commit to user
DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA
TAHUN 1945-1961
SKRIPSI
Disusun oleh :
CESILIA DEA AFIFAH WULANDARI
K4408003
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA
TAHUN 1945-1961
Oleh :
Cesilia Dea Afifah Wulandari
NIM : K4408003
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user Skripsi ini telah di
Skripsi Fakultas Keguruan
Surakarta.
disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim
uan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebela
im Penguji
commit to user Skripsi ini telah di
Keguruan dan Ilmu Pendidi
untuk memenuhi sebagian pe
h dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
ndidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan
n persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidi
psi Fakultas
dan diterima
commit to user
Cesilia Dea Afifah Wulandari. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DALAM
PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1945-1961. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli. 2012.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara. (2) Mengetahui peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun 1945-1961.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). Langkah-langkah metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan: 1) Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten 28 Februari 1911. Sjafruddin menempuh pendidikan di sekolah Belanda dan mendapat pendidikan agama secara informal. Lingkungan dan keluarga muslim mempengaruhi kehidupan Sjafruddin. Sjafruddin bergaul dengan kalangan santri modernis dan sosialis sekuler. Akibatnya Sjafruddin menjadi pribadi yang plural. Adanya kewajiban memilih partai politik pada saat itu membuat Sjafruddin memilih untuk masuk Masyumi meskipun Sjafruddin berlatar belakang pendidikan santri. Kemudian Sjafruddin berpengaruh dan memberikan gambaran ideologi pada Masyumi untuk bersifat plural. 2) Sjafruddin dikenal sebagai tokoh politik sesudah menjadi Menteri Keuangan kabinet Sjahrir III, dengan kebijakan mengeluarkan ORI yang menjadi alat perjuangan dan pembiayaan keperluan negara. Sjafruddin menjadikan ekonomi Indonesia lebih baik ketika menjadi Menteri Kemakmuran. Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda II, Sjafruddin diberi mandat untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan berhasil menyelamatkan Republik Indonesia serta melanjutkan perjuangan. Sjafruddin terpilih lagi menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta dengan melakukan kebijakan penting yaitu “Operasi Gunting Sjafruddin” yang berhasil menekan inflasi. Sjafruddin menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat Gubernur de Javasche Bank, yang kemudian menjadi Bank Indonesia. Pada tahun 1958, Sjafruddin terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Sebagai Perdana Menteri PRRI, Sjafruddin memimpin sebagai bentuk koreksi terhadap pemerintah pusat, dan untuk membela kebenaran dan keadilan.
commit to user
Cesilia Dea Afifah Wulandari. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA IN
POLITICAL CULTURE IN INDONESIA YEARS 1945-1961. Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta, Sebelas Maret Universitas, July. 2012.
The purpose of this study is (1) Knowing the background of social and political Sjafruddin Prawiranegara. (2) Knowing the role of politics Sjafruddin Prawiranegara in Indonesia years 1945-1961.
This research uses historical method. Step-by-step historical method is a heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Techniques of data collection is done through literature. Written sources used as data. The data analysis techniques used in this research is historical analysis techniques.
Based on this research can be conclude: 1) Sjafruddin Prawiranegara bornin Banten February 28, 1911. Sjafruddin educated in Dutch schools and receive religious education informally. Environment and families lives of Muslim affect Sjafruddin. Sjafruddin friends with the santri modernis and the socialist secular modernists. As a result Sjafruddin be plural person. The existence of the obligation to choose a political party at that time made him choose Masyumi. Then Sjafruddin influence his ideological and gives an overview on Masjumi to be plural. 2) Sjafruddin known as a political figure after as Minister of Finance in cabinet Sjahrir III, make ORI issued apolicy as a means of struggle and state funding purposes. Sjafruddin make Indonesia a better economy when he became Minister of Prosperity. At the time of the Dutch Military Agression II, Sjafruddin mandated to establish the Emergency Government of the Indonesia Republic and managed to save the Republic of Indonesia as well as continuing the struggle. Sjafruddin elected again as Minister of Finance in Hatta Cabinet and make important policy that is "Sjafruddin Operating Scissors" which succeeded in reducing inflation. Sjafruddin became the first Indonesian who was elected as Governor de Javasche Bank, which later became Bank Indonesia. In 1958, Sjafruddin involved in the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia. As Prime Minister of PRRI, Sjafruddin lead PRRI as a form of correction to the central government, and to defend truth and justice.
commit to user
Pangkat itu hanya suatu alat untuk menjalankan suatu tugas.
(Sjafruddin Prawiranegara)
Sejarah sebagai pedoman untuk membangun masa depan.
(Sjafruddin Prawiranegara)
Batu berlubang bukan karena kekuatan yang dashyat tapi akibat tetesan air yang
berulangkali; Begitu pula manusia menjadi bijak bukan karena satu dua kali tapi
karena kerapkali membaca hidup.
commit to user
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
§ Bapak, Ibu, dan Kakakku Bernadus yang selalu memberikan doa dan
motivasi.
§ Romo Yakobus Priyono sebagai “Donatur Kedua”.
§ Thomas Renaldi Lestianto sebagai teman dalam suka duka yang sudah
membantu dan memotivasi menyelesaikan studi serta setia menemani
commit to user
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, atas
rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan Skripsi untuk memenuhi persyaratan
mendapat gelar Sarjana Pendidikan.
Kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi dalam penulisan skripsi ini
dapat terlewati dengan lancar berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak.
Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Kegururan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah menyetujui atas permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan pengarahan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, masukan, pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. Djono, M. Pd selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, masukan, pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Drs. Leo Agung S, M. Pd selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
arahan, motivasi, dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa di Program
Pedidikan Sejarah FKIP UNS.
7. Teman-teman Sejarah angkatan 2008, Spesial Keluarga Abal Abal (Ari Kurnia,
Dwi Ari, Eni Susilowati, Titis Dwi Nur, Suyono, Doni Setiawan, Tri Pujianto,
Arif Nur, Tea Limostin) yang memberi semangat dan menjadi keluarga baruku di
Surakarta.
8. Cahyaningrum Tri Agus Tina, Misbach, dan Bryan Andri Jatmiko sebagai
kunsultan pribadi yang senantiasa membantu dan memberi saran dalam penulisan.
9. Keluarga Mas Sutarto, Mbak Widya, Dik Keisya, dan Paramita yang bersedia
memberikan tumpangan, dukungan, penghidupan selama penulis berada di Jakarta
commit to user
Semoga Tuhan membalas amal baik kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
diharapkan supaya skripsi ini lebih baik.
