki (org) Perempuan (org) Jumlah (org) Blahbatuh 39,7 15.035 34.410 33.850 68.260 Gianyar 50,59 19.920 45.370 44.470 89.840 Tampaksiring 42,63 11.209 23.870 23.080 46.950 Ubud 42,38 15.360 35.980 35.290 71.270 Tegallalang 61,8 11.127 25.940 25.690 51.630 payangan 75,88 9.414 21.020 20.970 41.990 sukawati 55,02 20.021 58.810 57.250 116.060 Jumlah/total 2013 368.00 102.086 245.400 240.600 486.000 2012 368.00 *) 244.600 240.000 484.600 2011 368.00 *) 241.209 235.919 477.128 2010 368.00 103.516 237.493 232.284 469.777 2009 368.00 90.750 199.057 198.920 397.977 Sumber: BPS Kabupaten Gianyar, 2013

(20)

20

Kabupaten Gianyar merupakan salah satu tujuan wisata di pulau Bali yang memiliki 409 buah tempat akomodasi, dengan rincian 18 buah hotel bintang lima dan 389 hotel non bintang. Jumlah kunjungan wisatawan ke obyek wisata di Kabupaten Gianyar pada tahun 2013 adalah 853.530 orang. Dimana pada bulan Agustus terjadi kunjungan yang paling tinggi bila dibandingkan dengan bulan lainnya. Misalkan pada bulan Januari tahun 2013 tercatat 62.814 orang, Februari 60.734 orang, Maret 60 341 orang, April 63.354 orang, dan pada bulan Desember 66.285 orang pengunjung. Berikut akan disajikan banyaknya hotel dan akomodasi lainnya serta obyek wisata di Kabupaten Gianyar dirinci per kecamatan tahun 2013.

Tabel 4.2. Banyaknya Hotel Dan Akomodasi Lainnya Di Kabupaten Gianyar Dirinci Per Kecamatan Tahun 2013 Kecamatan Hotel berbintang Hotel non bintang Jumlah/total (unit) Sukawati 3 13 16 Blahbatuh 1 11 12 Gianyar - 8 8 Tampaksiring - 5 5 Ubud 13 336 349 Tegallalang - 9 9 payangan 2 8 10 Jumlah/total 2013 19 390 409 2012 18 391 409 2011 18 391 409 2010 13 378 395 2009 11 378 389

Sumber: BPS Kabupaten Gianyar, 2013.

Kabupaten Gianyar memiliki 12 buah sungai yang melintasi wilayah gianyar sebagian besar air sungai dimanfaatkan sebagai irigasi persawahan. Selain itu juga terdapat bendungan atau daerah irigasi berjumlah 43 buah. Luas panen padi pada tahun 2013 di Kabupaten Gianyar adalah 31.090 hektar dengan rata-rata produksi 59,37 kwintal per hektar, dan total produksi sebesar 184.592,44 hektar. Berikut akan disajikan perkiraan rumah tangga tani pengguna lahan menurut golongan luas lahan yang dikuasai per kecamatan di Kabupaten Gianyar tahun 2013.

(21)

21

Tabel 4.3. Perkiraan Rumah Tangga Tani Pengguna Lahan Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai Per Kecamatan di Kabupaten Gianyar Tahun 2003 Kecamatan Golongan luas lahan Jumlah TMT petani

Kurang dari 0,5 Ha (RT) Diatas 0,5 Ha (RT) Pengguna lahan (RT) Sukawati 4.572 1.351 5.923 Blahbatuh 3.402 861 4.263 Gianyar 5.181 1.194 6.375 Tampaksiring 4.063 1.081 5.144 Ubud 4.087 983 5.070 tegallalang 4.740 2.061 7.341 Payangan 4.814 3.207 8.021 Jumlah/total 30.859 11.278 42.137

Sumber: BPS Kabupaten Gianyar, 2013.

4.1.2. Usia Anggota Subak Kabupaten Gianyar

Menurut BPS (2012), berdasarkan komposisi penduduk, usia dikelompokkan menjadi 3, yakni kelompok penduduk usia 0-14 tahun (belum produktif), 15-64 tahun (produktif), dan lebih dari 65 tahun (tidak lagi produktif). Kemudian peneliti melakukan sebaran anggota subak berdasarkan umur terendah, rerata, dan tertinggi. Berikut akan disajikan Tabel 4.4. mengenai sebaran anggota subak di Kabupaten Gianyar.

Tabel 4.4. Sebaran Anggota Subak Kabupaten Gianyar Berdasarkan Umur ( n = 31 )

No Kategori Usia (Tahun)

1 Tertinggi 74

2 Rerata 59

3 Terendah 45

Sumber : Analisis Data Primer, 2015

Berdasarkan hasil penelitan, menunjukkan bahwa usia anggota subak terendah yakni 45 tahun, rerata yakni 59 tahun, dan usia petani tertinggi yakni 74 tahun. Dengan rerata anggota subak di Kabupaten Gianyar berada pada usia 59 tahun menunjukkan bahwa sebagian besar anggota subak berada pada kategori umur produktif. Usia ini memiliki kaitan dengan mudah tidaknya seseorang menerima inovasi pertanian. Seseorang dengan umur produktif akan memiliki kecenderungan mengadopsi inovasi

(22)

22

dengan mudah dan cepat (Soekartawi, 2005). Selain itu, usia petani yang termasuk produktif ini akan mempengaruhi tingkat kinerja mereka dalam mengelola lahan pertaniannya. Semakin rendah usia petani maka kinerja mereka akan semakin tinggi, sehingga dalam mengelola usahataninya akan dapat lebih optmal.

