• Tidak ada hasil yang ditemukan

SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1945-1961

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1945-1961"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA

TAHUN 1945-1961

SKRIPSI

Disusun oleh :

CESILIA DEA AFIFAH WULANDARI

K4408003

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA

TAHUN 1945-1961

Oleh :

Cesilia Dea Afifah Wulandari

NIM : K4408003

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar

Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

commit to user Skripsi ini telah di

Skripsi Fakultas Keguruan

Surakarta.

disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim

uan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebela

im Penguji

(4)

commit to user Skripsi ini telah di

Keguruan dan Ilmu Pendidi

untuk memenuhi sebagian pe

h dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi

ndidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan

n persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidi

psi Fakultas

dan diterima

(5)

commit to user

Cesilia Dea Afifah Wulandari. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DALAM

PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1945-1961. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli. 2012.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara. (2) Mengetahui peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun 1945-1961.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). Langkah-langkah metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan: 1) Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten 28 Februari 1911. Sjafruddin menempuh pendidikan di sekolah Belanda dan mendapat pendidikan agama secara informal. Lingkungan dan keluarga muslim mempengaruhi kehidupan Sjafruddin. Sjafruddin bergaul dengan kalangan santri modernis dan sosialis sekuler. Akibatnya Sjafruddin menjadi pribadi yang plural. Adanya kewajiban memilih partai politik pada saat itu membuat Sjafruddin memilih untuk masuk Masyumi meskipun Sjafruddin berlatar belakang pendidikan santri. Kemudian Sjafruddin berpengaruh dan memberikan gambaran ideologi pada Masyumi untuk bersifat plural. 2) Sjafruddin dikenal sebagai tokoh politik sesudah menjadi Menteri Keuangan kabinet Sjahrir III, dengan kebijakan mengeluarkan ORI yang menjadi alat perjuangan dan pembiayaan keperluan negara. Sjafruddin menjadikan ekonomi Indonesia lebih baik ketika menjadi Menteri Kemakmuran. Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda II, Sjafruddin diberi mandat untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan berhasil menyelamatkan Republik Indonesia serta melanjutkan perjuangan. Sjafruddin terpilih lagi menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta dengan melakukan kebijakan penting yaitu “Operasi Gunting Sjafruddin” yang berhasil menekan inflasi. Sjafruddin menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat Gubernur de Javasche Bank, yang kemudian menjadi Bank Indonesia. Pada tahun 1958, Sjafruddin terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Sebagai Perdana Menteri PRRI, Sjafruddin memimpin sebagai bentuk koreksi terhadap pemerintah pusat, dan untuk membela kebenaran dan keadilan.

(6)

commit to user

Cesilia Dea Afifah Wulandari. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA IN

POLITICAL CULTURE IN INDONESIA YEARS 1945-1961. Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta, Sebelas Maret Universitas, July. 2012.

The purpose of this study is (1) Knowing the background of social and political Sjafruddin Prawiranegara. (2) Knowing the role of politics Sjafruddin Prawiranegara in Indonesia years 1945-1961.

This research uses historical method. Step-by-step historical method is a heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Techniques of data collection is done through literature. Written sources used as data. The data analysis techniques used in this research is historical analysis techniques.

Based on this research can be conclude: 1) Sjafruddin Prawiranegara bornin Banten February 28, 1911. Sjafruddin educated in Dutch schools and receive religious education informally. Environment and families lives of Muslim affect Sjafruddin. Sjafruddin friends with the santri modernis and the socialist secular modernists. As a result Sjafruddin be plural person. The existence of the obligation to choose a political party at that time made him choose Masyumi. Then Sjafruddin influence his ideological and gives an overview on Masjumi to be plural. 2) Sjafruddin known as a political figure after as Minister of Finance in cabinet Sjahrir III, make ORI issued apolicy as a means of struggle and state funding purposes. Sjafruddin make Indonesia a better economy when he became Minister of Prosperity. At the time of the Dutch Military Agression II, Sjafruddin mandated to establish the Emergency Government of the Indonesia Republic and managed to save the Republic of Indonesia as well as continuing the struggle. Sjafruddin elected again as Minister of Finance in Hatta Cabinet and make important policy that is "Sjafruddin Operating Scissors" which succeeded in reducing inflation. Sjafruddin became the first Indonesian who was elected as Governor de Javasche Bank, which later became Bank Indonesia. In 1958, Sjafruddin involved in the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia. As Prime Minister of PRRI, Sjafruddin lead PRRI as a form of correction to the central government, and to defend truth and justice.

(7)

commit to user

Pangkat itu hanya suatu alat untuk menjalankan suatu tugas.

(Sjafruddin Prawiranegara)

Sejarah sebagai pedoman untuk membangun masa depan.

(Sjafruddin Prawiranegara)

Batu berlubang bukan karena kekuatan yang dashyat tapi akibat tetesan air yang

berulangkali; Begitu pula manusia menjadi bijak bukan karena satu dua kali tapi

karena kerapkali membaca hidup.

(8)

commit to user

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

§ Bapak, Ibu, dan Kakakku Bernadus yang selalu memberikan doa dan

motivasi.

§ Romo Yakobus Priyono sebagai “Donatur Kedua”.

§ Thomas Renaldi Lestianto sebagai teman dalam suka duka yang sudah

membantu dan memotivasi menyelesaikan studi serta setia menemani

(9)

commit to user

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, atas

rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan Skripsi untuk memenuhi persyaratan

mendapat gelar Sarjana Pendidikan.

Kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi dalam penulisan skripsi ini

dapat terlewati dengan lancar berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak.

Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Kegururan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta yang

telah menyetujui atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial

Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan pengarahan dalam

menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan

bimbingan, masukan, pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Drs. Djono, M. Pd selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan, masukan, pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Drs. Leo Agung S, M. Pd selaku pembimbing akademik yang telah memberikan

arahan, motivasi, dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa di Program

Pedidikan Sejarah FKIP UNS.

7. Teman-teman Sejarah angkatan 2008, Spesial Keluarga Abal Abal (Ari Kurnia,

Dwi Ari, Eni Susilowati, Titis Dwi Nur, Suyono, Doni Setiawan, Tri Pujianto,

Arif Nur, Tea Limostin) yang memberi semangat dan menjadi keluarga baruku di

Surakarta.

8. Cahyaningrum Tri Agus Tina, Misbach, dan Bryan Andri Jatmiko sebagai

kunsultan pribadi yang senantiasa membantu dan memberi saran dalam penulisan.

9. Keluarga Mas Sutarto, Mbak Widya, Dik Keisya, dan Paramita yang bersedia

memberikan tumpangan, dukungan, penghidupan selama penulis berada di Jakarta

(10)

commit to user

Semoga Tuhan membalas amal baik kepada semua pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini

jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun

diharapkan supaya skripsi ini lebih baik.

