• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revolusi dipahami sebagai upaya luar biasa, sangat kasar, dan merupakan gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan sosial apa pun. Revolusi juga dipahami sebagai ungkapan atau pernyataan akhir dari suatu keinginan otonom dan emosi-emosi yang mendalam serta mencakup segenap kapasitas keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara seksama. Aktivitas revolusi secara khusus, dianggap dapat menciptakan suatu tatanan sosial baru yang lebih baik (Eisenstadt, 1986: 3).

Menurut Kartodirdjo (1982: 80) revolusi merupakan proses politik yang timbul dalam situasi kritis pada waktu golongan konflik mengusahkan perubahan politik dengan cara radikal. Pada pengertian yang lebih luas revolusi merupakan perubahan di bidang sosial politik yang serba cepat, mendadak dan disertai kekerasan. Secara lebih sempit, revolusi sering diartikan sebagai pemberontakan bersenjata. Revolusi juga diartikan sebagai perkembangan fundamental pada hampir semua bidang kehidupan supaya masyarakat lebih menikmati kebahagiaan duniawi. Revolusi bersifat menyeluruh, menjangkau semua bidang kegiatan manusia.

Revolusi ialah perubahan nilai dan mitos yang dominan dalam suatu masyarakat terutama lembaga politik, struktur sosial, kegiatan dan kebijaksanaan pemerintah, yang berlangsung dengan kekerasan, mendasar dan pada waktu yang cepat (Huntington, 1984:423). Menurut Eugene Kamenka dalam Eisenstadt (1986: 5), revolusi merupakan suatu perubahan yang mendadak dan tajam dalam siklus kekuasaan sosial. Cirinya tercermin dalam perubahan radikal terhadap proses pemerintahan yang berdaulat pada segenap kewenangan dan legitimasi resmi, serta sekaligus perubahan radikal dalam konsepsi tatanan sosialnya. Transformasi demikian diyakini, tak mungkin dapat terjadi tanpa kekerasan. Tapi seandainya dilakukan tanpa kekerasan tetap dapat dianggap sebagai revolusi.

commit to user

Perubahan secara cepat akan terjadi pada sendi-sendi atau dasar-dasar pokok dari kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan Revolusi. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan terlebih dahulu maupun terjadi tanpa perencanaan. Sebenarnya ukuran kecepatan suatu perubahan yang dinamakan revolusi sifatnya relatif, sebab revolusi dapat memakan waktu yang lama. Suatu revolusi dapat berlangsung dengan didahului pemberontakan dan kemudian menjelma menjadi revolusi.

Supaya revolusi dapat terjadi maka harus dipenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain:

a. Ada keinginan untuk mengadakan perubahan. Di dalam masyarakat harus ada

perasaan tidak puas dengan keadaan ini.

b. Adanya seorang pimpinan atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut.

c. Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut untuk kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat.

d. Pemimpin tersebut harus menunjukkan tujuan baik yang konkret dan dapat dilihat pada masyarakat maupun tujuan yang abstrak seperti ideologi tertentu. e. Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu saat dimana segala keadaan dan

faktor sosial adalah baik sekali untuk mulai dengan gerakan revolusi. Jika momentum yang dipilih keliru, maka revolusi dapat gagal (Setiadi & Kolip, 2011: 620-623).

Revolusi terjadi akibat pergeseran sosial atau ketimpangan fundamental terutama perjuangan antar elite. Perpaduan pergolakan tersebut dengan kekuatan sosial maupun konflik golongan yang lebih dalam dan menyebar luas seperti konflik kelas dan dislokasi serta mobilisasi sosial juga organisasi-organisasi politik dari berbagai kelompok sosial yang lebih besar (Eisenstadt, 1986: 3). Revolusi dilakukan karena ada sesuatu yang diharapkan. Kaum revolusioner selalu bertindak sebagai kelompok yang terorganisasi dan hampir kompak, tetapi

commit to user

setelah kekuasaan kelihatan mulai tercapai, mereka tidak kompak lagi (Macridis&Brown, 1992: 602-604).