4.1.3. Luas lahan Anggota Subak Kabupaten Gianyar

Status kepemilikan lahan yang digunakan anggota subak dalam berusahatani meliputi lahan milik sendiri, menyewa, dan menyakap. Namun, sebagian besar anggota subak mengolah lahannya sendiri dalam berusahatani. Berikut ini akan disajikan tabel 4.5. mengenai sebaran luas lahan anggota subak di Kabupaten Gianyar.

Tabel 4.5. Sebaran Luas Lahan Anggota Subak Kabupaten Gianyar (n = 31 )

No Kategori Luas (Are)

1 Tertinggi 48

2 Rerata 27

3 Terendah 12

Sumber : Analisis Data Primer, 2015

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengklasifikasikan luasan lahan yang dimiliki anggota subak menjadi 3, yakni terendah, tertinggi, dan rerata. Dari tabel 4.5. bahwa luas lahan yang diusahakan oleh anggota subak terendah yakni 12 are (0,12 Ha), rerata 27 are (0,27 Ha), dan tertinggi yakni 48 are (0,48 Ha). Dalam melakukan wawancara, peneliti mendapatkan anggota subak yang berperan sebagai penyakap, walaupun anggota subak tersebut juga memiliki lahan sendiri, hal ini dilakukan oleh anggota subak karena hasil panen yang didapatkan dilahannya belum mencukupi untuk kebutuhannya. Dalam awig-awig subak disebutkan bahwa penyakap maupun penyewa lahan masuk dalam keanggotaan subak. Hal ini dikarenakan, penyakap maupun penyewa memanfaatkan air yang ada pada suatu subak, sehingga mereka berkewajiban untuk menjalankan aturan-aturan yang terdapat dalam subak.

Berdasarkan data yang disajikan ditabel, terlihat bahwa luas lahan yang dimiliki maupun disakap oleh anggota subak terbilang rendah atau dapat dikatakan bahwa anggota subak merupakan petani gurem (<0,5Ha). Hal ini tentu akan berdampak pada produksi yang dihasilkan oleh mereka. Menurut Hermanto (1993), bahwa yang menentukan

(23)

23

pendapatan, taraf hidup, dan derajat kesejahteraan rumah tangga petani adalah luas lahan usahatani. Hal ini dikarenakan, semakin luas lahan yang dikelola petani maka produksi yang dihasilkan akan tinggi sehingga pendapatan yang diperoleh petanipun turut meningkat.

4.1.4. Tingkat pendidikan Anggota Subak Kabupaten Gianyar

Tingkat pendidikan mempengaruhi ketrampilan serta kemampuan adopsi petani terhadap informasi dan teknologi baru. Berikut adalah tabel 4.6. yang menyajikan sebaran anggota subak Kabupaten Badung berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 4.6. Sebaran Anggota Subak Kabupaten Gianyar Berdasarkan Pendidikan (n= 31)

No Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Tidak Sekolah 1 3,23 2 SD 15 48,39 3 SMP 11 35,48 4 SMA 3 9,68 5 Strata 1 (S1) 1 3,23 Jumlah 31 100,00

Sumber : Analisis Data Primer, 2015

Berdasarkan tabel 4.6. dapat terlihat bahwa tingkat pendidikan anggota subak di Kabupaten Gianyar tergolong rendah, sebagian besar anggota subak berpendidikan tingkat Sekolah Dasar. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebaran anggota subak berdasarkan tingkat pendidikan, yaitu tidak sekolah sebesar 3,23%, Sekolah Dasar (SD) sebesar 48,39%, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 35,48%, Sekolah menengah Atas (SMA) 9,68%, dan Strata satu (S1) sebesar 3,23%. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap pola pikir dan pandangan anggota subak terhadap teknologi dan inovasi baru. Anggota subak yang berpendidikan tinggi cenderung mudah menerima dan mengaplikasikan inovasi dan teknologi baru yang disampaikan penyuluh pertanian sehingga diharapkan terdapat peningkatan produksi hasil pertanian. Selain itu, melihat bahwa anggota subak sebagian besar tingkat pendidikan anggota subak yang tergolong rendah yakni tamat SD maka dilapangan sering terjadi setiap pengambilan keputusan untuk alih fungsi lahan yang dimiliki reponden lebih dahulu memusyawarahkan kepada anak-anaknya.