Surakarta, 31 Juli 2012
commit to user
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERNYATAAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN ABSTRAK ... v
HALAMAN MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Revolusi Fisik ... 9
2. Peran Politik ... 14
3. Percaturan Politik ... 19
B. Kerangka Pemikiran ... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian ... 25
2. Waktu Penelitian ... 26
B. Metode Penelitian ... 26
C. Sumber Data ... 28
commit to user
F. Prosedur Penelitian ... 30
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara ... 35
B. Peran politik Sjafruddin Prawiranegara masa Revolusi Indonesia 1945-1961 1. Anggota Badan Pekerja KNIP ... 43
2. Menteri Keuangan ... 47
3. Menteri Kemakmuran ... 52
4. Memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia ... 56
5. Menteri Keuangan ... 69
6. Gubernur Bank ... 75
7. Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia ... 80
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan ... 93
B. Implikasi ... 94
C. Saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 97
LAMPIRAN ... 103
commit to user
Gambar Halaman
1. Kerangka Berpikir ... 23
commit to user
No. Lampiran Halaman
1. Sjafruddin Prawiranegara sebagai ketua PDRI
akan kembali ke Yogyakarta ... 104
2. Sjafruddin Prawiranegara hadir dalam Konferensi Inter-Indonesia ... 105
3. Sjafruddin Prawiranegara disambut oleh Presiden di Yogyakarta... 106
4. Undang Undang No 19 Th.’46 Tentang Pengeluaran Oeang Repoeblik Indonesia Dan Penjelasan ... 107
5. Laporan Interview W. Bosshard dengan Mr. Sjafruddin... 112
6. Berisi Garis Garis Besar Politik Perekonomian Pemerintah... 115
7. Surat Sjafruddin kepada Mr. Maramis Wakil Republik Indonesia di New Delhi, India Tentang Keadaan Perjuangan di Indonesia... 118
8. Surat Sjafruddin kepada wakil kepala PTT Sumatera tentang kekuasaan PDRI ... 119
9. Penetapan Peraturan Sementara Daerah Tapanuli Selatan... 120
10. Pendapat Kasimo mengenai Susunan Baru Anggota PDRI 21 April 1949 ... 121
11. Tantang pengumuman PDRI... 125
12. Balasan surat I.J Kasimo oleh Sjafruddin Prawiranegara... 126
13. Ketua PDRI membalas Kawat Panglima Besar PDRI... 128
14. Kawat Sjafruddin untuk Presiden Soekarno mengenai kepergiannya ke Sumatera untuk beberapa waktu saat Sjafruddin Prawiranegara menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia ... 130
15. Mukadimah Piagam Perjuangan ... 138
16. Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara ... 143
commit to user
19. Keterangan tentang Wilayah dan Anggota-Anggota
Republik Persatuan Indonesia... 158
20. Pidato Presiden RPI pada Hari Proklamasi... 161
21. Penyerahan Diri Sjafruddin ... 170
22. Oeang Republik Indonesia ... 174
commit to user PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Revolusi kemerdekaan merupakan istilah yang digunakan negara dunia
ketiga untuk perang kemerdekaan kepada negara bekas penjajah setelah Perang
Dunia II usai. Revolusi merupakan ungkapan atau pernyataan akhir dari keinginan
otonom dan emosi yang mendalam serta mencakup segenap kapasitas
keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara seksama.
Secara khusus, aktivitas revolusi dianggap menciptakan suatu tatanan sosial baru
yang lebih baik (Eisenstadt, 1986: 3).
Revolusi kemerdekaan di Indonesia terjadi tahun 1945-1950, dan
merupakan periode yang menentukan bagi kelangsungan hidup negara Republik
Indonesia. Revolusi Indonesia dipicu atas kekalahan Jepang dalam Perang Dunia
II. Kekuasan Jepang di Indonesia mulai melemah, terutama sesudah Jepang
menyerah tanpa syarat kepada sekutu maka di Indonesia terjadi kekosongan
kekuasaan (Ricklefs, 2008: 443). Kondisi ini digunakan para pemuda untuk
mendesak Soekarno dan Hatta supaya memproklamasikan kemerdekaan (Reid,
1996: 40-41). Proklamasi mampu dicapai dengan kesepakatan antara golongan tua
dan golongan muda pada tanggal 17 Agustus 1945.
Negara yang baru terbentuk ini tidak langsung muncul menjadi negara
yang teratur dan serasi, melainkan adanya pertarungan antar individu dan
kekuatan sosial yang saling bertentangan. Meskipun di balik pertentangan itu ada
keinginan untuk mempertahankan kemerdekaan. Di dalam perjuangan revolusi
Indonesia, terjadi perbedaan antara kekuatan perjuangan bersenjata dengan
kekuatan diplomasi, antara generasi tua terhadap generasi muda, antara golongan
kanan dan golongan kiri, antara kekuatan Islam dan kekuatan sekuler. Semua
perbedaan itu merupakan gambaran ketika Indonesia mengalami perpecahan yang
bermacam-macam bentuknya (Ricklefs, 2008: 446-447).
Pada periode tersebut penuh kekacauan, pemberontakan dan perang
commit to user
ditandai dengan gerakan perlawanan maupun melalui cara diplomasi. Aksi
dilancarkan sebagai pertahanan stabilitas kedaulatan Republik Indonesia dalam
bentuk kontak senjata pada tahun 1945-1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi
Fisik Indonesia (Kansil&Julianto, 1972: 8).
Selama periode 1945-1950, muncul kekuatan sosial politik yang berasas
sama, yaitu mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan memperoleh
pengakuan internasional melalui saluran diplomasi maupun perjuangan fisik.
Munculnya kekuatan sosial politik, tidak lepas dari adanya kebijakan politik etis
yang diprakarsai Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di
Indonesia. Dasar kebijakan politik Etis antara lain: (1) pendidikan; (2) pengairan;
(3) perpindahan penduduk. Ratu Wilhelmina mensahkan politik etis secara resmi
pada tahun 1901 (Ricklefs, 2008: 328).
Salah satu kebijakan politik etis ialah pendidikan. Di dalam bidang
pendidikan, pemerintah kolonial mendirikan sekolah yang memberikan
kesempatan pada penduduk pribumi untuk sekolah. Berdasarkan penelitian komisi
pendidikan Belanda-pribumi, pendidikan barat tidak membantu perkembangan
dan tidak membawa peningkatan kapitalisme pribumi (Kahin, 1996: 38). Hal itu
karena jumlah sekolah yang disediakan terlalu sedikit jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk (Ricklefs, 2008: 350).
Politik etis secara tidak langsung membentuk intelektual pribumi.
Individu Indonesia yang memperoleh pendidikan barat mendapatkan tempat yang
dianggap tidak sesuai dengan hasil pendidikan yang pernah diterima dan individu
yang tidak mendapat pendidikan tidak mendapat pekerjaan. Kelompok inilah yang
muncul sebagai kekuatan utama dalam pergerakan kebangsaan dan menghasilkan
banyak pemimpin. Hasil pendidikan barat menyebabkan timbulnya elite Indonesia
baru. Golongan baru ini terdiri dari kaum elite yang merasa kecewa, dan
mempunyai gagasan sosial Modernis Islam serta ide hasil pendidikan Barat.
Dengan kebangkitan elit politik Indonesia, massa Indonesia memperoleh
commit to user
Konflik dalam perjuangan, berhasil menggerakkan rakyat Indonesia
untuk berusaha mempertahankan kemerdekaan. Keinginan para pemuda, meyakini
proklamasi bukan suatu masalah yang harus dirundingkan, namun harus
dipertahankan. Pihak pemerintah Republik mempunyai komitmen merundingkan
dengan pihak Belanda untuk mendapatkan simpati internasional dalam
perundingan (Reid, 1996: 149). Rakyat berjuang supaya kekuatan asing dalam hal
ini Belanda tidak lagi menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Revolusi
Indonesia bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan
dan kebangkitan nasional Indonesia (Ricklefs, 2008: 447).
Sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
pembentukan sebuah negara dengan segala aparaturnya, dan perlengkapan negara
merdeka segera dibutuhkan. Pada 18 Agustus 1945, Undang Undang Dasar
disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), lembaga eksekutif
dipilih. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil
Presiden. Kabinet Presidensial dibentuk sesuai Undang Undang Dasar 1945, dan
kemudian disusul pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 19 Agustus
1945 yang nantinya menjadi Tentara Nasional Indonesia (Ajip Rosidi, 2011: 98).
