SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh:
Rina Farihatul Jannah NIM: A0.22.12.095
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Kebijakan Ordonansi Haji Pada Masa Kolonial Belanda Di Indonesia Tahun 1869-1932 M”. Adapun fokus penelitian yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimana pelaksanaan haji pada masa kolonial Belanda di Indonesia? (2) Bagaimana politik haji yang digunakan pemerintah kolonial Belanda dalam menghadapi umat Islam di Indonesia? (3) Mengapa pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan ordonansi haji?.
Dalam skripsi ini menggunakan pendekatan historis dan politik dengan metode penelitian historis, yang teknik pengumpulan datanya mengacu pada sumber-sumber tertulis, seperti arsip-arsip dan buku-buku yang berhubungan dengan pelaksanaan haji pada masa kolonial Belanda, khususnya yang membahas kebijakan pemerintah Belanda terhadap haji. Sedangkan teori yang digunakan adalah teori kekuasaan Robert M. Maclver, untuk menganalisis kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dalam menjalankan kebijakannya di Indonesia, khususnya kebijakan ordonansi haji (1869-1932 M.).
ix
ABSTRACT
Thesis entitled “Policy Pilgrim Ordinance in the Dutch Colonial Period in
Indonesia Year 1869-1932 M”. The focus of the research will be discussed in this paper are (1) How the pilgrimage to the Dutch colonial period in Indonesia? (2) How to use the political pilgrimage Dutch colonial government in the face of Moslems in Indonesia? (3) Why are the Dutch colonial government established pilgrim ordinance policy?.
In this paper takes a historical approach and the political methods of historical research, the data collection technique refers to written sources, such as archives and books related to the pilgrimage to the Dutch colonial period in Indonesia, especially discusses government policy Dutch against pilgrim. While the theory used is the theory of power Robert M. Maclver, to analyze the power of the Dutch colonial government in implementing its policies in Indonesia, particularly the pilgrim ordinance policy (1869-1932 M).
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERNYATAAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi
MOTTO ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Kegunaan Penelitian... 8
E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 9
F. Penelitian Terdahulu ... 10
G. Metode Penelitian... 11
H. Sistematika Bahasan... 17
BAB II : SEJARAH HAJI DI NUSANTARA A. Tinjauan Umum Tentang Ibadah Haji... 19
1. Pengertian Haji ... 19
2. Syarat Haji ... 21
3. Rukun Haji ... 21
4. Wajib Haji ... 23
xiv
6. Makna dan Hikmah Haji ... 26
B. Perjalanan Haji Sebelum Belanda Datang di Indonesia ... 30
1. Permulaan Haji Nusanatara ... 30
2. Sarana Transportasi Permulaan Haji Nusantara ... 32
BAB III: SEJARAH HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA A. Sejarah Pelaksanaan Haji Pada Masa Kolonial Belanda Di Indonesia ... 36
1. Haji Di Masa VOC ... 36
2. Haji Di Masa Kolonial Belanda ... 42
3. Sarana dan Transportasi Haji Pada Masa Kolonial Belanda ... 54
B. Politik Islam dan Politik Haji ... 62
1. Politik Islam Pemerintah Kolonial Belanda ... 62
2. Politik Haji Pemerintah Kolonial Belanda ... 68
BAB IV: KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA TERHADAP HAJI A. Kebijakan Ordonansi Haji ... 81
B. Pelaksanaan Ordonansi Haji ... 89
C. Dampak Ordonansi Haji Bagi Perjalanan Haji Umat Islam Indonesia ... 91
D. Reaksi Umat Islam Indonesia Terhadap Ordonansi Haji ... 94
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 97
B. Saran ... 100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas
masyarakat Nusantara. Dalam Islam, ibadah haji adalah rukun Islam yang
kelima dan menjadi kewajiban bagi umat Islam yang mampu menjalankan,
dalam arti mampu secara materi maupun non materi. Perjalanan haji sudah
sejak lama dilaksanakan oleh umat Islam Nusantara, diperkirakan sejak
pertama Islam masuk ke pulau Nusantara, kaum Muslim di pulau ini sudah
melakukan perjalanan haji ke Mekkah. Akan tetapi, belum ditemukan
sumber secara valid tentang waktu pertama kali umat Islam Nusantara
datang ke Mekkah.
Menurut Schrieke yang dikutip oleh Azyumardi Azra menyebutkan
bahwa, orang-orang Melayu-Indonesia sudah terlihat kehadirannya di
dekat barat laut India sejak awal abad ke-12. Selain itu, Schrieke juga
menyatakan pada tahun 1440 M. Abdul al-Razzaq menemukan
orang-orang Nusantara di Hormuz, begitu pula yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah
bahwa ia menemukan orang-orang Jawa (Nusantara) di antara kalangan
pedagang asing di Kalikut, di pantai Malabar pada tahun 1346 M.1
Dari data di atas, belum dapat diketahui waktu pasti umat Islam
Nusantara pergi melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Sumber yang
1
paling tua yang dapat diketahui tentang keberangkatan umat Islam
Nusantara ke Mekkah, adalah pada tahun 1521 M. ketika Sunan Gunung
Jati atau Syarif Hidayatullah berkunjung ke Mekkah untuk menunaikan
ibadah haji.2
Sejarah perjalanan ibadah haji di pulau Nusantara terus berjalan
dengan damai, sampai kedatangan Belanda yang mendarat di Banten pada
tahun 1569 M. Kedatangan Belanda sebenarnya banyak mempengaruhi
sejarah perjalanan haji umat Islam di pulau Nusantara, akan tetapi tidak
bisa merubah niat kaum Muslim Nusantara untuk pergi menjalankan rukun
Islam yang kelima ini. Sejak pertama kali kedatangannya, Belanda
berusaha menancapkan eksistensiya di pulau Nusantara dalam berbagai
bidang, khususnya dalam bidang perdagangan. Pada tahun 1602, Belanda
mendirikan sebuah perusahaan perusahaan yang dikenal nama Verenigde
Oost-Indische Comgnie (VOC).3 Sikap VOC terhadap kaum Muslim di pulau Nusantara tidak sebaik sikap penduduk pribumi dalam menyambut
kedatangan mereka. Sikap yang ditunjukan VOC terhadap kaum Muslim
di Nusantara khususnya mereka yang hendak berangkat menunaikan
ibadah haji terasa sangat sentimen, terbukti pada tahun 16614 VOC
2
Achmad Taqiyudin et.al., Antara Mekkah dan Madinah (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), 204. Lihat pula Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007), 106.
3
M. Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), 48.
4
melarang para calon jamaah haji menumpang dikapal milik VOC dan juga
melarang haji yang pulang dari Mekkah mendarat di Batavia.5
Penemuan mesin uap oleh James Watt pada akhir abad ke-18, yang
kemudian oleh Robert Fulton dipergunakan untuk menggerakkan sarana
angkutan air berdampak pada sarana transportasi yang dipakai oleh para
jamaah haji, yang sebelumnya mengandalkan kapal layar dan memerlukan
waktu selama tiga tahun, beralih memakai kapal laut bermesin uap.6 Apalagi setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 membuat
perjalanan haji semakin cepat dan juga dapat menghemat biaya, sehingga
jumlah jamaah haji dari Indonesia ke Mekkah semakin bertambah
banyak.7
Akibat dari semakin banyaknya jumlah jamaah haji yang datang ke
Mekkah, tidak sedikit dari para jamaah haji pulang dengan membawa
ajaran ortodoks setelah menunaikan ibadah haji atau setelah sekian lama
bermukim di tanah suci. Lambat laun ajaran tersebut berhasil
menggantikan kedudukan mistik dan sinkretisme yang selama ini
menguasai Indonesia.8 Berdasarkan kenyataan ini, Belanda beranggapan bahwa ibadah haji adalah penyebab penduduk pribumi menjadi fanatik dan
akan menentang pemerintah Belanda, sehingga akan membahayakan
kedudukannya di tanah air. Oleh sebab itu, pihak pemerintah Belanda
5
Kareel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke-19 (Jakart: P.T. Bulan Bintang, 1984), 234.
6
Majid, Berhaji, 55-56.
7
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1980), 36.
8
mengeluarkan bermacam-macam peraturan yang dapat membatasi dan
mempersulit ibadah haji.9 Salah satu diantaranya adalah mengeluarkan kebijakan tentang ordonansi haji.
Secara historis, Belanda sudah sejak lama membatasi dan
mempersulit umat Islam Indonesia untuk pergi menunaikan ibadah haji.
