• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN ORDONANSI HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA TANUN 1869-1932 M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEBIJAKAN ORDONANSI HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA TANUN 1869-1932 M."

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh:

Rina Farihatul Jannah NIM: A0.22.12.095

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Kebijakan Ordonansi Haji Pada Masa Kolonial Belanda Di Indonesia Tahun 1869-1932 M”. Adapun fokus penelitian yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimana pelaksanaan haji pada masa kolonial Belanda di Indonesia? (2) Bagaimana politik haji yang digunakan pemerintah kolonial Belanda dalam menghadapi umat Islam di Indonesia? (3) Mengapa pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan ordonansi haji?.

Dalam skripsi ini menggunakan pendekatan historis dan politik dengan metode penelitian historis, yang teknik pengumpulan datanya mengacu pada sumber-sumber tertulis, seperti arsip-arsip dan buku-buku yang berhubungan dengan pelaksanaan haji pada masa kolonial Belanda, khususnya yang membahas kebijakan pemerintah Belanda terhadap haji. Sedangkan teori yang digunakan adalah teori kekuasaan Robert M. Maclver, untuk menganalisis kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dalam menjalankan kebijakannya di Indonesia, khususnya kebijakan ordonansi haji (1869-1932 M.).

(6)

ix

ABSTRACT

Thesis entitled “Policy Pilgrim Ordinance in the Dutch Colonial Period in

Indonesia Year 1869-1932 M”. The focus of the research will be discussed in this paper are (1) How the pilgrimage to the Dutch colonial period in Indonesia? (2) How to use the political pilgrimage Dutch colonial government in the face of Moslems in Indonesia? (3) Why are the Dutch colonial government established pilgrim ordinance policy?.

In this paper takes a historical approach and the political methods of historical research, the data collection technique refers to written sources, such as archives and books related to the pilgrimage to the Dutch colonial period in Indonesia, especially discusses government policy Dutch against pilgrim. While the theory used is the theory of power Robert M. Maclver, to analyze the power of the Dutch colonial government in implementing its policies in Indonesia, particularly the pilgrim ordinance policy (1869-1932 M).

(7)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

MOTTO ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian... 8

E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 9

F. Penelitian Terdahulu ... 10

G. Metode Penelitian... 11

H. Sistematika Bahasan... 17

BAB II : SEJARAH HAJI DI NUSANTARA A. Tinjauan Umum Tentang Ibadah Haji... 19

1. Pengertian Haji ... 19

2. Syarat Haji ... 21

3. Rukun Haji ... 21

4. Wajib Haji ... 23

(8)

xiv

6. Makna dan Hikmah Haji ... 26

B. Perjalanan Haji Sebelum Belanda Datang di Indonesia ... 30

1. Permulaan Haji Nusanatara ... 30

2. Sarana Transportasi Permulaan Haji Nusantara ... 32

BAB III: SEJARAH HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA A. Sejarah Pelaksanaan Haji Pada Masa Kolonial Belanda Di Indonesia ... 36

1. Haji Di Masa VOC ... 36

2. Haji Di Masa Kolonial Belanda ... 42

3. Sarana dan Transportasi Haji Pada Masa Kolonial Belanda ... 54

B. Politik Islam dan Politik Haji ... 62

1. Politik Islam Pemerintah Kolonial Belanda ... 62

2. Politik Haji Pemerintah Kolonial Belanda ... 68

BAB IV: KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA TERHADAP HAJI A. Kebijakan Ordonansi Haji ... 81

B. Pelaksanaan Ordonansi Haji ... 89

C. Dampak Ordonansi Haji Bagi Perjalanan Haji Umat Islam Indonesia ... 91

D. Reaksi Umat Islam Indonesia Terhadap Ordonansi Haji ... 94

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 100

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas

masyarakat Nusantara. Dalam Islam, ibadah haji adalah rukun Islam yang

kelima dan menjadi kewajiban bagi umat Islam yang mampu menjalankan,

dalam arti mampu secara materi maupun non materi. Perjalanan haji sudah

sejak lama dilaksanakan oleh umat Islam Nusantara, diperkirakan sejak

pertama Islam masuk ke pulau Nusantara, kaum Muslim di pulau ini sudah

melakukan perjalanan haji ke Mekkah. Akan tetapi, belum ditemukan

sumber secara valid tentang waktu pertama kali umat Islam Nusantara

datang ke Mekkah.

Menurut Schrieke yang dikutip oleh Azyumardi Azra menyebutkan

bahwa, orang-orang Melayu-Indonesia sudah terlihat kehadirannya di

dekat barat laut India sejak awal abad ke-12. Selain itu, Schrieke juga

menyatakan pada tahun 1440 M. Abdul al-Razzaq menemukan

orang-orang Nusantara di Hormuz, begitu pula yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah

bahwa ia menemukan orang-orang Jawa (Nusantara) di antara kalangan

pedagang asing di Kalikut, di pantai Malabar pada tahun 1346 M.1

Dari data di atas, belum dapat diketahui waktu pasti umat Islam

Nusantara pergi melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Sumber yang

1

(10)

paling tua yang dapat diketahui tentang keberangkatan umat Islam

Nusantara ke Mekkah, adalah pada tahun 1521 M. ketika Sunan Gunung

Jati atau Syarif Hidayatullah berkunjung ke Mekkah untuk menunaikan

ibadah haji.2

Sejarah perjalanan ibadah haji di pulau Nusantara terus berjalan

dengan damai, sampai kedatangan Belanda yang mendarat di Banten pada

tahun 1569 M. Kedatangan Belanda sebenarnya banyak mempengaruhi

sejarah perjalanan haji umat Islam di pulau Nusantara, akan tetapi tidak

bisa merubah niat kaum Muslim Nusantara untuk pergi menjalankan rukun

Islam yang kelima ini. Sejak pertama kali kedatangannya, Belanda

berusaha menancapkan eksistensiya di pulau Nusantara dalam berbagai

bidang, khususnya dalam bidang perdagangan. Pada tahun 1602, Belanda

mendirikan sebuah perusahaan perusahaan yang dikenal nama Verenigde

Oost-Indische Comgnie (VOC).3 Sikap VOC terhadap kaum Muslim di pulau Nusantara tidak sebaik sikap penduduk pribumi dalam menyambut

kedatangan mereka. Sikap yang ditunjukan VOC terhadap kaum Muslim

di Nusantara khususnya mereka yang hendak berangkat menunaikan

ibadah haji terasa sangat sentimen, terbukti pada tahun 16614 VOC

2

Achmad Taqiyudin et.al., Antara Mekkah dan Madinah (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), 204. Lihat pula Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007), 106.

3

M. Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), 48.

4

(11)

melarang para calon jamaah haji menumpang dikapal milik VOC dan juga

melarang haji yang pulang dari Mekkah mendarat di Batavia.5

Penemuan mesin uap oleh James Watt pada akhir abad ke-18, yang

kemudian oleh Robert Fulton dipergunakan untuk menggerakkan sarana

angkutan air berdampak pada sarana transportasi yang dipakai oleh para

jamaah haji, yang sebelumnya mengandalkan kapal layar dan memerlukan

waktu selama tiga tahun, beralih memakai kapal laut bermesin uap.6 Apalagi setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 membuat

perjalanan haji semakin cepat dan juga dapat menghemat biaya, sehingga

jumlah jamaah haji dari Indonesia ke Mekkah semakin bertambah

banyak.7

Akibat dari semakin banyaknya jumlah jamaah haji yang datang ke

Mekkah, tidak sedikit dari para jamaah haji pulang dengan membawa

ajaran ortodoks setelah menunaikan ibadah haji atau setelah sekian lama

bermukim di tanah suci. Lambat laun ajaran tersebut berhasil

menggantikan kedudukan mistik dan sinkretisme yang selama ini

menguasai Indonesia.8 Berdasarkan kenyataan ini, Belanda beranggapan bahwa ibadah haji adalah penyebab penduduk pribumi menjadi fanatik dan

akan menentang pemerintah Belanda, sehingga akan membahayakan

kedudukannya di tanah air. Oleh sebab itu, pihak pemerintah Belanda

5

Kareel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke-19 (Jakart: P.T. Bulan Bintang, 1984), 234.

6

Majid, Berhaji, 55-56.

7

Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1980), 36.

8

(12)

mengeluarkan bermacam-macam peraturan yang dapat membatasi dan

mempersulit ibadah haji.9 Salah satu diantaranya adalah mengeluarkan kebijakan tentang ordonansi haji.

Secara historis, Belanda sudah sejak lama membatasi dan

mempersulit umat Islam Indonesia untuk pergi menunaikan ibadah haji.