Upaya mempertahankan stabilitas kemerdekaan terus dilakukan rakyat
Indonesia. Hal itu dilakukan dengan membentuk Badan Kelengkapan Negara,
serta pendirian berbagai partai politik yang berlandaskan Maklumat Wakil
Presiden no X tanggal 3 November 1945. Partai-partai politik dibentuk atas dasar
pemikiran-pemikiran revolusioner dari para anggotanya. Pemikir-pemikir di
dalam partai inilah yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan politik
di Indonesia.
Para tokoh politik menggerakan serta mengembangkan arus politik
sebagai upaya dalam membentuk identitas politik Indonesia. Almon dan Powel
menyatakan unit dasar dari stuktur politik ialah peran individu (Winarno, 2007:
83). Para tokoh politik merupakan seseorang yang menduduki posisi dalam
commit to user
peran individu dalam gerakan politik. Peranan menunjukkan pada fungsi,
penyesuaian diri dan sebagai suatu proses.
Peranan dalam gerakan politik individu tentu memberikan sumbangan
bagi perkembangan suatu negara. Peran individu dalam aktivitas politik
memberikan dampak yang begitu besar terhadap perubahan pemikiran suatu
bangsa. Sederet nama penting seperti Soekarno, Hatta, Roem merupakan tokoh di
masa revolusi yang selama ini melahirkan kebijakan untuk membangun bangsa
Indonesia melalui aktivitas politiknya. Riwayat, jasa, serta aktivitas berpolitik
mereka dicatat secara lengkap dalam berbagai buku sejarah terutama yang
membahasa masa revolusi. Ini menandakan pengkajian terhadap tokoh politik di
masa revolusi sangat penting, untuk melestarikan warisan berupa pemikiran dan
jasa terhadap Republik Indonesia. Selain itu, pentingnya penelitian terhadap
biografi tokoh politik diyakini sebagai jalan untuk mengetahui pembentukan
pemikiran serta kontribusi yang diberikan kepada Republik Indonesia di masa
revolusi.
Salah satu tokoh politik yang memainkan peranan penting di Indonesia
adalah Sjafruddin Prawiranegara. Dilahirkan di Serang, Banten pada tanggal 28
Februari 1911. Ayahnya, Raden Arsad Prawiraatmadja merupakan Camat Anyar
Kidul, dan ibunya Noer’aini merupakan anak dari Mas Abidin Mangoendiwirdja
juru tulis asisten residen dan camat di Cening yang termasuk karesidenan Benten
(Ajip Rosidi, 2011: 18-22).
Sjafruddin menempuh pendidkan di ELS (Europeesche Lagere School
yaitu sekolah rendah untuk orang-orang Eropa bagi orang Belanda atau orang
Eropa lainnya serta yang dianggap sederajat), dilanjutkan MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs) yaitu pendidikan dasar yang diperluas kira-kira sama
dengan SMP sekarang, lalu AMS (Algemeene Middlebare School yaitu Sekolah
Menengah Umum, setingkat SMA sekarang) di Bandung. Sjafruddin kemudian
masuk ke ke RHS (Rechts Hoge School yaitu sekolah Tinggi Hukum). Ketika
masih menjadi Mahasiswa di RHS, Sjafruddin terlibat dalam organisasi
commit to user
tempat perdana bagi Sjafruddin mempelajari organisasi. Sjafruddin melalui
jaringan USI berhasil mengadakan kontak dengan pemuda gerakan bawah tanah
pimpinan Sjahrir (Ajip Rosidi, 2011: 91-92). Di samping itu, Sjafruddin juga
bergabung dalam kelompok organisasi seperti Pagoejoeban Pasoendan, kelompok
Parindra, dan Kelompok Islam.
Peran Sjafruddin Prawiranegara pada Indonesia sudah ditunjukan sejak
Sjafruddin menjabat sebagai Kepala Kantor Pajak Kediri tahun 1942. Sesudah
Indonesia merdeka, Sjafruddin menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada bulan Oktober 1945. Pada kabinet
Sjahrir ke-2, Sjafruddin duduk sebagai Menteri Muda Keuangan (Ajip Rosidi,
2011: 113). Kesediaannya menjadi Menteri Muda Keuangan karena ingin
mewujudkan idenya tentang Oeang Republik Indonesia (ORI) yang menurut
Sjafruddin sangat penting. Pada kabinet Hatta yang diumumkan pada 29 Januari
1948, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Kemakmuran.
Pada saat Agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948 Yogyakarta
diserang oleh pasukan Belanda, pemerintah Republik Indonesia memberikan
mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara melalui radiogram untuk membentuk
Pemerintahan Darurat di Bukit Tinggi (Moedjanto, 1988: 42). Pada masa RIS,
Hatta sebagai Perdana Menteri mengumumkan kabinetnya pada tanggal 21
Desember 1949. Dalam kabinet ini, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai
Menteri Keuangan. Salah satu kebijakan ekonomi yang diterapkan yaitu Gunting
Sjafruddin (Ajip Rosidi, 2011: 243-250).
Sjafruddin Prawiranegara terlibat dalam Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) pada Februari 1958. Ia diposisikan menjadi Perdana
Mentri sekaligus Menteri Keuangan. Sjafruddin sebagai salah satu tokoh sentral
pendirian PRRI dianggap sebagai pemberontakan daerah. PRRI dianggap sebagai
pengkhianat bangsa, meskipun sebenarnya merupakan suatu bentuk protes atas
pemerintahan Republik Indonesia. PRRI dibentuk atas dasar ketidak setujuan atas
pembentukan kabinet Djuanda yang dibuat secara tidak sah dan merupakan wujud
commit to user
revolusioner merupakan upaya perjuangan, bukan dalam konteks perjuangan
berupa perlawanan antara daerah luar Jawa terhadap pemerintah pusat. Melainkan,
menegakkan negara Indonesia yang adil dan Makmur. Cita-cita tersebut
termaktub dalam lima prinsip dasar kebijaksanaan PRRI.
Pada 16 Februari 1958 Presiden Soekarno memberikan perintah untuk
menangkap Sjafruddin Prawiranegara beserta seluruh petinggi PRRI, dimulailah
mobilisasi militer ke Sumatra untuk menggulingkan PRRI. Tersudutnya PRRI dan
dikeluarkannya Keppres no 449/1961 tentang amnesti dan abolisi bagi semua
anggota PRRI maka Sjafruddin Prawiranegara sebagai presiden RPI
mengeluarkan instruksi untuk menghentikan perlawanan dan penyerangan
terhadap tentara Republik Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1961 Sjafruddin
Prawiranegara menyerahkan diri. Cadangan emas yang disimpan guna
pembiayaan RPI pun turut diberikan ke pemerintah Republik Indonesia sebagai
kekayaan Negara (Kahin, 2005: 355).
Pada masa Orde Baru Sjafruddin merupakan salah satu orang yang ikut
dalam menandatangani petisi 50 masa Soeharto. A.M. Fatwa dalam Ajip Rosidi
(2011: 9) menyatakan petisi 50 ditandatangani sebagai wujud kritik terhadap
pemerintah Orde Baru yang otoriter dan merupakan upaya penyadaran terhadap
kehidupan berkonstitusi, khususnya penegakan hukum dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia. Hal ini mengakibatkan Sjafruddin Prawiranegara
beserta para tokoh lainnya mendapat ‘pembatasan hak sipil’. Sjafruddin justru
merupakan individu yang berhasil mempertahankan keberadaan Republik
Indonesia saat Presiden dan Wakil Presiden Soekarno dan Hatta ditangkap
Belanda, Sjafruddin kemudian melanjutkan roda pemerintahan dengan mendirikan
PDRI di pedalaman Sumatera pada 22 Desember 1948.