Surakarta, 31 Juli 2012

(11)

commit to user

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN ABSTRAK ... v

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Revolusi Fisik ... 9

2. Peran Politik ... 14

3. Percaturan Politik ... 19

B. Kerangka Pemikiran ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian ... 25

2. Waktu Penelitian ... 26

B. Metode Penelitian ... 26

C. Sumber Data ... 28

(12)

commit to user

F. Prosedur Penelitian ... 30

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara ... 35

B. Peran politik Sjafruddin Prawiranegara masa Revolusi Indonesia 1945-1961 1. Anggota Badan Pekerja KNIP ... 43

2. Menteri Keuangan ... 47

3. Menteri Kemakmuran ... 52

4. Memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia ... 56

5. Menteri Keuangan ... 69

6. Gubernur Bank ... 75

7. Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia ... 80

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan ... 93

B. Implikasi ... 94

C. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 97

LAMPIRAN ... 103

(13)

commit to user

Gambar Halaman

1. Kerangka Berpikir ... 23

(14)

commit to user

No. Lampiran Halaman

1. Sjafruddin Prawiranegara sebagai ketua PDRI

akan kembali ke Yogyakarta ... 104

2. Sjafruddin Prawiranegara hadir dalam Konferensi Inter-Indonesia ... 105

3. Sjafruddin Prawiranegara disambut oleh Presiden di Yogyakarta... 106

4. Undang Undang No 19 Th.’46 Tentang Pengeluaran Oeang Repoeblik Indonesia Dan Penjelasan ... 107

5. Laporan Interview W. Bosshard dengan Mr. Sjafruddin... 112

6. Berisi Garis Garis Besar Politik Perekonomian Pemerintah... 115

7. Surat Sjafruddin kepada Mr. Maramis Wakil Republik Indonesia di New Delhi, India Tentang Keadaan Perjuangan di Indonesia... 118

8. Surat Sjafruddin kepada wakil kepala PTT Sumatera tentang kekuasaan PDRI ... 119

9. Penetapan Peraturan Sementara Daerah Tapanuli Selatan... 120

10. Pendapat Kasimo mengenai Susunan Baru Anggota PDRI 21 April 1949 ... 121

11. Tantang pengumuman PDRI... 125

12. Balasan surat I.J Kasimo oleh Sjafruddin Prawiranegara... 126

13. Ketua PDRI membalas Kawat Panglima Besar PDRI... 128

14. Kawat Sjafruddin untuk Presiden Soekarno mengenai kepergiannya ke Sumatera untuk beberapa waktu saat Sjafruddin Prawiranegara menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia ... 130

15. Mukadimah Piagam Perjuangan ... 138

16. Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara ... 143

(15)

commit to user

19. Keterangan tentang Wilayah dan Anggota-Anggota

Republik Persatuan Indonesia... 158

20. Pidato Presiden RPI pada Hari Proklamasi... 161

21. Penyerahan Diri Sjafruddin ... 170

22. Oeang Republik Indonesia ... 174

(16)

commit to user PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Revolusi kemerdekaan merupakan istilah yang digunakan negara dunia

ketiga untuk perang kemerdekaan kepada negara bekas penjajah setelah Perang

Dunia II usai. Revolusi merupakan ungkapan atau pernyataan akhir dari keinginan

otonom dan emosi yang mendalam serta mencakup segenap kapasitas

keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara seksama.

Secara khusus, aktivitas revolusi dianggap menciptakan suatu tatanan sosial baru

yang lebih baik (Eisenstadt, 1986: 3).

Revolusi kemerdekaan di Indonesia terjadi tahun 1945-1950, dan

merupakan periode yang menentukan bagi kelangsungan hidup negara Republik

Indonesia. Revolusi Indonesia dipicu atas kekalahan Jepang dalam Perang Dunia

II. Kekuasan Jepang di Indonesia mulai melemah, terutama sesudah Jepang

menyerah tanpa syarat kepada sekutu maka di Indonesia terjadi kekosongan

kekuasaan (Ricklefs, 2008: 443). Kondisi ini digunakan para pemuda untuk

mendesak Soekarno dan Hatta supaya memproklamasikan kemerdekaan (Reid,

1996: 40-41). Proklamasi mampu dicapai dengan kesepakatan antara golongan tua

dan golongan muda pada tanggal 17 Agustus 1945.

Negara yang baru terbentuk ini tidak langsung muncul menjadi negara

yang teratur dan serasi, melainkan adanya pertarungan antar individu dan

kekuatan sosial yang saling bertentangan. Meskipun di balik pertentangan itu ada

keinginan untuk mempertahankan kemerdekaan. Di dalam perjuangan revolusi

Indonesia, terjadi perbedaan antara kekuatan perjuangan bersenjata dengan

kekuatan diplomasi, antara generasi tua terhadap generasi muda, antara golongan

kanan dan golongan kiri, antara kekuatan Islam dan kekuatan sekuler. Semua

perbedaan itu merupakan gambaran ketika Indonesia mengalami perpecahan yang

bermacam-macam bentuknya (Ricklefs, 2008: 446-447).

Pada periode tersebut penuh kekacauan, pemberontakan dan perang

(17)

commit to user

ditandai dengan gerakan perlawanan maupun melalui cara diplomasi. Aksi

dilancarkan sebagai pertahanan stabilitas kedaulatan Republik Indonesia dalam

bentuk kontak senjata pada tahun 1945-1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi

Fisik Indonesia (Kansil&Julianto, 1972: 8).

Selama periode 1945-1950, muncul kekuatan sosial politik yang berasas

sama, yaitu mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan memperoleh

pengakuan internasional melalui saluran diplomasi maupun perjuangan fisik.

Munculnya kekuatan sosial politik, tidak lepas dari adanya kebijakan politik etis

yang diprakarsai Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di

Indonesia. Dasar kebijakan politik Etis antara lain: (1) pendidikan; (2) pengairan;

(3) perpindahan penduduk. Ratu Wilhelmina mensahkan politik etis secara resmi

pada tahun 1901 (Ricklefs, 2008: 328).

Salah satu kebijakan politik etis ialah pendidikan. Di dalam bidang

pendidikan, pemerintah kolonial mendirikan sekolah yang memberikan

kesempatan pada penduduk pribumi untuk sekolah. Berdasarkan penelitian komisi

pendidikan Belanda-pribumi, pendidikan barat tidak membantu perkembangan

dan tidak membawa peningkatan kapitalisme pribumi (Kahin, 1996: 38). Hal itu

karena jumlah sekolah yang disediakan terlalu sedikit jika dibandingkan dengan

jumlah penduduk (Ricklefs, 2008: 350).

Politik etis secara tidak langsung membentuk intelektual pribumi.

Individu Indonesia yang memperoleh pendidikan barat mendapatkan tempat yang

dianggap tidak sesuai dengan hasil pendidikan yang pernah diterima dan individu

yang tidak mendapat pendidikan tidak mendapat pekerjaan. Kelompok inilah yang

muncul sebagai kekuatan utama dalam pergerakan kebangsaan dan menghasilkan

banyak pemimpin. Hasil pendidikan barat menyebabkan timbulnya elite Indonesia

baru. Golongan baru ini terdiri dari kaum elite yang merasa kecewa, dan

mempunyai gagasan sosial Modernis Islam serta ide hasil pendidikan Barat.

Dengan kebangkitan elit politik Indonesia, massa Indonesia memperoleh

(18)

commit to user

Konflik dalam perjuangan, berhasil menggerakkan rakyat Indonesia

untuk berusaha mempertahankan kemerdekaan. Keinginan para pemuda, meyakini

proklamasi bukan suatu masalah yang harus dirundingkan, namun harus

dipertahankan. Pihak pemerintah Republik mempunyai komitmen merundingkan

dengan pihak Belanda untuk mendapatkan simpati internasional dalam

perundingan (Reid, 1996: 149). Rakyat berjuang supaya kekuatan asing dalam hal

ini Belanda tidak lagi menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Revolusi

Indonesia bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan

dan kebangkitan nasional Indonesia (Ricklefs, 2008: 447).

Sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,

pembentukan sebuah negara dengan segala aparaturnya, dan perlengkapan negara

merdeka segera dibutuhkan. Pada 18 Agustus 1945, Undang Undang Dasar

disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), lembaga eksekutif

dipilih. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil

Presiden. Kabinet Presidensial dibentuk sesuai Undang Undang Dasar 1945, dan

kemudian disusul pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 19 Agustus

1945 yang nantinya menjadi Tentara Nasional Indonesia (Ajip Rosidi, 2011: 98).

Upaya mempertahankan stabilitas kemerdekaan terus dilakukan rakyat

Indonesia. Hal itu dilakukan dengan membentuk Badan Kelengkapan Negara,

serta pendirian berbagai partai politik yang berlandaskan Maklumat Wakil

Presiden no X tanggal 3 November 1945. Partai-partai politik dibentuk atas dasar

pemikiran-pemikiran revolusioner dari para anggotanya. Pemikir-pemikir di

dalam partai inilah yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan politik

di Indonesia.