Pada tahun 1810, Gubenur Jendral Daendels mengeluarkan peraturan

bahwa para calon jamaah haji, yang disebutnya sebagai pastor Islam, harus

mempunyai pas jalan, apabila mereka ingin pergi dari satu tempat di Jawa

ke tempat lain.10 Peraturan ini diperkuat pada tahun 1825,11yaitu ketika pemerintah Belanda mengeluarkan Resolutie pada tanggal 18 Oktober

1825 No. 9. Resolusi ini diarahkan pada pembatasan kuota dan mengawasi

gerak-gerik jamaah haji. Salah satunya adalah ditetapkannya ongkos naik

haji (ONH) sebesar f.110, termasuk paspor haji yang wajib dimiliki oleh

setiap jamaah.12 Selain itu, usaha pihak Belanda untuk mengawasi jamaah haji diperkuat pula dengan dibukanya konsulat Belanda di Jeddah tahun

1872.13

Akan tetapi peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial

Belanda ini tidak sepenuhnya ditaati oleh umat Islam Indonesia yang

hendak melaksanakan ibadah haji. Umat Islam beranggapan bahwa

peraturan ini merugikan dan memberatkan umat, maka mereka mencari

9

Ibid.

10

Steenbrink, Beberapa Aspek, 235.

11

Staatsblad van Nederlansch-Indie Tahun 1825 dan Resolutie 18 Oktober 1825 No. 9.

12

Majid, Berhaji, 83-84.

13

(13)

jalan lain untuk pergi ke Mekkah.14 Banyak diantara para jamaah haji yang pergi atau pulang haji mengunakan embarkasi Singapura atau Malaka.15 Atas dasar Resolusi pada tanggal 18 Oktober 1825 No. 9 yang dirasakan

masih banyak kekurangan, maka pemerintah kolonial Belanda

menyempurnakan Resolusi tersebut dengan mengeluarkan ordonansi haji

pada tahun 1831, 1859, 1875, 1881, 1898, 1902, 1909, 1911, 1915, 1922,

1923, 1927, 1932 dan 1937. Kebanyakan dikeluarkannya ordonansi haji

pasca Resolusi 1825 adalah sebagai penyempurnaan dari

ordonansi-ordonansi yang sebelumnya.

Kelahiran ordonansi haji pada tahun 185916dilatar belakangi banyaknya penyalahgunaan gelar haji serta banyaknya jamaah haji

Indonesia yang menetap di Mekkah dan tidak kembali ke tanah air setelah

selesai menunaikan ibadah haji. Sedangkan ordonansi tahun 1872

mengatur tentang pengangkutan pribumi dan penetapan embarkasi hanya

dilakukan pada pelabuhan Batavia, Surabaya, Semarang, Padang serta

Ulee Lheue.17 Namun pada tahun 1898 pelabuhan-pelabuhan tersebut dibatasi hanya pada dua pelabuhan saja untuk pelabuhan embarkasi haji,

yaitu pelabuhan Batavia dan Padang.18

Ordonansi tahun 1922 berisi tentang Ketentuan haji yang

menetapkan tentang keharusan jamaah haji memiliki tiket kapal yang

14

Putuhena, Historiografi Haji, 139.

15

Majid, Berhaji, 83.

16

Staatsblad van Nederlansch-Indie Tahun 1959 No. 42.

17

Staatsblad van Nederlansch-Indie Tahun 1972 No. 179.

18

(14)

harus di beli dari agen haji (Pelgrimsagent).19 Ketetapan ini merupakan penyempurnaan dari ordonansi haji 1898 yang tidak mencantumkan

ketentuan tentang tiket kapal.20 Dengan adanya agen haji (Pelgrimsagent), jamaah haji dapat lebih mudah memperoleh tiket kapal dan caloh haji

dapat dibatasi gerak-geriknya.

Berbeda dengan ordanansi-ordonansi sebelumnya, kelahiran

ordonansi 1927 dipicuh karena suasana kemenangan Ibnu Saud di

Mekkah. Akibat peristiwa tersebut, pemerintah kolonial Belanda merasa

kawatir akan kemungkinan agitator politik pribumi lari ke luar negeri

dengan melakukan ibadah haji. Pemerintah kolonial Belanda merasa takut

kedudukannya di Indonesia terancam hilang karena umat Islam

mempunyai penguasa baru. Untuk membendung kemungkinan itu maka

pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan ordonansi haji pada tahun

1927.

Sedangkan ordonansi haji pada tahun 1932 memberi dasar hukum

atas pemberian izin bagi organisasi bonefit umat Islam Indonesia, untuk

menyelenggarakan pelayaran haji.21 Kebijakan ordonansi haji kali ini tidak lepas dari peran organisasi keagamaan Muhammadiyah. Berdasarkan

kongres ke-17 di Minangkabau pada tahun 1930, Muhammadiyah

19

Staatsblad van Nederlansch-Indie Tahun 1922 No. 698.

20

Putuhena, Historiografi Haji, 175.

21

(15)

merekomendasikan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk

membangun pelayaran haji sendiri bagi jamaah haji Indonesia.22

Begitulah sepenggal sejarah perhajian Indonesia yang dapat

penulis sampaikan. Namun yang akan dibahas pada penelitian ini

menekankan pada kebijakan ordonansi di masa kolonial Belanda. Hal ini

menarik diteliti, karena mengapa persoalan agama ditarik ke ranah

kebijakan perpolitikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang jelas-jelas

menyatakan netral agama.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan haji pada masa kolonial Belanda di Indonesia?

2. Bagaimana politik haji yang digunakan pemerintah kolonial Belanda

dalam menghadapi umat Islam di Indonesia?

3. Mengapa pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan

ordonansi haji?

C. Tujuan Penelitian

Segala aktivitas yang dilakukan, pasti tidak terlepas dari tujuan

atau maksud yang hendak dicapai, begitu juga dalam penelitian ini seperti

yang dikatakan oleh Sutrisno Hadi dalam buku Metodologi Research,

bahwa suatu research khususnya dalam ilmu pengetahuan emperik pada

umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji

22

(16)

suatu kebenaran pengetahuan.23 Begitu pula dengan penelitian ini mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan yang hendak dicapai pada

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan haji pada masa kolonial Belanda di

Indonesia.

2. Untuk mengetahui politik haji yang digunakan pemerintah kolonial

Belanda dalam menghadapi umat Islam di Indonesia.

3. Untuk mengetahui alasan/penyebab pemerintah kolonial Belanda

mengeluarkan kebijakan ordonansi haji.

D. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini, diharapkan bisa memberikan manfaat yang positif bagi

semua orang, baik dari segi keilmuwan akademik maupun dari sisi praktis:

1. Dari Sisi Keilmuwan Akademik

a. Sebagai wacana dan informasi tentang sejarah umat Islam di

Indonesia, khususnya sejarah perhajian di Indonesia.

b. Menambah khazana ilmu pengetahuan khususnya di bidang sejarah

kebudayaan Islam serta memperkaya historiografi Indonesia

c. Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut dalam

kajian yang sama.

2. Dari Sisi Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi/masukan

yang penting serta berguna bagi kehidupan masyarakat.

23

(17)

E. Pendekatan dan Kerangka Teori

Berkaitan dengan judul yang dibahas, maka dalam melakukan

rekontruksi sejarah, pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan ini

adalah mengunakan pendekatan historis dan pendekatan politik.

Penggunaan pendekatan historis ini diharapkan bisa menampilkan

kronologi sejarah secara runtut, karena suatu realitas itu tidak berdiri

sendiri melainkan ada hal-hal yang mempengaruhinya.24 Sedangkaan pendekatan politik digunakan untuk mengetahui penyebab pemerintah

kolonial Belanda menetapkan kebijakan ordonansi haji bagi umat Islam di

Indonesia, yang berdampak terhadap semakin sulitnya umat Islam

Indonesia untuk pergi melaksanakan ibadah haji karena

peraturan-peraturan yang harus dipenuhi oleh calon jamaah haji sebelum pergi ke

Mekkah.

Selain menggunakan pendekatan historis dan politik, penelitian ini

juga menggunakan teori kekuasaan. Menurut Robert M. Maclver

kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau golongan untuk

mengendalikan prilaku orang lain secara langsusng atau tidak langsung.

Secara langsung dilakukan dalam bentuk memaksa, sedangkan secara

tidak langsung berupa penyusunan segala inflastruktur kekuasaan yang

dapat dilakukan melalui proses rekayasa.25

24

D.N. Aidit, Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis (Jakarta: Jajasan Pembaharuan, 1962), 127.