Sumbangan yang diberikan Sjafruddin di masa revolusi maupun
sesudahnya merupakan jasa yang patut untuk dicatat dalam penelitian. Sjafruddin
Prawiranegara merupakan salah satu tokoh politik yang beperan penting di
Indonesia. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji “Sjafruddin Prawiranegara
commit to user B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya,
maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara?
2. Bagaimana peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun
1945-1961?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab dari rumusan
masalah diatas, yaitu untuk:
1. Mengetahui latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara.
2. Mengetahui peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun
1945-1961.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Memberikan pengetahuan tentang peranan Sjafruddin Prawiranegara
sebagai tokoh penting Indonesia tahun 1945-1961.
b. Memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka
pengembangan ilmu sejarah.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan kepada pembaca untuk
digunakan sebagai wacana dan pemahaman dalam bidang sejarah,
khususnya kajian tokoh yang berperan penting di Indonesia.
b. Sebagai hasil penelitian yang melengkapi kajian tentang tokoh Indonesia
commit to user KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Revolusi Fisik
Revolusi dipahami sebagai upaya luar biasa, sangat kasar, dan
merupakan gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan sosial apa pun.
Revolusi juga dipahami sebagai ungkapan atau pernyataan akhir dari suatu
keinginan otonom dan emosi-emosi yang mendalam serta mencakup segenap
kapasitas keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara
seksama. Aktivitas revolusi secara khusus, dianggap dapat menciptakan suatu
tatanan sosial baru yang lebih baik (Eisenstadt, 1986: 3).
Menurut Kartodirdjo (1982: 80) revolusi merupakan proses politik yang
timbul dalam situasi kritis pada waktu golongan konflik mengusahkan perubahan
politik dengan cara radikal. Pada pengertian yang lebih luas revolusi merupakan
perubahan di bidang sosial politik yang serba cepat, mendadak dan disertai
kekerasan. Secara lebih sempit, revolusi sering diartikan sebagai pemberontakan
bersenjata. Revolusi juga diartikan sebagai perkembangan fundamental pada
hampir semua bidang kehidupan supaya masyarakat lebih menikmati kebahagiaan
duniawi. Revolusi bersifat menyeluruh, menjangkau semua bidang kegiatan
manusia.
Revolusi ialah perubahan nilai dan mitos yang dominan dalam suatu
masyarakat terutama lembaga politik, struktur sosial, kegiatan dan kebijaksanaan
pemerintah, yang berlangsung dengan kekerasan, mendasar dan pada waktu yang
cepat (Huntington, 1984:423). Menurut Eugene Kamenka dalam Eisenstadt (1986:
5), revolusi merupakan suatu perubahan yang mendadak dan tajam dalam siklus
kekuasaan sosial. Cirinya tercermin dalam perubahan radikal terhadap proses
pemerintahan yang berdaulat pada segenap kewenangan dan legitimasi resmi,
serta sekaligus perubahan radikal dalam konsepsi tatanan sosialnya. Transformasi
demikian diyakini, tak mungkin dapat terjadi tanpa kekerasan. Tapi seandainya
commit to user
Perubahan secara cepat akan terjadi pada sendi-sendi atau dasar-dasar
pokok dari kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan)
lazimnya dinamakan Revolusi. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat
direncanakan terlebih dahulu maupun terjadi tanpa perencanaan. Sebenarnya
ukuran kecepatan suatu perubahan yang dinamakan revolusi sifatnya relatif, sebab
revolusi dapat memakan waktu yang lama. Suatu revolusi dapat berlangsung
dengan didahului pemberontakan dan kemudian menjelma menjadi revolusi.
Supaya revolusi dapat terjadi maka harus dipenuhi syarat-syarat tertentu,
antara lain:
a. Ada keinginan untuk mengadakan perubahan. Di dalam masyarakat harus ada
perasaan tidak puas dengan keadaan ini.
b. Adanya seorang pimpinan atau sekelompok orang yang dianggap mampu
memimpin masyarakat tersebut.
c. Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut untuk
kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat
untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat.
d. Pemimpin tersebut harus menunjukkan tujuan baik yang konkret dan dapat
dilihat pada masyarakat maupun tujuan yang abstrak seperti ideologi tertentu.
e. Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu saat dimana segala keadaan dan
faktor sosial adalah baik sekali untuk mulai dengan gerakan revolusi. Jika
momentum yang dipilih keliru, maka revolusi dapat gagal (Setiadi & Kolip,
2011: 620-623).
Revolusi terjadi akibat pergeseran sosial atau ketimpangan fundamental
terutama perjuangan antar elite. Perpaduan pergolakan tersebut dengan kekuatan
sosial maupun konflik golongan yang lebih dalam dan menyebar luas seperti
konflik kelas dan dislokasi serta mobilisasi sosial juga organisasi-organisasi
politik dari berbagai kelompok sosial yang lebih besar (Eisenstadt, 1986: 3).
Revolusi dilakukan karena ada sesuatu yang diharapkan. Kaum revolusioner
commit to user
setelah kekuasaan kelihatan mulai tercapai, mereka tidak kompak lagi
(Macridis&Brown, 1992: 602-604).
Pada revolusi-revolusi besar, terdapat perubahan yang berupaya untuk
membenahi kembali tatanan sosial terutama sekali, penghapusan aspek-aspek
hierarkis dan menetapkan persamaan, solidaritas serta kemerdekaan politik dan
sosial. Perubahan berupa kecenderungan ke arah perumusan sejumlah ketentuan
ideologis baru tentang tatanan sosial (Eisenstadt, 1986: 217).
Revolusi merupakan kasus ekstrim ledakan dari partisipasi politik. Tanpa
ledakan, revolusi tidak pecah. Namun, revolusi yang utuh melibatkan tahap kedua
yaitu pembentukan dan pelembagaan peta politik. Tolak ukur untuk mengkaji
seberapa jauh suatu revolusi itu benar-benar revolusioner yaitu kecepatan dan
ruang lingkup perluasan partisipasi politiknya. Sedangkan untuk mengetahui
keberhasilan suatu revolusi ialah wewenang dan stabilitas lembaga yang
melahirkannya. Semua situasi revolusioner dan kontra revolusi selalu didukung
oleh kekuatan asing yang berusaha untuk menghentikan partisipasi politik dan
menata kembali peta dengan sedikit keleluasaan tetapi terpusat secara tegas.
(Huntington, 1984: 416-421).
Ada berbagai gambaran tentang pengaruh atau akibat dari revolusi.