(24)

24

Menurut Pratiwi dalam Maryani, dkk. (2014), tidak sepenuhnya pendidikan menjadi tolak ukur dalam peningkatan perilaku dan ketrampilan petani dalam berusahatani. Ketrampilan petani juga disebabkan karena mereka bertani secara turun temurun atau pengalaman bertani serta pendidikan non-formal yang diperoleh petani dalam kegiatan penyuluhan. Penyuluhan yang diberikan oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dalam rangka meningkatkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan petani sehingga petani dapat berusaha tani dengan baik yang pada akhirnya dapat mensejahterakan kehidupannya sendiri serta keluarganya. Pendidikan non formal (penyuluhan) dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani misalnya dalam program SL-PTT. Petani diberikan kesempatan oleh PPL dalam mengidentifikasi masalah yang dialami dalam usahatani, kemudian petani berusaha untuk memecahkan masalah tersebut dan dengan adanya diskusi tersebut petani bisa saling sharing dengan petani lainnya sehingga selain mendapatkan pengetahuan dari penyuluhan petani juga mendapatkan dari petani lainnya.

4.2. Kabupaten Badung

4.2.1. Potensi Dasar Wilayah Kabupaten Badung

Kabupaten Badung terletak pada posisi 08º14’17” - 08º50’57” Lintang selatan dan 115º05’02” - 115º15’09” Bujur Timur. Berbatasan dengan Kabupaten Buleleng disebelah utara, Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar, dan Kota Denpasar disebelah Timur, Samudra Hindia disebelah selatan, serta berbatasan dengan Kabupaten Tabanan disebelah barat. Kabupaten Badung memiliki luas wilayah seluas 418,52 km² yang terbagi menjadi enam kecamatan, yaitu Kecamatan Kuta Selatan, Kecamatan Kuta, Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Mengwi, Kecamatan Abiansemal, dan Kecamatan Petang. Berikut adalah peta Kabupaten Badung:

(25)

25

Gambar 4.2. Peta Kabupaten Badung Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2013

Tabel 4.7. Luas Wilayah Kabupaten Badung, Ketinggian dari Permukaan Laut dan Jarak ke Denpasar dirinci per Kecamatan Tahun 2013

Kecamatan Luas Wilayah (km²) Persentase Luas Wilayah (%) Persentase Dibanding Luas Bali (%) Ketinggian dari Permukaan Laut (Meter) Jarak Ke Denpasar (Km) Kuta Selatan 101,13 24,16 1,80 28 18,3 Kuta 17,52 4,19 0,31 27 9,6 Kuta Utara 33,86 8,09 0,60 65 6,6 Mengwi 82,00 19,59 1,46 0 – 350 15 Abiansemal 69,01 16,49 1,23 75 – 350 15 Petang 115,00 27,48 2,04 275 – 2.075 30 Jumlah 418,52 100,00 7,43 0 – 2.075 .

Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2013

Pada tahun 2013, jumlah penduduk di Kabupaten Badung mencapai 589.000 jiwa yang terdiri daro 300,4 ribu jiwa penduduk laki-laki dan 288,6 ribu jiwa penduduk perempuan, hal ini meningkat sebesar 2,51% dibandingkan dengan tahun 2012 yang

(26)

26

sebesar 575.000 jiwa. Penduduk tersebar secara tidak merata di seluruh Kecamatan Badung. Jumlah penduduk ditiap tertinggi terdapat di Kecamatan Kuta selatan 134,5 ribu jiwa dan Kecamatan Petang jumlah penduduk paling sedikit yakni sebesar 26,2 ribu jiwa. Berikut akan disajikan tabel mengenai luas wilayah, proyeksi penduduk, rasio jenis kelamin, dan kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Badung tahun 2013: Tabel 4.8. Luas Wilayah, Proyeksi Penduduk, Rasio Jenis Kelamin, dan Kepadatan

Penduduk Menurut Kecamatan Di Kabupaten Badung Tahun 2013 Kecamatan Luas

Wilayah (km²)

Jumlah Penduduk (000 Jiwa) Rasio Jenis Kelamin Kepadatan Penduduk (jiwa/ km²) Laki-laki perempuan Jumlah Kuta Selatan 101,13 69,0 65,5 134,5 105,35 1.330 Kuta 17,52 49,4 45,7 95,1 108,26 5.426 Kuta Utara 33,86 59,6 56,4 116,1 105,62 3.427 Mengwi 82,00 64,2 62,9 127,1 102,00 1.550 Abiansemal 69,01 45,0 45,2 90,1 99,58 1.306 Petang 115,00 13,2 12,9 26,2 102,16 0.227 Jumlah 418,52 300,4 288,6 589,0 104,09 1.407 2012 418,52 293,2 281,8 575,0 104,05 1.374 2011 418,52 286,0 274,9 560,9 104,04 1.340 2010 418,52 278,8 267,9 546,7 104,07 1.406 Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2013

Pembangunan pertanian diupayakan untuk penigkatan produktivitas dan diversifikasi tanaman untuk kebutuhan pangan dan pelestarian lingkungan. Berikut akan disajikan tabel luas panen dan produktivitas tanaman padi sawah per Kecamatan di Kabupaten Badung tahun 2013.

(27)

27

Tabel 4.9. Luas Panen dan Produktivitas Tanaman Padi Sawah Per Kecamatan Di Kabupaten Badung Tahun 2013.

