• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN POLITIK ISLAM HINDIA-BELANDA: ORDONANSI PERKAWINAN DI JAWA-MADURA TAHUN 1929-1931.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEBIJAKAN POLITIK ISLAM HINDIA-BELANDA: ORDONANSI PERKAWINAN DI JAWA-MADURA TAHUN 1929-1931."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN POLITIK ISLAM HINDIA-BELANDA:

ORDONANSI PERKAWINAN DI JAWA-MADURA TAHUN

1929-1931

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh: Siti Nur Latifah

A02212019

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “KEBIJAKAN POLITIK ISLAM HINDIA-BELANDA:

ORDONANSI PERKAWINAN DI JAWA-MADURA TAHUN 1929-1931”. Adapun

permasalahan yang muncul dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana kebijakan politik Islam pemerintah Hindia Belanda terhadap Muslim Nusantara? 2) Mengapa pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Kebijakan Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura pada tahun 1929-1931? 3) Bagaimana reaksi umat Islam terhadap Kebijakan Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura pada tahun 1929-1931?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan historis yang bertujuan untuk mendiskripsikan peristiwa yang terjadi pada tahun 1929-1931 di Jawa dan Madura ketika diberlakukan kebijakan politik Islam Hindia Belanda masalah perkawinan umat Islam. Dengan menggunakan teori struktural fungsional dan teori konflik, yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana pemerintah kolonial secara struktural mengawasi dan mengontrol pribumi agar tetap tunduk, serta untuk mengetahui bagaimana reaksi umat Islam akibat kebijakan yang diterapkan.

(7)

ABSTRACT

This thesis entitled "Policy - DUTCH INDIAN POLITICAL ISLAM : Ordinance MARRIAGE IN JAVA-MADURA YEAR 1929-1931". The issues that arise in this study are: 1) How is the policy of political Islam Dutch government against Muslim archipelago? 2) Why did the Dutch government issued the Ordinance Marriage Policy in Java-Madura in 1929-1931? 3) What was the reaction of Muslims to the Marriage Ordinance policy in Java-Madura in 1929-1931?

To answer these questions , this study takes a historical approach that aims to describe the events that occurred in 1929-1931 in Java and Madura when Islamic political policy applies Indies marital problems of Muslims. By using the structural-functional theory and the theory of conflict, which is used to explain how the colonial government structurally supervise and control the natives to remain subject, and to know how the Muslims as a result of the policy implemented.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

MOTTO ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 6

F. Penelitian Terdahulu ... 9

G. Metode Penelitian ... 10

(9)

BAB II POLITIK ISLAM PEMERINTAH HINDIA-BELANDA

A. Kebijakan Netral Terhadap Agama ... 17

B. Kebijakan Politik Asosiasi ... 23

C. Kebijakan Politik Pengawasan ... 27

BAB III SEJARAH PERKAWINAN DI MASA KOLONIAL BELANDA

A. Pembentukan Peradilan Agama ... 31

B. Penghuludi Masa Kolonial ... 38

C. Perjalanan Hukum Perkawinan Islam Pada Masa Kolonial ... 47

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAP PERKAWINAN MUSLIM DI JAWA-MADURA

A. Latar Belakang Dikeluarkannya Kebijakan Ordonansi Perkawinan di

Jawa-Madura Tahun 1929-1931 ... 56

B. Kebijakan Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura Tahun 1929-1931

... 59

C. Reaksi Umat Islam Terhadap Kebijakan Ordonansi Perkawinan di

Jawa-Madura Tahun 1929-1931 ... 64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 69

(10)

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah Indonesia mencatat bahwa negara kita ini telah mengalami

masa kolonialisasi selama tiga setengah abad yaitu baik oleh kolonial

Belanda maupun kolonial Jepang. Dalam kurun waktu sedemikian panjang

itu pastinya ada dampak yang diterima bangsa Indonesia sebagai

konsekwensi masa penjajahan. Pada masa penjajahan Belanda, berbagai

macam kebijakan telah diterapkan guna pembatasan dan pelemahan gerak

bangsa Indonesia baik dalam bidang politik, pendidikan maupun sosial.

Tujuan diadakannya kebijakan pembatasan ini, tidak lain untuk

mempertahankan kestabilan wilayah kekuasaan atau jajahannya.

Sebagaimana disebutkan oleh Aqib Suminto, bahwa dalam

mempertahankan kekuasaannya, setiap pemerintah kolonial selalu

berusaha memahami hal ihwal penduduk pribumi yang dikuasainya,

sehingga kebijaksanaan mengenai Pribumi (Inlandsch Politiek) sangat

besar artinya dalam menjamin kelestarian kekuasaan tersebut.1

Dalam rencana penelitian ini saya akan memfokuskan pembahasan

mengenai salah satu kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda yang

ditujukan kepada umat Islam dalam bidang sosial keagamaannya yaitu

(12)

2

terkait masalah ordonansi2 perkawinan Muslim di Jawa-Madura pada

tahun 1929-1931. Saya tertarik membahas masalah ini, karena menurut

saya terdapat ketimpangan antara teori dan praktik dari pihak Belanda

dalam menetapkan kebijakan politiknya terhadap pribumi, khususnya

pribumi Muslim. Politik Etis yang digaungkan pun tidak terlepas dari

segala kepentingan pemerintah Belanda yang sepenuhnya secara nyata

tidak memihak pribumi Muslim.

Pada tahun 1855, pemerintah Belanda melalui Undang-undang

Dasar Belanda ayat 119 tahun 1855 menyatakan sebagai pemerintahan

yang bersikap netral terhadap agama. Pengertian netral agama dalam hal

ini seharusnya tidak memihak dan tidak campur tangan sama sekali, atau

bisa juga membantu kesemuanya secara seimbang tanpa mencampurinya.

Namun, dalam praktiknya pemerintah Belanda bisa dikatakan masih

sangat mengintervensi daripada bersikap netral, meskipun campur tangan

terhadap Islam dan Kristen berbeda dalam jenis kualitas dan kuantitasnya.

Hal ini jelas terlihat dalam berbagai diktum keputusan pemerintah yang

tercantum dalam Regeerings Almanak, serta pada ketidakseimbangan

pemberian aneka dana yang diberikan pemerintah kolonial kepada agama

Islam dan Kristen, yang mana Belanda lebih berpihak kepada agama

Kristen.

Sikap Belanda yang demikian, terkesan hanya memberikan angin

segar saja untuk pribumi Muslim. Kebijakan netral terhadap agamapun

(13)

3

hanya gaungan-gaungan semata, sehingga pada pelaksanaannya

pemerintah Belanda tetap berperan aktif dalam mengatur dan membatasi

masalah keagamaan pribumi, khususnya agama Islam yang dikhawatirkan

akan mengancam kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, maka

muncul berbagai kebijakan terhadap agama melalui ordonansi-ordonansi,

seperti ordonansi yang mengatur masalah haji pada tahun 1859, ordonansi

guru pada tahun 1905, serta ordonansi perkawinan di Jawa-Madura pada

tahun 1929 dan untuk di luar Jawa pada tahun 1932.3

Selainitu, berbagai usaha guna menjaga keamanan dan ketertiban

dilakukan oleh pemerintah kolonial, dalam kaitannya ini yaitu dengan

melalukan pengawasan juga terhadap lembaga hukum umat Islam yaitu

terhadap peradilan agama yang kemudian diaresmikan dengan nama

Preisterraad pada tahun 1882. Sehingga kewenangan umat Islam untuk

mengatur masalah hukum berdasarkan sumber hukum Islam menjadi

terganggu, sebab pada saat itu preisterraad berada di bawah kewenangan

landraad atau pengadilan negeri milik pemerintah Belanda.