Pertama, perubahan secara keras terhadap rezim politik yang ada, yang didasari
oleh legitimasi maupun simbol-simbolnya sendiri. Kedua, penggantian elite
politik atau kelas yang sedang berkuasa dengan lainnya. Ketiga, perubahan secara
mendasar seluruh bidang kelembagaan utama, terutama dalam hubungan kelas
dan sistem ekonomi, yang menyebabkan modernisasi disegenap aspek kehidupan
sosial, pembaharuan ekonomi dan industrialisasi, serta menumbuhkan sentralisai
dan partisipasi dalam dunia politik. Keempat, pemutusan secara radikal dengan
segala hal yang telah lampau. Kelima, memberikan kekuatan ideologis dan
orientasi kebangkitan mengenai gambaran revolusioner. Revolusi tidak hanya
membawa transformasi kelembagaan dan keorganisasian, melainkan juga
perubahan terhadap sistem pendidikan dan sistem moral, yang akan menciptakan
commit to user
Menurut Eisenstadt (1986: 248-249) keadaan yang dapat menimbulkan
revolusi:
a. Terdapat tiga aspek utama yang menerobos peradaban tradisional
keperadaban modern. Aspek-aspek tersebut ialah: 1) Peralihan dari pola
keabsahan kewenangan politik yang tradisional atau tertutup kesuatu pola
terbuka; 2) Peralihan dari sistem stratifikasi (sistem kelas) tradisional ke
sistem stratifikasi terbuka yang terbuka yang berakar atau berhubungan
dengan gerakan ke arah ekonomi pasar umumnya dan ekonomi perindustrian
pada umumnya; 3) Penciptaan dan/atau penyatuan unit-unit kemasyarakatan
ke dalam sistem ekonomi kapitalis dan politik kebudayaan internasional yang
terus berubah.
b. Pertemuan aspek-aspek tersebut menyebabkan pusat dan kelompok-kelompok
tradisional memperoleh sejumlah masalah yang menghendaki pengertian
kembali seluruh aturan-aturan dasar interaksi sosial utama dan sumber
kelembagaan mendasar, terutama sekali, aturan-aturan dasar dan
sumber-sumbernya yang berhubungan dengan akses ke kekuasaan dan struktur
pusat-pusat politik.
c. Tumbuhnya diferensiasi sosio-ekonomi mengakibatkan terjadinya gerakan
protes, perjuangan politik dan pembaharuan, dengan sejumlah besar
kelompok yang siap untuk mobilisasi sosial.
Revolusi mempunyai andil dalam perubahan integral di suatu lingkup
masyarakat. Perubahan integral itu tentunya menimbulkan dampak perubahan.
Menurut Kristeva (2011: 35) dampak perubahan dalam revolusi setidaknya
terdapat lima hal. a. perubahan dengan cakupan terluas, menyentuh semua tingkat
dan dimensi masyarakat, kehidupan sehari-hari, dan kepribadian manusia;
b. perubahan terjadi secara radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan
commit to user
perubahan paling menonjol; e. waktu kejadiannya luar biasa cepat dan karena itu
sangat mudah diingat.
Menurut Goldstone dalam Kristeva (2011: 40) revolusi akan terjadi bila
ada persaingan yang mampu memobilisasi sumber daya secara besar-besaran yang
diperlukan untuk merebut kekuasaan dari rezim lama. Terdapat dua kekuasaan
besar yang saling bersaing untuk menjaga eksistensi kekuasaan. Pada kasus ini
PDRI; bersaing dengan Belanda untuk mempertahankan eksistensi kekuasan di
Indonesia. Tentunya persaingan itu melibatkan kotak senjata dan mobilisasi
militer. Persaingan yang timbul antara kedua belah pihak merupakan tindakan
revolusioner. Atau merupakan tindakan untuk mengubah dengan tindakan
kekerasan. Tindakan revolusi merupakan situasi persaingan terhadap kedaulatan
ganda. Menurut Tilly dalam Kristeva (2011: 41) ciri dari bentuk revolusioner
yaitu kedaulatan ganda atau dengan kata lain pelipat gandaan pemerintahan yang
sebelumnya di bawah kontrol tunggal kemudian menjadi sasaran persaingan
antara dua atau lebih kekuatan yang berbeda. Situasi ini akan berakhir bila kontrol
atas pemerintahan diraih kembali oleh kekuasaan tunggal.
Terdapat situasi dan kondisi khusus yang menyebabkan meletusnya
revolusi. Pergolakan revolusi mempunyai sebab-sebab tertentu. Sebab-sebab itu
tertanam dalam: a. Struktur masyarakat; b. perubahan kependudukan; c. struktur
dan konjuktur ekonomi; d. perkembangan pemikiran dari kelas menengahnya;
e. evolusi politik. Keseluruhan alasan inilah yang selalu menjadi sebab musabab
sebuah revolusi. Revolusi fisik Indonesia merupakan gerakan anti penjajahan dan
perubahan atas rezim lama. Mencakup perubahan pada aspek masyarakat
Republik Indonesia. Para pemimpin Republik Indonesia memprakarsai terjadinya
revolusi fisik dan rakyat mendukung pergerakan itu dengan terlibat secara
langsung. Revolusi Indonesia pada hakikatnya adalah gerakan dari atas yang
diprakarsai dan dipimpin oleh elite politik. Selanjutnya, menyusul segera gerakan
masa di kalangan rakyat yang sangat spontan dan penuh antusiasme . . . mampu
commit to user 2. Peran Politik
Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya, maka seseorang berarti sudah menjalankan
peranannya. Antara peranan dan kedudukan sama-sama memiliki fungsi yang
saling terkait, bagaikan dua sisi mata uang, artinya tidak ada kedudukan tanpa
peranan. Demikian juga sebaliknya, tidak ada peranan tanpa kedudukan.
Masing-masing kedudukan dan peranan akan ditentukan oleh norma-norma sosial setelah
seseorang berhubungan dengan orang lain. Peranan dan kedudukan seseorang
akan sangat erat hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian, jika
seseorang sudah menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya
maka orang itu telah menjalankan suatu peran sosial (Setiadi & Kolip, 2011:
435-436).
Setiap orang memiliki berbagai macam peranan yang berasal dari pola
pergaulan hidupnya. Kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh masyarakat
menentukan apa yang diperbuat bagi masyarakat. Peranan sangat penting karena
peranan itu mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang berada
pada batas-batas tertentu. Peranan menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan
sebagai suatu proses. Jadi, seseorang dapat menduduki suatu posisi dalam
masyarakat serta melaksanakan suatu peranan. Menurut Levinson dalam Soekanto
(1982: 243-244) peranan mencakup tiga hal:
a. Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat;
b. Suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarakat sebagai organisasi;
c. Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Posisi atau tempat seseorang dalam proses politik merupakan unsur statis
yang menunjukkan peran individu dalam gerakan politik. Peranan menunjukkan
pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Sesorang yang menduduki
suatu posisi atau tempat serta menjalankan suatu peranan tentu melaksanakan
commit to user
melaksanakan peranan tadi dengan orang-orang disekitarnya yang tersangkut, atau
ada hubungannya dengan peranan tersebut, terdapat hubungan yang diatur oleh
nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah pihak.
Menurut Miriam Budiarjo (1977:8) politik adalah bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan
pribadi seseorang. Menurut Hoogerwerf dalam Ng. Philipus & Nurul Aini (2006:
90) politik sebagai pertarungan kekuasaan.
Peran politik adalah fungsi seseorang dalam suatu sistem politik yang
menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuan dari sistem politik.
Proses menentukan dan melaksanakan tujuan menyangkut perilaku penting yang
dilakukan bagi kepentingan orang banyak, konsep pemikiran yang dicetuskan
dalam sebuah sistem, dan selalu terkait dengan perebutan kekuasaan. Setidaknya
melalui ketiga hal itu peran politik dapat terjadi.
Unsur dasar dari proses politik ditopang dengan adanya peran individu
yang berpolitik. Peran menjadi struktur dari bangunan politik itu sendiri. Ini
diungkapkan Almond dan Powell demikian, “Unit dasar struktur politik adalah
peran individu. Peran merupakan pola-pola perilaku yang teratur, yang ditentukan
lewat harapan-harapannya sendiri dan tindakan-tindakan dan orang lain”
(Winarno, 2007: 83).