Pada tahun 1810, Gubenur Jendral Daendels mengeluarkan peraturan
bahwa para calon jamaah haji, yang disebutnya sebagai pastor Islam, harus
mempunyai pas jalan, apabila mereka ingin pergi dari satu tempat di Jawa
ke tempat lain.10 Peraturan ini diperkuat pada tahun 1825,11yaitu ketika pemerintah Belanda mengeluarkan Resolutie pada tanggal 18 Oktober
1825 No. 9. Resolusi ini diarahkan pada pembatasan kuota dan mengawasi
gerak-gerik jamaah haji. Salah satunya adalah ditetapkannya ongkos naik
haji (ONH) sebesar f.110, termasuk paspor haji yang wajib dimiliki oleh
setiap jamaah.12 Selain itu, usaha pihak Belanda untuk mengawasi jamaah haji diperkuat pula dengan dibukanya konsulat Belanda di Jeddah tahun
1872.13
Akan tetapi peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial
Belanda ini tidak sepenuhnya ditaati oleh umat Islam Indonesia yang
hendak melaksanakan ibadah haji. Umat Islam beranggapan bahwa
peraturan ini merugikan dan memberatkan umat, maka mereka mencari
9
Ibid.
10
Steenbrink, Beberapa Aspek, 235.
11
Staatsblad van Nederlansch-Indie Tahun 1825 dan Resolutie 18 Oktober 1825 No. 9.
12
Majid, Berhaji, 83-84.
13
jalan lain untuk pergi ke Mekkah.14 Banyak diantara para jamaah haji yang pergi atau pulang haji mengunakan embarkasi Singapura atau Malaka.15 Atas dasar Resolusi pada tanggal 18 Oktober 1825 No. 9 yang dirasakan
masih banyak kekurangan, maka pemerintah kolonial Belanda
menyempurnakan Resolusi tersebut dengan mengeluarkan ordonansi haji
pada tahun 1831, 1859, 1875, 1881, 1898, 1902, 1909, 1911, 1915, 1922,
1923, 1927, 1932 dan 1937. Kebanyakan dikeluarkannya ordonansi haji
pasca Resolusi 1825 adalah sebagai penyempurnaan dari
ordonansi-ordonansi yang sebelumnya.
Kelahiran ordonansi haji pada tahun 185916dilatar belakangi banyaknya penyalahgunaan gelar haji serta banyaknya jamaah haji
Indonesia yang menetap di Mekkah dan tidak kembali ke tanah air setelah
selesai menunaikan ibadah haji. Sedangkan ordonansi tahun 1872
mengatur tentang pengangkutan pribumi dan penetapan embarkasi hanya
dilakukan pada pelabuhan Batavia, Surabaya, Semarang, Padang serta
Ulee Lheue.17 Namun pada tahun 1898 pelabuhan-pelabuhan tersebut dibatasi hanya pada dua pelabuhan saja untuk pelabuhan embarkasi haji,
yaitu pelabuhan Batavia dan Padang.18
Ordonansi tahun 1922 berisi tentang Ketentuan haji yang
menetapkan tentang keharusan jamaah haji memiliki tiket kapal yang
14
Putuhena, Historiografi Haji, 139.
15
Majid, Berhaji, 83.
16
Staatsblad van Nederlansch-Indie Tahun 1959 No. 42.
17
Staatsblad van Nederlansch-Indie Tahun 1972 No. 179.
18
harus di beli dari agen haji (Pelgrimsagent).19 Ketetapan ini merupakan penyempurnaan dari ordonansi haji 1898 yang tidak mencantumkan
ketentuan tentang tiket kapal.20 Dengan adanya agen haji (Pelgrimsagent), jamaah haji dapat lebih mudah memperoleh tiket kapal dan caloh haji
dapat dibatasi gerak-geriknya.
Berbeda dengan ordanansi-ordonansi sebelumnya, kelahiran
ordonansi 1927 dipicuh karena suasana kemenangan Ibnu Saud di
Mekkah. Akibat peristiwa tersebut, pemerintah kolonial Belanda merasa
kawatir akan kemungkinan agitator politik pribumi lari ke luar negeri
dengan melakukan ibadah haji. Pemerintah kolonial Belanda merasa takut
kedudukannya di Indonesia terancam hilang karena umat Islam
mempunyai penguasa baru. Untuk membendung kemungkinan itu maka
pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan ordonansi haji pada tahun
1927.
Sedangkan ordonansi haji pada tahun 1932 memberi dasar hukum
atas pemberian izin bagi organisasi bonefit umat Islam Indonesia, untuk
menyelenggarakan pelayaran haji.21 Kebijakan ordonansi haji kali ini tidak lepas dari peran organisasi keagamaan Muhammadiyah. Berdasarkan
kongres ke-17 di Minangkabau pada tahun 1930, Muhammadiyah
19
Staatsblad van Nederlansch-Indie Tahun 1922 No. 698.
20
Putuhena, Historiografi Haji, 175.
21
merekomendasikan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk
membangun pelayaran haji sendiri bagi jamaah haji Indonesia.22
Begitulah sepenggal sejarah perhajian Indonesia yang dapat
penulis sampaikan. Namun yang akan dibahas pada penelitian ini
menekankan pada kebijakan ordonansi di masa kolonial Belanda. Hal ini
menarik diteliti, karena mengapa persoalan agama ditarik ke ranah
kebijakan perpolitikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang jelas-jelas
menyatakan netral agama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan haji pada masa kolonial Belanda di Indonesia?
2. Bagaimana politik haji yang digunakan pemerintah kolonial Belanda
dalam menghadapi umat Islam di Indonesia?
3. Mengapa pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan
ordonansi haji?
C. Tujuan Penelitian
Segala aktivitas yang dilakukan, pasti tidak terlepas dari tujuan
atau maksud yang hendak dicapai, begitu juga dalam penelitian ini seperti
yang dikatakan oleh Sutrisno Hadi dalam buku Metodologi Research,
bahwa suatu research khususnya dalam ilmu pengetahuan emperik pada
umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji
22
suatu kebenaran pengetahuan.23 Begitu pula dengan penelitian ini mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan yang hendak dicapai pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan haji pada masa kolonial Belanda di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui politik haji yang digunakan pemerintah kolonial
Belanda dalam menghadapi umat Islam di Indonesia.
3. Untuk mengetahui alasan/penyebab pemerintah kolonial Belanda
mengeluarkan kebijakan ordonansi haji.
D. Kegunaan Penelitian
Dari penelitian ini, diharapkan bisa memberikan manfaat yang positif bagi
semua orang, baik dari segi keilmuwan akademik maupun dari sisi praktis:
1. Dari Sisi Keilmuwan Akademik
a. Sebagai wacana dan informasi tentang sejarah umat Islam di
Indonesia, khususnya sejarah perhajian di Indonesia.
b. Menambah khazana ilmu pengetahuan khususnya di bidang sejarah
kebudayaan Islam serta memperkaya historiografi Indonesia
c. Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut dalam
kajian yang sama.
2. Dari Sisi Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi/masukan
yang penting serta berguna bagi kehidupan masyarakat.
23
E. Pendekatan dan Kerangka Teori
Berkaitan dengan judul yang dibahas, maka dalam melakukan
rekontruksi sejarah, pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan ini
adalah mengunakan pendekatan historis dan pendekatan politik.
Penggunaan pendekatan historis ini diharapkan bisa menampilkan
kronologi sejarah secara runtut, karena suatu realitas itu tidak berdiri
sendiri melainkan ada hal-hal yang mempengaruhinya.24 Sedangkaan pendekatan politik digunakan untuk mengetahui penyebab pemerintah
kolonial Belanda menetapkan kebijakan ordonansi haji bagi umat Islam di
Indonesia, yang berdampak terhadap semakin sulitnya umat Islam
Indonesia untuk pergi melaksanakan ibadah haji karena
peraturan-peraturan yang harus dipenuhi oleh calon jamaah haji sebelum pergi ke
Mekkah.
Selain menggunakan pendekatan historis dan politik, penelitian ini
juga menggunakan teori kekuasaan. Menurut Robert M. Maclver
kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau golongan untuk
mengendalikan prilaku orang lain secara langsusng atau tidak langsung.
Secara langsung dilakukan dalam bentuk memaksa, sedangkan secara
tidak langsung berupa penyusunan segala inflastruktur kekuasaan yang
dapat dilakukan melalui proses rekayasa.25
24
D.N. Aidit, Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis (Jakarta: Jajasan Pembaharuan, 1962), 127.