Para tokoh politik menggerakan serta mengembangkan arus politik

sebagai upaya dalam membentuk identitas politik Indonesia. Almon dan Powel

menyatakan unit dasar dari stuktur politik ialah peran individu (Winarno, 2007:

83). Para tokoh politik merupakan seseorang yang menduduki posisi dalam

(19)

commit to user

peran individu dalam gerakan politik. Peranan menunjukkan pada fungsi,

penyesuaian diri dan sebagai suatu proses.

Peranan dalam gerakan politik individu tentu memberikan sumbangan

bagi perkembangan suatu negara. Peran individu dalam aktivitas politik

memberikan dampak yang begitu besar terhadap perubahan pemikiran suatu

bangsa. Sederet nama penting seperti Soekarno, Hatta, Roem merupakan tokoh di

masa revolusi yang selama ini melahirkan kebijakan untuk membangun bangsa

Indonesia melalui aktivitas politiknya. Riwayat, jasa, serta aktivitas berpolitik

mereka dicatat secara lengkap dalam berbagai buku sejarah terutama yang

membahasa masa revolusi. Ini menandakan pengkajian terhadap tokoh politik di

masa revolusi sangat penting, untuk melestarikan warisan berupa pemikiran dan

jasa terhadap Republik Indonesia. Selain itu, pentingnya penelitian terhadap

biografi tokoh politik diyakini sebagai jalan untuk mengetahui pembentukan

pemikiran serta kontribusi yang diberikan kepada Republik Indonesia di masa

revolusi.

Salah satu tokoh politik yang memainkan peranan penting di Indonesia

adalah Sjafruddin Prawiranegara. Dilahirkan di Serang, Banten pada tanggal 28

Februari 1911. Ayahnya, Raden Arsad Prawiraatmadja merupakan Camat Anyar

Kidul, dan ibunya Noer’aini merupakan anak dari Mas Abidin Mangoendiwirdja

juru tulis asisten residen dan camat di Cening yang termasuk karesidenan Benten

(Ajip Rosidi, 2011: 18-22).

Sjafruddin menempuh pendidkan di ELS (Europeesche Lagere School

yaitu sekolah rendah untuk orang-orang Eropa bagi orang Belanda atau orang

Eropa lainnya serta yang dianggap sederajat), dilanjutkan MULO (Meer

Uitgebreid Lager Onderwijs) yaitu pendidikan dasar yang diperluas kira-kira sama

dengan SMP sekarang, lalu AMS (Algemeene Middlebare School yaitu Sekolah

Menengah Umum, setingkat SMA sekarang) di Bandung. Sjafruddin kemudian

masuk ke ke RHS (Rechts Hoge School yaitu sekolah Tinggi Hukum). Ketika

masih menjadi Mahasiswa di RHS, Sjafruddin terlibat dalam organisasi

(20)

commit to user

tempat perdana bagi Sjafruddin mempelajari organisasi. Sjafruddin melalui

jaringan USI berhasil mengadakan kontak dengan pemuda gerakan bawah tanah

pimpinan Sjahrir (Ajip Rosidi, 2011: 91-92). Di samping itu, Sjafruddin juga

bergabung dalam kelompok organisasi seperti Pagoejoeban Pasoendan, kelompok

Parindra, dan Kelompok Islam.

Peran Sjafruddin Prawiranegara pada Indonesia sudah ditunjukan sejak

Sjafruddin menjabat sebagai Kepala Kantor Pajak Kediri tahun 1942. Sesudah

Indonesia merdeka, Sjafruddin menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional

Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada bulan Oktober 1945. Pada kabinet

Sjahrir ke-2, Sjafruddin duduk sebagai Menteri Muda Keuangan (Ajip Rosidi,

2011: 113). Kesediaannya menjadi Menteri Muda Keuangan karena ingin

mewujudkan idenya tentang Oeang Republik Indonesia (ORI) yang menurut

Sjafruddin sangat penting. Pada kabinet Hatta yang diumumkan pada 29 Januari

1948, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Kemakmuran.

Pada saat Agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948 Yogyakarta

diserang oleh pasukan Belanda, pemerintah Republik Indonesia memberikan

mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara melalui radiogram untuk membentuk

Pemerintahan Darurat di Bukit Tinggi (Moedjanto, 1988: 42). Pada masa RIS,

Hatta sebagai Perdana Menteri mengumumkan kabinetnya pada tanggal 21

Desember 1949. Dalam kabinet ini, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai

Menteri Keuangan. Salah satu kebijakan ekonomi yang diterapkan yaitu Gunting

Sjafruddin (Ajip Rosidi, 2011: 243-250).

Sjafruddin Prawiranegara terlibat dalam Pemerintah Revolusioner

Republik Indonesia (PRRI) pada Februari 1958. Ia diposisikan menjadi Perdana

Mentri sekaligus Menteri Keuangan. Sjafruddin sebagai salah satu tokoh sentral

pendirian PRRI dianggap sebagai pemberontakan daerah. PRRI dianggap sebagai

pengkhianat bangsa, meskipun sebenarnya merupakan suatu bentuk protes atas

pemerintahan Republik Indonesia. PRRI dibentuk atas dasar ketidak setujuan atas

pembentukan kabinet Djuanda yang dibuat secara tidak sah dan merupakan wujud

(21)

commit to user

revolusioner merupakan upaya perjuangan, bukan dalam konteks perjuangan

berupa perlawanan antara daerah luar Jawa terhadap pemerintah pusat. Melainkan,

menegakkan negara Indonesia yang adil dan Makmur. Cita-cita tersebut

termaktub dalam lima prinsip dasar kebijaksanaan PRRI.

Pada 16 Februari 1958 Presiden Soekarno memberikan perintah untuk

menangkap Sjafruddin Prawiranegara beserta seluruh petinggi PRRI, dimulailah

mobilisasi militer ke Sumatra untuk menggulingkan PRRI. Tersudutnya PRRI dan

dikeluarkannya Keppres no 449/1961 tentang amnesti dan abolisi bagi semua

anggota PRRI maka Sjafruddin Prawiranegara sebagai presiden RPI

mengeluarkan instruksi untuk menghentikan perlawanan dan penyerangan

terhadap tentara Republik Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1961 Sjafruddin

Prawiranegara menyerahkan diri. Cadangan emas yang disimpan guna

pembiayaan RPI pun turut diberikan ke pemerintah Republik Indonesia sebagai

kekayaan Negara (Kahin, 2005: 355).

Pada masa Orde Baru Sjafruddin merupakan salah satu orang yang ikut

dalam menandatangani petisi 50 masa Soeharto. A.M. Fatwa dalam Ajip Rosidi

(2011: 9) menyatakan petisi 50 ditandatangani sebagai wujud kritik terhadap

pemerintah Orde Baru yang otoriter dan merupakan upaya penyadaran terhadap

kehidupan berkonstitusi, khususnya penegakan hukum dan penghormatan

terhadap hak asasi manusia. Hal ini mengakibatkan Sjafruddin Prawiranegara

beserta para tokoh lainnya mendapat ‘pembatasan hak sipil’. Sjafruddin justru

merupakan individu yang berhasil mempertahankan keberadaan Republik

Indonesia saat Presiden dan Wakil Presiden Soekarno dan Hatta ditangkap

Belanda, Sjafruddin kemudian melanjutkan roda pemerintahan dengan mendirikan

PDRI di pedalaman Sumatera pada 22 Desember 1948.

Sumbangan yang diberikan Sjafruddin di masa revolusi maupun

sesudahnya merupakan jasa yang patut untuk dicatat dalam penelitian. Sjafruddin

Prawiranegara merupakan salah satu tokoh politik yang beperan penting di

Indonesia. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji “Sjafruddin Prawiranegara

(22)

commit to user B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya,

maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara?