Dengan munculnya beberapa ordonansi dan kebijakan pembatasan

tersebut, maka umat Islam terpancing pula reaksinya sebagai tanggapan

kebijakan tersebut. Reaksi-reaksi tersebut disampaikan oleh para pejuang

muslim melalui buku atau surat kabar, atau juga melalui langkah kerja

organisasi muslim, seperti Sarekat Islam (SI) pada tahun 1924 sampai

1927 yang memperjuangkan agar semua peraturan tentang Islam ditarik

3Staatsblad van Nederlandsch Indie, Batavia, tahun 1929 no. 348; yang diubah oleh Staatsblad

(14)

4

dari wewenang Belanda, dan Partai Syarikat Islam Indonesia yang

merencanakan membentuk front bersama dengan organisasi-organisasi

Islam lainnya untuk menolak gagasan pemerintah kolonial tentang

Undang-undang Perkawinan, tetapi sayang gagasan ini tidak dapat

direalisasikan sebab perintah dari Adviseur voor Inlandsche zaken.

Dalam bukunya Aqib, disebutkan bahwa reaksi yang paling tajam

yang diberikan umat Islam terhadap ordonansi Belanda memang lebih

kepada masalah Ordonansi Perkawinan, sehingga sampai disebut oleh

Pijper sebagai “bukti kekuatan Islam”. Hal ini, menunjukkan bahwa pada

masa itu masalah perkawinan yang seharusnya cukup diserahkan kepada

pemeluk agama Islam itu sendiri, memiliki peranan yang bagi pihak

Belanda cukup “mengancam” atau “ditakuti”, sehingga sampai pada

keputusan perlunya membuat sebuah peraturan pemerintah khusus yang

menangani masalah perkawinan (Ordonansi Perkawinan) yang seharusnya

dapat diselesaikan secara intern oleh agama Islam sendiri dengan pedoman

(15)

5

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul mengenai “Politik Islam Hindia-Belanda:

KebijakanOrdonansi Perkawinan di Jawa-Madura Tahun 1929-1931”,

maka penulis menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan politik Islam pemerintah Hindia Belanda

terhadap Muslim Nusantara?

2. Mengapa pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Kebijakan

Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura pada tahun 1929-1931?

3. Bagaimana reaksi umat Islam terhadap Kebijakan Ordonansi

Perkawinan di Jawa-Madura pada tahun 1929-1931?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan yang ingin

penulis sampaikan, antara lain:

1. Untuk mengetahui kebijakan politik Islam pemerintah Hindia Belanda

terhadap Muslim Nusantara.

2. Untuk mengetahui alasan/penyebab pemerintah Hindia Belanda

mengeluarkan Kebijakan Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura pada

tahun 1929-1931.

3. Untuk mengetahui reaksi umat Islam terhadap Kebijakan Ordonansi

(16)

6

D. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Secara Akademik (Praktis)

a. Hasil daripada penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber

informasi bagi penelitian di bidang kesejarahan.

b. Memberikan kontribusi wacana bagi perkembangan

perbendaharaan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang

sejarah.

2. Secara Ilmiah (Teoritis)

a. Untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar S1 pada jurusan

Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

b. Untuk memperkaya kajian sejarah nasional terutama terkait

Politik Islam Hindia-Belanda yang diterapkan bagi pribumi Islam

bangsa Indonesia, khususnya mengenai kebijakan Ordonansi

Perkawinan di Jawa-Madura pada tahun 1929-1931.

E. Pendekatan dan Kerangka Teori

Penulis menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya

untuk mempermudah membantu ilmu sejarah memecahkan masalah.

Menurut Sartono Kartodirdjo, penggambaran kita mengenai suatu

peristiwa sangat bergantung pada pendekatan, yaitu dari segi mana kita

(17)

7

yang diungkapkan, dan sebagainya.4 Dengan pendekatan tersebut maka

akan memudahkan penulis untuk merelasikan antara ilmu sosial sebagai

ilmu bantu dalam penelitian sejarah.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan historis, yang bertujuan untuk mendeskripsikan peristiwa

yang terjadi pada masa lampau. Dengan menggunakan pendekatan

historis maka penulis dapat menjelaskan bagaimana kondisi sosial dan

politik Jawa-Madura tahun 1929-1931, kebijakan ordonansi perkawinan

yang diterapkan Hindia-Belanda sebagai langkah politik Islamnya, serta

respon para intelektual Islam menanggapi penerapan kebijakan ordonansi

perkawinan tersebut.

Adapun dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teori.

Teori merupakan pedoman guna mempermudah jalannya penelitian dan

sebagai pegangan pokok bagi peneliti disamping sebagai pedoman, teori

adalah salah satu sumber bagi peneliti dalam memecahkan masalah

penelitian.5 Dalam penelitian ini, yang penulis gunakan yaitu teori

Struktural Fungsional serta teori Konflik. Di mana menurut teori

Struktural Fungsional, masyarakat sebagai sistem memiliki struktur yang

terdiri dari banyak lembaga, di mana masing-masing lembaga memiliki

fungsi sendiri-sendiri. Struktur dan fungsi, dengan kompleksitas yang

4Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia,

1993), 4.

5Djarwanto, Pokok-pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penelitian Skripsi (Jakarta: Liberty,

(18)

8

berbeda-beda ada pada setiap masyarakat baik masyarakat modern

maupun masyarakat primitif. Pendekatan struktural fungsional ini juga

bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Untuk itu, penulis

menggunakan pendekatan teori ini guna menganalisa kebijakan yang

diberlakukan oleh kolonial Belanda pada tahun 1929 hingga 1931

menyangkut Ordonansi Perkawinan bagi Muslim Jawa-Madura. Karena,

ketika suatu penguasa memberlakukan suatu peraturan tidak terlepas dari

perannya sebagai pemegang posisi teratas dari suatu sistem yang disebut

negara. Dengan ini, akan diketahui bagaimana penguasa tersebut

menerapkan kebijakan guna mencapai keteraturan sosial masyarakat di

Indonesia khususnya di Jawa-Madura pada kurun waktu tersebut.

Sedangkan teori Konflik merupakan teori yang mengatakan

bahwa konflik itu perlu agar tercipta perubahan sosial. Selain itu menurut

teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan’. Ini maksudnya,

keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya

paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya

dengan dominasi, koersi, dan power. Teori ini penulis gunakan untuk

menganalisa keadaan ketika kebijakan Belanda tersebut diberlakukan

yang pastinya menimbulkan suatu permasalahan sosial baik berupa

(19)

9

F. Penelitian Terdahulu

Kajian dan penelitian tentang Politik Islam Hindia-Belanda sudah

pernah dituliskan oleh beberapa mahasiswa dan sejarahwan, baik dalam

bentuk buku maupun skripsi. Namun, pembahasan mengenai “Politik

Islam Hindia-Belanda: Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura thun

1929-1931” masih belum ada. Adapun beberapa penelitian terdahulu tentang

Politik Islam Hindia-Belanda antara lain:

1. Skripsi oleh Miftahul Jannah, “Politik Hindia Belanda Terhadap Umat

Islam di Indonesia”. Dalam skripsi mahasiswa jurusan Sejarah dan

Kebudayaan Islam UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut membahas

tentang kondisi umat Islam pada masa kolonial Belanda serta

perlawanannya terhadap penjajah secara umum. Selain itu, lebih

ditekankan pada kebijakan politik Hindia Belanda yang dipelopori oleh

Snouck Hurgronje.

2. Buku karangan Aqib Suminto, “Politik Islam Hindia Belanda”. Dalam

buku tersebut dijelaskan tentang kebijaksanaan politik pemerintah

Hindia Belanda tentang Islam secara menyeluruh dan organisasi Het

Kantoor voor Inlandsche zaken, sedangkan untuk pembahasan

Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura hanya disbutkan tanpa ada

(20)

10

G. Metodologi Penelitian

Untuk memudahkan dalam penyusunan penelitian ini, maka

penulis menggunakan empat metode penulisan sejarah yaitu heuristik

(pengumpulan sumber), verifikasi (kritik), interpretasi (penafsiran), dan

historiografi (penulisan sejarah). Tahapan-tahapan metode penelitian

sejarah akan dijelaskan sebagai berikut:6

1. Heuristik (pengumpulan data), adalah kegiatan untuk mencari data atau

menghimpun bahan-bahan sumber sejarah. Sumber sejarah adalah

segala sesuatu yang berlangsung atau tidak langsung menceritakan

tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lampau.7

Metode heuristik merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh

peneliti. Adapun metode yang ditempuh dalam menghimpun data-data

sumber sejarah dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

sumber data tertulis baik berupa sumber primer maupun sumber

sekunder.