25
Kekuasaan ini dilakukan melalui adanya pola hubungan dimana
terdapat pihak yang menjadi posisi sentral pemerintahan dan pihak lain
yang harus tunduk atau taat. Dalam hal ini, yang berkuasa dan menempati
posisi sentral adalah Belanda dan pihak yang diperintah adalah rakyat
pribumi. Di kasus ordonansi haji ini yang harus tunduk pada kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda adalah umat Islam. Sebagai
penguasa, Belanda mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan suatu
kebijakan yang berdampak menyenangkan atau tidak kepada rakyat
pribumi.
F. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang haji di Indonesia memang bukan hal yang baru
dalam penelitian, kerena sebelumnya sudah ada beberapa orang yang
menulis tentang haji di Indonesia. Diantaranya seperti penelitian-penelitian
berikut:
1. M. Shaleh Putuhena, “Historiografi Haji Indonesia”, yang terbit tahun
2007. Tulisan M. Shaleh Putuhena menjelaskan mengenai praktek
pelaksanaan haji umat Islam di Indonesia sejak abad XV hingga
pertengahan pertama abad XX. Selain itu, M. Shaleh Putuhena juga
memaparkan perhajian baik dalam aspek politik, sosial maupun
budaya.
2. M. Dien Majid, “Berhaji Di Masa Kolonial”, yang terbit pada tahun
2008. Tulisan karya M. Dien Majid menjelaskan tentang
Dalam tulisan M. Dien Majid juga menjelaskan mengenai berbagai
fasilitas yang diperoleh jamaah haji di dalam kapal milik pemerintah
kolonial Belanda.
3. Aqib Suminto, “Politik Islam Hindia Belanda”, yang terbit tahun 1996.
Tulisan karya Aqib Suminto mengulas secara jelas mengenai
perpolitikan pemerintahan Belanda terhadap umat Islam. Dalam tulisan
Aqib Suminto lebih menitik beratkan sepak terjang Belanda dalam
mengatasi pribumi yang beragama Islam dalam berbagai hal, termasuk
mengenai ibadah haji yang dibahas sebagai bagian dari banyak
masalah.
Karya-karya di atas tersebut berbeda dengan penelitian yang akan
dikaji oleh penelitian dalam hal fokus dan pembahasannya. Penelitian ini
berusaha mencari titik lain dari pelaksanaan haji di Indonesia. Fokus dan
pembahasan penelitian ini adalah menitik beratkan pada pelaksanaan haji,
politik haji dan kebijakan ordonansi haji pada masa kolonial Belanda di
Indonesia.
G. Metode Penelitian
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu Mothodos yang
berarti cara atau jalan. Metode sejarah merupakan cara atau teknik dalam
merekontruksi peristiwa masa lampau, melalui empat tahap yang harus
historiografi.26 Melalui metode ini, penelitian diarahkan untuk selalu mengutamakan aspek rasionalitas agar diperoleh hasil yang dapat
dipercaya, terhadap data yang ditemukan. Melalui tahapan metode sejarah
ini, penulis berusaha menjelaskan tentang kebijakan odonansi haji yang
ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap umat Islam di
Indonesia. Adapun tahapan-tahapan metode penelitian sejarah dijelaskan
sebagai berikut:
1. Heuristik (Mencari dan Mengumpulkan Sumber atau Data)
Adalah kegiatan mengumpulkan berbagai sumber atau data
sejarah yang mempunyai hubungan dengan penulisan penelitian ini.
Adapun pengertian sumber sejarah adalah segalah sesuatu yang bisa
dipergunakan sebagai alat atau bahan untuk merekontruksi,
mendeskripsikan atau melukiskan kembali peristiwa sejarah yang
terjadi di masa lampau. Terkait dengan judul penelitian ini adalah
kebijakan ordonansi haji pada masa kolonial Belanda Belanda, maka
penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif, sehingga teknik
pengumpulan data yang dilakukan adalah mengunakan library
reseach, yaitu dengan cara mengkaji, menelaah atau memerikasa
berbagai sumber atau data yang terkait, baik itu sumber atau data
primer maupun data sekunder yang diperoleh dari studi perpustakaan.
26
Sumber primer dari penelitian ini adalah peraturan-peraturan
yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda tentang
ditetapkannya ordonansi haji bagi umat Islam di Indonesia. Sumber
primer yang berupa arsip ini didapat dari badan Perpustakaan dan
Kearsip provinsi Jawa Timur. Sumber primer yang diperoleh adalah
sebagai berikut:
a. Arsip Nasional Republik Indonesia, Revolutie van den
Geuverneur-Greneral van Nederlandsch Indie, 18 Oktober 1825
No. 9.
b. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van
Nederlandsch-Indie Tahun 1859 No. 42.
c. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van
Nederlandsch-Indie Tahun 1872 No. 179.
d. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van
Nederlandsch-Indie Tahun 1898 No. 294.
e. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van
Nederlandsch-Indie Tahun 1922 No. 698.
f. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van
Nederlandsch-Indie Tahun 1927 No. 286.
g. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van
Nederlandsch-Indie Tahun 1932 No. 554 Pasal 22a.
Sedangkan sumber sekunder dari penelitian ini berupa
kebijakan ordonansi haji di Indonesia. Sumber sekunder yang
diperoleh setelah melakukan penelusuran dari buku-buku literatur
adalah sebagai berikut:
a. Achmad Taqiyudin et.al., Antara Mekkah dan Madinah, Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2009.
b. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2013.
c. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES,
1985.
d. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1945, Cet
VII, Jakarta: LP3ES, 1994.
e. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia
Pada Masa Pendudukan Jepang, Terj. Daniel Dhakidae. Jakarta:
PT. Dunia Pustaka Jaya. 1980.
f. Kareel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia
Abad ke-19, Jakart: P.T. Bulan Bintang, 1984.
g. M. Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial, Jakarta: CV Sejahtera,
2008.
h. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta: Lkis,
2007.
Setelah data terkumpul, maka yang harus dilakukan adalah
menyeleksi, menilai, menguji untuk mendapatkan keabsahan sumber.
Verifikasi ini digunakan untuk menentukan otensititas (keaslian
sumber) dan kredibilitas (tingkat kebenaran informasi) sumber
sejarah.27 Verifikasi ini terdiri dari:
a. Kritik Ekstern (Otentitas)
Yaitu suatu usaha meneliti atau menguji keaslian sumber
yang telah diperoleh, sehingga validitas sumber tersebut dapat
dipertanggungjawabkan.
b. Kritik Intern (Kredibilitas)
Yaitu suatu usaha setelah mengetahui asli atau tidaknya
data atau dokumen yang didapatkan selanjutnya di teliti
kebenarannya dan kesesuaiannya dari isi data tersebut.28 Dalam artian apakah data tersebut bisa memberikan informasi yang
dibutuhkan dalam melakukan penelitian.
Dalam penelitian ini dilakukan kritik intern, dengan cara
membaca, mempelajari, memahami dan menelaah secara
mendalam berbagai sumber yang telah didapatkan. Langkah
berikutnya adalah membandingkan antara isi sumber yang satu
dengan yang lain guna menemukan keabsahan sumber dan
27
Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu, 47.
28
mengambil data yang bisa dipercaya. Melalui kritik tersebut,
diharapakan agar penulisan skripsi ini dapat menggunakan sumber
yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran juga disebut analisis sejarah,
analisis berarti menguraikan. Analisis sejarah adalah menguraikan
sumber-sumber atau data-data yang telah dikumpulkan, dikritik,
dibandingkan kemudian disimpulkan agar dapat dibuat penafsiran
sehingga bisa diketahui kausalitas dan kesesuaian dengan masalah
yang dibahas.
Upaya yang dilakukan pada tahap ini adalah menganalisis
peristiwa-peristiwa sejarah berdasarkan data yang telah dikumpulkan
dengan maksud agar dapat menguasai masalah yang dibahas.
Selanjutnya dilakukan sistesis sebagai penyatuan data yang telah
diperoleh sesuai dengan kerangka penulisan. Tahap ini dimaksudkan
untuk mencari runtutan peristiwa sejarah kebijakan ordonansi haji pada
masa kolonial Belanda di Indonesia tahun 1869-1932 M. yang juga
mengunakan bantuan pendekatan historis dan politik.