2. Bagaimana peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun

1945-1961?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab dari rumusan

masalah diatas, yaitu untuk:

1. Mengetahui latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara.

2. Mengetahui peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun

1945-1961.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

a. Memberikan pengetahuan tentang peranan Sjafruddin Prawiranegara

sebagai tokoh penting Indonesia tahun 1945-1961.

b. Memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka

pengembangan ilmu sejarah.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan kepada pembaca untuk

digunakan sebagai wacana dan pemahaman dalam bidang sejarah,

khususnya kajian tokoh yang berperan penting di Indonesia.

b. Sebagai hasil penelitian yang melengkapi kajian tentang tokoh Indonesia

(23)

commit to user KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Revolusi Fisik

Revolusi dipahami sebagai upaya luar biasa, sangat kasar, dan

merupakan gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan sosial apa pun.

Revolusi juga dipahami sebagai ungkapan atau pernyataan akhir dari suatu

keinginan otonom dan emosi-emosi yang mendalam serta mencakup segenap

kapasitas keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara

seksama. Aktivitas revolusi secara khusus, dianggap dapat menciptakan suatu

tatanan sosial baru yang lebih baik (Eisenstadt, 1986: 3).

Menurut Kartodirdjo (1982: 80) revolusi merupakan proses politik yang

timbul dalam situasi kritis pada waktu golongan konflik mengusahkan perubahan

politik dengan cara radikal. Pada pengertian yang lebih luas revolusi merupakan

perubahan di bidang sosial politik yang serba cepat, mendadak dan disertai

kekerasan. Secara lebih sempit, revolusi sering diartikan sebagai pemberontakan

bersenjata. Revolusi juga diartikan sebagai perkembangan fundamental pada

hampir semua bidang kehidupan supaya masyarakat lebih menikmati kebahagiaan

duniawi. Revolusi bersifat menyeluruh, menjangkau semua bidang kegiatan

manusia.

Revolusi ialah perubahan nilai dan mitos yang dominan dalam suatu

masyarakat terutama lembaga politik, struktur sosial, kegiatan dan kebijaksanaan

pemerintah, yang berlangsung dengan kekerasan, mendasar dan pada waktu yang

cepat (Huntington, 1984:423). Menurut Eugene Kamenka dalam Eisenstadt (1986:

5), revolusi merupakan suatu perubahan yang mendadak dan tajam dalam siklus

kekuasaan sosial. Cirinya tercermin dalam perubahan radikal terhadap proses

pemerintahan yang berdaulat pada segenap kewenangan dan legitimasi resmi,

serta sekaligus perubahan radikal dalam konsepsi tatanan sosialnya. Transformasi

demikian diyakini, tak mungkin dapat terjadi tanpa kekerasan. Tapi seandainya

(24)

commit to user

Perubahan secara cepat akan terjadi pada sendi-sendi atau dasar-dasar

pokok dari kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan)

lazimnya dinamakan Revolusi. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat

direncanakan terlebih dahulu maupun terjadi tanpa perencanaan. Sebenarnya

ukuran kecepatan suatu perubahan yang dinamakan revolusi sifatnya relatif, sebab

revolusi dapat memakan waktu yang lama. Suatu revolusi dapat berlangsung

dengan didahului pemberontakan dan kemudian menjelma menjadi revolusi.

Supaya revolusi dapat terjadi maka harus dipenuhi syarat-syarat tertentu,

antara lain:

a. Ada keinginan untuk mengadakan perubahan. Di dalam masyarakat harus ada

perasaan tidak puas dengan keadaan ini.

b. Adanya seorang pimpinan atau sekelompok orang yang dianggap mampu

memimpin masyarakat tersebut.

c. Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut untuk

kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat

untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat.

d. Pemimpin tersebut harus menunjukkan tujuan baik yang konkret dan dapat

dilihat pada masyarakat maupun tujuan yang abstrak seperti ideologi tertentu.

e. Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu saat dimana segala keadaan dan

faktor sosial adalah baik sekali untuk mulai dengan gerakan revolusi. Jika

momentum yang dipilih keliru, maka revolusi dapat gagal (Setiadi & Kolip,

2011: 620-623).

Revolusi terjadi akibat pergeseran sosial atau ketimpangan fundamental

terutama perjuangan antar elite. Perpaduan pergolakan tersebut dengan kekuatan

sosial maupun konflik golongan yang lebih dalam dan menyebar luas seperti

konflik kelas dan dislokasi serta mobilisasi sosial juga organisasi-organisasi

politik dari berbagai kelompok sosial yang lebih besar (Eisenstadt, 1986: 3).

Revolusi dilakukan karena ada sesuatu yang diharapkan. Kaum revolusioner

(25)

commit to user

setelah kekuasaan kelihatan mulai tercapai, mereka tidak kompak lagi

(Macridis&Brown, 1992: 602-604).

Pada revolusi-revolusi besar, terdapat perubahan yang berupaya untuk

membenahi kembali tatanan sosial terutama sekali, penghapusan aspek-aspek

hierarkis dan menetapkan persamaan, solidaritas serta kemerdekaan politik dan

sosial. Perubahan berupa kecenderungan ke arah perumusan sejumlah ketentuan

ideologis baru tentang tatanan sosial (Eisenstadt, 1986: 217).

Revolusi merupakan kasus ekstrim ledakan dari partisipasi politik. Tanpa

ledakan, revolusi tidak pecah. Namun, revolusi yang utuh melibatkan tahap kedua

yaitu pembentukan dan pelembagaan peta politik. Tolak ukur untuk mengkaji

seberapa jauh suatu revolusi itu benar-benar revolusioner yaitu kecepatan dan

ruang lingkup perluasan partisipasi politiknya. Sedangkan untuk mengetahui

keberhasilan suatu revolusi ialah wewenang dan stabilitas lembaga yang

melahirkannya. Semua situasi revolusioner dan kontra revolusi selalu didukung

oleh kekuatan asing yang berusaha untuk menghentikan partisipasi politik dan

menata kembali peta dengan sedikit keleluasaan tetapi terpusat secara tegas.

(Huntington, 1984: 416-421).

Ada berbagai gambaran tentang pengaruh atau akibat dari revolusi.

Pertama, perubahan secara keras terhadap rezim politik yang ada, yang didasari

oleh legitimasi maupun simbol-simbolnya sendiri. Kedua, penggantian elite

politik atau kelas yang sedang berkuasa dengan lainnya. Ketiga, perubahan secara

mendasar seluruh bidang kelembagaan utama, terutama dalam hubungan kelas

dan sistem ekonomi, yang menyebabkan modernisasi disegenap aspek kehidupan

sosial, pembaharuan ekonomi dan industrialisasi, serta menumbuhkan sentralisai

dan partisipasi dalam dunia politik. Keempat, pemutusan secara radikal dengan

segala hal yang telah lampau. Kelima, memberikan kekuatan ideologis dan

orientasi kebangkitan mengenai gambaran revolusioner. Revolusi tidak hanya

membawa transformasi kelembagaan dan keorganisasian, melainkan juga

perubahan terhadap sistem pendidikan dan sistem moral, yang akan menciptakan

(26)

commit to user

Menurut Eisenstadt (1986: 248-249) keadaan yang dapat menimbulkan

revolusi:

a. Terdapat tiga aspek utama yang menerobos peradaban tradisional

keperadaban modern. Aspek-aspek tersebut ialah: 1) Peralihan dari pola

keabsahan kewenangan politik yang tradisional atau tertutup kesuatu pola

terbuka; 2) Peralihan dari sistem stratifikasi (sistem kelas) tradisional ke

sistem stratifikasi terbuka yang terbuka yang berakar atau berhubungan

dengan gerakan ke arah ekonomi pasar umumnya dan ekonomi perindustrian

pada umumnya; 3) Penciptaan dan/atau penyatuan unit-unit kemasyarakatan

ke dalam sistem ekonomi kapitalis dan politik kebudayaan internasional yang

terus berubah.

b. Pertemuan aspek-aspek tersebut menyebabkan pusat dan kelompok-kelompok

tradisional memperoleh sejumlah masalah yang menghendaki pengertian

kembali seluruh aturan-aturan dasar interaksi sosial utama dan sumber

kelembagaan mendasar, terutama sekali, aturan-aturan dasar dan

sumber-sumbernya yang berhubungan dengan akses ke kekuasaan dan struktur

pusat-pusat politik.

c. Tumbuhnya diferensiasi sosio-ekonomi mengakibatkan terjadinya gerakan

protes, perjuangan politik dan pembaharuan, dengan sejumlah besar

kelompok yang siap untuk mobilisasi sosial.