25

(18)

Kekuasaan ini dilakukan melalui adanya pola hubungan dimana

terdapat pihak yang menjadi posisi sentral pemerintahan dan pihak lain

yang harus tunduk atau taat. Dalam hal ini, yang berkuasa dan menempati

posisi sentral adalah Belanda dan pihak yang diperintah adalah rakyat

pribumi. Di kasus ordonansi haji ini yang harus tunduk pada kebijakan

yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda adalah umat Islam. Sebagai

penguasa, Belanda mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan suatu

kebijakan yang berdampak menyenangkan atau tidak kepada rakyat

pribumi.

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang haji di Indonesia memang bukan hal yang baru

dalam penelitian, kerena sebelumnya sudah ada beberapa orang yang

menulis tentang haji di Indonesia. Diantaranya seperti penelitian-penelitian

berikut:

1. M. Shaleh Putuhena, “Historiografi Haji Indonesia”, yang terbit tahun

2007. Tulisan M. Shaleh Putuhena menjelaskan mengenai praktek

pelaksanaan haji umat Islam di Indonesia sejak abad XV hingga

pertengahan pertama abad XX. Selain itu, M. Shaleh Putuhena juga

memaparkan perhajian baik dalam aspek politik, sosial maupun

budaya.

2. M. Dien Majid, “Berhaji Di Masa Kolonial”, yang terbit pada tahun

2008. Tulisan karya M. Dien Majid menjelaskan tentang

(19)

Dalam tulisan M. Dien Majid juga menjelaskan mengenai berbagai

fasilitas yang diperoleh jamaah haji di dalam kapal milik pemerintah

kolonial Belanda.

3. Aqib Suminto, “Politik Islam Hindia Belanda”, yang terbit tahun 1996.

Tulisan karya Aqib Suminto mengulas secara jelas mengenai

perpolitikan pemerintahan Belanda terhadap umat Islam. Dalam tulisan

Aqib Suminto lebih menitik beratkan sepak terjang Belanda dalam

mengatasi pribumi yang beragama Islam dalam berbagai hal, termasuk

mengenai ibadah haji yang dibahas sebagai bagian dari banyak

masalah.

Karya-karya di atas tersebut berbeda dengan penelitian yang akan

dikaji oleh penelitian dalam hal fokus dan pembahasannya. Penelitian ini

berusaha mencari titik lain dari pelaksanaan haji di Indonesia. Fokus dan

pembahasan penelitian ini adalah menitik beratkan pada pelaksanaan haji,

politik haji dan kebijakan ordonansi haji pada masa kolonial Belanda di

Indonesia.

G. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu Mothodos yang

berarti cara atau jalan. Metode sejarah merupakan cara atau teknik dalam

merekontruksi peristiwa masa lampau, melalui empat tahap yang harus

(20)

historiografi.26 Melalui metode ini, penelitian diarahkan untuk selalu mengutamakan aspek rasionalitas agar diperoleh hasil yang dapat

dipercaya, terhadap data yang ditemukan. Melalui tahapan metode sejarah

ini, penulis berusaha menjelaskan tentang kebijakan odonansi haji yang

ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap umat Islam di

Indonesia. Adapun tahapan-tahapan metode penelitian sejarah dijelaskan

sebagai berikut:

1. Heuristik (Mencari dan Mengumpulkan Sumber atau Data)

Adalah kegiatan mengumpulkan berbagai sumber atau data

sejarah yang mempunyai hubungan dengan penulisan penelitian ini.

Adapun pengertian sumber sejarah adalah segalah sesuatu yang bisa

dipergunakan sebagai alat atau bahan untuk merekontruksi,

mendeskripsikan atau melukiskan kembali peristiwa sejarah yang

terjadi di masa lampau. Terkait dengan judul penelitian ini adalah

kebijakan ordonansi haji pada masa kolonial Belanda Belanda, maka

penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif, sehingga teknik

pengumpulan data yang dilakukan adalah mengunakan library

reseach, yaitu dengan cara mengkaji, menelaah atau memerikasa

berbagai sumber atau data yang terkait, baik itu sumber atau data

primer maupun data sekunder yang diperoleh dari studi perpustakaan.

26

(21)

Sumber primer dari penelitian ini adalah peraturan-peraturan

yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda tentang

ditetapkannya ordonansi haji bagi umat Islam di Indonesia. Sumber

primer yang berupa arsip ini didapat dari badan Perpustakaan dan

Kearsip provinsi Jawa Timur. Sumber primer yang diperoleh adalah

sebagai berikut:

a. Arsip Nasional Republik Indonesia, Revolutie van den

Geuverneur-Greneral van Nederlandsch Indie, 18 Oktober 1825

No. 9.

b. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van

Nederlandsch-Indie Tahun 1859 No. 42.

c. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van

Nederlandsch-Indie Tahun 1872 No. 179.

d. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van

Nederlandsch-Indie Tahun 1898 No. 294.

e. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van

Nederlandsch-Indie Tahun 1922 No. 698.

f. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van

Nederlandsch-Indie Tahun 1927 No. 286.

g. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van

Nederlandsch-Indie Tahun 1932 No. 554 Pasal 22a.

Sedangkan sumber sekunder dari penelitian ini berupa

(22)

kebijakan ordonansi haji di Indonesia. Sumber sekunder yang

diperoleh setelah melakukan penelusuran dari buku-buku literatur

adalah sebagai berikut:

a. Achmad Taqiyudin et.al., Antara Mekkah dan Madinah, Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2009.

b. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Kencana Prenadamedia

Group, 2013.

c. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES,

1985.

d. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1945, Cet

VII, Jakarta: LP3ES, 1994.

e. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia

Pada Masa Pendudukan Jepang, Terj. Daniel Dhakidae. Jakarta:

PT. Dunia Pustaka Jaya. 1980.

f. Kareel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia

Abad ke-19, Jakart: P.T. Bulan Bintang, 1984.

g. M. Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial, Jakarta: CV Sejahtera,

2008.

h. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta: Lkis,

2007.

(23)

Setelah data terkumpul, maka yang harus dilakukan adalah

menyeleksi, menilai, menguji untuk mendapatkan keabsahan sumber.

Verifikasi ini digunakan untuk menentukan otensititas (keaslian

sumber) dan kredibilitas (tingkat kebenaran informasi) sumber

sejarah.27 Verifikasi ini terdiri dari:

a. Kritik Ekstern (Otentitas)

Yaitu suatu usaha meneliti atau menguji keaslian sumber

yang telah diperoleh, sehingga validitas sumber tersebut dapat

dipertanggungjawabkan.

b. Kritik Intern (Kredibilitas)

Yaitu suatu usaha setelah mengetahui asli atau tidaknya

data atau dokumen yang didapatkan selanjutnya di teliti

kebenarannya dan kesesuaiannya dari isi data tersebut.28 Dalam artian apakah data tersebut bisa memberikan informasi yang

dibutuhkan dalam melakukan penelitian.

Dalam penelitian ini dilakukan kritik intern, dengan cara

membaca, mempelajari, memahami dan menelaah secara

mendalam berbagai sumber yang telah didapatkan. Langkah

berikutnya adalah membandingkan antara isi sumber yang satu

dengan yang lain guna menemukan keabsahan sumber dan

27

Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu, 47.

28

(24)

mengambil data yang bisa dipercaya. Melalui kritik tersebut,

diharapakan agar penulisan skripsi ini dapat menggunakan sumber

yang dapat dipertanggungjawabkan.

3. Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran juga disebut analisis sejarah,

analisis berarti menguraikan. Analisis sejarah adalah menguraikan

sumber-sumber atau data-data yang telah dikumpulkan, dikritik,

dibandingkan kemudian disimpulkan agar dapat dibuat penafsiran

sehingga bisa diketahui kausalitas dan kesesuaian dengan masalah

yang dibahas.

Upaya yang dilakukan pada tahap ini adalah menganalisis

peristiwa-peristiwa sejarah berdasarkan data yang telah dikumpulkan

dengan maksud agar dapat menguasai masalah yang dibahas.

Selanjutnya dilakukan sistesis sebagai penyatuan data yang telah

diperoleh sesuai dengan kerangka penulisan. Tahap ini dimaksudkan

untuk mencari runtutan peristiwa sejarah kebijakan ordonansi haji pada

masa kolonial Belanda di Indonesia tahun 1869-1932 M. yang juga

mengunakan bantuan pendekatan historis dan politik.

4. Historiografi

Historiografi merupakan tahap terakhir dalam metode sejarah.

(25)

penelitian.29 Pada laporan penelitian ini penulis berusaha menuangkan fakta-fakta yang diperoleh dari berbagai sumber yang diperoleh, baik

itu sumber primer maupun data sekunder sehingga bisa menghasilkan

karya ilmiah yang bisa diperhitungkan dalam khazana keilmuan

khususnya yang berkaitan dengan historiografi Islam.