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah sumber yang ditulis oleh pihak yang

terlibat langsung dalam peristiwa sejarah atau pihak yang menjadi

saksi mata peristiwa sejarah. Sumber primer yang digunakan

penulis untuk penelitian ini adalah arsip yang dibukukan oleh

Pemerintah Hindia-Belanda berupa kumpulan perundang-undangan

yaitu:

(21)

11

(a) Staatsblad van Nederlandsch Indie, Batavia, tahun 1929 no. 348.

(b) Staatsbladvan Nederlandsch Indie, Batavia, tahun 1931 no. 467.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder digunakan sebagai pendukung dalam penelitian

ini. Sumber-sumber tersebut didapatkan dari beberapa buku

maupun literatur yang berkaitan dengan tema yang penulis bahas.

1) Buku “Politik Islam Hindia Belanda”, karya Aqib Suminto pada

tahun 1996.

2) Buku “FragmentaIslamica”, karya G. F. Pijper pada tahun 1987.

3) Buku “Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa

Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia-Belanda

1889-1936”, karya E. Gobee dan C. Andriaanse tahun 1992.

4) Buku “Sejarah Indonesia Modern”, karya M. C. Ricklefs tahun

2011.

5) Buku “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”, karya

Deliar Noer pada tahun 1988.

2. Verifikasi (kritik), sumber-sumber yang telah diperoleh dalam tahap

heuristik perlu diadakan proses seleksi dengan cara melakukan kritik

sumber. Kritik sumber merupakan usaha untuk mendapatkan

sumber-sumber yang relevan dengan cerita sejarah yang ingin disusun. Selain

(22)

12

dari sejumlah prinsip-prinsip untuk menilai atau menguji kebenaran

nilai-nilai sejarah dalam bentuk aslinya dan menerapkan pengertian

sebenarnya. Kritik sumber terdiri dari dua jenis yaitu kritik ekstern dan

kritikintern. Kritikekstern adalah proses untuk melihat apakah sumber

yang didapatkan tersebut asli atau tidak, sedangkan kritik intern adalah

upaya yang dilakukan untuk melihat apakah isi sumber tersebut layak

dipercaya kebenarannya atau tidak.

3. Interpretasi (penafsiran), yaitu menetapkan makna yang saling

berhubungan atau menafsirkan fakta-fakta sejarah yang telah

diperoleh. Tujuannya agar fakta yang ada mampu untuk mengungkap

permasalahan yang ada, sehingga diperoleh pemecahannya. Dalam

tahap ini penulis membandingkan fakta yang satu dengan fakta yang

lain, sehingga dapat ditetapkan makna dari fakta yang diperoleh untuk

menjawab permasalahan yang ada.

4. Historiografi(penulisan sejarah), adalah tahap akhir metode penulisan

sejarah yang menyajikan cerita dan dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. Penulisan dalam

penelitian ini juga menggunakan metode penulisan sejarah secara

kronologis (penyusunan sejumlah kejadian atau peristiwa). Hal ini

terlihat dari pengambilan bahasan pada rentang waktu tahun

1929-1931. Pada tahun tersebut terjadi perubahan sikap pemerintah kolonial

(23)

13

serangkaian kebijakan politik Islam, salah satunya yaitu Ordonansi

Perkawinan di Jawa-Madura.

I. Sistematika Pembahasan

Secara umum sistematika pembahasan disusun untuk

mempermudah pemahaman terhadap penulisan ini, dimana akan

dipaparkan tentang hubungan antara bab demi bab. Untuk lebih jelasnya di

bawah ini akan dijelaskan beberapa bab yang akan dibahas:

Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II Menjelaskan tentang beberapa kebijakan politik Islam yang

diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, seperti kebijakan

netral terhadap agama, kebijakan politik asosiasi dan kebijakan

politik pengawasan.

Bab III Menjelaskan tentang sejarah perkawinan pada masa kolonial

Belanda, seperti pembentukan Peradilan Agama, Penghulu dan

Peranannya, serta bagaimana perjalanan hukum perkawinan

Islam di masa kolonial.

Bab IV Menjelaskan tentang Kebijakan Ordonansi Perkawinan di

Jawa-Madura pada Tahun 1929-1931, seperti latar belakang

(24)

14

ordonansi tersebut, serta bagaimana reaksi umat Islam terhadap

dikeluarkannya ordonansi perkawinan tersebut.

Bab V Berisi tentang kesimpulan-kesimpulan pembahasan dari awal

(25)

15

BAB II

POLITIK ISLAM PEMERINTAH HINDIA-BELANDA

Sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap bangsa Indonesia pada dua

dasawarsa terakhir abad ke-19 hingga dua dasawarsa awal abad ke-20, mengalami

gejolak yang signifikan.Hal ituterjadi sebab pada masa tersebut dikenal sebagai masa

puncak abad imperialisme, yang merupakan masa keemasan bagi bangsa-bangsa yang

bernafsu membentuk kekaisaran.1

Di Indonesia, Belanda menghadapi kenyataan bahwa mayoritas penduduk

yang dijajahnya di kepulauan Nusantara ini merupakan beragama Islam. Sehingga

dalam menghadapi rakyat Indonesia Belanda memerlukan senjata berupa

pengetahuan yang mendalam mengenai Islam. Sebab tidak dipungkiri bahwa

beberapaperlawanan yang timbul di berbagai daerah seperti perang Paderi

(1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lain-lainnya,

pada kenyataannya tidak terlepas dari pengaruh ajaran agama Islam. Namun, karena

pada masa itu Belanda belum memiliki pengetahuan yang tepat tentang Islam, maka

mula-mula Belanda mengambil sikap aman dengan tidak mencampuri urusan agama

Islam secara langsung, karena khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang

Islam yang fanatik, tetapi di lain pihak Belanda masih berharap dan sangat percaya

(26)

16

diri bahwa proses kristenisasi yang terus berjalan mampu menyelesaiakan segala

persoalan sehingga proses kolonialisasi dapatdapat terus berlangsung.2

Dengan demikian pemerintah Belanda tidak memiliki kebijaksanaan yang

jelas mengenai persoalan Islam.Hal ini karena, selain Belanda tidak memiliki cukup

pengetahuan yang mendalam mengenai Islam dan bahasa Arab, mereka juga belum

mengetahui sistem sosial yang ada dalam Islam. Sehingga Belanda enggan dalam

memberikan bantuan dana bagi kegiatan umat Islam seperti pembangunan suatu

masjid. Namun, kebijaksanaan untuk tidak mencampuri agama ini nampak tidak

konsisten, karena tidak adanya batasan yang jelas. Misalnya dalam masalah haji,

pemerintah kolonial berusaha untuk memberikan batasan-batasan kepada orang-orang

Islam di Indonesia yang pergi naik haji ke Mekkah, karena mereka dianggap sebagai

biang keladi penyebaran agitasi dan pemberontakan di Indonesia3. Di sinilah terlihat

bahwa kebijaksanaan Belanda tidak mencampuri urusan agama hanya bersifat

sementara, karena belum dikuasainya masalah Islam sepenuhnya.

Setelah kedatangan seorang Belanda yang ahli mengenai Islam bernama

Snouck Hurgronje pada tahun 1889, barulah pemerintah Hindia Belanda memiliki

kebijaksanaan yang jelas mengenai masalah Islam. Melalui Snouck Hurgronje

pemerintah Hindia Belanda memperoleh banyak pengetahuan mengenai Islam,

sehingga mampu melawan ketakutan terhadap potensi kekuatan Islam.Sebagai

2Ibid., 9.