Revolusi mempunyai andil dalam perubahan integral di suatu lingkup

masyarakat. Perubahan integral itu tentunya menimbulkan dampak perubahan.

Menurut Kristeva (2011: 35) dampak perubahan dalam revolusi setidaknya

terdapat lima hal. a. perubahan dengan cakupan terluas, menyentuh semua tingkat

dan dimensi masyarakat, kehidupan sehari-hari, dan kepribadian manusia;

b. perubahan terjadi secara radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan

(27)

commit to user

perubahan paling menonjol; e. waktu kejadiannya luar biasa cepat dan karena itu

sangat mudah diingat.

Menurut Goldstone dalam Kristeva (2011: 40) revolusi akan terjadi bila

ada persaingan yang mampu memobilisasi sumber daya secara besar-besaran yang

diperlukan untuk merebut kekuasaan dari rezim lama. Terdapat dua kekuasaan

besar yang saling bersaing untuk menjaga eksistensi kekuasaan. Pada kasus ini

PDRI; bersaing dengan Belanda untuk mempertahankan eksistensi kekuasan di

Indonesia. Tentunya persaingan itu melibatkan kotak senjata dan mobilisasi

militer. Persaingan yang timbul antara kedua belah pihak merupakan tindakan

revolusioner. Atau merupakan tindakan untuk mengubah dengan tindakan

kekerasan. Tindakan revolusi merupakan situasi persaingan terhadap kedaulatan

ganda. Menurut Tilly dalam Kristeva (2011: 41) ciri dari bentuk revolusioner

yaitu kedaulatan ganda atau dengan kata lain pelipat gandaan pemerintahan yang

sebelumnya di bawah kontrol tunggal kemudian menjadi sasaran persaingan

antara dua atau lebih kekuatan yang berbeda. Situasi ini akan berakhir bila kontrol

atas pemerintahan diraih kembali oleh kekuasaan tunggal.

Terdapat situasi dan kondisi khusus yang menyebabkan meletusnya

revolusi. Pergolakan revolusi mempunyai sebab-sebab tertentu. Sebab-sebab itu

tertanam dalam: a. Struktur masyarakat; b. perubahan kependudukan; c. struktur

dan konjuktur ekonomi; d. perkembangan pemikiran dari kelas menengahnya;

e. evolusi politik. Keseluruhan alasan inilah yang selalu menjadi sebab musabab

sebuah revolusi. Revolusi fisik Indonesia merupakan gerakan anti penjajahan dan

perubahan atas rezim lama. Mencakup perubahan pada aspek masyarakat

Republik Indonesia. Para pemimpin Republik Indonesia memprakarsai terjadinya

revolusi fisik dan rakyat mendukung pergerakan itu dengan terlibat secara

langsung. Revolusi Indonesia pada hakikatnya adalah gerakan dari atas yang

diprakarsai dan dipimpin oleh elite politik. Selanjutnya, menyusul segera gerakan

masa di kalangan rakyat yang sangat spontan dan penuh antusiasme . . . mampu

(28)

commit to user 2. Peran Politik

Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya

sesuai dengan kedudukannya, maka seseorang berarti sudah menjalankan

peranannya. Antara peranan dan kedudukan sama-sama memiliki fungsi yang

saling terkait, bagaikan dua sisi mata uang, artinya tidak ada kedudukan tanpa

peranan. Demikian juga sebaliknya, tidak ada peranan tanpa kedudukan.

Masing-masing kedudukan dan peranan akan ditentukan oleh norma-norma sosial setelah

seseorang berhubungan dengan orang lain. Peranan dan kedudukan seseorang

akan sangat erat hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian, jika

seseorang sudah menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya

maka orang itu telah menjalankan suatu peran sosial (Setiadi & Kolip, 2011:

435-436).

Setiap orang memiliki berbagai macam peranan yang berasal dari pola

pergaulan hidupnya. Kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh masyarakat

menentukan apa yang diperbuat bagi masyarakat. Peranan sangat penting karena

peranan itu mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang berada

pada batas-batas tertentu. Peranan menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan

sebagai suatu proses. Jadi, seseorang dapat menduduki suatu posisi dalam

masyarakat serta melaksanakan suatu peranan. Menurut Levinson dalam Soekanto

(1982: 243-244) peranan mencakup tiga hal:

a. Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat

seseorang dalam masyarakat;

b. Suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam

masyarakat sebagai organisasi;

c. Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Posisi atau tempat seseorang dalam proses politik merupakan unsur statis

yang menunjukkan peran individu dalam gerakan politik. Peranan menunjukkan

pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Sesorang yang menduduki

suatu posisi atau tempat serta menjalankan suatu peranan tentu melaksanakan

(29)

commit to user

melaksanakan peranan tadi dengan orang-orang disekitarnya yang tersangkut, atau

ada hubungannya dengan peranan tersebut, terdapat hubungan yang diatur oleh

nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah pihak.

Menurut Miriam Budiarjo (1977:8) politik adalah bermacam-macam

kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses

menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan

pribadi seseorang. Menurut Hoogerwerf dalam Ng. Philipus & Nurul Aini (2006:

90) politik sebagai pertarungan kekuasaan.

Peran politik adalah fungsi seseorang dalam suatu sistem politik yang

menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuan dari sistem politik.

Proses menentukan dan melaksanakan tujuan menyangkut perilaku penting yang

dilakukan bagi kepentingan orang banyak, konsep pemikiran yang dicetuskan

dalam sebuah sistem, dan selalu terkait dengan perebutan kekuasaan. Setidaknya

melalui ketiga hal itu peran politik dapat terjadi.

Unsur dasar dari proses politik ditopang dengan adanya peran individu

yang berpolitik. Peran menjadi struktur dari bangunan politik itu sendiri. Ini

diungkapkan Almond dan Powell demikian, “Unit dasar struktur politik adalah

peran individu. Peran merupakan pola-pola perilaku yang teratur, yang ditentukan

lewat harapan-harapannya sendiri dan tindakan-tindakan dan orang lain”

(Winarno, 2007: 83).

Berdasarkan uraian di atas, peran politik menyangkut aktivitas dalam

kegiatan berpolitik. Aktivitas berpolitik merupakan keterlibatan atau partisipasi

individu dalam kegiatan politik. Pembacaan dari partisipasi individu dalam

kegiatan berpolitik akan memperlihatkan perannya pada suatu sistem politik.

Menurut David dalam Arifin Rahman (1998: 128-129) partisipasi adalah

penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi

organisasinya sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk

berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam

(30)

commit to user

Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995:67-68) partisipasi politik

merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga negara untuk terlibat dalam

proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan

keputusan yang dilakukan pemerintah. Sedangkan Menurut Huntington partisipasi

politik hanya sebagai kegiatan warga negara yang bertujuan mempengaruhi

pengambilan keputusan oleh pemerintah. Ramlan Surbakti mengartikan partisipasi

politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses

pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan

pemimpin pemerintah.

Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang

untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih

pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi

kebijakan pemerintah. Menurut Herbert McClosky dalam Miriam Budiarjo

(1981:1) partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga

masyarakat yang mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara

langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.