H. Sistematika Bahasan.

Agar bisa memudahkan pemahaman dalam penelitian ini, maka

diperlukan sebuah sistemasi terhadap isi dengan membagi dalam beberapa

bab dan masing-masing bab akan dibagi lagi menjadi beberapa bagian.

Dalam penelitian ini terdiri lima bab, adapun sistematika bahasan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

pendekatan dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian dan

sistematika bahasan. Intinya bab ini merupakan pengantar secara sekilas

mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan penulisan penelitian ini.

Pembahasan mengenai metodologi juga diuraikan dengan menggunakan

beberapa teori sebagai bahan landasannya.

Bab II merupakan langkah awal pembahasan yang berisi

penjelasan mengenai sejarah haji di Nusantara sebelum kedatangan

Belanda, di bab ini juga akan menjelaskan mengenai tinjauan umum haji

29

(26)

yang meliputi: pengertian haji, syarat haji, rukun haji, macam-macam

pelaksanaan haji dan makna haji.

Bab III ini akan menjelaskan mengenai haji di masa kolonial

Belanda termasuk pada masa VOC serta politik Islam dan politik haji yang

digunakan Belanda dalam menghadapi umat Islam di Indonesia.

Bab IV ini akan menjelaskan kebijakan-kebijakan pemerintah

kolonial Belanda terhadap pelaksanaan haji. Di bab ini akan menguak

penyebab pemerintah kolonial Belanda menetapkan kebijakan ordonansi

haji, bagaimana pelaksanaannya dan dampak dari ditetapkannya ordonansi

haji terhadap umat Islam di Indonesia, termasuk juga reaksi umat Islam

Indonesia terhadap kebijakan ordonansi haji.

(27)

BAB II

SEJARAH HAJI DI NUSANTARA

Masyarakat Nusantara dikenal sebagai masyarakat yang taat dalam

menjalankan ajaran agamanya. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima

yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang mampu. Dari masa ke

masa, tercatat bahwa perjalanan umat Islam dari Nusantara ke Tanah Suci

terus mengalami peningkatan. Sebelum membahas tentang sejarah

permulaan haji di Nusantara terlebih dahulu penulis paparkan tentang

berbagai hal penting terkait dengan ibadah haji dalam tuntunan agama

Islam.

A. Tinjauan Umum Tentang Ibadah Haji 1. Pengertian Haji

Ibadah menurut pendapat para ulama terbagi menjadi tiga.

Pertama adalah ibadah badaniah yang bersifat mahdhah, seperti shalat

dan puasa. Kedua, ibadah maliah yang bersifat mahdhah yaitu seperti

zakat. Ketiga, ibadah yang terdiri dari ibadah badaniah dan maliah

yaitu seperti haji.1 Di sini yang menarik adalah haji yang merupakan perpaduan antara ibadah badaniah dan maliah. Menurut bahasa, kata

haji berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti berziarah,

berkunjung atau berwisata suci.2 Sedangkan menurut istilah, haji

1

Nabilah Lubis, Menyingkap Rahasia Ibadah Haji (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), 31.

2

(28)

adalah berziarah ke Ka’bah di Mekkah untuk beribadah kepada Allah

SWT dengan melakukan ihram, thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, mabit di

Muzdalifah dan Mina, melontar jamarat dan tahalul.3

Dalam istilah fikih, haji memiliki makna perjalanan seseorang

ke Ka’bah guna menjalankan ritual-ritual ibadah haji dengan cara dan

waktu yang telah ditentukan.4 Sedangkan menurut Undang-undang 17 tahun 1999 tentang menyelenggaraan ibadah haji mendefinisikan

ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima yang merupakan

kewajiban bagi yang mampu menunaikannya.5 Jadi dapat disimpulkan

bahwa haji adalah perjalanan seseorang berkunjung ke Ka’bah untuk

melakukan serangkaian ibadah kepada Allah SWT pada waktu dan

cara yang telah ditentukan, yang merupakan rukun Islam kelima serta

hukumnya wajib bagi yang mampu menjalankannya.

Adapun umrah, menurut bahasa berarti ziarah atau berkunjung.

Sedangkan menurut istilah adalah berkunjung ke Ka’bah untuk

beribadah kepada Allah SWT dengan melakukan ihram, thawaf, sa’i

dan tahalul.6 Dari sini, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara haji dan umrah terletak pada waktu dan teknis pelaksanaannya. Haji

mempunyai waktu khusus dan tidak diperbolehkan berpindah ke waktu

lain, berbeda dengan umrah yang tidak mempunyai waktu yang khusus

3

Ahmad Kartono dan Sarmidi Husna, Ibadah Haji Perempuan Menurut Para Ulama Fikih

(Jakarta: Siraja Prenada Media Group, 2013), 13.

4

Sholikhin, Keajaiban Haji, 2.

5

Lihat Ayat 3 Pasal 1 Bab I Undang-Undang nomor 17 Tahun 1999.

6

(29)

dan bisa dilaksanakan sepanjang tahun. Teknis pelaksanaannya pun

berbeda, haji mempunyai ritual seperti wukuf, menginap dan melontar

jamarat, namun dalam umrah tidak ada ritual-ritual tersebut. Semua

ulama sepakat bahwa hukum haji wajib bagi setiap umat Islam yang

mampu secara fisik maupun materi, baik itu laki-laki maupun

perempuan dan hanya sekali seumur hidup. Apabila lebih dari sekali

hukumnya menjadi sunah. Sedangkan umrah mempunyai status hukum

wajib, yaitu ketika umrah dalam haji dan selain umrah dalam haji

hukumnya hanya sunah.7

2. Syarat Haji.

a. Beragama Islam. Orang kafir tidak wajib bahkan tidak sah untuk

melaksanakan haji.

b. Baligh. Telah sampai usia seseorang pada tahap kedewasaan,

umumnya telah berusia limabelas tahun ke atas, sehingga tidak

wajib bagi anak-anak untuk melaksanakan haji.

c. Berakal sehat. Orang gila tidak wajib melaksanakan haji.

d. Merdeka. Dalam arti bukan hamba sahaya.

e. Istitha’ah. Mampu secara jasmani, rohani, ekonomi, maupun

keamanan dalam perjalanan.

3. Rukun Haji

Rukun haji adalah rangkaian amalan yang harus dilakukan

dalam ibadah haji dan tidak bisa digantikan dengan yang lain,

7

(30)

meskipun dengan denda (dam).8 Jadi tidak sah hajinya apabila meninggalkan rangkaian amalan yang harus dikerjakan dalam ibadah

haji. Rukun haji ada enam yaitu:

a. Ihram (niat). Yaitu menyengaja untuk berhaji dengan disertai

memakai pakaian yang tidak berjahit dan menutup kepala bagi

laki-laki. Sedangkan bagi perempuan memakai pakaian yang

berjahit dan tidak boleh menutup muka serta tangan.

b. Wukuf di Arafah. Orang yang sedang mengerjakan haji itu wajib

berada di Padang Arafah pada waktu yang ditentukan, yaitu

dimulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah sampai

terbitnya fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Cara pelaksanaan wukuf

adalah dengan berdiam diri sambil berdoa sampai waktu magrib.

c. Thawaf. Yaitu mengelilingi Ka’bah. Thawaf rukun ini dinamakan

Thawaf Ifadah. Thawaf Ifadah adalah thawaf rukun haji yang

dilakukan setelah melempar jamarat aqabah pada hari Idhul Adha

dan hari tasyriq. 9Adapun syarat thawaf yaitu: Pertama, menutup aurat. Kedua, suci dari hadas dan najis. Ketiga,Ka’bah hendaknya

beradah di sebalah kiri orang yang thawaf. Keempat, permulaan

thawaf dari Hajar Aswad. Kelima, mengelilingi Ka’bah sebanyak

tujuh kali.

8

Ahmad Kartono dan Sarmidi Husna, Ibadah Haji, 23.

9

(31)

d. Sa’i. Yaitu berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah. Adapun

syarat-syarat sa’i adalah sebagai berikut: Pertama, dimulai dari

bukit Safa dan diakhiri di bukit Marwah. Kedua, sa’i dilakukan

sebanyak tujuh kali. Ketiga, waktu sa’i sebaiknya sesudah thawaf.

e. Tahalul. Yaitu mencukur atau menggunting rambut, setidaknya

tiga helai.

f. Tertib. Yaitu melakukan ketentuan manasik sesuai dengan tata

urutan dan aturan yang sudah ditentukan.