(27)

17

kolonialis, pemerintah Belanda memerlukan inlandsch politiek, yakni kebijaksanaan

mengenai pribumi, untuk memahami dan menguasai pribumi. Untuk itu, Snouck

Hurgronje dengan ide politik Islam yang ditawarkannya, berhasil menemukan seni

memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar muslim itu. Dialah “arsitek

keberhasilan politik Islam yang paling legendaris,” yang melengkapi pengetahuan

Belanda tentang Islam terutama bidang sosial dan politik.

Melalui Snouck, ketidaktahuan Belanda tentang ancaman yang diberikan

Islam akhirnya mampu mereka ketahui, yaitu pengetahuan bahwa musuh

kolonialisme yang sesungguhnya merupakan bukan Islam sebagai agama, melainkan

Islam sebagai doktrin politik. Berdasarkan pengetahuan inilah, Belanda mulai jelas

dan tegas dalam membuat kebijakan terhadap Islam dengan berpedoman pada tiga

pilar politik Islam milik Snouck Hurgronje, yakni: 1. Terhadap dogma agama dan

perintah hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah bersikap netral. 2.

Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam, menuntut penghormatan.

3. Tiada satu pun bentuk Pan Islam boleh diterima oleh kekuasaan Eropa.4 Di bawah

ini, pembahasan lebih lanjut mengenai kebijakan politik Islam pemerintah Belanda

yang dititikberatkan pada tiga masalah di atas:

A. Kebijakan Netral Terhadap Agama

Sikap pemerintah Hindia dalam menghadapi kenyataan bahwa mayoritas

masyarakat Indonesi meruopakan muslim, tidak terlepas dari usul-usul Snouck

(28)

18

Hurgronje yang dalam hal ini membagi Islam ke dalam dua golongan yakni Islam

religius dan Islam politik. Untuk menghadapi golongan yang pertama yakni Islam

religius, pemerintah Belanda disarankan untuk toleransi dan tidak mencampuri

urusan keagamaan, karena pada Islam religius ini tidak dikhawatirkan muncul

ancaman yang mengganggu stabilitas dan keamanan5. Untuk itu pemerintah

Belanda mengeluarkan Undang-Undang Hindia Belanda ayat 119 RR yang

berbunyi bahwa: “setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak

kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan

umum hukum agama”.

Namun, karena latarbelakang hubungan Belanda dengan Pribumi ini tidak

terlepas dari hubungan sesama umat beragama yakni antara pemerintah Belanda

yang umumnya beragama Kristen dan penduduk pribumi yang beragama Islam,

ditambah lagi dengan hasrat yang menggebu dari pemerintah Belanda yang ingin

tetap menguasai bangsa Indonesia, mengakibatkan pemerintah kolonial tidak akan

mampu memperlakukan agama pribumi sama dengan agamanya sendiri. Dengan

demikian, karena latar belakang inilah diketahui bahwa mengapa sering terjadi

diskriminasi dalam kebijaksanaan yang berhubungan dengan agama, meskipun

telah dinyatakan bahwa pemerintah Belanda bersikap netral terhadap agama. Oleh

karena itu, untuk mengupas lebih dalam mengenai kebijakan netral terhadap

agama ini patut kita ketahui mengenai kedudukan Islam dan Kristen, serta sikap

netral pemerintah Belanda baik teori maupun praktinya.

(29)

19

1. Islam dan Kristen

Pada dasawarsa terakhir abad ke-19 pada parlemen Negara Belanda

terjadi persaingan yang sengit antara partai agama dan partai

nonagama.Persaingan ini terkait seberapa banyak masing-masing partai

mampu memperoleh suara dalam pemilihan sebagai partai penguasa. Di mana

pada masa ini partai nonagamalah yang memperoleh kemenangan dalam

parlemen Belanda. Namun, pada peralihan abad ke-20 kemenangan beralih ke

tangan partai agama yang berlanjut hingga tahun-tahun selanjutnya yakni pada

tahun 1905, 1913 hingga selesainya Perang Dunia Kedua. Dengan demikian

tampuk kekuasaan yang selama lima puluh tahun dipegang oleh partai

nonagama yang Liberal berhasil diambil alih oleh partai agama yang

mengakibatkan golongan agama semakin kuat dan membawa pemerintahan

Belanda ke prinsip Kristen.

Dengan berkuasanya kembali partai agama, maka semangat zending

mulai digalakkan lebih giat lagi. Hingga pada tahun 1909 Gubernur Jenderal

Idenburg yang berkuasa sampai tahun 1916, menyatakan bahwa “Belanda

akan tetap menguasai Indonesia sampai agama Kristen menjadi agama bangsa

Indonesia”. Sejak tahun 1909 inilah berbagai organisasi Kristen sangat cepat

meningkatkan kegiatannya di Indonesia, hal ini tidak lain karena dukungan

penuh yang diberikan pemerintah Belanda kepada para missionaris. Sampai

pada awal abad ke-20, dukungan pemerintah Belanda terhadap kristenisasi

(30)

20

daerah yang nilai Islamnya lemah. Sedangkan bagi daerah yang nilai

Islamnya kuat seperti daerah Aceh misalnya, penasehat pemerintah Belanda

seperti Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkannya kristenisasi. Karena

bagi Snouck, umtuk menghadapi Islam yang kuat maka diperlukan cara yang

halus, yaitu dengan menyalurkan semangat orang Islam kearah yang menjauhi

agama Islam melalui asosiasi kebudayaan.

Bahkan menurut R. A. Kern, agama Islam harus dihadapi dengan

cara membawa pemeluknya ke tingkat yang lebih tinggi, karena menurutnya

semua peraturan Islam dinilainya merupakan tangan paling besar bagi

kemajuan. Namun, kemajuan yang diharapkan dapat mengalihkan pandangan

orang Islam agar lalai dari ajaran Islam yang dianutnya, nampaknya justeru

membawa masyarakat Indonesia ke dalam kemajuan, karena ternyata dalam

banyak hal ajaran agama Islam mengakibatkan perubahan dan modernisasi,

sehingga pemerintah Belanda berjuang untuk membatasi pengaruh Islam itu

dengan mendukung kepala adat dan menggalakkan rasa kedaerahan. Tetapi di

luar dugaan pemerintah Belanda, dengan digalakkannya rasa kedaerahan

justeru membantu penyebaran agama Islam dan pengaruhnya di seluruh

Indonesia.Selain itu, akibat yang ditimbulkan dari kegiatan kristenisasi ini

yaitu kebangkitan Islam. Di mana ulama-ulama daerah yang sebelumnya

merasa tenang dengan ibadahnya tanpa merasa ada ancaman, menjadi

(31)

21

Berdasarkan hal tersebut, nampak jelas bahwa persaingan antara

pemerintah Belanda, Kristen dan Islam bukanlah persaingan segitiga

melainkan persaingan yang bersifat dua lawan satu, yakni di mana pemerintah

Belanda berkoalisi dengan Kristen untuk menghadapi Islam.Karena sebagian

besar penduduk Indonesia beragama Islam, maka penguasaan masalah Islam

adalah kunci pemecahan bagi terciptanya kelanggengan kolonialisasi. Oleh

karena itu, diakui bahwa “ kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses

penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan seperkutuan bagi pemrintah

kolonial”. Sehingga pemerintah Belandan akan membantu semua masalah

yang dihadapi dalam kegiatan perluasan zending.

2. Netral Teori dan Praktik

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda untuk bersikap netral terhadap

agama ini tertuang dalam Undang-undang Dasar Belanda ayat 119 tahun 1885

yang menyatakan bahwa pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan

beragama dan menyatakan netral dalam masalah agama, kecuali bila aktivitas

agama tersebut dinilai mengganggu ketertiban keamanan. Jika sepintas

dipahami makna netral terhadap agama tersebut, pastinya yang terbesit yakni

keengganan pemerintah Belanda untuk tidak memihak dan tidak ikut campur

tangan sama sekali terhadap semua agama yang ada di Indonesia kala itu.