Kecamatan Luas Panen (Ha)

Produksi (ton) Produktivitas (Kw/Ha)

Kuta Selatan - - - Kuta 44 189 42,95 Kuta Utara 3.090 20.980 67,90 Mengwi 7.608 49.465 65,02 Abiansemal 5.021 32.367 64,46 Petang 1.679 9.704 57,80 Jumlah 17.442 112.705 64,62 2012 19.708 120.754 61,27 2011 19.954 124.238 62,26 2010 20.768 126.893 61,10 2009 18.787 118.204 62,92

Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2013

Tercatat bahwa jumlah wisatawan yang datang langsung ke Bali melalui Bandara I Gusti Ngurah Rai selama 2013 mencapai 3.278.598 orang, jumlah ini meningkat dibandingkan jumlah wisatawan pada tahun 2012 yakni sebesar 2.949.332 orang. Dengan semakin meningkatnya jumlah wisatawan tentu berdampak pada berkembangnya jumlah usaha akomodasi di Kabupaten badung, berikut akan disajikan tabelnya.

Tabel 4.10. Banyaknya Usaha Akomodasi di Kabupaten Badung Tahun 2013

Tahun Hotel Berbintang Hotel Melati Pondok Wisata Kondotel Rumah Sewa Jumlah (unit) 2007 94 379 239 3 22 737 2008 96 472 325 3 30 926 2009 98 505 395 7 31 1.036 2010 98 541 475 13 31 1.158 2011 98 596 599 15 34 1.342 2012 98 697 719 21 41 1.576 2013 98 778 837 34 53 1.800

Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2013

4.2.2. Usia petani Anggota Subak Kabupaten Badung

Berdasarkan komposisi penduduk, usia dikelompokkan menjadi 3, yakni kelompok penduduk usia 0-14 tahun (belum produktif), 15-64 tahun (produktif), dan lebih dari 65 tahun (tidak lagi produktif) (BPS,2012). Peneliti kemudian melakukan sebaran anggota

(28)

28

subak berdasarkan umur terendah, rerata, dan tertinggi. Berikut akan disajikan Tabel 4.11. mengenai sebaran anggota subak anggota subak di Kabupaten Badung.

Tabel 4.11. Sebaran Anggota Subak Kabupaten Badung Berdasarkan Umur (n = 31 )

No Kategori Usia (Tahun)

1 Tertinggi 75

2 Rerata 61

3 Terendah 47

Sumber : Analisis Data Primer 2015

Berdasarkan hasil penelitan, menunjukkan bahwa usia anggota subak terendah yakni 47 tahun, rerata yakni 61 tahun, dan usia petani tertinggi yakni 75 tahun. Rerata usia anggota subak Kabupaten Badung menunjukkan bahwa mereka termasuk kedalam kelompok penduduk produktif. Namun, dengan usia rerata petani yang seperti ini tentu akan memasuki usia non-produktif, hal ini dapat memicu kinerjanya dalam berusahatani. Dengan menurunnya kinerja mereka nantinya maka akan berdampak pada kemampuan untuk berusahatani sehingga hasil yang didapat nantinya dapat menurun. Hal ini pun akan berpengaruh pada adopsi petani dalam menerima inovasi pertanian. Penelitian yang dilakukan Soekartawi (2005), menyebutkan bahwa seseorang dengan umur produktif akan memiliki kecenderungan mengadopsi inovasi dengan mudah dan cepat.

4.2.3. Luas lahan Anggota Subak Kabupaten Badung

Anggota subak yang diwawancara menyebutkan bahwa status kepemilikan lahan yang digunakan untuk berusahatani berasal dari lahan milik sendiri, menyewa, dan menyakap. Sebagian besar anggota subak yang diwawancarai mengolah lahannya sendiri dalam berusahatani, hanya sebagian kecil dari mereka yang menyakapkan lahan milik petani lainnya. Berikut ini akan disajikan tabel 4.12. mengenai sebaran luas lahan anggota subak di Kabupaten Badung.

(29)

29

Tabel 4.12. Sebaran Luas Lahan Anggota Subak Kabupaten Badung (n= 31)

No Kategori Luas (Ha)

1 Tertinggi 70

2 Rerata 31

3 Terendah 8,5

Sumber : Analisis Data Primer, 2015

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengklasifikasikan luasan lahan yang dimiliki anggota subak menjadi 3, yakni terendah, tertinggi, dan rerata. Dari tabel 4.12. bahwa luas lahan yang diusahakan oleh anggota subak terendah yakni 8,5 are (0,08 Ha), rerata 31 are (0,31 Ha), dan tertinggi yakni 70 are (0,7 Ha). Dari hasil penelitian, sebesar 19,4% anggota subak yang memiliki lahan lebih dari 50 Are (0,5 Ha). Semakin luasnya lahan yang dimiliki oleh petani tentu akan mempengaruhi hasil produksi yang didapat dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan mereka. Namun, dari data yang tersaji pada tabel 4.12. menunjukkan adanya anggota subak yang memiliki lahan pertanian hanya 8,5 are, hal ini dikhawatirkan dengan luasan yang sedikit dan pendapatan yang diperoleh tidak seberapa akan mengakibatkan petani menjual lahannya. Selain itu, harga tanah yang tinggi membuat petani memiliki keinginan untuk menjual lahan pertaniannya. Luas lahan usahatani akan berdampak pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan derajat kesejahteraan rumah tangga petani (Hermanto, 1993).