Pada revolusi-revolusi besar, terdapat perubahan yang berupaya untuk membenahi kembali tatanan sosial terutama sekali, penghapusan aspek-aspek hierarkis dan menetapkan persamaan, solidaritas serta kemerdekaan politik dan sosial. Perubahan berupa kecenderungan ke arah perumusan sejumlah ketentuan ideologis baru tentang tatanan sosial (Eisenstadt, 1986: 217).

Revolusi merupakan kasus ekstrim ledakan dari partisipasi politik. Tanpa ledakan, revolusi tidak pecah. Namun, revolusi yang utuh melibatkan tahap kedua yaitu pembentukan dan pelembagaan peta politik. Tolak ukur untuk mengkaji seberapa jauh suatu revolusi itu benar-benar revolusioner yaitu kecepatan dan ruang lingkup perluasan partisipasi politiknya. Sedangkan untuk mengetahui keberhasilan suatu revolusi ialah wewenang dan stabilitas lembaga yang melahirkannya. Semua situasi revolusioner dan kontra revolusi selalu didukung oleh kekuatan asing yang berusaha untuk menghentikan partisipasi politik dan menata kembali peta dengan sedikit keleluasaan tetapi terpusat secara tegas. (Huntington, 1984: 416-421).

Ada berbagai gambaran tentang pengaruh atau akibat dari revolusi. Pertama, perubahan secara keras terhadap rezim politik yang ada, yang didasari oleh legitimasi maupun simbol-simbolnya sendiri. Kedua, penggantian elite politik atau kelas yang sedang berkuasa dengan lainnya. Ketiga, perubahan secara mendasar seluruh bidang kelembagaan utama, terutama dalam hubungan kelas dan sistem ekonomi, yang menyebabkan modernisasi disegenap aspek kehidupan sosial, pembaharuan ekonomi dan industrialisasi, serta menumbuhkan sentralisai dan partisipasi dalam dunia politik. Keempat, pemutusan secara radikal dengan segala hal yang telah lampau. Kelima, memberikan kekuatan ideologis dan orientasi kebangkitan mengenai gambaran revolusioner. Revolusi tidak hanya membawa transformasi kelembagaan dan keorganisasian, melainkan juga perubahan terhadap sistem pendidikan dan sistem moral, yang akan menciptakan atau melahirkan manusia baru (Eisenstadt, 1986: 3-4).

commit to user

Menurut Eisenstadt (1986: 248-249) keadaan yang dapat menimbulkan revolusi:

a. Terdapat tiga aspek utama yang menerobos peradaban tradisional

keperadaban modern. Aspek-aspek tersebut ialah: 1) Peralihan dari pola keabsahan kewenangan politik yang tradisional atau tertutup kesuatu pola terbuka; 2) Peralihan dari sistem stratifikasi (sistem kelas) tradisional ke sistem stratifikasi terbuka yang terbuka yang berakar atau berhubungan dengan gerakan ke arah ekonomi pasar umumnya dan ekonomi perindustrian pada umumnya; 3) Penciptaan dan/atau penyatuan unit-unit kemasyarakatan ke dalam sistem ekonomi kapitalis dan politik kebudayaan internasional yang terus berubah.

b. Pertemuan aspek-aspek tersebut menyebabkan pusat dan kelompok-kelompok

tradisional memperoleh sejumlah masalah yang menghendaki pengertian kembali seluruh aturan-aturan dasar interaksi sosial utama dan sumber kelembagaan mendasar, terutama sekali, aturan-aturan dasar dan sumber-sumbernya yang berhubungan dengan akses ke kekuasaan dan struktur pusat-pusat politik.

c. Tumbuhnya diferensiasi sosio-ekonomi mengakibatkan terjadinya gerakan protes, perjuangan politik dan pembaharuan, dengan sejumlah besar kelompok yang siap untuk mobilisasi sosial.