Namun kenyataaan yang didapatkan tidak sesuai isi teks undang-undang yang

(32)

22

konsisten terhadap kebijakan yang dikeluarkannya sendiri. Hal ini tercermin

dalam kebijakan yang dikeluarkan bagi masyarakat Indonesia sebagaimana

berikut ini:

a. Terhadap masyarakat animis, pemerintah Belanda melarang

kebiasaan-kebiasaan tertentu mereka, misalnya: menjadikan manusia sebagai kurban

pemujaan, perang balas dendam, potong kepala, dan sebagainya.

b. Terhadap masyarakat Hindu, pemerintah Belanda melarang kebiasaan

yang mewajibkan seorang janda membakar diri ketika suaminya

meninggal.

c. Terhadap Islam, pemerintah Belanda tidak berkenan ikut campur dalam

urusan pembangunan masjid, tetapi bersikap sangat waspada dan penuh

curiga terhadap para haji, sehingga pada tahun 1859 pemerintah Belanda

mengeluarjan suatu ordonansi yang mengatur masalah ibadah haji lebih

ketat dari sebelumnya.

d. Sedangkan terhadap Kristen, pemerintah Belanda bersikap sangat peduli

terutama dalam hal pemberian bantuan bagi kegiatan keagamaan Kristen

yang seringkali sangat tidak adil antara agama yang lainnya. Misalnya

bantuan untuk Kristen berjumlah f. 1.666.300,-; sedangkan untuk Islam

hanya berjumlah f. 3.950,-;.

Berdasarkan kenyataan di atas, kebijakan netral terhadap agama yang

(33)

23

kesinambungan. Di mana dalam teori pemerintah Belanda seakan-akan tidak mau

ikut campur tangan terhadap urusan semua agama, namun pada kenyataannya

pemerintah Belanda nampaknya tidak dapat menahan diri untuk terus mengatur

dan mengawasi setiap gerak-gerik masyarakat jajahannya dengan berbagai siasat

yang dikeluarkan baik melalui kebijaksanaan ataupun berbagai ordonansi. Hal ini

dilakukan oleh pemerintah Belanda, karena memang pemerintah Belanda tidak

benar-benar bersikap netral pada semua agama, tujuannya yakni demi

terpeliharanya ketertiban keamanan dan demi kelestarian kekuasaannya di

Indonesia.6

B. Kebijakan Politik Asosiasi

Jika kita menilik kembali pada primsip politik Islam milik Snouck

Hurgronje di bidang kemasyarakatan adalah pemerintah Belanda hendaknya

memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat Indonesia untuk digalakkan mendekati

adat, kebiasaan atau budaya Belanda. Sehingga jika nanti telah didapati bahwa

pribumi telah menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda, maka tujuan

pemerintah Belanda untuk menguasai Islam dapat tercapai, yakni apabila orang

Islam telah terbiasa dengan kebudayaan Belanda berarti mereka telah berhasil

lepas dari batasan yang dibuat oleh aturan Islam, karena bagi pemerintah Belanda

melalui aturan-aturan Islam itulah dikhawatikan pribumi Islam dapat melawan

(34)

24

kekuasaannya. Berikut ini kebijakan pemerintah Belanda terkait politik asosiasi

terhadap masyarakat Indonesia:

1. Asosiasi dan Pemanfaatan Budaya

Istilah asosiasi sering digunakan dalam pengertian yang sama dengan

istilah asimilasi, namun sebenarnya ada perbedaan makna dari kedua istilah

ini, yaitu jika “asosiasi”lebih bersifat mempertemukan antara dua negeri yang

berbeda sebagai teman, maka “asimilasi” cenderung untuk menyatukan

kedudukannya. Politik asosiasi ini memiliki tujuan untuk memperkuat ikatan

antara negeri jajahan dengan negeri penjajahnya melalui pemanfaatan

kebudayaan, di mana lapangan pendidikan menjadi garapan utamanya.

Dengan adanya asosiasi ini maka Indonesia bias memanfaatkan kebudayaan

Belanda tanpa mengabaikan kebudayaannya sendiri.

Usaha yang dilakukan pemerintah Belanda ini dimaksudkan untuk

memperkuat ikatan antara daerah jajahan dengan negara penjajahnya yang

tidak terlepas dari usaha untuk memperkukuh eksistensi penjajahan itu

sendiri. Di mana, konsep asosiasi sendiri adalah produk tipikal pada masa itu

yang diharapkan mampu menjembatani jurang yang memisahkan antara

Timur dan Barat dalam hal kultural.7 Sedangkan, langkah asosiasi yang

diambil oleh pemerintah Belanda yaitu dengan mengabulkan keinginan orang

Indonesia memperoleh pendidikan, yang menurut Snouck Hurgronje jika

(35)

25

pribumi memperoleh pendidikan maka akan menjamin kekalnya loyalitas

mereka terhadap pemerintah Belanda.

Penerapan politik asosiasi ini pada hakekatnya bukanlah berarti

pengembangan seluruh masyarakat pribumi, karena pada kenyataanya tidak

semua pribumi disentuh oleh kebijakan politik asosiasi ini. Dalam paraktiknya

yang berhasil disentuh hanya beberapa individu yang diusahakan untuk

terlepas dari masyarakat pribuminya.Sebagaimana dengan diterapkannya

kebijakan pendidikan anak-anak bangsawan yang diprakarsai oleh Snouck

Hurgronje, di mana yang mampu merasakan pendidikan hanyalah putra-putra

bangsawan saja. Tujuan dari Snouck Hurgrinje untuk memasukkan anak

pribumi ke dalam sekolah Belanda ini ialah untuk dijadikan kader pribumi

yang disiapkan menjadi pemimpin bangsanya yang berasosiasi dengan

Belanda.8

2. Asosiasi Pendidikan

Untuk melancarkan siasat politik Islamnya, pemerintah Hindia

Belanda memberikan kesempatan bagi pribumi untuk mengenyam pendidikan

dengan memberikan kebijaksanaan asosiasi pendidikan bagi daerah

jajahannya.Meskipun yang dapat menikmati pendidikan hanya anak-anak dari

kalangan tertentu yaitu kalangan bangsawan dengan materi pendidikan yang

diberikan ialah pendidikan Barat.

(36)

26

Melalui pemberian pendidikan bagi pribumi ini pemerintah Belanda

berharap bahwa anak-anak bangsawan yang telah dididik dengan pendidikan

ala Barat itu mampu menjadi tangan kanannya, sehingga mampu

mengendalikan masyarakat Indonesia agar eksistensi kolonialisasi dapat terus

berjalan. Namun, seiring berjalannya waktu pemerintah Belanda menyadari

bahwa pendidikan akan menjadi dinamit yang sewaktu-waktu akan meledak

menjadi perlawanan bagi penjajahan yang mereka lakukan. Oleh karena itu,

pemerintah Belanda pada tahun-tahun selanjutnya lebih memperjelas langkah

pengawasan pada asosiasi pendidikan yang diberikan dengan melakukan

pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam yang semakin

berkembang.9Selain itu, pemerintah kolonial juga mengeluarkan

kebijaksanaan berupa ordonansi guru dan ordonansi sekolah liar.

Kekahawatiran pemerintah Belanda ini, dapat dimaklumi sebab

kelestarian penjajahan merupakan impian yang diharapkan dapat terwujud,

sehingga berbagai siasat politik mereka lancarkan baik berupa angin segar

seperti pemberian pendidikan yang tidak jarang juga dengan batasan dan

pengawasan sebagai satu paket kebijakan. Terlebih lagi jika melihat

kenyataan bahwa mayoritas masyarakat yang dijajahnya merupakan

orang-orang Islam, maka kebijaksanaan di bidang pendidikan menempatkan Islam

sebagai saingannya. Sehinga pada tahun 1905 dikeluarkanlah suatu

peraturantentang pendidikan agama Islam yang disebut dengan Ordonansi

(37)

27

Guru, dan dinyatakan berlaku untuk Jawa Madura kecuali Yogyakarta dan

Solo.