4. Historiografi
Historiografi merupakan tahap terakhir dalam metode sejarah.
penelitian.29 Pada laporan penelitian ini penulis berusaha menuangkan fakta-fakta yang diperoleh dari berbagai sumber yang diperoleh, baik
itu sumber primer maupun data sekunder sehingga bisa menghasilkan
karya ilmiah yang bisa diperhitungkan dalam khazana keilmuan
khususnya yang berkaitan dengan historiografi Islam.
H. Sistematika Bahasan.
Agar bisa memudahkan pemahaman dalam penelitian ini, maka
diperlukan sebuah sistemasi terhadap isi dengan membagi dalam beberapa
bab dan masing-masing bab akan dibagi lagi menjadi beberapa bagian.
Dalam penelitian ini terdiri lima bab, adapun sistematika bahasan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
pendekatan dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian dan
sistematika bahasan. Intinya bab ini merupakan pengantar secara sekilas
mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan penulisan penelitian ini.
Pembahasan mengenai metodologi juga diuraikan dengan menggunakan
beberapa teori sebagai bahan landasannya.
Bab II merupakan langkah awal pembahasan yang berisi
penjelasan mengenai sejarah haji di Nusantara sebelum kedatangan
Belanda, di bab ini juga akan menjelaskan mengenai tinjauan umum haji
29
yang meliputi: pengertian haji, syarat haji, rukun haji, macam-macam
pelaksanaan haji dan makna haji.
Bab III ini akan menjelaskan mengenai haji di masa kolonial
Belanda termasuk pada masa VOC serta politik Islam dan politik haji yang
digunakan Belanda dalam menghadapi umat Islam di Indonesia.
Bab IV ini akan menjelaskan kebijakan-kebijakan pemerintah
kolonial Belanda terhadap pelaksanaan haji. Di bab ini akan menguak
penyebab pemerintah kolonial Belanda menetapkan kebijakan ordonansi
haji, bagaimana pelaksanaannya dan dampak dari ditetapkannya ordonansi
haji terhadap umat Islam di Indonesia, termasuk juga reaksi umat Islam
Indonesia terhadap kebijakan ordonansi haji.
BAB II
SEJARAH HAJI DI NUSANTARA
Masyarakat Nusantara dikenal sebagai masyarakat yang taat dalam
menjalankan ajaran agamanya. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima
yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang mampu. Dari masa ke
masa, tercatat bahwa perjalanan umat Islam dari Nusantara ke Tanah Suci
terus mengalami peningkatan. Sebelum membahas tentang sejarah
permulaan haji di Nusantara terlebih dahulu penulis paparkan tentang
berbagai hal penting terkait dengan ibadah haji dalam tuntunan agama
Islam.
A. Tinjauan Umum Tentang Ibadah Haji 1. Pengertian Haji
Ibadah menurut pendapat para ulama terbagi menjadi tiga.
Pertama adalah ibadah badaniah yang bersifat mahdhah, seperti shalat
dan puasa. Kedua, ibadah maliah yang bersifat mahdhah yaitu seperti
zakat. Ketiga, ibadah yang terdiri dari ibadah badaniah dan maliah
yaitu seperti haji.1 Di sini yang menarik adalah haji yang merupakan perpaduan antara ibadah badaniah dan maliah. Menurut bahasa, kata
haji berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti berziarah,
berkunjung atau berwisata suci.2 Sedangkan menurut istilah, haji
1
Nabilah Lubis, Menyingkap Rahasia Ibadah Haji (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), 31.
2
adalah berziarah ke Ka’bah di Mekkah untuk beribadah kepada Allah
SWT dengan melakukan ihram, thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, mabit di
Muzdalifah dan Mina, melontar jamarat dan tahalul.3
Dalam istilah fikih, haji memiliki makna perjalanan seseorang
ke Ka’bah guna menjalankan ritual-ritual ibadah haji dengan cara dan
waktu yang telah ditentukan.4 Sedangkan menurut Undang-undang 17 tahun 1999 tentang menyelenggaraan ibadah haji mendefinisikan
ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima yang merupakan
kewajiban bagi yang mampu menunaikannya.5 Jadi dapat disimpulkan
bahwa haji adalah perjalanan seseorang berkunjung ke Ka’bah untuk
melakukan serangkaian ibadah kepada Allah SWT pada waktu dan
cara yang telah ditentukan, yang merupakan rukun Islam kelima serta
hukumnya wajib bagi yang mampu menjalankannya.
Adapun umrah, menurut bahasa berarti ziarah atau berkunjung.
Sedangkan menurut istilah adalah berkunjung ke Ka’bah untuk
beribadah kepada Allah SWT dengan melakukan ihram, thawaf, sa’i
dan tahalul.6 Dari sini, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara haji dan umrah terletak pada waktu dan teknis pelaksanaannya. Haji
mempunyai waktu khusus dan tidak diperbolehkan berpindah ke waktu
lain, berbeda dengan umrah yang tidak mempunyai waktu yang khusus
3
Ahmad Kartono dan Sarmidi Husna, Ibadah Haji Perempuan Menurut Para Ulama Fikih
(Jakarta: Siraja Prenada Media Group, 2013), 13.
4
Sholikhin, Keajaiban Haji, 2.
5
Lihat Ayat 3 Pasal 1 Bab I Undang-Undang nomor 17 Tahun 1999.
6
dan bisa dilaksanakan sepanjang tahun. Teknis pelaksanaannya pun
berbeda, haji mempunyai ritual seperti wukuf, menginap dan melontar
jamarat, namun dalam umrah tidak ada ritual-ritual tersebut. Semua
ulama sepakat bahwa hukum haji wajib bagi setiap umat Islam yang
mampu secara fisik maupun materi, baik itu laki-laki maupun
perempuan dan hanya sekali seumur hidup. Apabila lebih dari sekali
hukumnya menjadi sunah. Sedangkan umrah mempunyai status hukum
wajib, yaitu ketika umrah dalam haji dan selain umrah dalam haji
hukumnya hanya sunah.7
2. Syarat Haji.
a. Beragama Islam. Orang kafir tidak wajib bahkan tidak sah untuk
melaksanakan haji.
b. Baligh. Telah sampai usia seseorang pada tahap kedewasaan,
umumnya telah berusia limabelas tahun ke atas, sehingga tidak
wajib bagi anak-anak untuk melaksanakan haji.
c. Berakal sehat. Orang gila tidak wajib melaksanakan haji.
d. Merdeka. Dalam arti bukan hamba sahaya.
e. Istitha’ah. Mampu secara jasmani, rohani, ekonomi, maupun
keamanan dalam perjalanan.
3. Rukun Haji
Rukun haji adalah rangkaian amalan yang harus dilakukan
dalam ibadah haji dan tidak bisa digantikan dengan yang lain,
7
meskipun dengan denda (dam).8 Jadi tidak sah hajinya apabila meninggalkan rangkaian amalan yang harus dikerjakan dalam ibadah
haji. Rukun haji ada enam yaitu:
a. Ihram (niat). Yaitu menyengaja untuk berhaji dengan disertai
memakai pakaian yang tidak berjahit dan menutup kepala bagi
laki-laki. Sedangkan bagi perempuan memakai pakaian yang
berjahit dan tidak boleh menutup muka serta tangan.
b. Wukuf di Arafah. Orang yang sedang mengerjakan haji itu wajib
berada di Padang Arafah pada waktu yang ditentukan, yaitu
dimulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah sampai
terbitnya fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Cara pelaksanaan wukuf
adalah dengan berdiam diri sambil berdoa sampai waktu magrib.
c. Thawaf. Yaitu mengelilingi Ka’bah. Thawaf rukun ini dinamakan
Thawaf Ifadah. Thawaf Ifadah adalah thawaf rukun haji yang
dilakukan setelah melempar jamarat aqabah pada hari Idhul Adha
dan hari tasyriq. 9Adapun syarat thawaf yaitu: Pertama, menutup aurat. Kedua, suci dari hadas dan najis. Ketiga,Ka’bah hendaknya
beradah di sebalah kiri orang yang thawaf. Keempat, permulaan
thawaf dari Hajar Aswad. Kelima, mengelilingi Ka’bah sebanyak
tujuh kali.
8
Ahmad Kartono dan Sarmidi Husna, Ibadah Haji, 23.
9
d. Sa’i. Yaitu berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah. Adapun
syarat-syarat sa’i adalah sebagai berikut: Pertama, dimulai dari
bukit Safa dan diakhiri di bukit Marwah. Kedua, sa’i dilakukan
sebanyak tujuh kali. Ketiga, waktu sa’i sebaiknya sesudah thawaf.
e. Tahalul. Yaitu mencukur atau menggunting rambut, setidaknya
tiga helai.
f. Tertib. Yaitu melakukan ketentuan manasik sesuai dengan tata
urutan dan aturan yang sudah ditentukan.