Revolusi mempunyai andil dalam perubahan integral di suatu lingkup masyarakat. Perubahan integral itu tentunya menimbulkan dampak perubahan. Menurut Kristeva (2011: 35) dampak perubahan dalam revolusi setidaknya terdapat lima hal. a. perubahan dengan cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat, kehidupan sehari-hari, dan kepribadian manusia; b. perubahan terjadi secara radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi sosial; c. perubahan terjadi sangat cepat, tiba-tiba; d. revolusi adalah

commit to user

perubahan paling menonjol; e. waktu kejadiannya luar biasa cepat dan karena itu sangat mudah diingat.

Menurut Goldstone dalam Kristeva (2011: 40) revolusi akan terjadi bila ada persaingan yang mampu memobilisasi sumber daya secara besar-besaran yang diperlukan untuk merebut kekuasaan dari rezim lama. Terdapat dua kekuasaan besar yang saling bersaing untuk menjaga eksistensi kekuasaan. Pada kasus ini PDRI; bersaing dengan Belanda untuk mempertahankan eksistensi kekuasan di Indonesia. Tentunya persaingan itu melibatkan kotak senjata dan mobilisasi militer. Persaingan yang timbul antara kedua belah pihak merupakan tindakan revolusioner. Atau merupakan tindakan untuk mengubah dengan tindakan kekerasan. Tindakan revolusi merupakan situasi persaingan terhadap kedaulatan ganda. Menurut Tilly dalam Kristeva (2011: 41) ciri dari bentuk revolusioner yaitu kedaulatan ganda atau dengan kata lain pelipat gandaan pemerintahan yang sebelumnya di bawah kontrol tunggal kemudian menjadi sasaran persaingan antara dua atau lebih kekuatan yang berbeda. Situasi ini akan berakhir bila kontrol atas pemerintahan diraih kembali oleh kekuasaan tunggal.

Terdapat situasi dan kondisi khusus yang menyebabkan meletusnya revolusi. Pergolakan revolusi mempunyai sebab-sebab tertentu. Sebab-sebab itu tertanam dalam: a. Struktur masyarakat; b. perubahan kependudukan; c. struktur dan konjuktur ekonomi; d. perkembangan pemikiran dari kelas menengahnya; e. evolusi politik. Keseluruhan alasan inilah yang selalu menjadi sebab musabab sebuah revolusi. Revolusi fisik Indonesia merupakan gerakan anti penjajahan dan perubahan atas rezim lama. Mencakup perubahan pada aspek masyarakat Republik Indonesia. Para pemimpin Republik Indonesia memprakarsai terjadinya revolusi fisik dan rakyat mendukung pergerakan itu dengan terlibat secara langsung. Revolusi Indonesia pada hakikatnya adalah gerakan dari atas yang diprakarsai dan dipimpin oleh elite politik. Selanjutnya, menyusul segera gerakan masa di kalangan rakyat yang sangat spontan dan penuh antusiasme . . . mampu membangkitkan kesadaran anti imperalis dan nasional (Kartodirjo, 1999: 133).

commit to user 2. Peran Politik

Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka seseorang berarti sudah menjalankan peranannya. Antara peranan dan kedudukan sama-sama memiliki fungsi yang saling terkait, bagaikan dua sisi mata uang, artinya tidak ada kedudukan tanpa peranan. Demikian juga sebaliknya, tidak ada peranan tanpa kedudukan. Masing-masing kedudukan dan peranan akan ditentukan oleh norma-norma sosial setelah seseorang berhubungan dengan orang lain. Peranan dan kedudukan seseorang akan sangat erat hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian, jika seseorang sudah menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang itu telah menjalankan suatu peran sosial (Setiadi & Kolip, 2011: 435-436).