Sedangkan pada tahun 1923, dengan dikeluarkannya Ordonansi

Pengawasan oleh pemerintah Belanda, maka aktivitas pendidikan ikut

terpengaruh dengan semakin terbatasnya pribumi untuk mendapatkan

pendidikan yang semula cenderung mudah didapatkan melalui sekolah swasta

milik masyarakat Indonesia.10Namun, karena dirasa mengancam stabilitas

kolonialisasi, mengakibatkan pemerintah belanda mengambil langkah tegas

dengan mengeluarkan peraturah bahwa “setiap orang yang hendak mendirikan

suatu lembaga pendidikan, harus memberitahukan maksudnya secara tertulis

kepada kepala daerah setempat, dengan menyebutkan cara pengajaran dan

tempat mengajarnya”.

C. Kebijakan Politik Pengawasan

Sebagaimana prinsip politik Islam Snouck Hurgronje, bahwa pemerintah

Hindia Belanda tidak boleh mentolerir timbulnya gerakan fanatisme Islam yang

dinilianya berpotensi menggoyahkan kekuasaannya. Untuk itu dalam hal ini

pemerintah Belanda sangat mengawasi setiap gerakan orang Islam yang

dipandang sebagai gerakan fanatik Islam seperti Pan Islam dan Tarekat. Kedua

gerakan tersebut dianggap oleh pemerintah Belanda sebagai gerakan berbahaya

yang akan mengancam eksistensinya di bumi Nusantara. Sehingga pemerintah

(38)

28

Belanda dalam mengeluarkan kebijaksanaan, terkadang nampak sebagai suatu

bentuk kewaspadaan dan reaksi dari kecurigaan yang berlebihan.

1. Gerakan Tarekat

Pemerintah Hindia Belanda memang sejak lama sangat khawatir

dan penuh curiga jika terdapat orang-oraang Islam yang berkelompok

membentuk suatu majelis perkumpulan. Hal demikian ini disebabkan oleh

rasa ketakutan pemerintah kolonial terhadap tarekat, karena mereka yakin

bahwa gerakan tarekat akan digunakan sebagai basis kekuatan untuk

memberontak oleh pemimpin-pemimpin fanatik Islam.11 Ketakutan

pemerintah Belanda ini terlihat jelas pada beberapa peristiwa seperti:

peristiwa Cianjur Sukabumi pada tahun 1885, peristiwa Cilegon Banten pada

tahun 1888 dan peristiwa Garut pada tahun 1919.

Pada kenyataanya penyebab meletusnya peristiwa-peristiwa

tersebut ialah tidak sepenuhnya disebabkan oleh menyimpangnya gerakan

tarekat seperti yang dikhawatirkan pemerintah Belanda mampu menimbulkan

kekacauan ataupun suatu gerakan pemberontakan. Sebaliknya, dalam pada itu

penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut yakni dikarenakan

propaganda pemerintah Belanda yang sering mengaitkan masalah lain kepada

masalah tarekat. Sehingga yang pada dua tahun sebelum tahun 1888 tarekat

tidak begitu dicurigai dan diawasi menjadi lebih diperketat pengawasan

terhadapnya. Hal ini tidak lain dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk

(39)

29

sekali lagi membatasi gerak orang-orang Islam agar tidak muncul bibit-bibit

pemberontakan yang mengancam kekuasaan pemerintah penguasa.

2. Gerakan Pan Islam

Sebagaimana kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap gerakan

tarekat, terhadap Gerakan Pan Islam pemerintah kolonial juga penuh curiga

dan selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang akan mengancam

kekuasaannya. Jikalau gerakan tarekat merupakan bahaya dari dalam, maka

gerakan Pan Islam merupakan bahaya dari luar. Dalam kaitannya dengan ini,

para haji lah yang seringkali dicurigai sebagai faktor pembawa Pan Islam dari

luar, sehingga gerak-gerik mereka sering diawasi oleh pemerintah Belanda.

Pengertian Pan Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia

Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang

khalifah.Pada masa Usmani Muda, Turki memanfaatkan ide Pan Islam ini

sebagai kekuatan untuk merangkul seluruh umat Islam untuk bersatu di bawah

kerajaan Usmani.12 Usaha ini secara cepat mampu menarik perhatian Asia

Afrika yang pada saat itu hamper seluruhnya sedang dijajah oleh Barat.

Dalam tahun-tahun selanjutnya, Pan Islam diartikan sekedar sebuah

usaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia kawan,

atau menghidupkan rasa ukhuwah Islamiyah di kalangan dunia Islam.

Meskipun demikian, pengertian ini masih saja dianggap mengancam dunia

(40)

30

Barat, karena sangat berpontensi membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa

Islam yang dikuasainya.

Rasa khawatir ini juga dirasakan oleh pemerintah Belanda yang

berkuasa di Indonesia.Bagaimana tidak, meskipun letak kepulauan Indonesia

berada jauh dari Turki, namun kenyataan terjalinya hubungan bain antara

keduanya ini tidak dipungkiri berjalan baik. Hal inilah yang membuat

pemerintah Belanda merasa khawatir jika ide Pan Islam akan mempengaruhi

kestabilan kekuasaannya di Indonesia. Pemerintah Belanda bersikap demkian

ini, sebab mereka tidak lupa pada kenyataan masa lalu yaitu ketika terjadi

perlawanan Aceh kepada Portugis di Malaka dengan perang sabilnya yang

terjadi pada abad ke-16, ketika itu Aceh memiliki perwakilan di Istambul,

sehingga dalam menghadap penjajah Aceh memperoleh bantuan Senjata Api

dari Turki.Perang ini merupakan perang yang paling akhir, paling pahit dan

paling lama.Sebab hingga menjelang abad ke-20 segala usaha dilakukan untuk

mengatasi masalah ini, namun masih belum bisa terselesaikan.

Melihat kenyataan inilah, Belanda mngambil langkah sigap untuk

mengantisipasi pengaruh Pan Islam terhadap daerah-daerah kekuasaannya

yang lain, agar tidak muncul lagi kejadian seperti yang terjadi di Aceh.Oleh

karenanya, berbagai bentuk pengawasan dilakakuan salah satunya yakni

pengawasan terhadap para haji dan orang-orang Indonesia yang bermukim di

(41)

31

BAB III

SEJARAH PERKAWINAN DI MASA KOLONIAL BELANDA

A. Pembentukan Peradilan Agama 1. Munculnya Peradilan Agama

Peradilan Agama telah tumbuh dan melembaga di bumi Nusantara

ini sejak agama Islam dianut oleh penduduk yang berada di wilayah ini,

berabad-abad lamanya sebelum kehadiran penjajah. Tumbuh dan

berkembangnya Peradilan Agama itu adalah karena kebutuhan dan kesadaran

hukum orang-orang Islam yang menginginkan hukum sesuai keyakinan

mereka.1

Sebelum melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum

Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang

kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan

Negara. Kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melakukan hukum

Islam dalam wilayah hukumnya masing-masing. Sebagaimana kerajaan Islam

Pasai yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke-13 M, yang merupakan

kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti oleh kerajaan Islam lainnya

1 Munawir Sjadzali, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek (Bandung: Rosdakarya, 1994),

(42)

32

seperti kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten.2 Selain

itu di bagian Timur Indonesia yang juga berdiri kerajaan Islam seperti Tidore

dan Makassar pada abad ke- 16 M. kemudian kerajaan Mataram yang muncul

sebagai dinasti baru yang memerintah Jawa Tengah dan akhirnya berhasil

menaklukkan kerajaan kecil di pesisir utara, sehingga sangatlah besar

peranannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya

penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka penyebaran agama

Islam, maka pada permulaan abad ke-17 penyebaran agama Islam hampir

meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.

Agama Islam masuk ke Indonesia melalui jalan perdagangan di

kota-kota pesisir secara damai tanpa gejolak, sehingga norma-norma Islam

diterima oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan

penganut agama Islam. Dengan timbulnya komunitas-kimunitas masyarakat

Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang menuntut perkara

berdasarkan hukum Islam semakin diperlukan.3

Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat bahwa system Peradilan

Agama di Indonesia sudah dikenal sejak Islam masuk ke bumi Nusantara pada

abad ke-7 M. Pada masa itu hukum Islam mulai berkembang di wilayah

Nusantara bersama-sama hukum adat, kendati demikian dalam perjalanannya

keberadaan Peradilan Agama mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan

2 Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Pers,

1996), 55.