4.2.4. Tingkat pendidikan Anggota Subak Kabupaten Gianyar

Tingkat pendidikan mempengaruhi ketrampilan serta kemampuan adopsi petani terhadap informasi dan teknologi baru. Berikut adalah tabel 4.13. yang menyajikan sebaran anggota subak Kabupaten Badung berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 4.13. Sebaran Anggota Subak Kabupaten Badung Berdasarkan Pendidikan (n= 31)

No Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Tidak Sekolah 4 12,90 2 SD 14 45,16 3 SMP 7 22,58 4 SMA 5 16,13 5 Strata 1 (S1) 1 3,23 Jumlah 31 100,00

(30)

30

Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan dalam tabel 4.13. terlihat bahwa peneliti membagi kategori pendidikan menjadi 5, yaitu tidak sekolah, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Strata satu (S1). Dari tabel 4.13. persentase anggota subak yang tidak sekolah sebesar 12,90%, SD sebesar 45,16%, SMP sebesar 22,58%, SMA sebesar 16,13%, dan S1 sebesar 3,23%. Sebagian besar anggota subak dalam penelitian ini memiliki tingkat pendidikan hingga bangku Sekolah Dasar (SD). Tingkat pendidikan petani secara tidak langsung berpengaruh terhadap adopsi inovasi pertanian. Dengan pendidikan yang tinggi tentu akan mengubah pola pikir dan pandangan petani terhadap sesuatu yang baru. Petani yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung mudah menerima dan mengaplikasikan inovasi dan teknologi baru yang disampaikan penyuluh pertanian sehingga diharapkan terdapat peningkatan produksi hasil pertanian. Penyuluhan pertanian bertujuan untuk meningkatkan perilaku dan ketrampilan petani sehingga petani mampu untuk mengusahakan usahataninya dengan lebih optimal.

(31)

31

V. KEAKTIFAN MENGIKUTI PENYULUHAN

5.1. Hubungan Antara Persepsi Dengan Keaktifan Mengikuti Penyuluhan

Persepsi petani terhadap pentingnya penyuluhan menunjukkan peningkatan yang berarti jika materi penyuluhan yang disampaikan terkait dengan kebutuhan petani. Peran penyuluhan sebagai edukasi cukup berperan dalam memberikan informasi dan pelatihan kepada petani sehingga dapat meningkatkan pengetahuan petani dalam melakukan usahatani. Berikut akan disajikan hasil analisis korelasi antara persepsi anggota subak dengan keaktifan mengikuti penyuluhan di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar.

a. Hasil Analisis Korelasi di Kabupaten Badung

Berdasarkan hasil analisis uji rank spearman (lampiran 1) diketahui bahwa N atau jumlah data penelitian adalah 31, kemudian nilai sig. (2-tailed) adalah 0,023, sebagaimana dasar pengambilan keputusan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi petani dengan keaktifan mengikuti penyuluhan. Selanjutnya, dari hasil analisis diketahui bahwa Correlation Coefficient (koefisien korelasi) sebesar 0,408, nilai ini menandakan adanya hubungan yang moderat atau sedang antara persepsi anggota subak dengan keaktifan mengikuti penyuluhan. Semakin tinggi tingkat persepsi anggota subak terhadap pertanian maka keaktifan untuk mengikuti penyuluhan akan semakin tinggi.

b. Hasil Analisis Korelasi di Kabupaten Gianyar

Berdasarkan hasil analisis uji rank spearman (lampiran 1) diketahui bahwa N atau jumlah data penelitian adalah 31, kemudian nilai sig. (2-tailed) adalah 0,114, sebagaimana dasar pengambilan keputusan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang tidak signifikan antara persepsi petani dengan keaktifan mengikuti penyuluhan. Selanjutnya, dari hasil analisis diketahui bahwa Correlation Coefficient (koefisien korelasi) sebesar 0,290, nilai ini menandakan adanya hubungan yang rendah antara persepsi petani dengan keaktifan mengikuti penyuluhan.

Berdasarkan kedua analisis uji spearman rank tidak terdapat perbedaan antara anggota subak yang berasal dari Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar, meskipun

(32)

32

korelasi yang terdapat di Kabupaten Gianyar lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Badung. Terdapat korelasi yang sedang antara persepsi anggota subak terhadap keaktifan mengikuti penyuluhan di Kabupaten Badung yakni sebesar 0,408 sedangkan korelasi antara persepsi anggota subak dengan keaktifian mengikuti penyuluhan di Kabupaten Gianyar rendah yakni sebesar 0,290. Persepsi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal antara lain usia petani, pendidikan formal, pendapatan petani, pengalaman bertani, dll sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sosial, kedekatan (pemahaman petani terhadap budidaya), dan intensitas stimulus (frekuensi dalam menerima informasi).