Berdasarkan uraian di atas, peran politik menyangkut aktivitas dalam
kegiatan berpolitik. Aktivitas berpolitik merupakan keterlibatan atau partisipasi
individu dalam kegiatan politik. Pembacaan dari partisipasi individu dalam
kegiatan berpolitik akan memperlihatkan perannya pada suatu sistem politik.
Menurut David dalam Arifin Rahman (1998: 128-129) partisipasi adalah
penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi
organisasinya sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk
berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam
commit to user
Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995:67-68) partisipasi politik
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga negara untuk terlibat dalam
proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan yang dilakukan pemerintah. Sedangkan Menurut Huntington partisipasi
politik hanya sebagai kegiatan warga negara yang bertujuan mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintah. Ramlan Surbakti mengartikan partisipasi
politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan
pemimpin pemerintah.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang
untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih
pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Menurut Herbert McClosky dalam Miriam Budiarjo
(1981:1) partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga
masyarakat yang mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara
langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Menurut Verba, Nie dan Kim dalam Afan Gafar (1991: 26) partisipasi
politik merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu dan bertujuan untuk
mempengaruhi pemerintah dalam mengisi jabatan yang ada, serta dalam
mengambil keputusan. Partisipasi politik mengacu pada semua aktivitas yang sah
oleh semua warga negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan untuk
mempengaruhi pemilihan pejabat pemerintahan dan atau tindakan-tindakan yang
mereka ambil.
Istilah partisipasi politik diterapkan pada aktivitas orang dari semua
tingkat sistem politik. Perbandingan pada setiap negara dalam menentukan tingkat
partisipasi politik warganya sangat bervariasi, bahkan untuk berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan politik, memberi suara, atau untuk menduduki jabatan
pemerintah telah dibatasi hanya untuk kelompok kecil orang yang berkuasa, kaya,
commit to user
Menurut Myron Weiner dalam Mohtar Masoed&Colin MacAndrews
(1993:45-46), terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan kearah
partisipasi dalam proses politik, yaitu:
a. Modernisasi: komersialisasi pertanian, industrialisai, urbanisasi yang
meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan
pembangunan media komunikasi massa.
b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Begitu terbentuk suatu kelas
pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses
industrialisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan
mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik.
c. Pengaruh kaum intelektual dan komusikasi massa modern.
d. Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik.
e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan
kebudayaan.
Bentuk-bentuk partisipasi politik: konvensional (pemberian suara
/voting). Diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam
kelompok kepentingan, komunikasi individual dengan pejabat politik dan
administratif) maupun konvensional (pengajuan petisi, berdemonstrasi,
konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, tindakan
kekerasan politik terhadap manusia, perang gerilya dan revolusi).
Menurut Gabriel A. Almond dalam Mohtar Mas’oed & MacAndrews
Colin (1993: 45-49) faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan seseorang dalam
parsipasi politik antara lain: pendidikan tinggi, perbedaan jenis kelamin dan status
sosial ekonomi, dan keanggotaan dalam partai politik. Menurut Surbakti dalam
Sudijono Sastroatmodjo (1995: 74) partisipasi politik dibedakan menjadi
partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga
negara mengajukan usul dan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan
kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan
commit to user
Sedangkan partisipasi pasif berupa mentaati peraturan, menerima, dan
melaksanakan begitu saja keputusan pemerintah.
Partisipasi politik merupakan bentuk tingkah laku baik menyangkut
aspek sosial maupun politik. Tindakan-tindakan dan aktivitas politik tidak hanya
menyangkut apa yang telah dilakukan, tetapi juga menyangkut hal-hal atau motif
apa yang mendorong individu untuk berpartisipasi. Saint dalam Sudijono
Sastroatmodjo (1995: 95) menyebutkan ada lima faktor yang mendorong
partisipasi politik masyarakat Indonesia. a. adanya kebebasan berkompetisi
disegala bidang; b. adanya kenyataan berpolitik secara luas dan terbuka; c. adanya
keleluasaan untuk mengorganisasi diri sehingga organisasi masyarakat dan partai
dapat tumbuh subur; d. adanya penyebaran sumber daya politik di kalangan
masyarakat yang berupa kekayaan dalam masyarkat; e. adanya distribusi
kekuasaan di kalangan masyarakat sehingga tercipta suatu pertimbangan
kekuatan.
Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Afan Gafar
(1991: 27) menggolongkan partisipasi politik dalam beberapa bentuk kegiatan
seperti berikut:
a. Electoral Activities, yang mencakup segala kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih,
pencalonan, kampanye, pemberian suara dan juga penghitungan suara.
b. Lobbying, aktivitas individual ataupun kelompok untuk menghubungi pejabat
pemerintah atau pemimpin politik untuk mempengaruhi keputusan mereka
tentang sesuatu hal. Umumnya tindakan ini diharapkan untuk memperoleh
dukungan ataupun untuk menciptakan oposisi.
c. Organizatonal Activities, yang mencakup kegiatan yang berkaitan dengan
dukungan terhadap suatu organisasi baik politik maupun non politik,
termasuk di dalamnya menjadi anggota organisasi untuk mempengaruhi
pemerintah.
d. Contacting, tindakan individu yang menghubungi secara langsung pejabat
commit to user
e. Violence, tindakan yang berbentuk unujuk rasa dapat juga dimasukkan dalam
kategori partisipasi politik, seperti misalnya demonstrasi, bahkan kekerasan
politik. Biasanya tindakan seperti ini dijalankan kalau saluran untuk
menyampaikan aspirasi politik tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
3. Percaturan Politik
Menurut Hotman M. Siahaan dalam John Pieris (2004: 19-20) percaturan
politik di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh adanya konflik-konflik yang
melibatkan umat beragama, struktur-struktur sosio-religius, lembaga-lembaga
keulamaan, dan ideologi-ideologi keagamaan. Keempat kategori ini jelas terpisah
satu sama lain, namun terikat sebagai bagian-bagian yang tak terpisahkan. Para
tokoh politik, baik dari kalangan ulama maupun awam, sama-sama berusaha
menggunakan lambang-lambang keagamaan sebagai salah satu alat perjuangan
untuk mendapatkan kekuasaan. Hotman mengingatkan bahwa langkah politik juga
diambil ketika orang mulai menyadari bahwa mereka bagian dari kelompok
politik yang memiliki identitas yang sama.
Menurut Kuntowijoyo (1991: 143-144) terdapat tiga teori kerangka
percaturan politik dalam hubungannya dengan mobilisasi dan partisipasi politik,
yaitu:
a. Kebudayaan politik
Pola kebudayaan politik dikemukakan oleh Clifford Geertz, Robert Jay, dan
Donald Emerson bahwa tiga kebudayaan besar yaitu kebudayaan tinggi
priyayi, kebudayaan rakyat abangan, dan kebudayaan santri merupakan
kebudayaan pengelompokkan politik.
b. Politik patron-client
W. F. Wertheim mengajukan politik Patron-Client sebagai pola kehidupan
politik Indonesia. Ini berarti bahwa pengelompokkan politik tidak
berdasarkan budaya maupun solidaritas kelas, tetapi berdasarkan hubungan
patron-client, yang merupakan hubungan berantai yang tak putus-putus.
commit to user
bahwa para anggota birokrasi yang memerintah benar-benar memperoleh
penghormatan tertentu dari penduduk, dengan demikian mampu memegang
kekuasaan atas penduduk itu.
c. Ekonomi politik
Menurut Richard Robison, suatu kelas pemilik modal birokratik telah tumbuh
subur karena kebijaksanaan pembangunan. Persekutuan mereka dengan
kapitalisme dunia telah membuat Indonesia hanya jadi satu mata rantai dari
serangkaian bagian kerja dan eksploitasi ekonomi internasional.