4. Wajib Haji

Wajib haji adalah suatu rangkaian amalan yang perlu

dikerjakan dalam ibadah haji dan apabila tidak dilaksanakan sah

hajinya namun harus diganti dengan membayar denda (dam). Adapun

yang termasuk Wajib haji adalah sebagai berikut:10

a. Ihram dari Miqat (batas waktu dan tempat yang ditentukan). Miqat

ada dua: Pertama miqat zamani yaitu ketentuan masa dari awal

bulan Syawal sampai terbit fajar Hari Raya Haji (tanggal 10

Dzulhijjah). Kedua yaitu miqat makani (ketentuan tempat), di

mana jamaah haji dari Asia Tenggara, termasuk dari Indonesia

miqat makaninya adalah Yalamlam, yakni nama sebuah bukit di

wilayah Tihamah, namun umumnya jamaah haji memulai berihram

di bandara internasional Jeddah.

b. Mabit (bermalam) di Muzdalifah setelah wukuf di Padang Arafah.

10

(32)

c. Melontar jamarat aqabah pada Hari Raya Haji, yaitu setelah lewat

tengah malam 10 Dzulhijjah sampai subuh 11 Dzulhijjah.

d. Melontar tiga jamarat, yaitu Jamarat Ula, Jamarat Wustha dan

Jamarat Aqabah yang dilontarkan pada tanggal 11, 12, 13

Dzulhijjah.

e. Mabit di Mina pada malam hari-hari Tasyriq (11, 12, 13

Dzulhijjah)

f. Thawaf wada’ (thawaf meninggalkan Mekkah)

g. Menjauhkan diri dari segala larangan atau yang diharamkan.

Adapun yang dilarang ataupun diharamkan selama mengerjakan

ibadah haji adalah:1) Memakai wangi-wangian. 2) Rafats (berkata

kotor, keji, cabul, bercumbu mesra atau berhubungan badan dengan

suami-istri). 3) Fasiq (melakukan dosa besar seperti mencuri,

meminum minuman keras atau melakukan dosa-dosa kecil secara

terus menerus). 4) Jidal (berbantah-bantahan secara emosional dan

tak bermanfaat). 5) Berburu atau membunuh binatang.

6) Memotong atau merusak tanaman di tanah haram. 7) Meminang,

menikah atau melaksanakan akad nikah. 8) Memotong kuku,

rambut dan meminyakinya.

5. Macam-macam Pelaksanaan Haji

Dari segi pelaksanaannya, ibadah haji dibagi menjadi tiga

(33)

a. Haji Tamattu’. Kata tamattu’ mempunyai arti bersenang-senang.11 Haji tamattu’ adalah haji yang dilakukan setelah melakukan ihram

untuk umrah terlebih dahulu di bulan-bulan haji, setelah selesai

melakukan rangkaian ibadah umrah lalu tahallul. Kemudian untuk

haji, berihram haji di Mekkah pada tanggal 8 Dzulhijjah. Jadi ada

jeda waktu beberapa hari antara umrah yang dilakukan dengan haji

yang dilakukan sesudahnya. Dalam jeda waktu tersebut bisa

bersenang-senang, tidak berpakaian ihram namun dikenakan wajib

membayar denda (dam). Denda (dam) yang harus dibayar adalah

menyembelih seekor kambing untuk disedekahkan kepada fakir

miskin.12

b. Haji Ifrad. Kata ifrad mempunyai arti menyendirikan.13 Haji ifrad adalah niat ihram untuk haji terlebih dahulu kemudian baru

melakukan ihram untuk umrah dan tidak diwajibkan untuk

membayar denda (dam). Haji ifrad adalah haji yang lebih afdhal.14 c. Haji Qiran. Kata qiran mempunyai arti berteman atau bersamaan.15

Haji qiran adalah niat melaksanakan ihram untuk umrah dan haji

secara bersamaan dengan sekali niat untuk dua pekerjaan.

Pelaksanaan haji qiran ini, akan dikenakan denda (dam) seperti

11

Ahmad Kartono dan Sarmidi Husna, Ibadah Haji, 25.

12

Sudarsono dan Susmayati, Mengenal Keesaan Tuhan Ka’bah Pemersatu Umat Islam (Jakarta: Asdi Mahasatya, 1992), 227.

13

Ahmad Kartono dan Sarmidi Husna, Ibadah Haji, 56.

14

Sudarsono dan Susmayati, Mengenal Keesaan, 228.

15

(34)

pelaksanaan haji tamattu’, yaitu dengan menyembelih seekor

kambing ataupun domba.

6. Makna dan Hikmah Haji

Ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima merupakan

kewajiban bagi yang mampu menunaikannya, yang dimaksud di sini

adalah mampu secara materi maupun fisik. Ibadah haji mempunyai

makna dan hikmah bagi seluruh umat Islam. Makna haji bagi umat

Islam adalah merupakan respon terhadap panggilan Allah SWT.

dengan lantunan bacaan yang mengandung nilai esensial doa.16 Oleh karena itu, haji merupakan representasi diri umat Islam di hadapan

Allah SWT. Makna yang bisa diambil dari pelaksanaan ibadah haji

tercermin dari simbol-simbol ritual haji itu sendiri seperti ihram,

wukuf, thawaf, sa’i, melempar jamarat dan tahalul.

Makna melaksanakan ihram dalam haji adalah agar orang yang

melaksanakan ibadah haji berada pada puncak ketundukan dan

kerendahan dihadapan Allah SWT.17 Pada saat melaksanakan ihram semua orang menggunakan pakaian seragam, yaitu berpakaian serba

putih dan tidak berwarna-warni. Tidak bisa dipungkiri bahwa pakaian

bisa dijadikan simbol pembeda bagi pemakainya. Pembeda tersebut

dapat mengantarkan pada perbedaan status sosial, ekonomi atau

16

Majid, Berhaji, 36.

17

(35)

profesi.18 Dengan memakai pakaian ihram yang berwarna putih dan tidak berjahit akan memunculkan kesadaran tentang persatuan,

persamaan dan persaudaraan dalam diri orang yang berihram. Tidak

ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain, yang membedakan

hanya iman dan takwanya saja di hadapan Tuhannya.

Makna melaksanakan wukuf dalam haji adalah supaya umat

Islam dapat belajar untuk saling mencari unsur kesamaan di antara

perbedaan yang ada. Ketika manusia dari seluruh dunia Islam

berkumpul maka kesadaran ukhuwah islamiyah dalam diri mereka

akan terbuka. Wukuf di Arafah juga menjadi miniatur pertemuan umat

Islam di Padang Mahsyar nanti. Di bawah terik matahari, jutaan umat

dari beragam wilayah, bangsa dan bahasa tumpah ruah di Padang

Arafah, berdesakan, berdoa sambil berjalan mengikuti pimpinannya

merupakan gambaran kelak pada hari kiamat.

Thawaf merupakan bentuk ketundukan umat kepada Tuhannya.

Thawaf tidak hanya dilakukan oleh manusia saja, jagat raya pun

mengambil bentuk perputaran seperti thawaf. Bumi, bulan dan seluruh

planet masing-masing berputar seraya telah tunduk pada ketentuan

Penciptanya. Selain itu, thawaf menggambarkan larut dan leburnya

manusia bersama manusia lainnya menuju kepada Allah SWT.19

18

Quraish Shihab, Haji Bersama M. Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1998), 107.

19

(36)

Sa’i secara etimologi diartikan sebagai perjalanan, sedangkan

secara terminologi diartikan perjalanan dalam ritual haji sebanyak

tujuh kali dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah.20 Makna dari

melaksanakan sa’i adalah sebagai berikut: Pertama, belajar dari

perjuangan Sayyidah Hajar. Hajar berjuang mencari air dimulai dari

bukit Shafa yang sacara harfiah mempunyai arti kesucian dan

ketegaran. Ini merupakan lambang bahwa untuk mencapai hidup,

seseorang harus berusaha dan usahanya harus dimulai dengan kesucian

serta ketegaran dan harus diakhiri di Marwah yang berarti kepuasan,

penghargaan dan murah hati.21 Kedua, pasrah kepada Allah. Berlari-lari kecil dari Shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali merupakan sebuah

lambang bahwa dalam kehidupan ini seseorang harus memiliki sifat

optimis bahwa pertolongan Allah akan menghampiri orang-orang yang

sabar dan taqwa kepada Allah.

Mabit di Muzdalifah dan Mina. Hakikat mabit di Muzdalifah

dan Mina adalah agar jamaah haji mencari dan mempersiapkan batu

untuk dilontarkan ke jamarat, yang bermakna melontar setan dan

menggambarkan apa yang akan dihadapi jamaah haji begitu pulang

dari Tanah Suci. Di Mina juga dilakukan penyembelihan binatang

kurban, dilambangkan dengan menyembelih binatang karena nafsu

sering berkolusi dengan setan untuk menjerumuskan manusia.22 Maka

20

Sholikhin, Keajaiban Haji, 153.

21

Shihab, Haji, 116.