Setiap orang memiliki berbagai macam peranan yang berasal dari pola pergaulan hidupnya. Kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh masyarakat menentukan apa yang diperbuat bagi masyarakat. Peranan sangat penting karena peranan itu mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang berada pada batas-batas tertentu. Peranan menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang dapat menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta melaksanakan suatu peranan. Menurut Levinson dalam Soekanto (1982: 243-244) peranan mencakup tiga hal:

a. Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat

seseorang dalam masyarakat;

b. Suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi;

c. Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Posisi atau tempat seseorang dalam proses politik merupakan unsur statis yang menunjukkan peran individu dalam gerakan politik. Peranan menunjukkan pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Sesorang yang menduduki suatu posisi atau tempat serta menjalankan suatu peranan tentu melaksanakan tindakan politik. Setiap peranan bertujuan supaya antar individu yang

commit to user

melaksanakan peranan tadi dengan orang-orang disekitarnya yang tersangkut, atau ada hubungannya dengan peranan tersebut, terdapat hubungan yang diatur oleh nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah pihak.

Menurut Miriam Budiarjo (1977:8) politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi seseorang. Menurut Hoogerwerf dalam Ng. Philipus & Nurul Aini (2006: 90) politik sebagai pertarungan kekuasaan.

Peran politik adalah fungsi seseorang dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuan dari sistem politik. Proses menentukan dan melaksanakan tujuan menyangkut perilaku penting yang dilakukan bagi kepentingan orang banyak, konsep pemikiran yang dicetuskan dalam sebuah sistem, dan selalu terkait dengan perebutan kekuasaan. Setidaknya melalui ketiga hal itu peran politik dapat terjadi.

Unsur dasar dari proses politik ditopang dengan adanya peran individu yang berpolitik. Peran menjadi struktur dari bangunan politik itu sendiri. Ini diungkapkan Almond dan Powell demikian, “Unit dasar struktur politik adalah peran individu. Peran merupakan pola-pola perilaku yang teratur, yang ditentukan lewat harapan-harapannya sendiri dan tindakan-tindakan dan orang lain” (Winarno, 2007: 83).

Berdasarkan uraian di atas, peran politik menyangkut aktivitas dalam kegiatan berpolitik. Aktivitas berpolitik merupakan keterlibatan atau partisipasi individu dalam kegiatan politik. Pembacaan dari partisipasi individu dalam kegiatan berpolitik akan memperlihatkan perannya pada suatu sistem politik. Menurut David dalam Arifin Rahman (1998: 128-129) partisipasi adalah penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam setiap pertanggungjawaban bersama.

commit to user

Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995:67-68) partisipasi politik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah. Sedangkan Menurut Huntington partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warga negara yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Ramlan Surbakti mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.

Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Herbert McClosky dalam Miriam Budiarjo (1981:1) partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat yang mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.

Menurut Verba, Nie dan Kim dalam Afan Gafar (1991: 26) partisipasi politik merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu dan bertujuan untuk mempengaruhi pemerintah dalam mengisi jabatan yang ada, serta dalam mengambil keputusan. Partisipasi politik mengacu pada semua aktivitas yang sah oleh semua warga negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan untuk mempengaruhi pemilihan pejabat pemerintahan dan atau tindakan-tindakan yang mereka ambil.

Istilah partisipasi politik diterapkan pada aktivitas orang dari semua tingkat sistem politik. Perbandingan pada setiap negara dalam menentukan tingkat partisipasi politik warganya sangat bervariasi, bahkan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik, memberi suara, atau untuk menduduki jabatan pemerintah telah dibatasi hanya untuk kelompok kecil orang yang berkuasa, kaya, dan keturunan terpandang.

commit to user

Menurut Myron Weiner dalam Mohtar Masoed&Colin MacAndrews (1993:45-46), terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan kearah partisipasi dalam proses politik, yaitu:

a. Modernisasi: komersialisasi pertanian, industrialisai, urbanisasi yang meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pembangunan media komunikasi massa.

b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Begitu terbentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses industrialisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik.

c. Pengaruh kaum intelektual dan komusikasi massa modern. d. Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik.

e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan.