(43)

33

kaerena sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan

yaitu Peradilan Perdata dan Peradilan Padu. Di mana materi hukum Peradilan

Perdata bersumber dari ajaran Hindu dan ditulis dalam Papakem, sedangkan

Peradilan Padu menggunakan hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari

kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam prakteknya, Peradilan Perdata

menangani persoalan-persoalan yang berhubungan dengan wewenang raja.

Keberadaan dua peradilan ini berakhir setelah raja Mataram menggantikan

dengan system Peradilan Serambi yang berasaskan Islam. Penggantian ini

bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah kerajaan Mataram. Oleh sebab

inilah para ahli sejarah sependapat bahwa system Peradilan Agama di

Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh penguasa Mataram.4

Peradilan Agama sebagai bagian dari mekanisme penyelenggaraan

kenegaraan pernah mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal

dan digantikan oleh Amangkurat I. Amangkurat I pernah menutup Peradilan

Agama dan menghidupkan kembali Peradilan Perdata. Namun, setelah masa

ini Peradilan eksis kembali, hal ini dibuktikan dengan hukum Islam

diterbitkannya sebuah kitab “Shirath al-Mustaqim” yang ditulis oleh Nurudin

ar-Ramiri, kitab ini menjadi rujukan para hakim di Indonesia.5 Keberadaan

Peradilan Agama sebagaimana disebutkan di atas telah ada sejak Islam

pertama kali masuk ke Indonesia, di mana pada masa itu masyarakat

4 Dewi Indahsari, Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia (Palembang: Ilmiah Vol. VI

No. II, 1979), 21.

(44)

34

Indonesia belum mengenal betul masalah-masalah hukum Islam, sehingga

kondisi ini nampak pada masa kerajaan Islam di nusantara dengan

bentuk-bentuk lembaga peradilan yang memberlakukan hukum Islam yang

pelaksanaannya di serambi-serambi masjid oleh hakim-hakim yang

menjalankan hukum Islam terhadap perkara-perkara perdata, perkawinan dan

kekeluargaan sehingga pada saat itu penampungan perkara perdata sudah ada

tempatnya yang pasti.6

Peradilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para

penghulu yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang-sidang

pengadilan agama pada masa itu biasanya dilaksanakan di serambi masjid,

sehingga pengadilan agama sering pula disebut sebagai “Pengadilan

Serambi”. Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di

Indonesia yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu atau

hakim sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan umum.

Peradilan dan lembaga peradilan pada masa ini masih sangat sederhana,

demikian juga para pegawainya yang biasanya diangkat oleh para pejabat

setempat. Peradilan Agama yang diselenggarakan oleh para pejabat

(penghulu) yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat dan begitu pula

dengan siding-sidang yang berlangsung biasanya dilaksanakan di serambi

masjid. Oleh karena itu, pengadilan serambi menjadi pengadilan yang secara

resmi menangani urusan perdata, yaitu melayani dan menangani rakyat di

(45)

35

Jawa. Kemudian pada tahun-tahun selanjutnya barulah muncul pengadilan

agama yang kedudukannya berada di bawah pengadilan kolonial yaitu

“Landraad” (pengadilan negeri). Hanya Landraad inilah yang berwenang

untuk memerintahkan suatu pelaksanaan bagi keputusan Pengadilan Agama

dalam bentuk “Executor Verklaring” (pelaksanaan putusan). Oleh

karenannya, pada masa ini pengadilan agama sangat terbatas kewenangannya

terutama dalam hak menyita barang milik yang berpekara.7

2. Peradilan Agama Pada Masa Pemerintah Kolonial Belanda

Pada masa VOC masih menduduki Indonesia, hukum Islam yang

berkembang di Indonesia dibiarkan lestari dengan pemberian kebebasan oleh

pemerintahan VOC dalam melaksanakan hukum Islam seluas-luasnya selama

tidak mengganggu kepentingan VOC di Indonesia. Semula VOC memiliki

keinginan untuk memberlakukan hukum Belanda di Indonesia yang tujuannya

untuk memeperlancar hubungan mereka dalam kegiatan perniagaan dengan

negara-negara lain, akan tetapi keinginan tersebut gagal sebab mendapat

reaksi keras dari kelompok masyarakat tertentu. Oleh sebab itu, VOC merasa

enggan untuk ikut campur terhadap hukum yang berlaku di Indonesia, bahkan

VOC kemudian membuat alternatif lain yaitu dengan membentuk peradilan

lain untuk bangsa pribumi dan mengumpulkan materi-materi hukum sebagai

(46)

36

hukum Islam, yang mana hal ini tertuang dalan sebuah resolusi (dar indische

regering).8

Peraturan resmi yang mengatur masalah eksistensi Peradilan Agama

di Indonesia ini adalah keputusan raja Belanda no. 24 tertanggal 19 Januari

1882, dimuat dalam Stb. 1882 no. 152 tentang Pembentukan Pengadilan

Agama di Jawa dan Madura. Berdasarkan hall tersebut, para pakar hukum

sependapat bahwa lahirnya keputusan raja tersebut merupakan hasil dari teori

Van Den Berg yang menganut paham “reception in complexu”, yang berarti

bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang

dipeluknya. Namun, teori itu digugat oleh Van Vollenhoven dan Snouck

Hurgronje melalui teori “receptie”. Di mana mereka menganggap bahwa teori

reception in complex adalah sebuah kesalahan besar kolonial Belanda, karena

telah memberi keluasan kepada pengadilan agama untuk memberlakukan

hukum Islam secara keseluruhan, bagi mereka yang benar ialah hukum Islam

dapat diterima dan boleh diberlakukan jika telah diterima oleh hukum adat

mereka.

Kemudian Snouck Hurgronje mengkritik kesalahan pemerintah

kolonial Belanda itu dengan mengeluarkan pernyataan bahwa sebenarnya para

pejabat kolonial Belanda masih sangat minim pengetahuannya tentang arti

dari pengadilan agama di Indonesia dan keberadaannya. Dengan kedatangan

Snouck Hurgronje sebagai seorang ahli tentang Islam, pemerintah Belanda

(47)

37

sangat diuntungkan. Namun, bagi masyarakat Islam kedatangan Snouk

Hurgronje ini sangat berdampak bagi kehidupan beragamanya, terutama bagi

lembaga-lembaga pendidikan dan peradilan. Sebagaimana lembaga peradilan

Islam yang tidak dapat leluasa menjalankan hukum Islamnya, sebab telah

mendapatkan campur tangan dari pemerintah Belanda.

Kemudian Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven juga

melakukan beberapa perubahan pasal-pasal RR (Stb. 1885 No. 2) yang

mengatur pelaksanaan undang-undang agama bagi bumi putera. Di mana

pasal yang mula-mula diubah yakni pasal 75 RR melalui Stb.Bld 1906 No.364

(Stb. Hindia Belanda 1907 No. 204), dengan mengubah istilah “undang

-undang agama” menjadi “peratura yang berkenaan dengan agama dan

kebiasaan”. Melalui perubahan ini maka, berarti bahwa hukum Islam tidak

berlaku lagi di Indonesia kecuali telah diterima oleh hukum adat. Berdasarkan

Stb. tahun 1937 No. 638, engadilan agama di Jawa dan Madura serta di

Kalimantan Selatan hanya berwenang menangani hukum perkawinan saja. Hal

ini diatur dalam pasal 2a dan mulai berlaku pada 1 April 1937. Sedangkan

perkara-perkara selain perkawinan menjadi wewenang pengadilan negeri.