22

(37)

dari itu, menyembelih binatang bermakna bahwa yang seharusnya

disembelih adalah nafsu kebinatangan yang terdapat pada diri manusia.

Melontar jamarat pada hakikatnya adalah kesatuan ibadah

anggota badan, lisan dan hati. Kaki dan tangan untuk melempar, lisan

untuk berdzikir dan hati selalu ingat kepada Allah. Tujuan dari

melontar jamarat adalah membiasakan untuk senantiasa memuji Allah,

selalu berdzikir dan berdoa. Selain itu, melontar jamarat adalah

lambang dari permusuhan umat Islam terhadap setan dan sekaligus

bertekad untuk melawannya.23 Yang terakhir adalah tahalul (menggunting rambut, bercukur atau menggundulkannya), tahulul

dijadikan lambang keamanan dan perdamaian. Rambut yang biasanya

hitam, diibaratkan sebagai dosa-dosa yang telah dilakukan oleh

manusia.24 Memotong rambut ibarat menanggalkan dosa-dosa itu dari diri orang yang bersangkutan. Oleh sebab itu, semakin banyak yang

dipotong semakin baik. Sedangkan hikmah yang terkandung dalam

pelaksanaan haji adalah sebagai berikut:

a. Menumbuhkan rasa persaudaraan dan sikap solidaritas yang tinggi

sesama umat Islam sedunia.

b. Persamaan dan perwujudan yang sama dan tidak membedakan

antara satu dengan yang lain dengan latar belakang status sosial

ekonomi yang berbeda-beda.

23

Ibid., 122. Lihat pula Sholikhin, Keajaiban Haji, 164-165.

24

(38)

c. Menumbuhkan jaringan ekonomi, budaya, pendidikan, sosial,

pertahanan, keamanan dan politik.

B. Perjalanan Haji Sebelum Belanda Datang Di Indonesia 1. Permulaan Haji Nusantara

Belum ditemukan data atau sumber yang valid tentang siapa

dan kapan pertama kali umat Islam Nusantara pergi ke Mekkah untuk

melaksanakan ibadah haji. Diperkirakan sejak agama Islam mulai

dianut oleh penduduk Nusantara, umat Islam di pulau ini sudah

melakukan perjalanan haji ke Mekkah. Mengingat haji merupakan

rukun Islam dan merupakan kewajiban bagi semua umat Islam bagi

yang mampu menjalankannya

Menurut Schrieke yang dikutip oleh Azyumardi Azra

menyebutkan bahwa, orang-orang Melayu-Indonesia sudah terlihat

kehadirannya di dekat barat laut India sejak awal abad ke-12. Selain

itu, Schrieke juga menyatakan pada tahun 1440 M. Abdul al-Razzaq

menemukan orang-orang Nusantara di Hormuz, begitu pula yang

ditulis oleh Ibnu Bathuthah bahwa ia menemukan orang-orang Jawa

(Nusantara) di antara kalangan pedagang asing di Kalikut, di pantai

Malabar pada tahun 1346 M.25

Dari data di atas, belum dapat diketahui waktu pasti umat Islam

Nusantara pergi melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Sumber yang

25

(39)

paling tua yang dapat diketahui tentang keberadaan umat Islam

Nusantara di Mekkah adalah berdasarkan laporan Lewis Barthema

(Ludivico Varthema) pada tahun 1503, yang dikenal sebagai

gentlemen of Rome”, yang mengadakan perjalanan haji ke Mekkah

dengan menyamar sebagai seorang Muslim. Ia melihat banyak jamaah

haji dari greater India (India Besar atau Anak Benua India) dan Lesser

East India (India Timur Kecil atau Nusantara).26 Inilah laporan yang paling awal yang menyebutkan kehadiran jamaah haji yang berasal

dari Nusantara.

Namun ada kemungkinan mereka bukan jamaah haji yang

sengaja berangkat dari Nusantara untuk melaksanakan ibadah haji.

Tetapi padagang dan pelayar yang berlabuh di Jeddah dan

berkesempatan untuk melaksanakan haji, mengingat sejak abad ke-15

dimulai kebangkitan kembali perdagangan di Laut India. Menurut

sebuah sumber Venesia, pada tahun 1565 dan 1566, masing-masingnya

lima kapal dari kerajaan Asyi (Aceh) berlabuh di pelabuhan Jeddah.27 Ada kemungkinan bahwa pelayar dan pedagang dari lima kapal

tersebut juga berkesempatan untuk melaksanakan ibadah haji.

Menurut sumber-sumber tradisional Jawa menyebutkan bahwa,

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah berkunjung ke Mekkah

26

Ibid., 37.

27

(40)

untuk menunaikan ibadah haji.28 Syarif Hidayatullah berangkat ke Mekkah pada tahun 1521 M. setelah Pasai, yaitu kota kelahirannya

ditaklukan oleh Portugis. Keberangkatan Syarif Hidayatullah ke

Mekkah tidak hanya untuk melaksanakan ibadah haji, namun juga

sebagai diplomat untuk meminta bantuan Turki Utsmani supaya

mengusir Portugis dari Pasai. Pada waktu itu Mekkah telah berada

dalam kekuasaan Turki Utsmani dan kerajaan-kerajaan Islam di

Nusantara menjalin hubungan politiko-religius dengan Turki

Utsmani.29 Penguasa Turki Utsmani dianggap sebagai pemimpin spiritual bagi umat Islam seluruh dunia, sesuai dengan politik klasik

Islam. Jadi sudah biasa kerajaan Islam meminta legitimasi atau

bantuan militer kepada penguasa Turki Utsmani. Jadi dapat

disimpulkan bahwa mereka yang pertama kali melaksanakan ibadah

haji ke Mekkah adalah pedagang, pelayar dan utusan sultan (diplomat).

Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai angkatan perintis haji

Indonesia.

2. Sarana Transportasi Permulaan Haji Nusantara

Secara umum, pada waktu itu perjalanan ke Mekkah dibagi

menjadi dua, yaitu rute jalan darat dan rute jalan laut. Rute perjalanan

dari Nusantara ke tanah Arab (Mekkah) hanya dapat menggunakan

rute jalan laut. Rute perjalanan melalui laut dapat dikelompokkan

28

Achmad Taqiyudin et.al., Antara Mekkah dan Madinah (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), 204.

29

Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007), 106 dan Azra,

(41)

menjadi tiga rute pelayaran. Pertama, umat Islam yang berasal dari

Hindia Belanda, Straits Setlement, British Indie, Afganistan, Persia

berangkat melalui selat Bab el-Mandab. Kedua, umat Islam yang

berasal dari Mesir, Sudan, Somalia, Prancis, Erytria dan Yaman datang

melalui Laut Merah. Ketiga, umat Islam yang berasal dari Tunisia,

Asia kecil, Siria dan Maroko datang dari Utara.30

Bagi bangsa-bangsa yang mendiami Asia Tenggara, seperti

Indonesia berhaji bukanlah perkara yang mudah, karena jauhnya

perjalanan dari negeri di kawasan ini ke Timur Tengah. Penduduk

negeri ini harus mengarungi lautan yang luas dan rute pelayaran yang

panjang.31 Sebelum terusan Suez dibuka, perjalanan haji menggunakan kapal layar harus ditempuh dengan waktu yang lama. Perjalanan haji

bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.32 Perjalanan yang memakan waktu cukup panjang ini dikarenakan harus

menyesuaikan irama lajunya angin untuk menggerakan kapal layar.

Selain menghabiskan waktu yang cukup panjang dalam

perjalanan, mereka juga harus siap dengan resiko apapun sebab

berhadapan langsung dengan kondisi alam yang tidak menentu,

deburan ombak, badai dan gelombang yang siap menghantam

kapanpun. Tidak jarang perahu yang mereka tumpangi karam dan

30

M. Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), 46.

31

Ali Mufrodi, Haji Indonesia Dalam Perspektif Historis, disampaikan dalam peresmian Jabatan Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003, 5.

32

(42)

penumpangnya tenggelam atau terdampar di pantai yang tidak

dikenal.33 Banyak dari mereka juga yang meninggal di tengah perjalanan akibat kekurangan bekal makanan dan tidak kuat

menghadapi rintangan serta tantangan perjalanan laut. Tidak hanya itu,

kehadiran perompak atau bajak laut juga siap menghalau dan

merampas harta benda mereka. Aktivitas militer Portugis juga

belakangan dilaporkan menimbulkan masalah besar terhadap para

pedagang Muslim dan calon jamaah haji yang akan pergi ke Mekkah.