4. Wajib Haji
Wajib haji adalah suatu rangkaian amalan yang perlu
dikerjakan dalam ibadah haji dan apabila tidak dilaksanakan sah
hajinya namun harus diganti dengan membayar denda (dam). Adapun
yang termasuk Wajib haji adalah sebagai berikut:10
a. Ihram dari Miqat (batas waktu dan tempat yang ditentukan). Miqat
ada dua: Pertama miqat zamani yaitu ketentuan masa dari awal
bulan Syawal sampai terbit fajar Hari Raya Haji (tanggal 10
Dzulhijjah). Kedua yaitu miqat makani (ketentuan tempat), di
mana jamaah haji dari Asia Tenggara, termasuk dari Indonesia
miqat makaninya adalah Yalamlam, yakni nama sebuah bukit di
wilayah Tihamah, namun umumnya jamaah haji memulai berihram
di bandara internasional Jeddah.
b. Mabit (bermalam) di Muzdalifah setelah wukuf di Padang Arafah.
10
c. Melontar jamarat aqabah pada Hari Raya Haji, yaitu setelah lewat
tengah malam 10 Dzulhijjah sampai subuh 11 Dzulhijjah.
d. Melontar tiga jamarat, yaitu Jamarat Ula, Jamarat Wustha dan
Jamarat Aqabah yang dilontarkan pada tanggal 11, 12, 13
Dzulhijjah.
e. Mabit di Mina pada malam hari-hari Tasyriq (11, 12, 13
Dzulhijjah)
f. Thawaf wada’ (thawaf meninggalkan Mekkah)
g. Menjauhkan diri dari segala larangan atau yang diharamkan.
Adapun yang dilarang ataupun diharamkan selama mengerjakan
ibadah haji adalah:1) Memakai wangi-wangian. 2) Rafats (berkata
kotor, keji, cabul, bercumbu mesra atau berhubungan badan dengan
suami-istri). 3) Fasiq (melakukan dosa besar seperti mencuri,
meminum minuman keras atau melakukan dosa-dosa kecil secara
terus menerus). 4) Jidal (berbantah-bantahan secara emosional dan
tak bermanfaat). 5) Berburu atau membunuh binatang.
6) Memotong atau merusak tanaman di tanah haram. 7) Meminang,
menikah atau melaksanakan akad nikah. 8) Memotong kuku,
rambut dan meminyakinya.
5. Macam-macam Pelaksanaan Haji
Dari segi pelaksanaannya, ibadah haji dibagi menjadi tiga
a. Haji Tamattu’. Kata tamattu’ mempunyai arti bersenang-senang.11 Haji tamattu’ adalah haji yang dilakukan setelah melakukan ihram
untuk umrah terlebih dahulu di bulan-bulan haji, setelah selesai
melakukan rangkaian ibadah umrah lalu tahallul. Kemudian untuk
haji, berihram haji di Mekkah pada tanggal 8 Dzulhijjah. Jadi ada
jeda waktu beberapa hari antara umrah yang dilakukan dengan haji
yang dilakukan sesudahnya. Dalam jeda waktu tersebut bisa
bersenang-senang, tidak berpakaian ihram namun dikenakan wajib
membayar denda (dam). Denda (dam) yang harus dibayar adalah
menyembelih seekor kambing untuk disedekahkan kepada fakir
miskin.12
b. Haji Ifrad. Kata ifrad mempunyai arti menyendirikan.13 Haji ifrad adalah niat ihram untuk haji terlebih dahulu kemudian baru
melakukan ihram untuk umrah dan tidak diwajibkan untuk
membayar denda (dam). Haji ifrad adalah haji yang lebih afdhal.14 c. Haji Qiran. Kata qiran mempunyai arti berteman atau bersamaan.15
Haji qiran adalah niat melaksanakan ihram untuk umrah dan haji
secara bersamaan dengan sekali niat untuk dua pekerjaan.
Pelaksanaan haji qiran ini, akan dikenakan denda (dam) seperti
11
Ahmad Kartono dan Sarmidi Husna, Ibadah Haji, 25.
12
Sudarsono dan Susmayati, Mengenal Keesaan Tuhan Ka’bah Pemersatu Umat Islam (Jakarta: Asdi Mahasatya, 1992), 227.
13
Ahmad Kartono dan Sarmidi Husna, Ibadah Haji, 56.
14
Sudarsono dan Susmayati, Mengenal Keesaan, 228.
15
pelaksanaan haji tamattu’, yaitu dengan menyembelih seekor
kambing ataupun domba.
6. Makna dan Hikmah Haji
Ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima merupakan
kewajiban bagi yang mampu menunaikannya, yang dimaksud di sini
adalah mampu secara materi maupun fisik. Ibadah haji mempunyai
makna dan hikmah bagi seluruh umat Islam. Makna haji bagi umat
Islam adalah merupakan respon terhadap panggilan Allah SWT.
dengan lantunan bacaan yang mengandung nilai esensial doa.16 Oleh karena itu, haji merupakan representasi diri umat Islam di hadapan
Allah SWT. Makna yang bisa diambil dari pelaksanaan ibadah haji
tercermin dari simbol-simbol ritual haji itu sendiri seperti ihram,
wukuf, thawaf, sa’i, melempar jamarat dan tahalul.
Makna melaksanakan ihram dalam haji adalah agar orang yang
melaksanakan ibadah haji berada pada puncak ketundukan dan
kerendahan dihadapan Allah SWT.17 Pada saat melaksanakan ihram semua orang menggunakan pakaian seragam, yaitu berpakaian serba
putih dan tidak berwarna-warni. Tidak bisa dipungkiri bahwa pakaian
bisa dijadikan simbol pembeda bagi pemakainya. Pembeda tersebut
dapat mengantarkan pada perbedaan status sosial, ekonomi atau
16
Majid, Berhaji, 36.
17
profesi.18 Dengan memakai pakaian ihram yang berwarna putih dan tidak berjahit akan memunculkan kesadaran tentang persatuan,
persamaan dan persaudaraan dalam diri orang yang berihram. Tidak
ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain, yang membedakan
hanya iman dan takwanya saja di hadapan Tuhannya.
Makna melaksanakan wukuf dalam haji adalah supaya umat
Islam dapat belajar untuk saling mencari unsur kesamaan di antara
perbedaan yang ada. Ketika manusia dari seluruh dunia Islam
berkumpul maka kesadaran ukhuwah islamiyah dalam diri mereka
akan terbuka. Wukuf di Arafah juga menjadi miniatur pertemuan umat
Islam di Padang Mahsyar nanti. Di bawah terik matahari, jutaan umat
dari beragam wilayah, bangsa dan bahasa tumpah ruah di Padang
Arafah, berdesakan, berdoa sambil berjalan mengikuti pimpinannya
merupakan gambaran kelak pada hari kiamat.
Thawaf merupakan bentuk ketundukan umat kepada Tuhannya.
Thawaf tidak hanya dilakukan oleh manusia saja, jagat raya pun
mengambil bentuk perputaran seperti thawaf. Bumi, bulan dan seluruh
planet masing-masing berputar seraya telah tunduk pada ketentuan
Penciptanya. Selain itu, thawaf menggambarkan larut dan leburnya
manusia bersama manusia lainnya menuju kepada Allah SWT.19
18
Quraish Shihab, Haji Bersama M. Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1998), 107.
19
Sa’i secara etimologi diartikan sebagai perjalanan, sedangkan
secara terminologi diartikan perjalanan dalam ritual haji sebanyak
tujuh kali dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah.20 Makna dari
melaksanakan sa’i adalah sebagai berikut: Pertama, belajar dari
perjuangan Sayyidah Hajar. Hajar berjuang mencari air dimulai dari
bukit Shafa yang sacara harfiah mempunyai arti kesucian dan
ketegaran. Ini merupakan lambang bahwa untuk mencapai hidup,
seseorang harus berusaha dan usahanya harus dimulai dengan kesucian
serta ketegaran dan harus diakhiri di Marwah yang berarti kepuasan,
penghargaan dan murah hati.21 Kedua, pasrah kepada Allah. Berlari-lari kecil dari Shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali merupakan sebuah
lambang bahwa dalam kehidupan ini seseorang harus memiliki sifat
optimis bahwa pertolongan Allah akan menghampiri orang-orang yang
sabar dan taqwa kepada Allah.