Percaturan politik dalam pembahasan ini berkaitan dengan kebudayaan
politik. Pola kebudayaan politik dikemukakan oleh Clifford Geertz, Robert Jay,
dan Donald Emerson bahwa tiga kebudayaan besar yaitu kebudayaan tinggi
priyayi, kebudayaan rakyat abangan, dan kebudayaan santri merupakan
kebudayaan pengelompokkan politik. Ini merupakan pandangan tahun 1950-an
ketika Republik Indonesia menganut politik liberal. Politik liberal ini memberikan
peluang kepada partai-partai politik untuk mengelompok menurut kelompok
solidaritas budaya atau aliran. Aliran dalam hal ini berarti tiap partai politik
senantiasa terkait dengan para pengikut dari suatu kebudayaan tingkat bawah.
Demikianlah elit birokrasi priyayi bergabung dalam PNI, kaum abangan dalam
PKI, dan kaum santri dalam Masyumi (Kuntowijoyo, 1991: 143-144).
Emerson (1976: 24) melihat elite Indonesia dari individu yang berperan
penting dalam kebudayaan politik. Elite dalam konteks budaya politik di latar
belakangi oleh perbedaan orientasi. Emerson melihat percaturan politik di
Indonesia dari sisi kebudayaan politik. Elite dalam konteks budaya politik itu
menurut Emerson sebagai percaturan politik yang ia sebut Political Culture.
Menurut Emerson (1976: 63-64) Islam memiliki peranan penting dalam
menentukan arah maupun perkembangan budaya politik Indonesia. Hal ini
diamati oleh Emerson berlandaskan apa yang dilakukan oleh Geertz, yang
membagi 3 ciri Islam di Indonesia, yaitu Santri, Priyayi, dan Abangan. Secara
khusus Emerson mengamati 2 bentuk kebudayaan yaitu kebudayaan politik santri
commit to user
melalui dua individu yaitu Usman dari kebudayaan politik santri dan Purwoko
dari kebudayaan politik abangan. Budaya politik santri lebih menyebar
dibandingkan dengan kebudayaan politik abangan yang hanya terpusat di Jawa.
Elite politik santri lebih lemah dari elite politik abangan. Golongan santri
memperoleh kekuatan yang kuat namun terasing oleh masyarakat. Pengasingan
dilakukan oleh Belanda. Santri dilarang berbaur dalam masyarakat terutama
masalah politik, apalagi yang dianggap menentang kolonialisme.
Budaya politik merupakan fenomena dalam masyarakat yang memiliki
pengaruh dalam struktur dan sistem politik. Almond dan Verba dalam Sudijono
Sastroatmodjo (1995: 36) mengartikan kebudayaan politik suatu bangsa sebagai
distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik antara masyarakat
bangsa itu. Tidak lain adalah pola tingkah laku individu yang berkaitan dengan
kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
Gabriel A. Almond menunjukkan bahwa kebudayaan politik meliputi
sikap-sikap dari warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan politiknya
(Mohtar Masoed & Colin MacAndrews: 1993: 33). Sikap warga negara berupa
tuntutan, respon, dukungan, terhadap sistem politik terdapat pada hubungan antara
kebudayaan politik dan sistem politik. Di dalamnya terdapat maksud individu
untuk melakukan kegiatannya beserta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
pergeseran politik dalam sistem politik (Sastroatmodjo, 1995: 37).
Menurut Almon dalam Mohtar Masoed & Colin MacAndrews (1993: 42)
terdapat tiga model kebudayaan politik: model pertama adalah masyarakat
demokratis industriil. Dalam sistem ini terdapat banyak aktivis politik yang
menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara,
publik pemberi minat politik yang mendiskusikan secara kritis moral-moral
kemasyarakatan dan pemerintahan.
Model kedua adalah sistem otoriter. Dalam model ini terdapat kelompok
masyarakat yang memiliki sikap politik yang berbeda. Mahasiswa dan kaum
intelektual yang berusaha menentang dan mengubah sistem melalui tindakan
commit to user
masalah pemerintahan dan aktif dalam lobying. Sebagian masyarakat sebagai
subjek pasif, mengakui pemerintahan dan tunduk kepadanya, tetapi tidak
melibatkan diri dalam urusan masyarakat. Model ketiga yaitu sistem demokrasi
praindustri. Negara dengan model seperti ini memiliki sedikit sekali partisipan
terutama dari profesional terpelajar, usahawan, tuan tanah. Sebagian besar warga
negara secara langsung terkena kebijakan pemerintah, memiliki pengetahuan dan
keterlibatan dalam kehidupan politik yang sangat kecil.
Budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang di
dalam dan dipengaruhi kompleks nilai yang ada dalam masyarakat tersebut.
Budaya politik bertujuan untuk memelihara stabilitas sistem politik yang
demokratis. Berfungsinya budaya politik dengan baik pada prinsipnya ditentukan
oleh tingkat keserasian antar budaya itu dengan struktur politiknya (Sodijono
Sastroatmodjo, 1995: 40-41).
Partisipasi politik dan mobilisasi memiliki hubungan dengan percaturan
politik. Partisipasi berkaitan dengan inisiatif untuk melakukan aktifitas yang
berasal dari diri individu sendiri, yang bertujuan untuk membantu pemerintah
dalam menyeleksi individu tertentu untuk mengisi jabatan politik yang ada dan
untuk membantu pemerintah dalam menentukan pilihan kebijaksanan yang
diperlukan. Mobilisasi merupakan tindakan yang dilakukan individu bukan atas
keinginannya sendiri melainkan digerakkan oleh orang lain, baik secara individu
maupun kelompok (Prospektif, 1991: 28).
Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk
partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui
mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik
dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan
kebijaksanaan umum. Kegiatan-kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam
pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti partai; kelompok
penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti dewan
commit to user
duduk dalam badan itu; berkampanye, dan menghadiri kelompok diskusi, dan
sebagainya (Miriam Budiarjo, 1977: 161).
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Keterangan:
Rakyat Indonesia berhasil mencapai kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945. Negara yang baru terbentuk ini tidak langsung muncul menjadi
negara yang teratur, negara yang serasi, melainkan adanya pertarungan antara
individu-individu dan kekuatan sosial yang bertentangan. Pada periode ini penuh
dengan kekacauan, pemberontakan dan perang saudara. Aksi dilancarkan sebagai
pertahanan stabilitas kedaulatan Republik Indonesia dalam bentuk kontak senjata
pada tahun 1945-1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi Fisik Indonesia.
Selain membentuk Badan Kelengkapan negara, dan juga dilaksankan
kebijakan pendirian berbagai partai politik yang berlandaskan Maklumat Wakil
Presiden no X tanggal 3 November 1945. Parta-partai politik dibentuk atas dasar
pemikiran-pemikiran revolusioner dari para anggotanya. Partai-partai politik ini
mengelompok menurut kelompok solidaritas budaya atau aliran. Aliran dalam hal
ini berarti tiap partai politik senantiasa terkait dengan para pengikut dari suatu
kebudayaan tingkat bawah. Elit birokrasi priyayi bergabung dalam PNI, kaum
Kemerdekaan Republik Indonesia
Peran Politik
Sjafruddin Prawiranegara
Percaturan Politik Indonesia Revolusi Fisik
commit to user
abangan dalam PKI, dan kaum santri dalam Masyumi. Sjafruddin Prawiranegara
yang hidup di lingkungan muslim yang taat memilih untuk ikut bergabung
menjadi anggota partai Masyumi.