Menurut Verba, Nie dan Kim dalam Afan Gafar (1991: 26) partisipasi

politik merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu dan bertujuan untuk

mempengaruhi pemerintah dalam mengisi jabatan yang ada, serta dalam

mengambil keputusan. Partisipasi politik mengacu pada semua aktivitas yang sah

oleh semua warga negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan untuk

mempengaruhi pemilihan pejabat pemerintahan dan atau tindakan-tindakan yang

mereka ambil.

Istilah partisipasi politik diterapkan pada aktivitas orang dari semua

tingkat sistem politik. Perbandingan pada setiap negara dalam menentukan tingkat

partisipasi politik warganya sangat bervariasi, bahkan untuk berpartisipasi dalam

pembuatan keputusan politik, memberi suara, atau untuk menduduki jabatan

pemerintah telah dibatasi hanya untuk kelompok kecil orang yang berkuasa, kaya,

(31)

commit to user

Menurut Myron Weiner dalam Mohtar Masoed&Colin MacAndrews

(1993:45-46), terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan kearah

partisipasi dalam proses politik, yaitu:

a. Modernisasi: komersialisasi pertanian, industrialisai, urbanisasi yang

meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan

pembangunan media komunikasi massa.

b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Begitu terbentuk suatu kelas

pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses

industrialisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak

berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan

mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik.

c. Pengaruh kaum intelektual dan komusikasi massa modern.

d. Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik.

e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan

kebudayaan.

Bentuk-bentuk partisipasi politik: konvensional (pemberian suara

/voting). Diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam

kelompok kepentingan, komunikasi individual dengan pejabat politik dan

administratif) maupun konvensional (pengajuan petisi, berdemonstrasi,

konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, tindakan

kekerasan politik terhadap manusia, perang gerilya dan revolusi).

Menurut Gabriel A. Almond dalam Mohtar Mas’oed & MacAndrews

Colin (1993: 45-49) faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan seseorang dalam

parsipasi politik antara lain: pendidikan tinggi, perbedaan jenis kelamin dan status

sosial ekonomi, dan keanggotaan dalam partai politik. Menurut Surbakti dalam

Sudijono Sastroatmodjo (1995: 74) partisipasi politik dibedakan menjadi

partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga

negara mengajukan usul dan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan

kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan

(32)

commit to user

Sedangkan partisipasi pasif berupa mentaati peraturan, menerima, dan

melaksanakan begitu saja keputusan pemerintah.

Partisipasi politik merupakan bentuk tingkah laku baik menyangkut

aspek sosial maupun politik. Tindakan-tindakan dan aktivitas politik tidak hanya

menyangkut apa yang telah dilakukan, tetapi juga menyangkut hal-hal atau motif

apa yang mendorong individu untuk berpartisipasi. Saint dalam Sudijono

Sastroatmodjo (1995: 95) menyebutkan ada lima faktor yang mendorong

partisipasi politik masyarakat Indonesia. a. adanya kebebasan berkompetisi

disegala bidang; b. adanya kenyataan berpolitik secara luas dan terbuka; c. adanya

keleluasaan untuk mengorganisasi diri sehingga organisasi masyarakat dan partai

dapat tumbuh subur; d. adanya penyebaran sumber daya politik di kalangan

masyarakat yang berupa kekayaan dalam masyarkat; e. adanya distribusi

kekuasaan di kalangan masyarakat sehingga tercipta suatu pertimbangan

kekuatan.

Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Afan Gafar

(1991: 27) menggolongkan partisipasi politik dalam beberapa bentuk kegiatan

seperti berikut:

a. Electoral Activities, yang mencakup segala kegiatan yang berkaitan dengan

penyelenggaraan pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih,

pencalonan, kampanye, pemberian suara dan juga penghitungan suara.

b. Lobbying, aktivitas individual ataupun kelompok untuk menghubungi pejabat

pemerintah atau pemimpin politik untuk mempengaruhi keputusan mereka

tentang sesuatu hal. Umumnya tindakan ini diharapkan untuk memperoleh

dukungan ataupun untuk menciptakan oposisi.

c. Organizatonal Activities, yang mencakup kegiatan yang berkaitan dengan

dukungan terhadap suatu organisasi baik politik maupun non politik,

termasuk di dalamnya menjadi anggota organisasi untuk mempengaruhi

pemerintah.

d. Contacting, tindakan individu yang menghubungi secara langsung pejabat

(33)

commit to user

e. Violence, tindakan yang berbentuk unujuk rasa dapat juga dimasukkan dalam

kategori partisipasi politik, seperti misalnya demonstrasi, bahkan kekerasan

politik. Biasanya tindakan seperti ini dijalankan kalau saluran untuk

menyampaikan aspirasi politik tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

3. Percaturan Politik

Menurut Hotman M. Siahaan dalam John Pieris (2004: 19-20) percaturan

politik di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh adanya konflik-konflik yang

melibatkan umat beragama, struktur-struktur sosio-religius, lembaga-lembaga

keulamaan, dan ideologi-ideologi keagamaan. Keempat kategori ini jelas terpisah

satu sama lain, namun terikat sebagai bagian-bagian yang tak terpisahkan. Para

tokoh politik, baik dari kalangan ulama maupun awam, sama-sama berusaha

menggunakan lambang-lambang keagamaan sebagai salah satu alat perjuangan

untuk mendapatkan kekuasaan. Hotman mengingatkan bahwa langkah politik juga

diambil ketika orang mulai menyadari bahwa mereka bagian dari kelompok

politik yang memiliki identitas yang sama.

Menurut Kuntowijoyo (1991: 143-144) terdapat tiga teori kerangka

percaturan politik dalam hubungannya dengan mobilisasi dan partisipasi politik,

yaitu:

a. Kebudayaan politik

Pola kebudayaan politik dikemukakan oleh Clifford Geertz, Robert Jay, dan

Donald Emerson bahwa tiga kebudayaan besar yaitu kebudayaan tinggi

priyayi, kebudayaan rakyat abangan, dan kebudayaan santri merupakan

kebudayaan pengelompokkan politik.

b. Politik patron-client

W. F. Wertheim mengajukan politik Patron-Client sebagai pola kehidupan

politik Indonesia. Ini berarti bahwa pengelompokkan politik tidak

berdasarkan budaya maupun solidaritas kelas, tetapi berdasarkan hubungan

patron-client, yang merupakan hubungan berantai yang tak putus-putus.

(34)

commit to user

bahwa para anggota birokrasi yang memerintah benar-benar memperoleh

penghormatan tertentu dari penduduk, dengan demikian mampu memegang

kekuasaan atas penduduk itu.

c. Ekonomi politik

Menurut Richard Robison, suatu kelas pemilik modal birokratik telah tumbuh

subur karena kebijaksanaan pembangunan. Persekutuan mereka dengan

kapitalisme dunia telah membuat Indonesia hanya jadi satu mata rantai dari

serangkaian bagian kerja dan eksploitasi ekonomi internasional.

Percaturan politik dalam pembahasan ini berkaitan dengan kebudayaan

politik. Pola kebudayaan politik dikemukakan oleh Clifford Geertz, Robert Jay,

dan Donald Emerson bahwa tiga kebudayaan besar yaitu kebudayaan tinggi

priyayi, kebudayaan rakyat abangan, dan kebudayaan santri merupakan

kebudayaan pengelompokkan politik. Ini merupakan pandangan tahun 1950-an

ketika Republik Indonesia menganut politik liberal. Politik liberal ini memberikan

peluang kepada partai-partai politik untuk mengelompok menurut kelompok

solidaritas budaya atau aliran. Aliran dalam hal ini berarti tiap partai politik

senantiasa terkait dengan para pengikut dari suatu kebudayaan tingkat bawah.