Anggota subak di Kabupaten Badung rata-rata dalam usia tua namun masih aktif dalam melakukan budidaya, fisiknya masih kuat serta terbuka untuk menerima informasi terkait dengan usahataninya. Tingkat pendidikan anggota subak di Kabupaten Badung yang memiliki tingkat pendidikan lebih dari 9 tahun sebesar 19,36% dan di Kabupaten Gianyar sebesar 12,91%. Faktor internal ini akan mempengaruhi tingkat persepsi anggota subak, sehingga keaktifan mengikuti penyuluhan pun akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat persepsinya. Selain itu, adanya kebutuhan untuk meningkatkan usahatani menyebabkan anggota subak aktif dalam mengikuti penyuluhan. Materi yang diberikan berupa pemupukan berimbang, penggunaan varietas unggul, pengendalian hama dan penyakit, pola tanam menjadi penting bagi anggota untuk meningkatkan produksi padi di lahannya.

5.2. Hubungan Antara Luas Lahan Pertanian dengan Keaktifan Mengikuti Penyuluhan

Lahan merupakan faktor yang sangat penting yang digunakan petani untuk membudidayakan padi sawah. Besar kecilnya produksi yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh luas sempitnya lahan yang digunakan. Lahan garapan merupakan faktor paling utama dalam produksi. Sebagai faktor paling utama maka lahan garapan ini merupakan pabriknya dimana hasil-hasil produksi pertanian dapat berjalan dengan lancar sehingga produksi yang dihasilkan dapat optimal. Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai

(33)

33

hubungan antara luas lahan yang dimiliki oleh petani dengan keaktifan mengikuti penyuluhan. Berikut akan disajikan hasil analisis korelasi antara luas lahan yang dimiliki oleh anggota subak dengan keaktifan mengikuti penyuluhan di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar.

a. Hasil Analisis Korelasi di Kabupaten Badung

Berdasarkan hasil analisis uji rank spearman (lampiran 2) diketahui bahwa N atau jumlah data penelitian adalah 31, kemudian nilai sig. (2-tailed) adalah 0,010, sebagaimana dasar pengambilan keputusan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara luas lahan petani dengan keaktifan mengikuti penyuluhan. Selanjutnya, dari hasil analisis diketahui bahwa Correlation Coefficient (koefisien korelasi) sebesar 0,453, nilai ini menandakan adanya hubungan yang moderat atau sedang antara luas lahan petani dengan keaktifan mengikuti penyuluhan.

b. Hasil Analisis Korelasi di Kabupaten Gianyar

Berdasarkan hasil analisis uji rank spearman (lampiran 2) diketahui bahwa N atau jumlah data penelitian adalah 31, kemudian nilai sig. (2-tailed) adalah 0,036, sebagaimana dasar pengambilan keputusan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara luas lahan petani dengan keaktifan mengikuti penyuluhan. Selanjutnya, dari hasil analisis diketahui bahwa Correlation Coefficient (koefisien korelasi) sebesar 0,379, nilai ini menandakan adanya hubungan yang rendah antara luas lahan petani dengan keaktifan mengikuti penyuluhan.

Berdasarkan hasil analisis uji spearman rank dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara luas lahan dengan keaktifan mengikuti penyuluhan di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar, meskipun hubungannya moderat yakni sebesar 0,453 di Kabupaten Badung dan 0,379 di Kabupaten Gianyar. Hal ini berarti, semakin luas lahan garapan yang dimiliki oleh anggota subak maka keaktifan untuk mengikuti penyuluhan akan semakin tinggi. Keaktifan anggota subak dalam kegiatan penyuluhan pertanian merupakan aktivitas anggota subak dalam mengikuti setiap pertemuan-pertemuan atau kegiatan kelompok yang berhubungan dengan penyuluhan. Keaktifan anggota subak dalam penyuluhan menjadi faktor penting, Hal ini dikarenakan penyuluhan merupakan

(34)

34 sarana untuk anggota subak memahami program.

Menurut Kartasapoetra (1997), dengan penyuluhan yang berhasil diterapkan kepada para petani, akan berarti petani mau dan mampu untuk selalu menggunakan teknologi yang menguntungkan dalam budidaya tanaman termasuk mengatasi masalah-masalah yang timbul (hama dan penyakit tumbuhan, konservasi tanah dan air, dll). Luas garapan yang tinggi yang dimiliki anggota subak mengakibatkan anggota aktif untuk mengikuti penyuluhan. Hal ini dikarenakan keinginan petani untuk meningkatkan ketrampilan dalam berusahatani sehingga nantinya diharapkan dapat meningkatkan produksi serta pendapatan yang diterimanya.

(35)

35

VI. PEMBAHASAN

Institusi subak mempunyai beberapa aktivitas pengelolaan dan pemeliharaan inkonstitutional yang direfleksikan dalam penerapan ketiga unsur Tri Hita Karana: (1) aktivitas sistem ritual pada parahyangan subak, (2) aktivitas organisasi pada sub-sistem sosial (pawongan), dan (3) aktivitas pengelolaan usaha tani serta penyelenggaraan dan pemeliharaan jaringan irigasi pada sub-sistem fisik (palemahan).