Pada periode permulaan haji, para jamaah calon haji dari

Nusantara tidak menggunakan kapal layar khusus haji. Kapal-kapal

haji adalah kapal-kapal pengangkut barang yang tidak dilengkapi

dengan akomodasi untuk penumpang. Perjalanan haji ke Tanah Suci

pada umumnya ditempuh dengan menggunakan kapal dagang milik

domestik maupun kapal dagang asing, seperti milik orang-orang Arab,

Persia, Turki dan India.34 Melalui kapal dagang itulah para calon jamaah haji berangkat ke Tanah Suci dan kembali lagi ke Nusantara.

Waktu itu belum dijumpai kapal yang berlayar dari Nusantara

ke Jeddah, maka terpaksa calon jamaah haji harus mengganti kapal

dari pelabuhan dagang satu ke pelabuhan dagang yang lain di

Nusantara dan berakhir di pelabuhan Aceh. Dari Aceh mereka

menunggu kapal yang akan berlayar ke India, kemudian menunggu

33

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 48.

34

(43)

lagi kapal yang akan berlayar ke Hadramaut, Yaman atau langsung

berlayar ke Jeddah.35 Selain itu, di tengah perjalanan mereka menyinggahi berbagai pelabuhan besar di pantai Malaya, Jazirah India

dan Arab untuk membongkar barang dan menambah perbekalan.36

Pada masa awal, perjalanan haji dari Nusantara tidak

memerlukan biaya yang cukup besar. Ini dikarenakan mereka

menumpang di kapal dagang dan tidak perlu membayar tiket kapal.

Oleh karena itu, fasilitas yang mereka peroleh pun seadanya, tidak

jarang mereka ditempatkan di tempat barang atau bahkan ditempatkan

di tempat ternak.37 Pengeluaran terbesar mereka adalah biaya untuk makan dalam perjalanan dan selama berada di Tanah Suci. Bagi para

saudagar, biaya haji diperoleh dari perdagangan yang dilakukan di

Jeddah atau di Mekkah. Sedangkan bagi utusan atau ulama penuntut

ilmu, mereka mendapatkan biaya dari sultan yang mengutusnya.

35

Ali Mufrodi, Haji Indonesia, 10.

36

C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, Terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), 163.

37

(44)

BAB III

HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA

A. Sejarah Pelaksanaan Haji Pada Masa Kolonial Belanda Di Indonesia 1. Haji Di Masa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagne)

Nusantara adalah kepulauan penghasil rempah-rempah. Pada

saat itu, rempah-rempah merupakan komoditas yang paling dicari dan

diminati oleh pasar dunia. Malaka dikenal sebagai pintu gerbang

menuju Nusantara. Para pedagang asing yang hendak masuk atau

keluar pelabuhan-pelabuhan di Nusantara pasti melewati dan singgah

terlebih dahulu di pelabuhan Malaka.

Kejayaan Malaka sebagai pelabuhan besar menuju pulau

rempah-rempah terdengar sampai ke Benua Eropa. Raja Portugis

mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk menemukan Malaka.1 Orang-orang Portugis datang ke Malaka karena telah mendapat laporan

dari pedagang-pedagang Asia. Mereka mendapat laporan bahwa

Malaka merupakan pelabuhan transito yang banyak didatangi

pedagang dari segala penjuru angin dan mempunyai kekayaan yang

sangat besar.2

1

M. C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), 33.

2

(45)

Pada tahun 1511 Malaka berhasil ditaklukan oleh Portugis.3 Setelah keberhasilan Portugis menguasai Malaka, datanglah

orang-orang Belanda yang mewarisi aspirasi-aspirasi dan strategi Portugis.

Karena sebelum datangnya Portugis, perdagangan tidak menggunakan

kekuatan bersenjata. Orang-orang Belanda membawa organisasi,

persenjataan, kapal-kapal dan dukungan keuangan yang lebih baik

serta kombinasi antara keberanian dan kekejaman yang sama.4

Pada bulan Juni 1596 kapal Belanda yang dipimpin oleh

Cornelis de Houtman untuk pertama kalinya tiba di Banten. Sejak

kedatangannya, Belanda berusaha menancapkan eksistensinya di pulau

Nusantara dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang

perdagangan. Pada bulan Maret 1602, akhirnya Belanda membentuk

sebuah Perserikatan Maskapai Hindia Timur atau yang sering dikenal

dengan nama VOC (Verenigde Oost-Indische Compagne).5

Sikap VOC terhadap umat Islam di Nusantara khususnya

mereka yang akan pergi menunaikan ibadah haji terasa sangat

sentimen. Memang pada umumnya, VOC melarang para calon haji

ikut kapal VOC dan kadang-kadang juga melarang haji yang pulang

dari Mekkah mendarat di Batavia.6 Tetapi pada akhirnya politik yang diterapkan VOC terhadap umat Islam yang hendak pergi ke Mekkah

3

Ibid.

4

M. C. Ricklef, Sejarah, 37.

5

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 70-71.

6

(46)

tidaklah konsisten. Sikap VOC terhadap Islam dan jamaah haji sangat

ditentukan oleh kepentingan-kepentingan perdagangan dan

kepentingan politik. Khususnya dalam rangka untuk mendapatkan

simpati dari Sultan Mataram.

Sejak awal, hubungan antara VOC dengan Sultan Agung Adi

Prabu Hanyakrakusuma (Sultan Mataram) tidaklah begitu baik. Pada

tahun 1614 pihak VOC mengirim seorang duta untuk menyampaikan

ucapan selamat kepada Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma atas

pengangkatannya sebagai raja. Namun, Sultan Agung Adi Prabu

Hanyakrakusuma malah memperingatkan duta tersebut bahwa

persahabatan yang diingikan VOC tidak akan terlaksana apabila VOC

berusaha merebut Tanah Jawa.7 Mataram merupakan kerajaan pemasok beras dan VOC sangat membutuhkan beras Jawa, yang tanpa

itu Belanda dan sekutu-sekutunya tidak dapat hidup.8 Selain itu, VOC juga memerlukan kayu dari wilayah kekuasaan Mataram untuk

membuat kapal-kapal VOC.

Pada 24 September 1646 M./13 Ramadhan 1056 H. VOC

mengadakan perjanjian perdamaian dengan Amangkurat I, Raja

Mataram (penganti Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma). Pada

perjanjian itu disepakati bahwa kerajaan Mataram bermaksud

mengirim ulamanya ke Mekkah dan Madinah untuk meningkatkan

7

M. C. Ricklef, Sejarah, 68-69.

8

(47)

pengetahuan agamanya, maka mereka dapat diangkut dengan kapal

VOC.9 Dalam perjanjian ini juga VOC mengembalikan uang yang telah dirampas dari seorang utusan Sultan Agung Adi Prabu

Hanyakrakusuma yang sedang melakukan perjalanan ke Mekkah pada

tahun 1642.10 Utusan tersebut naik kapal layar Inggris namun dihadang oleh Belanda di perairan Batavia.

Pada tahun 1664, atas permintaan sultan Banten VOC

mengizinkan seorang imam Muslim naik kapal VOC untuk melakukan

perjalanan ke Mekkah. Namun pada tahun yang sama VOC tidak

mengizinkan tiga orang Bugis yang pulang dari Mekkah untuk

mendarat di Batavia dan memutuskan agar mereka di buang ke

Tanjung Harapan.11 Sikap baik hati VOC mengabulkan permintaan sultan Banten mungkin juga agar VOC mendapat simpati dari sultan

Banten, mengingat Banten merupakan sumber lada yang utama, yang

bahkan dalam dunia perdagangan menjadi lebih penting daripada

rempah-rempah Maluku.12

Sikap VOC yang memperbolehkan seorang imam Muslim

Banten yang akan melakukan perjalanan ke Mekkah dengan naik kapal

VOC sebenarnya bertentangan dengan ordonansi agama yang

dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Reyneirs pada tanggal 7 Maret dan

9

Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007), 119.

10

M. C. Ricklef, Sejarah, 107.

11

Jacob Vredenbergt, “Ibadah Haji Beberapa Ciri dan Fungsinya Di Indonesia”, dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia dan Haji, Terj. Soedarso Soekarno dan Theresia Slamet (Jakarta: INIS, 1997), 5.

12

(48)

28 November 1651. Inti dari ordonansi agama tersebut berisi larangan

terhadap aktivitas seluruh agama non Protestan seperti, Islam, Yahudi

dan Katolik Roma, baik di negeri Belanda maupun di wilayah negeri

jajahan Belanda, Indonesia.13 Larangan untuk mempraktikan aktivitas agama selain Protestan masih tetap diberlakukan oleh Gubernur

Jendral Campoeijs sampai tahun 1691 M. dan ibadah haji merupakan

bagian dari aktivitas ritual agama Islam yang menurut ordonansi

agama 1651 dilarang.