Unsur dasar dari proses politik ditopang dengan adanya peran individu
yang berpolitik. Sjafruddin Prawiranegara merupakan salah satu tokoh Indonesia
yang memiliki peran politik penting, baik dalam bidang ekonomi maupun politik.
Setelah Indonesia merdeka, Ia menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada bulan Oktober 1945. Pada kabinet
Sjahrir yang ke-2, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Muda
Keuangan.
Pada kabinet Hatta yang diumumkan pada 29 Januari 1948, Sjafruddin
Prawiranegara duduk sebagai Menteri Kemakmuran. Menjadi Ketua Pemerintah
Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat saat terjadinya Agresi Militer
Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Pada masa RIS dalam kabinet Hatta,
Sjafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan. Salah satu kebijakan
ekonomi yang diterapkan yaitu “Gunting Sjafruddin”. Menjadi Gubernur Bank
Indonesia yang pertama tahun 1953. Sjafruddin terlibat dalam Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia tahun 1958 sebagai Perdana Mentri sekaligus
commit to user
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul “Sjafruddin Prawiranegara dalam Percaturan
Politik di Indonesia Tahun 1945-1961”, dilakukan menggunakan teknik
pengumpulan data melalui studi pustaka dengan membaca literatur-literatur yang
terdapat di berbagai perpustakaan maupun koleksi pribadi. Beberapa lokasi
perpustakaan yang dipergunakan guna melakukan penelitian studi pustaka antara
lain:
a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial, Universitas Sebelas Maret Surakarta;
b. Perpustakaan Fakultas dan Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas
Sebelas Maret Surakarta;
c. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta;
d. Perpustakaan Daerah Surakarta;
e. Perpustakaan Monumen Pers (perpustakaan, arsip surat kabar dan
majalah) Surakarta;
f. Perpustakaan Daerah Yogyakarta;
g. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi, Daerah Istimewa
Yogyakarta;
h. Jogja Library Center;
i. Perpustakaan Ignatius Yogyakarta;
j. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia;
k. Arsip Nasional Republik Indonesia;
commit to user 2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai
dari disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Juli 2011 sampai selesainya
penulisan skripsi ini pada bulan Juli 2012.
B. Metode Penelitian
Sejak penelitian dan penulisan sejarah dilakukan secara ilmiah, maka
penelitian dan penulisan sejarah menggunakan metode sejarah. Metode itu sendiri
berarti suatu cara, prosedur, atau teknik untuk mencapai sesuatu tujuan secara
efektif dan efisien. Metode bersifat lebih praktis ialah memberikan petunjuk
mengenai cara, prosedur, atau teknik pelaksanaannya secara sistematik.
Pada umumnya, metode diketahui sebagai cara atau prosedur untuk
mendapatkan objek. Juga didefinisikan metode adalah cara untuk berbuat atau
mengerjakan sesuatu dalam suatu sistem yang terencana dan teratur. Jadi, metode
erat hubungannya dengan prosedur, proses, atau teknis yang sistematis untuk
melakukan penelitian disiplin tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan
objek penelitian (Gottschalk&Garraghan dalam Suhartono, 2010: 11).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode historis atau
metode sejarah. Metode historis digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk
merekonstruksi peristiwa masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan
cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensintesiskan
bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan untuk memperoleh kesimpulan yang kuat.
Metode sejarah dapat diartikan sebagai metode penelitian dan penulisan sejarah
dengan menggunakan cara, prosedur atau teknik yang sistematik sesuai dengan
asas-asas dan aturan ilmu sejarah.
Pengertian metode historis secara konvensional adalah telaah terhadap
dokumen atau sumber lain yang berisi informasi tentang masa lampau dan
dilaksanakan secara sistematis. Penelitian dengan metode historis menitik-
beratkan pada telaah dokumen yang merupakan hasil rekaman para ahli dari
commit to user
Nasir (1985: 55-56) menyatakan metode historis atau metode sejarah
adalah usaha untuk merekonstruksi masa lampu secara objektif dan sistematis
dengan mengumpulkan, mengevaluasi fakta dan menarik kesimpulan secara tepat.
Metode historis juga menjadi suatu prosedur pemecahan masalah dengan
menggunakan data masa lalu atau peninggalan untuk memahami kejadian atau
suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa
sekarang. Serta memahami kejadiaan masa sekarang dalam hubungannya dengan
kejadian masa lampau (Nawawi, 1993: 79).
Gilbert J. Garragan, S. J (1957: 33) dalam bukunya A Guide to Historical
Method mendefinisikan metode sejarah sebagai seperangkat asas dan aturan yang
sistematik yang didesain guna membantu secara efektif untuk mengumpulkan
sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesis
hasil-hasil yang dicapainya, yang pada umumnya dalam bentuk tertulis.
Richard F. Clarice (1927: 462) dalam bukunya Logic (London and New
York, 1927) mengartikan metode sejarah sebagai sistem prosedur yang benar
untuk mencapai kebenaran sejarah. Louis Gottschalk (1983:18;19;32) memaknai
metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman,
dokumen-dokumen, dan peninggalan masa lampau yang otentik dan dapat
dipercaya, serta membuat interpretasi dan sintesis atas fakta-fakta tersebut
menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya (Daliman, 2012: 27).
Menurut Nugroho dalam Louis Gottschalk (1987: 18) prosedur penelitian
dan penulisan sejarah bertumpu pada empat kegiatan pokok, yaitu:
a. Pengumpulan objek yang berasal dari suatu jaman dan pengumpulan
bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan;
b. Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik;
c. Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang
otentik;
d. Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau
suatu penyajian yang berarti.
commit to user
Metode historis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara: pertama, mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang terkait dengan
Sjafruddin Prawiranegara tahun 1945-1961 di Indonesia. Kedua, sesudah sumber
terkumpul, dilakukan pengujian dan analisis sumber dengan cara membandingkan
antara satu sumber dengan sumber yang lain. Apabila dari sumber yang
dibandingkan mempunyai kesamaan isi, berarti sumber tersebut valid. Maksudnya
apabila sumber satu dengan lainnya menuliskan berita yang sama tentang Peranan
Sjafruddin Prawiranegara dalam Percaturan Politik masa Revolusi di Indonesia,
berarti sumber tersebut dapat dijadikan sebagai data dalam penulisan karya ilmiah
ini. Ketiga, mencari dan mengumpulkan dokumen atau arsip yang terkait dengan
Peran Sjafruddin Prawiranegara Masa Revolusi Indonesia. Selanjutnya dokumen
tersebut dijadikan sebagai alat penguji kebenaran bagi sumber sekunder yang
berhasil dikumpulkan, di samping sebagai sumber primer. Melalui metode
sejarah, usaha merekontruksi secara kritis dilakukan sebagai upaya menghasilkan
historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sejarah. Helius Sjamsuddin (1994:73) mengemukakan tentang pengertian sumber
sejarah, yaitu segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan
kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past
actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) yang
mencakup segala macam avidensi (bukti). Bukti itu menunjukkan segala aktivitas
mereka di masa lalu, baik berupa tulisan atau lisan serta sudah ditinggalkan
manusia.
Sumber data dalam penulisan ini menggunakan sumber tertulis. Sumber
tertulis dibedakan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah
kesaksian seorang saksi secara empiris. Dapat juga seperti alat mekanis seperti