Demikianlah elit birokrasi priyayi bergabung dalam PNI, kaum abangan dalam

PKI, dan kaum santri dalam Masyumi (Kuntowijoyo, 1991: 143-144).

Emerson (1976: 24) melihat elite Indonesia dari individu yang berperan

penting dalam kebudayaan politik. Elite dalam konteks budaya politik di latar

belakangi oleh perbedaan orientasi. Emerson melihat percaturan politik di

Indonesia dari sisi kebudayaan politik. Elite dalam konteks budaya politik itu

menurut Emerson sebagai percaturan politik yang ia sebut Political Culture.

Menurut Emerson (1976: 63-64) Islam memiliki peranan penting dalam

menentukan arah maupun perkembangan budaya politik Indonesia. Hal ini

diamati oleh Emerson berlandaskan apa yang dilakukan oleh Geertz, yang

membagi 3 ciri Islam di Indonesia, yaitu Santri, Priyayi, dan Abangan. Secara

khusus Emerson mengamati 2 bentuk kebudayaan yaitu kebudayaan politik santri

(35)

commit to user

melalui dua individu yaitu Usman dari kebudayaan politik santri dan Purwoko

dari kebudayaan politik abangan. Budaya politik santri lebih menyebar

dibandingkan dengan kebudayaan politik abangan yang hanya terpusat di Jawa.

Elite politik santri lebih lemah dari elite politik abangan. Golongan santri

memperoleh kekuatan yang kuat namun terasing oleh masyarakat. Pengasingan

dilakukan oleh Belanda. Santri dilarang berbaur dalam masyarakat terutama

masalah politik, apalagi yang dianggap menentang kolonialisme.

Budaya politik merupakan fenomena dalam masyarakat yang memiliki

pengaruh dalam struktur dan sistem politik. Almond dan Verba dalam Sudijono

Sastroatmodjo (1995: 36) mengartikan kebudayaan politik suatu bangsa sebagai

distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik antara masyarakat

bangsa itu. Tidak lain adalah pola tingkah laku individu yang berkaitan dengan

kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.

Gabriel A. Almond menunjukkan bahwa kebudayaan politik meliputi

sikap-sikap dari warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan politiknya

(Mohtar Masoed & Colin MacAndrews: 1993: 33). Sikap warga negara berupa

tuntutan, respon, dukungan, terhadap sistem politik terdapat pada hubungan antara

kebudayaan politik dan sistem politik. Di dalamnya terdapat maksud individu

untuk melakukan kegiatannya beserta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

pergeseran politik dalam sistem politik (Sastroatmodjo, 1995: 37).

Menurut Almon dalam Mohtar Masoed & Colin MacAndrews (1993: 42)

terdapat tiga model kebudayaan politik: model pertama adalah masyarakat

demokratis industriil. Dalam sistem ini terdapat banyak aktivis politik yang

menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara,

publik pemberi minat politik yang mendiskusikan secara kritis moral-moral

kemasyarakatan dan pemerintahan.

Model kedua adalah sistem otoriter. Dalam model ini terdapat kelompok

masyarakat yang memiliki sikap politik yang berbeda. Mahasiswa dan kaum

intelektual yang berusaha menentang dan mengubah sistem melalui tindakan

(36)

commit to user

masalah pemerintahan dan aktif dalam lobying. Sebagian masyarakat sebagai

subjek pasif, mengakui pemerintahan dan tunduk kepadanya, tetapi tidak

melibatkan diri dalam urusan masyarakat. Model ketiga yaitu sistem demokrasi

praindustri. Negara dengan model seperti ini memiliki sedikit sekali partisipan

terutama dari profesional terpelajar, usahawan, tuan tanah. Sebagian besar warga

negara secara langsung terkena kebijakan pemerintah, memiliki pengetahuan dan

keterlibatan dalam kehidupan politik yang sangat kecil.

Budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang di

dalam dan dipengaruhi kompleks nilai yang ada dalam masyarakat tersebut.

Budaya politik bertujuan untuk memelihara stabilitas sistem politik yang

demokratis. Berfungsinya budaya politik dengan baik pada prinsipnya ditentukan

oleh tingkat keserasian antar budaya itu dengan struktur politiknya (Sodijono

Sastroatmodjo, 1995: 40-41).

Partisipasi politik dan mobilisasi memiliki hubungan dengan percaturan

politik. Partisipasi berkaitan dengan inisiatif untuk melakukan aktifitas yang

berasal dari diri individu sendiri, yang bertujuan untuk membantu pemerintah

dalam menyeleksi individu tertentu untuk mengisi jabatan politik yang ada dan

untuk membantu pemerintah dalam menentukan pilihan kebijaksanan yang

diperlukan. Mobilisasi merupakan tindakan yang dilakukan individu bukan atas

keinginannya sendiri melainkan digerakkan oleh orang lain, baik secara individu

maupun kelompok (Prospektif, 1991: 28).

Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk

partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui

mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik

dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan

kebijaksanaan umum. Kegiatan-kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam

pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti partai; kelompok

penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti dewan

(37)

commit to user

duduk dalam badan itu; berkampanye, dan menghadiri kelompok diskusi, dan

sebagainya (Miriam Budiarjo, 1977: 161).

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Keterangan:

Rakyat Indonesia berhasil mencapai kemerdekaan pada tanggal 17

Agustus 1945. Negara yang baru terbentuk ini tidak langsung muncul menjadi

negara yang teratur, negara yang serasi, melainkan adanya pertarungan antara

individu-individu dan kekuatan sosial yang bertentangan. Pada periode ini penuh

dengan kekacauan, pemberontakan dan perang saudara. Aksi dilancarkan sebagai

pertahanan stabilitas kedaulatan Republik Indonesia dalam bentuk kontak senjata

pada tahun 1945-1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi Fisik Indonesia.

Selain membentuk Badan Kelengkapan negara, dan juga dilaksankan

kebijakan pendirian berbagai partai politik yang berlandaskan Maklumat Wakil

Presiden no X tanggal 3 November 1945. Parta-partai politik dibentuk atas dasar

pemikiran-pemikiran revolusioner dari para anggotanya. Partai-partai politik ini

mengelompok menurut kelompok solidaritas budaya atau aliran. Aliran dalam hal

ini berarti tiap partai politik senantiasa terkait dengan para pengikut dari suatu

kebudayaan tingkat bawah. Elit birokrasi priyayi bergabung dalam PNI, kaum

Kemerdekaan Republik Indonesia

Peran Politik

Sjafruddin Prawiranegara

Percaturan Politik Indonesia Revolusi Fisik

(38)

commit to user

abangan dalam PKI, dan kaum santri dalam Masyumi. Sjafruddin Prawiranegara

yang hidup di lingkungan muslim yang taat memilih untuk ikut bergabung

menjadi anggota partai Masyumi.

Unsur dasar dari proses politik ditopang dengan adanya peran individu

yang berpolitik. Sjafruddin Prawiranegara merupakan salah satu tokoh Indonesia

yang memiliki peran politik penting, baik dalam bidang ekonomi maupun politik.

Setelah Indonesia merdeka, Ia menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional

Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada bulan Oktober 1945. Pada kabinet

Sjahrir yang ke-2, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Muda

Keuangan.