6.1. Penerapan Awig-Awig Subak di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar

Dalam penelitian ini, kemudian dilakukan uji kolmogorov smirnov untuk membandingkan tingkat penerapan awig-awig subak di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar. Berikut akan disajikan hasil analisis tingkat penerapan awig-awig subak di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar. Tabel 6.1. menggambarkan aktivitas pengelolaan dan pemeliharaan subak (Budiasa, 2011):

Tabel 6.1. Aktivitas Pengelolaan dan Pemeliharaan Institusi Subak

Komponen Tri Hita Karana Aktivitas

Sub-sistem ritual (parahyangan) Pelaksanaan berbagai upacara ritual di parahyangan subak antara lain di pura ulun carik, pura ulun subak (bedugul), pura ulun suwi, pura masceti, dan pura ulun danu Sub-sistem sosial (pawongan) 1. Rapat anggota dan pengurus subak

2. Administrasi dan registrasi serta pelaporan keuangan subak

3. Perjananan atau transportasi bagi pengurus subak yang melaksanakan tugas kelembagaan

4. Pengorganisasian unit-unit bisnis dalam subak

Sub-sistem fisik (palemahan) 1. Pemeliharaan parahyangan subak

2. Operasi dan pemeliharaan peralatan dan mesin pertanian yang dimiliki subak 3. Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi 4. Manajemen usaha tani dan agribisnis

lainnya Sumber: Budiasa, 2011.

(36)

36

Langkah-langkah pengujian untuk mengetahui tingkat penerapan awig-awig subak di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar adalah sebagai berikut:

a. Pengujian Hipotesis

Ho: Diduga tidak terdapat perbedaan antara penerapan awig-awig subak di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar

Ha: Diduga terdapat perbedaan antara penerapan awig-awig subak di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar

b. Taraf signifikansi A = 0,05 (5%), N = 60 c. Kriterisa pengujian

X² observasi > X tabel: Ho ditolak, Ha diterima X² observasi < X tabel: Ho diterima, Ha ditolak d. Statistik pengujian X² Observasi = 4 D² (𝑛1 𝑥 𝑛2 𝑛1+𝑛2) X² Observasi = 4 (0,07) ²( 31 𝑥 31 31+31

)

X² Observasi = 4 (0,0049)

(

961 62) X² Observasi = 0,0196 x 15,5 X² Observasi = 0,3038 e. Kesimpulan X² Observasi = 0,3038 X tabel = 5,99

X² Observasi < X tabel, maka Ho diterima, Ha ditolak

Berdasarkan analisis uji Kolmogorov smirnov (lampiran 5) diperoleh kesimpulan bahwa X² Observasi sebesar 0,3038 dan X tabel (Tabel C) sebesar 5,99. Hal ini berarti bahwa X² Observasi < X tabel sehingga Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya tidak terdapat perbedaan antara penerapan aturan-aturan (awig-awig) subak di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar. Dalam penelitian ini, didapatkan hasil bahwa anggota subak yang terdapat di kedua kabupaten ini masih mematuhi awig-awig yang terdapat di subak. Sampai saat ini kegiatan subak masih dilandasi oleh falsafah Tri Hita Karana

(37)

37

sebagai tiga penyebab kesejahteraan dan dijiwai oleh Agama Hindu. Awig-awig subak yang berisi tentang kegiatan (Arga, 2011): (1) ayah-ayahan (bantu-membantu), (2) ngawit pangiwit (penetapan batas awal dan batas akhir musim tanam), (3) ngawit nandur (mulai penanaman padi), (4) pedum yeh (pembagian air), (5) indik mapuah (menghalau hama), (6) mabiyu kukung (upacara agama biyu kukung), (7) manyi (perihal panen), (8) sarin tahun (perihal tentang hasil padi untuk keprluan upacara adat di desa) masih tetap dilaksanakan di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar. Berikut adalah gambar kegiatan anggota subak dalam melaksanakan subsistem ritual.

Gambar 6.1. Kegiatan Ritual Yang Dilaksanakan Anggota Subak (sumber: analisis data primer 2015).

Kegiatan upacara keagamaan bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara manusia dengan penciptanya (parahyangan). Upacara keagamaan merupakan kegiatan yang dipercaya sebagai suatu keharusan yang akan menentukan keberhasilan aktivitas pertanian padi sawah. Dari gambar 6.1. terlihat bahwa anggota subak sedang makukan upacara biu kukung (pada saat padi berwarna kuning). Berikut akan dijelaskan macam-macam ritual yang dilaksanakan oleh anggota subak (Aryawan, dkk. 2013):

1. Pada penanaman padi di tingkat anggota subak:

a. Ngendagin merupakan upacara yang dilakukan pada saat air menuju sawah b. Ngurit merupakan upacara yang dilaksanakan pada saat baru akan memulai

menanam padi

c. Neduh merupakan upacara yang dilaksanakan pada saat padi berumur 5 wuku dalam kalender Bali

(38)