Mabit di Muzdalifah dan Mina. Hakikat mabit di Muzdalifah
dan Mina adalah agar jamaah haji mencari dan mempersiapkan batu
untuk dilontarkan ke jamarat, yang bermakna melontar setan dan
menggambarkan apa yang akan dihadapi jamaah haji begitu pulang
dari Tanah Suci. Di Mina juga dilakukan penyembelihan binatang
kurban, dilambangkan dengan menyembelih binatang karena nafsu
sering berkolusi dengan setan untuk menjerumuskan manusia.22 Maka
20
Sholikhin, Keajaiban Haji, 153.
21
Shihab, Haji, 116.
22
dari itu, menyembelih binatang bermakna bahwa yang seharusnya
disembelih adalah nafsu kebinatangan yang terdapat pada diri manusia.
Melontar jamarat pada hakikatnya adalah kesatuan ibadah
anggota badan, lisan dan hati. Kaki dan tangan untuk melempar, lisan
untuk berdzikir dan hati selalu ingat kepada Allah. Tujuan dari
melontar jamarat adalah membiasakan untuk senantiasa memuji Allah,
selalu berdzikir dan berdoa. Selain itu, melontar jamarat adalah
lambang dari permusuhan umat Islam terhadap setan dan sekaligus
bertekad untuk melawannya.23 Yang terakhir adalah tahalul (menggunting rambut, bercukur atau menggundulkannya), tahulul
dijadikan lambang keamanan dan perdamaian. Rambut yang biasanya
hitam, diibaratkan sebagai dosa-dosa yang telah dilakukan oleh
manusia.24 Memotong rambut ibarat menanggalkan dosa-dosa itu dari diri orang yang bersangkutan. Oleh sebab itu, semakin banyak yang
dipotong semakin baik. Sedangkan hikmah yang terkandung dalam
pelaksanaan haji adalah sebagai berikut:
a. Menumbuhkan rasa persaudaraan dan sikap solidaritas yang tinggi
sesama umat Islam sedunia.
b. Persamaan dan perwujudan yang sama dan tidak membedakan
antara satu dengan yang lain dengan latar belakang status sosial
ekonomi yang berbeda-beda.
23
Ibid., 122. Lihat pula Sholikhin, Keajaiban Haji, 164-165.
24
c. Menumbuhkan jaringan ekonomi, budaya, pendidikan, sosial,
pertahanan, keamanan dan politik.
B. Perjalanan Haji Sebelum Belanda Datang Di Indonesia 1. Permulaan Haji Nusantara
Belum ditemukan data atau sumber yang valid tentang siapa
dan kapan pertama kali umat Islam Nusantara pergi ke Mekkah untuk
melaksanakan ibadah haji. Diperkirakan sejak agama Islam mulai
dianut oleh penduduk Nusantara, umat Islam di pulau ini sudah
melakukan perjalanan haji ke Mekkah. Mengingat haji merupakan
rukun Islam dan merupakan kewajiban bagi semua umat Islam bagi
yang mampu menjalankannya
Menurut Schrieke yang dikutip oleh Azyumardi Azra
menyebutkan bahwa, orang-orang Melayu-Indonesia sudah terlihat
kehadirannya di dekat barat laut India sejak awal abad ke-12. Selain
itu, Schrieke juga menyatakan pada tahun 1440 M. Abdul al-Razzaq
menemukan orang-orang Nusantara di Hormuz, begitu pula yang
ditulis oleh Ibnu Bathuthah bahwa ia menemukan orang-orang Jawa
(Nusantara) di antara kalangan pedagang asing di Kalikut, di pantai
Malabar pada tahun 1346 M.25
Dari data di atas, belum dapat diketahui waktu pasti umat Islam
Nusantara pergi melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Sumber yang
25
paling tua yang dapat diketahui tentang keberadaan umat Islam
Nusantara di Mekkah adalah berdasarkan laporan Lewis Barthema
(Ludivico Varthema) pada tahun 1503, yang dikenal sebagai
“gentlemen of Rome”, yang mengadakan perjalanan haji ke Mekkah
dengan menyamar sebagai seorang Muslim. Ia melihat banyak jamaah
haji dari greater India (India Besar atau Anak Benua India) dan Lesser
East India (India Timur Kecil atau Nusantara).26 Inilah laporan yang paling awal yang menyebutkan kehadiran jamaah haji yang berasal
dari Nusantara.
Namun ada kemungkinan mereka bukan jamaah haji yang
sengaja berangkat dari Nusantara untuk melaksanakan ibadah haji.
Tetapi padagang dan pelayar yang berlabuh di Jeddah dan
berkesempatan untuk melaksanakan haji, mengingat sejak abad ke-15
dimulai kebangkitan kembali perdagangan di Laut India. Menurut
sebuah sumber Venesia, pada tahun 1565 dan 1566, masing-masingnya
lima kapal dari kerajaan Asyi (Aceh) berlabuh di pelabuhan Jeddah.27 Ada kemungkinan bahwa pelayar dan pedagang dari lima kapal
tersebut juga berkesempatan untuk melaksanakan ibadah haji.
Menurut sumber-sumber tradisional Jawa menyebutkan bahwa,
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah berkunjung ke Mekkah
26
Ibid., 37.
27
untuk menunaikan ibadah haji.28 Syarif Hidayatullah berangkat ke Mekkah pada tahun 1521 M. setelah Pasai, yaitu kota kelahirannya
ditaklukan oleh Portugis. Keberangkatan Syarif Hidayatullah ke
Mekkah tidak hanya untuk melaksanakan ibadah haji, namun juga
sebagai diplomat untuk meminta bantuan Turki Utsmani supaya
mengusir Portugis dari Pasai. Pada waktu itu Mekkah telah berada
dalam kekuasaan Turki Utsmani dan kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara menjalin hubungan politiko-religius dengan Turki
Utsmani.29 Penguasa Turki Utsmani dianggap sebagai pemimpin spiritual bagi umat Islam seluruh dunia, sesuai dengan politik klasik
Islam. Jadi sudah biasa kerajaan Islam meminta legitimasi atau
bantuan militer kepada penguasa Turki Utsmani. Jadi dapat
disimpulkan bahwa mereka yang pertama kali melaksanakan ibadah
haji ke Mekkah adalah pedagang, pelayar dan utusan sultan (diplomat).
Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai angkatan perintis haji
Indonesia.
2. Sarana Transportasi Permulaan Haji Nusantara
Secara umum, pada waktu itu perjalanan ke Mekkah dibagi
menjadi dua, yaitu rute jalan darat dan rute jalan laut. Rute perjalanan
dari Nusantara ke tanah Arab (Mekkah) hanya dapat menggunakan
rute jalan laut. Rute perjalanan melalui laut dapat dikelompokkan
28
Achmad Taqiyudin et.al., Antara Mekkah dan Madinah (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), 204.
29
Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007), 106 dan Azra,
menjadi tiga rute pelayaran. Pertama, umat Islam yang berasal dari
Hindia Belanda, Straits Setlement, British Indie, Afganistan, Persia
berangkat melalui selat Bab el-Mandab. Kedua, umat Islam yang
berasal dari Mesir, Sudan, Somalia, Prancis, Erytria dan Yaman datang
melalui Laut Merah. Ketiga, umat Islam yang berasal dari Tunisia,
Asia kecil, Siria dan Maroko datang dari Utara.30
Bagi bangsa-bangsa yang mendiami Asia Tenggara, seperti
Indonesia berhaji bukanlah perkara yang mudah, karena jauhnya
perjalanan dari negeri di kawasan ini ke Timur Tengah. Penduduk
negeri ini harus mengarungi lautan yang luas dan rute pelayaran yang
panjang.31 Sebelum terusan Suez dibuka, perjalanan haji menggunakan kapal layar harus ditempuh dengan waktu yang lama. Perjalanan haji
bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.32 Perjalanan yang memakan waktu cukup panjang ini dikarenakan harus
menyesuaikan irama lajunya angin untuk menggerakan kapal layar.
Selain menghabiskan waktu yang cukup panjang dalam
perjalanan, mereka juga harus siap dengan resiko apapun sebab
berhadapan langsung dengan kondisi alam yang tidak menentu,
deburan ombak, badai dan gelombang yang siap menghantam
kapanpun. Tidak jarang perahu yang mereka tumpangi karam dan
30
M. Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), 46.
31
Ali Mufrodi, Haji Indonesia Dalam Perspektif Historis, disampaikan dalam peresmian Jabatan Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003, 5.