Pada kabinet Hatta yang diumumkan pada 29 Januari 1948, Sjafruddin

Prawiranegara duduk sebagai Menteri Kemakmuran. Menjadi Ketua Pemerintah

Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat saat terjadinya Agresi Militer

Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Pada masa RIS dalam kabinet Hatta,

Sjafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan. Salah satu kebijakan

ekonomi yang diterapkan yaitu “Gunting Sjafruddin”. Menjadi Gubernur Bank

Indonesia yang pertama tahun 1953. Sjafruddin terlibat dalam Pemerintah

Revolusioner Republik Indonesia tahun 1958 sebagai Perdana Mentri sekaligus

(39)

commit to user

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian yang berjudul “Sjafruddin Prawiranegara dalam Percaturan

Politik di Indonesia Tahun 1945-1961”, dilakukan menggunakan teknik

pengumpulan data melalui studi pustaka dengan membaca literatur-literatur yang

terdapat di berbagai perpustakaan maupun koleksi pribadi. Beberapa lokasi

perpustakaan yang dipergunakan guna melakukan penelitian studi pustaka antara

lain:

a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial, Universitas Sebelas Maret Surakarta;

b. Perpustakaan Fakultas dan Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas

Sebelas Maret Surakarta;

c. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta;

d. Perpustakaan Daerah Surakarta;

e. Perpustakaan Monumen Pers (perpustakaan, arsip surat kabar dan

majalah) Surakarta;

f. Perpustakaan Daerah Yogyakarta;

g. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi, Daerah Istimewa

Yogyakarta;

h. Jogja Library Center;

i. Perpustakaan Ignatius Yogyakarta;

j. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia;

k. Arsip Nasional Republik Indonesia;

(40)

commit to user 2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai

dari disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Juli 2011 sampai selesainya

penulisan skripsi ini pada bulan Juli 2012.

B. Metode Penelitian

Sejak penelitian dan penulisan sejarah dilakukan secara ilmiah, maka

penelitian dan penulisan sejarah menggunakan metode sejarah. Metode itu sendiri

berarti suatu cara, prosedur, atau teknik untuk mencapai sesuatu tujuan secara

efektif dan efisien. Metode bersifat lebih praktis ialah memberikan petunjuk

mengenai cara, prosedur, atau teknik pelaksanaannya secara sistematik.

Pada umumnya, metode diketahui sebagai cara atau prosedur untuk

mendapatkan objek. Juga didefinisikan metode adalah cara untuk berbuat atau

mengerjakan sesuatu dalam suatu sistem yang terencana dan teratur. Jadi, metode

erat hubungannya dengan prosedur, proses, atau teknis yang sistematis untuk

melakukan penelitian disiplin tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan

objek penelitian (Gottschalk&Garraghan dalam Suhartono, 2010: 11).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode historis atau

metode sejarah. Metode historis digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk

merekonstruksi peristiwa masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan

cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensintesiskan

bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan untuk memperoleh kesimpulan yang kuat.

Metode sejarah dapat diartikan sebagai metode penelitian dan penulisan sejarah

dengan menggunakan cara, prosedur atau teknik yang sistematik sesuai dengan

asas-asas dan aturan ilmu sejarah.

Pengertian metode historis secara konvensional adalah telaah terhadap

dokumen atau sumber lain yang berisi informasi tentang masa lampau dan

dilaksanakan secara sistematis. Penelitian dengan metode historis menitik-

beratkan pada telaah dokumen yang merupakan hasil rekaman para ahli dari

(41)

commit to user

Nasir (1985: 55-56) menyatakan metode historis atau metode sejarah

adalah usaha untuk merekonstruksi masa lampu secara objektif dan sistematis

dengan mengumpulkan, mengevaluasi fakta dan menarik kesimpulan secara tepat.

Metode historis juga menjadi suatu prosedur pemecahan masalah dengan

menggunakan data masa lalu atau peninggalan untuk memahami kejadian atau

suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa

sekarang. Serta memahami kejadiaan masa sekarang dalam hubungannya dengan

kejadian masa lampau (Nawawi, 1993: 79).

Gilbert J. Garragan, S. J (1957: 33) dalam bukunya A Guide to Historical

Method mendefinisikan metode sejarah sebagai seperangkat asas dan aturan yang

sistematik yang didesain guna membantu secara efektif untuk mengumpulkan

sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesis

hasil-hasil yang dicapainya, yang pada umumnya dalam bentuk tertulis.

Richard F. Clarice (1927: 462) dalam bukunya Logic (London and New

York, 1927) mengartikan metode sejarah sebagai sistem prosedur yang benar

untuk mencapai kebenaran sejarah. Louis Gottschalk (1983:18;19;32) memaknai

metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman,

dokumen-dokumen, dan peninggalan masa lampau yang otentik dan dapat

dipercaya, serta membuat interpretasi dan sintesis atas fakta-fakta tersebut

menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya (Daliman, 2012: 27).

Menurut Nugroho dalam Louis Gottschalk (1987: 18) prosedur penelitian

dan penulisan sejarah bertumpu pada empat kegiatan pokok, yaitu:

a. Pengumpulan objek yang berasal dari suatu jaman dan pengumpulan

bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan;

b. Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik;

c. Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang

otentik;

d. Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau

suatu penyajian yang berarti.

(42)

commit to user

Metode historis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara: pertama, mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang terkait dengan

Sjafruddin Prawiranegara tahun 1945-1961 di Indonesia. Kedua, sesudah sumber

terkumpul, dilakukan pengujian dan analisis sumber dengan cara membandingkan

antara satu sumber dengan sumber yang lain. Apabila dari sumber yang

dibandingkan mempunyai kesamaan isi, berarti sumber tersebut valid. Maksudnya

apabila sumber satu dengan lainnya menuliskan berita yang sama tentang Peranan

Sjafruddin Prawiranegara dalam Percaturan Politik masa Revolusi di Indonesia,

berarti sumber tersebut dapat dijadikan sebagai data dalam penulisan karya ilmiah

ini. Ketiga, mencari dan mengumpulkan dokumen atau arsip yang terkait dengan

Peran Sjafruddin Prawiranegara Masa Revolusi Indonesia. Selanjutnya dokumen

tersebut dijadikan sebagai alat penguji kebenaran bagi sumber sekunder yang

berhasil dikumpulkan, di samping sebagai sumber primer. Melalui metode

sejarah, usaha merekontruksi secara kritis dilakukan sebagai upaya menghasilkan

historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data

sejarah. Helius Sjamsuddin (1994:73) mengemukakan tentang pengertian sumber

sejarah, yaitu segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan

kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past

actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) yang

mencakup segala macam avidensi (bukti). Bukti itu menunjukkan segala aktivitas

mereka di masa lalu, baik berupa tulisan atau lisan serta sudah ditinggalkan

manusia.

Sumber data dalam penulisan ini menggunakan sumber tertulis. Sumber

tertulis dibedakan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah

kesaksian seorang saksi secara empiris. Dapat juga seperti alat mekanis seperti

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir
Gambar 2. Prosedur Penelitian Sejarah
gambar seorang dari bangsanya sendiri sebagai kepala negara (Sikap, 31 Maret

Referensi

Dokumen terkait

dinyatakan bahwa varaibel gaya.. kepemimpinan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja guru di SMA Negeri 7 Palu. Dengan demikian maka hipotesis ketiga

Selain itu, ketidakjelasan kebijakan dari instansi terkait dalam upaya melindungi batu granit besar yang ada di Kecamatan Bunguran Timur sebagai aset cagar budaya

Cakupan pelayanan antenatal di Kabupaten Jember masih rendah karena beberapa faktor yang berkaitan yaitu, Jumlah SDM yang masih kurang serta dana yang tersedia

Disini dapat disimpulkan bahwa, mereka warga Gampoeng Batu Raja yaitu suku Aceh dan Jawa dapat menjalani proses komunikasi antarbudaya yang baik, seperti adaptasi

penambahan tertinggi kasus harian berasal dari propinsi yang memilik jumlah penduduk yang besar dan tingkat kepadatan yang tinggi, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Setelah membaca dan memahami materi guru memberikan tugas berupa Lembar Kerja praktik perusahaan jasa yang sudah di download melalui aplikasi group whats app , berupa lembar kerja

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Sistem Pendukung Keputusan dengan metode SAW dan Profile Matching untuk pemilihan calon

Pengaturan desa tentang pembangunan jalan rabat beton di Desa Gumpang Lempuh Kecamatan Putri Betung Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh sesuai dengan Pasal 1