Bentuk-bentuk partisipasi politik: konvensional (pemberian suara /voting). Diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, komunikasi individual dengan pejabat politik dan

administratif) maupun konvensional (pengajuan petisi, berdemonstrasi,

konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, tindakan kekerasan politik terhadap manusia, perang gerilya dan revolusi).

Menurut Gabriel A. Almond dalam Mohtar Mas’oed & MacAndrews Colin (1993: 45-49) faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan seseorang dalam parsipasi politik antara lain: pendidikan tinggi, perbedaan jenis kelamin dan status sosial ekonomi, dan keanggotaan dalam partai politik. Menurut Surbakti dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995: 74) partisipasi politik dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul dan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, ikut serta dalam pemilihan pemerintah.

commit to user

Sedangkan partisipasi pasif berupa mentaati peraturan, menerima, dan melaksanakan begitu saja keputusan pemerintah.

Partisipasi politik merupakan bentuk tingkah laku baik menyangkut aspek sosial maupun politik. Tindakan-tindakan dan aktivitas politik tidak hanya menyangkut apa yang telah dilakukan, tetapi juga menyangkut hal-hal atau motif apa yang mendorong individu untuk berpartisipasi. Saint dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995: 95) menyebutkan ada lima faktor yang mendorong partisipasi politik masyarakat Indonesia. a. adanya kebebasan berkompetisi disegala bidang; b. adanya kenyataan berpolitik secara luas dan terbuka; c. adanya keleluasaan untuk mengorganisasi diri sehingga organisasi masyarakat dan partai dapat tumbuh subur; d. adanya penyebaran sumber daya politik di kalangan masyarakat yang berupa kekayaan dalam masyarkat; e. adanya distribusi kekuasaan di kalangan masyarakat sehingga tercipta suatu pertimbangan kekuatan.

Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Afan Gafar (1991: 27) menggolongkan partisipasi politik dalam beberapa bentuk kegiatan seperti berikut:

a. Electoral Activities, yang mencakup segala kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye, pemberian suara dan juga penghitungan suara.

b. Lobbying, aktivitas individual ataupun kelompok untuk menghubungi pejabat pemerintah atau pemimpin politik untuk mempengaruhi keputusan mereka tentang sesuatu hal. Umumnya tindakan ini diharapkan untuk memperoleh dukungan ataupun untuk menciptakan oposisi.

c. Organizatonal Activities, yang mencakup kegiatan yang berkaitan dengan dukungan terhadap suatu organisasi baik politik maupun non politik, termasuk di dalamnya menjadi anggota organisasi untuk mempengaruhi pemerintah.

d. Contacting, tindakan individu yang menghubungi secara langsung pejabat pemerintah untuk menyampaikan segala sesuatu persoalannya.

commit to user

e. Violence, tindakan yang berbentuk unujuk rasa dapat juga dimasukkan dalam kategori partisipasi politik, seperti misalnya demonstrasi, bahkan kekerasan politik. Biasanya tindakan seperti ini dijalankan kalau saluran untuk menyampaikan aspirasi politik tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

3. Percaturan Politik

Menurut Hotman M. Siahaan dalam John Pieris (2004: 19-20) percaturan politik di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh adanya konflik-konflik yang melibatkan umat beragama, struktur-struktur sosio-religius, lembaga-lembaga keulamaan, dan ideologi-ideologi keagamaan. Keempat kategori ini jelas terpisah satu sama lain, namun terikat sebagai bagian-bagian yang tak terpisahkan. Para tokoh politik, baik dari kalangan ulama maupun awam, sama-sama berusaha menggunakan lambang-lambang keagamaan sebagai salah satu alat perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Hotman mengingatkan bahwa langkah politik juga diambil ketika orang mulai menyadari bahwa mereka bagian dari kelompok politik yang memiliki identitas yang sama.