Untuk pertama kalinya, pada tahun 1674 seorang pangeran

Jawa juga naik haji menggunakan kapal VOC. Ia adalah Abdul Qahhar

yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji. Ia merupakan putra dari

Sultan Ageng Tirtayasa (Banten).14 Namun, pada 27 Februari 1778 M./27 Safar 1192 H. VOC menolak permintaan Adipati Cianjur dan

Tumenggung Buitenzorg (Bogor) yang masing-masing ingin mengirim

seorang ulamanya ke Mekkah.15 Tidak lama kemudian, pada 26 Oktober 1790 seorang jamaah haji bersama pembantunya dengan

menumpang kapal VOC berangkat ke Malabar lalu melanjutkan

perjalanannya ke Mekkah. Pada kesempatan lain juga VOC

mengizinkan dua orang utusan yang berasal dari Periangan naik kapal

VOC untuk berangkat ke Surat tanpa harus membayar dan dari sana

13

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: PT Grafindo Media Pratama, 2012), 175.

14

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 42.

15

(49)

mereka dapat berangkat ke Mekkah.16 Tidak diketahui secara pasti alasan VOC menolak permintaan Adipati Cianjur dan Tumenggung

Buitenzorg (Bogor). Juga tidak diketahui alasan VOC mengizinkan

dua orang utusan yang berasal dari Periangan naik kapal VOC.

Demikian sikap VOC terhadap jamaah haji tergantung pada

keadaan politik di Kepulauan Nusantara dan kepentingan-kepentingan

VOC. Ada kalanya mereka membolehkan calon jamaah haji naik kapal

dagang VOC dan ada kalanya mereka melarang calon jamaah haji

untuk naik kapal VOC bahkan melarang mereka yang pulang dari

Mekkah untuk mendarat di Batavia.

Pada abad XVII dan XVIII, tidak ada berita dengan kapal apa

orang haji seperti Arsyad Banjar pulang dari Mekkah dan tiba di

Batavia pada tahun 1186 H./1773 M.17 Maklum pada abad XVII dan XVIII terjadi kekacauan monopoli perdagangan dan perpolitikan di

Nusantara. Kapal dagang milik asing seperti milik orang-orang Arab,

Persia, Turki dan India tidak ada kabarnya lagi dalam pengangkutan

jamaah calon haji dari Nusantara seperti abad-abad sebelumnya. Hanya

ada data yang menyebutkan tentang kapal layar Inggris saja, yang

16

Ibid.

17

(50)

ditumpangi oleh delegasi Sultan Agung Mataram ke Mekkah untuk

mendapatkan gelar sultan dari Syarif Mekkah pada tahun 1641.18

Meskipun keadaan pelayaran niaga ke Timur Tengah dan

suasana politik tidak kondusif untuk melakukan perjalanan haji, namun

selama abad XVII dan XVIII masih banyak juga penduduk Nusantara

yang pergi ke Mekkah untuk berhaji dan menimbah ilmu di sana.

Seperti Abdurrauf Singkel (1615-1693 M.), Muhammad Yusuf

Maqassari (1627-1699 M.), Abdus Samad al-Palimbani (1704-1789

M.), Arsyad Banjar (1710-1812 M.), dan lain-lain. Maka dengan

sendirinya terbentuk masyarakat pribumi yang menetap (mukimin) di

Mekkah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pada abad XVII dan XVIII, pada

umumnya umat Islam Indonesia yang mengunjungi Tanah Suci pada

waktu itu, adalah para diplomat utusan sultan dan para musafir

penuntut ilmu, yang kemudian memanfaatkan keberadaannya di sana

sambil menunaikan ibadah haji.

2. Haji Di Masa Kolonial Belanda

Setelah Jendral Speelman meninggal dunia, VOC memasuki

masa-masa sulit bahkan hampir gulung tikar karena semakin

banyaknya hutang. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, sikap imoral

18

(51)

terjadi di kalangan para pejabat VOC. Maka pada 31 Desember 1799

secara resmi VOC dibubarkan.19 Setelah VOC dibubarkan, kekuasaan VOC di Indonesia diambil alih langsung oleh pemerintah Belanda.

Pada dasarnya sikap VOC maupun pemerintah Belanda sama

saja terhadap umat Islam di Indonesia, khususnya mereka yang akan

menjalankan rukun Islam yang kelima. Sikap VOC maupun

pemerintah Belanda sama-sama ingin membatasi dan bahkan

cenderung mempersulit umat Islam Indonesia untuk pergi ke Mekkah.

Pada tahun 1810, Gubernur Jendral Marsekal Herman Willem

Daendels mengeluarkan peraturan bahwa para calon haji, yang

disebutnya sebagai pastor Islam atau Muhammadaansche Priesters,

harus mempunyai dan memakai pas jalan apabila mereka ingin pergi

dari satu tempat di Jawa ke tempat yang lain.20 Alasan dikeluarkannya peraturan pemakaian pas jalan atau paspor ini adalah sebagai bentuk

menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah Hindia Belanda.

Kedudukan Gubernur Jendral Daendels digantikan oleh

Gubenur Jendral Thomas Stamford Raffles, setelah pemerintah Inggris

mengambil alih wilayah Indonesia (1811-1816 M). Sama seperti

Deandels, Raffles juga menganggap agama Islam sebagai unsur yang

cukup berbahaya. Sejak tahun 1811, melalui surat edaran, Raffles

19

Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 1.

20

(52)

memperingatkan para gubernur akan bahaya para “sayid atau pastor

pribumi”.21

Deandels dan Raffles menganggap perjalanan ibadah haji

ke Mekkah sebagai bahaya politik. Anggapan ini berdasarkan

pengetahuan mereka yang masih minim tentang Islam.

Kebijakan pemerintah Belanda mengenai ibadah haji pada

seperempat pertama abad XIX dimulai dengan dikeluarkannya

Resolusi tahun 1825, yang diarahkan pada pembatasan kuota jamaah

haji. Sebab dikeluarkannya Resolusi 1825 berawal dari laporan

Residen Batavia bahwa sekitar 200 orang pribumi yang berasal dari

Residen Batavia dan residen lainnya menghadap polisi dengan maksud

untuk memintah pas jalan dan sekaligus melaporkan perjalanan haji ke

Mekkah menggunakan kapal Magbar milik Syaik Umar Bugis.22 Berdasarkan peristiwa tersebut maka dikeluarkanlah Resolusi

Gubernur Jenderal pada tanggal 18 Oktober 1825 No. 9 yang intinya

mengizinkan naik haji menggunakan kapal Magbar dan menetapkan

bahwa setiap calon haji harus membayar 110 gulden untuk

pembayaran pas jalan atau paspor haji.23 Mulai saat itu pula, syaikh haji dari Mekkah mulai mengadakan kampanye haji di Indonesia.

Para calon haji yang tidak mempunyai pas jalan akan

dikenakan denda dengan membayar 1000 gulden, jumlah uang yang

21

Ibid.

22

Jacob Vredenbergt, “Ibadah Haji Beberapa Ciri dan Fungsinya Di Indonesia”, dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia,8.

23

(53)

sangat besar pada masa itu. Peraturan tahun 1825 kemudian diubah

pada tahun 1831, yaitu dengan mengurangi denda dari 1000 gulden

menjadi 220 gulden (dua kali lipat harga pas jalan).24 Namun peraturan ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Daerah di luar Jawa dan

Madura pada umumnya belum sepenuhnya berada di bawah kekuasaan

Belanda.

Setelah kebijakan yang ditetapkan sebelumnya gagal, karena

banyak calon jamaah haji yang menghindar dari ketentuan Belanda

dengan berangkat dari Sumatra maupun daerah luar Jawa dan Madura.

Maka pemerintah kolonial Beland

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis empiris dengan pendekatan adalah teknik pengumpulan data yang

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan ( field research ) dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang teknik pengumpulan datanya menggunakan observasi,

Penelitian ini menggunakan metode historis yaitu heuristik , kritik sumber (kritik intern dan kritik ekstern), interpretasi dan historiografi. Sumber penelitian dikumpulkan

Perubahan ini terlihat dari yang pada awalnya keterlibatan pemerintah sebagai prasyarat utama menjadi keterlibatan aktif penduduk dalam pendirian sekolah, dari

Dan sejalan dengan usaha pemerintah untuk pengembangan pendidikan rakyat dengan biaya yang sangat terbatas, maka pemerintah dalam tahun 1849 mengizinkan berdirinya

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan jenis penelitiannya bersifat penelitian kepustakaan (library research). Teknik pengumpulan datanya menggunakan

Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). Langkah-langkah metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan

pendekatan semiotika dimana menggunakan tanda-tanda atau kode yang mempunyai makna tertentu di dalam film tersebut. Teknik pengumpulan datanya menggunakan metode