32
penumpangnya tenggelam atau terdampar di pantai yang tidak
dikenal.33 Banyak dari mereka juga yang meninggal di tengah perjalanan akibat kekurangan bekal makanan dan tidak kuat
menghadapi rintangan serta tantangan perjalanan laut. Tidak hanya itu,
kehadiran perompak atau bajak laut juga siap menghalau dan
merampas harta benda mereka. Aktivitas militer Portugis juga
belakangan dilaporkan menimbulkan masalah besar terhadap para
pedagang Muslim dan calon jamaah haji yang akan pergi ke Mekkah.
Pada periode permulaan haji, para jamaah calon haji dari
Nusantara tidak menggunakan kapal layar khusus haji. Kapal-kapal
haji adalah kapal-kapal pengangkut barang yang tidak dilengkapi
dengan akomodasi untuk penumpang. Perjalanan haji ke Tanah Suci
pada umumnya ditempuh dengan menggunakan kapal dagang milik
domestik maupun kapal dagang asing, seperti milik orang-orang Arab,
Persia, Turki dan India.34 Melalui kapal dagang itulah para calon jamaah haji berangkat ke Tanah Suci dan kembali lagi ke Nusantara.
Waktu itu belum dijumpai kapal yang berlayar dari Nusantara
ke Jeddah, maka terpaksa calon jamaah haji harus mengganti kapal
dari pelabuhan dagang satu ke pelabuhan dagang yang lain di
Nusantara dan berakhir di pelabuhan Aceh. Dari Aceh mereka
menunggu kapal yang akan berlayar ke India, kemudian menunggu
33
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 48.
34
lagi kapal yang akan berlayar ke Hadramaut, Yaman atau langsung
berlayar ke Jeddah.35 Selain itu, di tengah perjalanan mereka menyinggahi berbagai pelabuhan besar di pantai Malaya, Jazirah India
dan Arab untuk membongkar barang dan menambah perbekalan.36
Pada masa awal, perjalanan haji dari Nusantara tidak
memerlukan biaya yang cukup besar. Ini dikarenakan mereka
menumpang di kapal dagang dan tidak perlu membayar tiket kapal.
Oleh karena itu, fasilitas yang mereka peroleh pun seadanya, tidak
jarang mereka ditempatkan di tempat barang atau bahkan ditempatkan
di tempat ternak.37 Pengeluaran terbesar mereka adalah biaya untuk makan dalam perjalanan dan selama berada di Tanah Suci. Bagi para
saudagar, biaya haji diperoleh dari perdagangan yang dilakukan di
Jeddah atau di Mekkah. Sedangkan bagi utusan atau ulama penuntut
ilmu, mereka mendapatkan biaya dari sultan yang mengutusnya.
35
Ali Mufrodi, Haji Indonesia, 10.
36
C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, Terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), 163.
37
BAB III
HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA
A. Sejarah Pelaksanaan Haji Pada Masa Kolonial Belanda Di Indonesia 1. Haji Di Masa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagne)
Nusantara adalah kepulauan penghasil rempah-rempah. Pada
saat itu, rempah-rempah merupakan komoditas yang paling dicari dan
diminati oleh pasar dunia. Malaka dikenal sebagai pintu gerbang
menuju Nusantara. Para pedagang asing yang hendak masuk atau
keluar pelabuhan-pelabuhan di Nusantara pasti melewati dan singgah
terlebih dahulu di pelabuhan Malaka.
Kejayaan Malaka sebagai pelabuhan besar menuju pulau
rempah-rempah terdengar sampai ke Benua Eropa. Raja Portugis
mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk menemukan Malaka.1 Orang-orang Portugis datang ke Malaka karena telah mendapat laporan
dari pedagang-pedagang Asia. Mereka mendapat laporan bahwa
Malaka merupakan pelabuhan transito yang banyak didatangi
pedagang dari segala penjuru angin dan mempunyai kekayaan yang
sangat besar.2
1
M. C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), 33.
2
Pada tahun 1511 Malaka berhasil ditaklukan oleh Portugis.3 Setelah keberhasilan Portugis menguasai Malaka, datanglah
orang-orang Belanda yang mewarisi aspirasi-aspirasi dan strategi Portugis.
Karena sebelum datangnya Portugis, perdagangan tidak menggunakan
kekuatan bersenjata. Orang-orang Belanda membawa organisasi,
persenjataan, kapal-kapal dan dukungan keuangan yang lebih baik
serta kombinasi antara keberanian dan kekejaman yang sama.4
Pada bulan Juni 1596 kapal Belanda yang dipimpin oleh
Cornelis de Houtman untuk pertama kalinya tiba di Banten. Sejak
kedatangannya, Belanda berusaha menancapkan eksistensinya di pulau
Nusantara dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang
perdagangan. Pada bulan Maret 1602, akhirnya Belanda membentuk
sebuah Perserikatan Maskapai Hindia Timur atau yang sering dikenal
dengan nama VOC (Verenigde Oost-Indische Compagne).5
Sikap VOC terhadap umat Islam di Nusantara khususnya
mereka yang akan pergi menunaikan ibadah haji terasa sangat
sentimen. Memang pada umumnya, VOC melarang para calon haji
ikut kapal VOC dan kadang-kadang juga melarang haji yang pulang
dari Mekkah mendarat di Batavia.6 Tetapi pada akhirnya politik yang diterapkan VOC terhadap umat Islam yang hendak pergi ke Mekkah
3
Ibid.
4
M. C. Ricklef, Sejarah, 37.
5
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 70-71.
6
tidaklah konsisten. Sikap VOC terhadap Islam dan jamaah haji sangat
ditentukan oleh kepentingan-kepentingan perdagangan dan
kepentingan politik. Khususnya dalam rangka untuk mendapatkan
simpati dari Sultan Mataram.
Sejak awal, hubungan antara VOC dengan Sultan Agung Adi
Prabu Hanyakrakusuma (Sultan Mataram) tidaklah begitu baik. Pada
tahun 1614 pihak VOC mengirim seorang duta untuk menyampaikan
ucapan selamat kepada Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma atas
pengangkatannya sebagai raja. Namun, Sultan Agung Adi Prabu
Hanyakrakusuma malah memperingatkan duta tersebut bahwa
persahabatan yang diingikan VOC tidak akan terlaksana apabila VOC
berusaha merebut Tanah Jawa.7 Mataram merupakan kerajaan pemasok beras dan VOC sangat membutuhkan beras Jawa, yang tanpa
itu Belanda dan sekutu-sekutunya tidak dapat hidup.8 Selain itu, VOC juga memerlukan kayu dari wilayah kekuasaan Mataram untuk
membuat kapal-kapal VOC.
Pada 24 September 1646 M./13 Ramadhan 1056 H. VOC
mengadakan perjanjian perdamaian dengan Amangkurat I, Raja
Mataram (penganti Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma). Pada
perjanjian itu disepakati bahwa kerajaan Mataram bermaksud
mengirim ulamanya ke Mekkah dan Madinah untuk meningkatkan
7
M. C. Ricklef, Sejarah, 68-69.
8
pengetahuan agamanya, maka mereka dapat diangkut dengan kapal
VOC.9 Dalam perjanjian ini juga VOC mengembalikan uang yang telah dirampas dari seorang utusan Sultan Agung Adi Prabu
Hanyakrakusuma yang sedang melakukan perjalanan ke Mekkah pada
tahun 1642.10 Utusan tersebut naik kapal layar Inggris namun dihadang oleh Belanda di perairan Batavia.
Pada tahun 1664, atas permintaan sultan Banten VOC
mengizinkan seorang imam Muslim naik kapal VOC untuk melakukan
perjalanan ke Mekkah. Namun pada tahun yang sama VOC tidak
mengizinkan tiga orang Bugis yang pulang dari Mekkah untuk
mendarat di Batavia dan memutuskan agar mereka di buang ke
Tanjung Harapan.11 Sikap baik hati VOC mengabulkan permintaan sultan Banten mungkin juga agar VOC mendapat simpati dari sultan
Banten, mengingat Banten merupakan sumber lada yang utama, yang
bahkan dalam dunia perdagangan menjadi lebih penting daripada
rempah-rempah Maluku.12
Sikap VOC yang memperbolehkan seorang imam Muslim
Banten yang akan melakukan perjalanan ke Mekkah dengan naik kapal
VOC sebenarnya bertentangan dengan ordonansi agama yang
dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Reyneirs pada tanggal 7 Maret dan
9
Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007), 119.