Menurut Kuntowijoyo (1991: 143-144) terdapat tiga teori kerangka percaturan politik dalam hubungannya dengan mobilisasi dan partisipasi politik, yaitu:

a. Kebudayaan politik

Pola kebudayaan politik dikemukakan oleh Clifford Geertz, Robert Jay, dan Donald Emerson bahwa tiga kebudayaan besar yaitu kebudayaan tinggi priyayi, kebudayaan rakyat abangan, dan kebudayaan santri merupakan kebudayaan pengelompokkan politik.

b. Politik patron-client

W. F. Wertheim mengajukan politik Patron-Client sebagai pola kehidupan politik Indonesia. Ini berarti bahwa pengelompokkan politik tidak berdasarkan budaya maupun solidaritas kelas, tetapi berdasarkan hubungan patron-client, yang merupakan hubungan berantai yang tak putus-putus. Massa akan mengikuti para pemimpin yang alami. Menurut Leslie Palmer

commit to user

bahwa para anggota birokrasi yang memerintah benar-benar memperoleh penghormatan tertentu dari penduduk, dengan demikian mampu memegang kekuasaan atas penduduk itu.

c. Ekonomi politik

Menurut Richard Robison, suatu kelas pemilik modal birokratik telah tumbuh subur karena kebijaksanaan pembangunan. Persekutuan mereka dengan kapitalisme dunia telah membuat Indonesia hanya jadi satu mata rantai dari serangkaian bagian kerja dan eksploitasi ekonomi internasional.

Percaturan politik dalam pembahasan ini berkaitan dengan kebudayaan politik. Pola kebudayaan politik dikemukakan oleh Clifford Geertz, Robert Jay, dan Donald Emerson bahwa tiga kebudayaan besar yaitu kebudayaan tinggi priyayi, kebudayaan rakyat abangan, dan kebudayaan santri merupakan kebudayaan pengelompokkan politik. Ini merupakan pandangan tahun 1950-an ketika Republik Indonesia menganut politik liberal. Politik liberal ini memberikan peluang kepada partai-partai politik untuk mengelompok menurut kelompok solidaritas budaya atau aliran. Aliran dalam hal ini berarti tiap partai politik senantiasa terkait dengan para pengikut dari suatu kebudayaan tingkat bawah. Demikianlah elit birokrasi priyayi bergabung dalam PNI, kaum abangan dalam PKI, dan kaum santri dalam Masyumi (Kuntowijoyo, 1991: 143-144).

Emerson (1976: 24) melihat elite Indonesia dari individu yang berperan penting dalam kebudayaan politik. Elite dalam konteks budaya politik di latar belakangi oleh perbedaan orientasi. Emerson melihat percaturan politik di Indonesia dari sisi kebudayaan politik. Elite dalam konteks budaya politik itu menurut Emerson sebagai percaturan politik yang ia sebut Political Culture.

Menurut Emerson (1976: 63-64) Islam memiliki peranan penting dalam menentukan arah maupun perkembangan budaya politik Indonesia. Hal ini diamati oleh Emerson berlandaskan apa yang dilakukan oleh Geertz, yang membagi 3 ciri Islam di Indonesia, yaitu Santri, Priyayi, dan Abangan. Secara khusus Emerson mengamati 2 bentuk kebudayaan yaitu kebudayaan politik santri dan kebudayaan politik abangan. Dua bentuk kebudayaan tersebut dianalogikan

commit to user

melalui dua individu yaitu Usman dari kebudayaan politik santri dan Purwoko dari kebudayaan politik abangan. Budaya politik santri lebih menyebar dibandingkan dengan kebudayaan politik abangan yang hanya terpusat di Jawa. Elite politik santri lebih lemah dari elite politik abangan. Golongan santri memperoleh kekuatan yang kuat namun terasing oleh masyarakat. Pengasingan dilakukan oleh Belanda. Santri dilarang berbaur dalam masyarakat terutama masalah politik, apalagi yang dianggap menentang kolonialisme.