38

d. Ngisehin merupakan upacara yang dilaksanakan pada saat padi berumur 50 hari

e. Biukukung merupakan upacara yang dilaksanakan pada saat padi akan dipanen f. Nyangket merupakan upacara yang dilaksanakan pada saat panen

g. Mantepin merupakan upacara yang dilakukan pada saat padi sudah berada di dalam jineng (tempat menyimpan padi)

h. Ngerasakin merupakan upacara yang dilaksanakan pada saat sudah selesai melakukan kegiatan padi di sawah

2. Pada saat penanaman padi ada ditingkat subak

a. Tedun kecarik merupakan upacara atur piuning yang dilakukan oleh seluruh krama subak

b. Mendak toya merupakan upacara yang dilaksanakan pada saat krama subak akan memulai pencarian air

c. Odalan merupakan upacara yang dilakukan di pura Khayangan

d. Pengaci merupakan upacara yang dilakukan setiap bulan dimana upacara ini dilakukan bilamana ada pemeritahuan oleh prajuru subak

e. Nagluk merana merupakan upacara yang dilaksanakan untuk mencegah serangan hama

(Subak Kab. Badung) (Subak Kab. Gianyar) Gambar 6.2. Pura Penghulun Carik Subak di Kabupaten Badung dan Gianyar

(sumber: analisis data primer, 2015)

Pura Penghulun Carik Subak merupakan tempat berlangsungnya ritual-ritual kegamaan yang dilaksanakan dimasing-masing subak. Peranan subak dalam upacara keagamaan

(39)

39

pada gambar 6.2. bertujuan agar menjaga keseimbangan hubungan antara manusia, alamnya, dan penciptanya.

Tabel 6.2. Kegiatan Ritual Subak di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar

Kegiatan Ritual Subak

Kabupaten Badung Kabupaten Gianyar

Ngendagin   Ngurit   Neduh   Ngisehin   Biukukung   Nyangket   Mantepin   Ngerasakin   Tedun Kecarik   Mendak Toya   Odalan   Pengaci   Nagluk Merana  

Sumber: analisis data primer, 2015

Berdasarkan tabel 6.2. terlihat bahwa anggota subak di kedua kabupaten melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan atau ritual dalam keberlangsungannya. Menurut Aryawan, dkk. (2013), upacara keagamaan ini merupakan salah satu kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam kehidupan subak dan dipercaya akan menentukan keberhasilan usaha tani di sawah. Dalam awig-awig diatur hak, kewajiban, dan sanksi yang dimiliki oleh anggota. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa anggota subak berperan aktif dalam kegiatan perencanaan, pengawasan, dan pemeliharaan subak, hal ini menunjukkan bahwa anggota sudah menjalankan kewajiban-kewajiban yang dimilikinya. Berikut ini akan dijelaskan kegiatan ritual salah satu subak yang terdapat di Kabupaten Badung. Kegiatan yang dilakukan subak umalas meliputi tetoyan (sembahyang) di penghulu carik dua kali dalam setahun, neduh di penghulu dua kali dalam satu kali tanam dan di Pura Gunung Sari sekali dalam satu kali tanam, serta di Pura Segara Batu Bolong. Kemudian melakukan kegiatan nunas tirta penangluk ngerana (megambil tirta untuk mengahalau hama) di Pantai Seseh dan Pantai Petitenget serta nunas tirta ke Ulun Danu Batur (Pura Danau Batur) setahun sekali. Selain itu, subak juga tangkil (berkunjung ke tempat suci) ke Ulun Danu Batur dan Teluk Biu Batur setahun sekali.

Gambar

Tabel 1. 1. Isi Awig-Awig Subak dan Jenis Sanksi Atas Pelanggaran
Tabel 1.2. Jumlah Subak dan Luas Areal Sawah 5 Tahun Terakhir
Gambar 1.1. Proses Terjadinya Persepsi
Gambar 2.2. Kerangka berpikir penelitian   Penjelasan:
+7

Referensi

Dokumen terkait

pembelajaran discovery yang diterapkan dikelas kontrol yaitu saat tahap data processing ada kelompok siswa yang cenderung hanya sebagian yang mengerjakan dalam

Kegiatan Bioindustri berbasis integrasi tanaman Salak dan ternak Kambing di Kabupaten Sleman memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan pendapatan petani,

“Hubungan Antara Semangat Kerja Dengan Disiplin Penerapan K3 Pada Karyawan PLN Rayon Magelang ” skripsi ini sebagai tugas akhir dari Fakultas Psikologi

Keragaman budaya itu sendiri sebagai modal utama dalam pengembangan industri kreatif, yakni dengan munculnya aneka ragam kerajinan dan berbagai produk lain yang telah

adalah atau. Hal itu sejalan dengan respon yang diberikan saat wawancara sebagaimana tersaji pada kutipan wawancara berikut.. Akan tetapi, proses yang dijelaskan untuk

Adapun Hornsby (Oktafiani et al., 2018) mentakrifkan disleksia sebagai bentuk kesulitan belajar membaca dan menulis terutama belajar mengeja (mengujar) secara betul

Alat ukur yang digunakan untuk melihat hubungan social support dengan emotional Intelligence pada mahasiswa atlet UKM sepak bola adalah skala social support dan

3 Pengadaan Aset Peralatan dan Mesin Pengadaan Rak Arsip 1 paket APBD BKPP Kab.. Kendal