10
M. C. Ricklef, Sejarah, 107.
11
Jacob Vredenbergt, “Ibadah Haji Beberapa Ciri dan Fungsinya Di Indonesia”, dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia dan Haji, Terj. Soedarso Soekarno dan Theresia Slamet (Jakarta: INIS, 1997), 5.
12
28 November 1651. Inti dari ordonansi agama tersebut berisi larangan
terhadap aktivitas seluruh agama non Protestan seperti, Islam, Yahudi
dan Katolik Roma, baik di negeri Belanda maupun di wilayah negeri
jajahan Belanda, Indonesia.13 Larangan untuk mempraktikan aktivitas agama selain Protestan masih tetap diberlakukan oleh Gubernur
Jendral Campoeijs sampai tahun 1691 M. dan ibadah haji merupakan
bagian dari aktivitas ritual agama Islam yang menurut ordonansi
agama 1651 dilarang.
Untuk pertama kalinya, pada tahun 1674 seorang pangeran
Jawa juga naik haji menggunakan kapal VOC. Ia adalah Abdul Qahhar
yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji. Ia merupakan putra dari
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten).14 Namun, pada 27 Februari 1778 M./27 Safar 1192 H. VOC menolak permintaan Adipati Cianjur dan
Tumenggung Buitenzorg (Bogor) yang masing-masing ingin mengirim
seorang ulamanya ke Mekkah.15 Tidak lama kemudian, pada 26 Oktober 1790 seorang jamaah haji bersama pembantunya dengan
menumpang kapal VOC berangkat ke Malabar lalu melanjutkan
perjalanannya ke Mekkah. Pada kesempatan lain juga VOC
mengizinkan dua orang utusan yang berasal dari Periangan naik kapal
VOC untuk berangkat ke Surat tanpa harus membayar dan dari sana
13
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: PT Grafindo Media Pratama, 2012), 175.
14
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 42.
15
mereka dapat berangkat ke Mekkah.16 Tidak diketahui secara pasti alasan VOC menolak permintaan Adipati Cianjur dan Tumenggung
Buitenzorg (Bogor). Juga tidak diketahui alasan VOC mengizinkan
dua orang utusan yang berasal dari Periangan naik kapal VOC.
Demikian sikap VOC terhadap jamaah haji tergantung pada
keadaan politik di Kepulauan Nusantara dan kepentingan-kepentingan
VOC. Ada kalanya mereka membolehkan calon jamaah haji naik kapal
dagang VOC dan ada kalanya mereka melarang calon jamaah haji
untuk naik kapal VOC bahkan melarang mereka yang pulang dari
Mekkah untuk mendarat di Batavia.
Pada abad XVII dan XVIII, tidak ada berita dengan kapal apa
orang haji seperti Arsyad Banjar pulang dari Mekkah dan tiba di
Batavia pada tahun 1186 H./1773 M.17 Maklum pada abad XVII dan XVIII terjadi kekacauan monopoli perdagangan dan perpolitikan di
Nusantara. Kapal dagang milik asing seperti milik orang-orang Arab,
Persia, Turki dan India tidak ada kabarnya lagi dalam pengangkutan
jamaah calon haji dari Nusantara seperti abad-abad sebelumnya. Hanya
ada data yang menyebutkan tentang kapal layar Inggris saja, yang
16
Ibid.
17
ditumpangi oleh delegasi Sultan Agung Mataram ke Mekkah untuk
mendapatkan gelar sultan dari Syarif Mekkah pada tahun 1641.18
Meskipun keadaan pelayaran niaga ke Timur Tengah dan
suasana politik tidak kondusif untuk melakukan perjalanan haji, namun
selama abad XVII dan XVIII masih banyak juga penduduk Nusantara
yang pergi ke Mekkah untuk berhaji dan menimbah ilmu di sana.
Seperti Abdurrauf Singkel (1615-1693 M.), Muhammad Yusuf
Maqassari (1627-1699 M.), Abdus Samad al-Palimbani (1704-1789
M.), Arsyad Banjar (1710-1812 M.), dan lain-lain. Maka dengan
sendirinya terbentuk masyarakat pribumi yang menetap (mukimin) di
Mekkah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pada abad XVII dan XVIII, pada
umumnya umat Islam Indonesia yang mengunjungi Tanah Suci pada
waktu itu, adalah para diplomat utusan sultan dan para musafir
penuntut ilmu, yang kemudian memanfaatkan keberadaannya di sana
sambil menunaikan ibadah haji.
2. Haji Di Masa Kolonial Belanda
Setelah Jendral Speelman meninggal dunia, VOC memasuki
masa-masa sulit bahkan hampir gulung tikar karena semakin
banyaknya hutang. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, sikap imoral
18
terjadi di kalangan para pejabat VOC. Maka pada 31 Desember 1799
secara resmi VOC dibubarkan.19 Setelah VOC dibubarkan, kekuasaan VOC di Indonesia diambil alih langsung oleh pemerintah Belanda.
Pada dasarnya sikap VOC maupun pemerintah Belanda sama
saja terhadap umat Islam di Indonesia, khususnya mereka yang akan
menjalankan rukun Islam yang kelima. Sikap VOC maupun
pemerintah Belanda sama-sama ingin membatasi dan bahkan
cenderung mempersulit umat Islam Indonesia untuk pergi ke Mekkah.
Pada tahun 1810, Gubernur Jendral Marsekal Herman Willem
Daendels mengeluarkan peraturan bahwa para calon haji, yang
disebutnya sebagai pastor Islam atau Muhammadaansche Priesters,
harus mempunyai dan memakai pas jalan apabila mereka ingin pergi
dari satu tempat di Jawa ke tempat yang lain.20 Alasan dikeluarkannya peraturan pemakaian pas jalan atau paspor ini adalah sebagai bentuk
menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah Hindia Belanda.
Kedudukan Gubernur Jendral Daendels digantikan oleh
Gubenur Jendral Thomas Stamford Raffles, setelah pemerintah Inggris
mengambil alih wilayah Indonesia (1811-1816 M). Sama seperti
Deandels, Raffles juga menganggap agama Islam sebagai unsur yang
cukup berbahaya. Sejak tahun 1811, melalui surat edaran, Raffles
19
Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 1.
20
memperingatkan para gubernur akan bahaya para “sayid atau pastor
pribumi”.21
Deandels dan Raffles menganggap perjalanan ibadah haji
ke Mekkah sebagai bahaya politik. Anggapan ini berdasarkan
pengetahuan mereka yang masih minim tentang Islam.
Kebijakan pemerintah Belanda mengenai ibadah haji pada
seperempat pertama abad XIX dimulai dengan dikeluarkannya
Resolusi tahun 1825, yang diarahkan pada pembatasan kuota jamaah
haji. Sebab dikeluarkannya Resolusi 1825 berawal dari laporan
Residen Batavia bahwa sekitar 200 orang pribumi yang berasal dari
Residen Batavia dan residen lainnya menghadap polisi dengan maksud
untuk memintah pas jalan dan sekaligus melaporkan perjalanan haji ke
Mekkah menggunakan kapal Magbar milik Syaik Umar Bugis.22 Berdasarkan peristiwa tersebut maka dikeluarkanlah Resolusi
Gubernur Jenderal pada tanggal 18 Oktober 1825 No. 9 yang intinya
mengizinkan naik haji menggunakan kapal Magbar dan menetapkan
bahwa setiap calon haji harus membayar 110 gulden untuk
pembayaran pas jalan atau paspor haji.23 Mulai saat itu pula, syaikh haji dari Mekkah mulai mengadakan kampanye haji di Indonesia.
Para calon haji yang tidak mempunyai pas jalan akan
dikenakan denda dengan membayar 1000 gulden, jumlah uang yang
21
Ibid.
22
Jacob Vredenbergt, “Ibadah Haji Beberapa Ciri dan Fungsinya Di Indonesia”, dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia,8.
23
sangat besar pada masa itu. Peraturan tahun 1825 kemudian diubah
pada tahun 1831, yaitu dengan mengurangi denda dari 1000 gulden
menjadi 220 gulden (dua kali lipat harga pas jalan).24 Namun peraturan ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Daerah di luar Jawa dan
Madura pada umumnya belum sepenuhnya berada di bawah kekuasaan
Belanda.
Setelah kebijakan yang ditetapkan sebelumnya gagal, karena
banyak calon jamaah haji yang menghindar dari ketentuan Belanda
dengan berangkat dari Sumatra maupun daerah luar Jawa dan Madura.
Maka pemerintah kolonial Beland