Ketentuan ini tetap berlaku hingga masa pemerintahan Jepang, hanya saja

nama peradilan agama berubah menjadi “Kaikoyo Kootoo Hooin”

(48)

38

B. Penghulu di Masa Kolonial 1. Arti dan Fungsi Penghulu

Ketika kita dihadapkan pada istilah “penghulu” maka yang muncul

dalam pikiran kita yakni seseorang yang memiliki tugas untuk menikahkan

laki-laki dan perempuan. Sangat ironi memang jika saat ini istilah “pengulu”

atau “penghulu”9 hanya dipahami sebagai seorang yang bertugas mencatat

pernikahan atau sekaligus juga meinikahkan sepasang pengantin, dan

memiliki sedikit pengetahuan mengenai pernikahan dan pembagian warisan

menurut hukum Islam. Biasanya pekerjaan ini diakaitkan dengan tugas

penghulu sebagai seorang pejabat di Kantor Urusan Agama Islam yang ada di

setiap kecamatan. Jika dibandngka dengan fungsi dan peran penghulu pada

masa kerajaan Islam dan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, peran

yang tersisa saat ini adalah dua dari peran minor yang dilakukan oleh

penghulu.

Fungsi dan jabatan penghulu adalah fungsi yang inheren sejak awal

dibentuknya pemerintahan Islam di Nusantara. Sejarah awal mengenai

Islamisasi di Nusantara, merekam adanya fungsi penghulu pada

kerajaan-kerajaan Islam Jawa. Pada kerajaan-kerajaan Demak, raja berfungsi sebagai pemimpin

negar, pemimpin militer, dan pemimpin agama. Ketiga fungsi ini diwakili

oleh masing-masing tiga petinggi kerajaan yaitu patih (perdana menteri),

9 Amelia Fauziah, Antara Hitam dan Putih: Penghulu pada Masa Kolonial Belanda (Jakarta:Studia

(49)

39

adipati (pemimpin militer), dan penghulu (pemimpin agama). Dari abad ke-16

M, struktur ini terus dipertahankan sampai pada abad ke-19 M dan

berkembang tidak hanya pada daerah vorstenlanden (kerajaan), tapi juga pada

daerah gouvernementslanden (kabupaten di bawah administrasi kolonial).10

Secara umum, tugas penghulu adalah memastikan bahwa syariat

Islam dijalakan oleh masyarakat, disamping perannya menjadi penasihat

spiritual kerajaan. Oleh karenanya, wajar jika tugas penghulu cukup banyak

yaitu menjadi imam shalat di masjid agung; menikahkan pengantin menurut

hukum Islam; menjadi wali nikah, menjadi hakim pada kasus perceraian, pada

kasus harta warisan, dan masalah wasiat; memberi nasihat tengtang masalah

keislaman; bertanggung jawab terhadap pendidikan agama Islam, sekaligus

juga sebagai da’i untuk menyebarkan agama Islam ke pelosok Nusantara.

Menurut Serat Wadu Aji yaitu serat atau kitab yang menjelaskan semua

teknologi yang digunakan dalam administrasi keratin termasuk aturan dan

fungsi pegawainya, kata “pengulu” dalam bahawa Jawa berarti sesirah

(kepala) atau pangjeng (pemimpin). Serat Wadu Aji menjelaskan bahwa

pengulu adalah pemimpin tertinggi dari jabatan keagamaan kerajaan. Menurut

serat ini, pengulu selain berfungsi dalam masalah ibadah dan kasus-kasus

peradilan Islm termasuk memutuskan hukuman mati, jugabertugas untuk

mendoakan raja dan keluarganya, mendoakan tentara, dan semua masyarakat

agar mendapat berkah. Disamping hal-hal umum yang sudah dusebutkan di

(50)

40

atas, kitab ini menyebutkan bahwa pengulu disyaratkan menguasai buku-buku

agama dan ahli dalam bidang astronomi.11

Selain sebagai penasiat spiritual kerajaan, terkadang fungsi pengulu

juga merambah pada masalah politik. Pada abad ke-16 sampai ke-18 M,

fungsi pengulu pada kerajaan-kerajaan Jawa hamper sama dengan fungsi kadi

atau qadi , atau bahkan Syaikhul Islam pada kerajaan Islam di luar Jawa,

seperti Samudera Pasai, Malaka dan Aceh. Kadi dan Syikh Islam berperan

tidak hanya pada urusan agama saja melainkan juga berperan penting dalam

urusan diplomatik. Dalam banyak kasus, yang diangkat sebagai pengulu

adalah ulama yang memiliki otoritas keilmuan dan kepemimpinan yang

tinggi.

Pada periode awal abad ke-19 ketika kerajaan Mataram masih

berdiri, jabatan administarasi agama tertinggi tetap ada di tangan pengulu. Di

mana pada periode ini struktur pengulu sudah sedemikian lengkap memiliki

hirarki seperti halnya struktur pejabat birokrasi non agama yang disebut

priayi. Pejabat pengulu tertinggi terdpat pada level Kesultanan Yogyakarta

dan Kasunanan Surakarta yang disebut dengan pengulu ageng. Sedangkan,

dibawahnya yakni pada level kedua setingkat kabupaten, pejabat agama

disebut pengulu. Kemudian pejabat di tingkat kecamatan atau level ketiga

disebut na’ib atau na’ib pengulu. Selanjutnya pada tingkat desa, jabatan

keagamaan ini memiliki nama yang sedikit berbeda dari satu wilayah dengan

(51)

41

wilayah yang lain seperti mudin, kayim atau kaum. Karena fungsi pengulu dan

para pembantunya ini berhubungan dengan bidang keagamaan dan penegakan

syari’ah, maka “kantor” atau tempat dinasnya adalah di masjid yang ada di

setiap level administrasi, dari masjid kerajaan, masjid kabupaten, masjid

kecamatan, dan masjid desa.

Struktur hirarki pengulu pada wilayah kerajaan dan di luar wilayah

kerajaan tidak jauh berbeda. Hanya di luar wilayah kerajaan lebih sederhana

strukturnya. Sebagai contoh, struktur kepenghuluan pada kerajaan Mataram

Islam, yakni pada tingkat kerajaan terdapat pengulu ageng atau disebut

wedana kaum karena berperan sebagai pemimpin bidang agama, atau juga

disebut sebagai abdi dalem pamethakan (pegawai putihan), karena tugasnya

bertanggung jawab atas masalah keislaman di kraton. Pengulu kraton ini

memegang jabatan tumenggung yang setingkat dengan adipati dan patih, dan

memiliki hirarki di bawahnya. Pada tingkat kedua atau kabupaten terdapat

pengulu ketib untuk wilayah kawedanan jero atau pengulu naib lurah untuk

wilayah kawedanan jaba. Di bawahnya lagi yakni pada tingkat ketiga terdapat

naib yang bertugas di wilayah kapenewon atau kecamatan, serta pada tingkat

terakhir adalah kaum yang bertugas di tingkat desa.

Pada setiap level administrasi tersebut, masing-masing pengulu

memiliki staf administrasi agama yang membantunya. Di mana pada tingkat

kerajaan, pengulu ageng dibantu oleh Sembilan ketib (khatib atau

(52)

42

puluh ulama (seseuai jumlah jama’ah shalat jum’at), dan sepuluh merbot

(yang mengurus perabotan masjid). Sedangkan pada tingkat kabupaten

pengulu uga berperan sebagai hakim disamping jaksa. Pengulu memiliki

pmbantu utama yakni ketib. Di mana tugas ketib adalah menjadi khatib dalam

shalat Jum’at, dan membantu mencatat pernikahan, perceraian, pembagian

warisan, serta memberi nasihat kepada pengantin mengenai pernikahan dan

kehidupan rumah tangga. Naib (wakil) pengulu d tingkat kecamatan sering

disebut pengulu naib yang bertugas hamper sama dengan tugas pengulu di

tingkat kabupaten, hanysa saja ia tidak berfungsi sebagai hakim. Kemudian

kaum yang terdapat pada tingkat desa bertugas hamper sama dengan naib,

hanya saja ia tidak bertanggung jawab pada administrasi pernikahan,

perceraian, dan pembagian warisan. Di samping itu, terdapat juga pegawai

administrasi agama seperti merbot, mudin (mu’adzin) atau bilal, serta kebayan

(petugas keamanan masjid).12

2. Masuknya Penghulu dalam Sistem Administrasi Kolonial Belanda

Selama duaratus tahun VOC berkuasa di Indonesia, VOC tidak

mampu untuk merubah institusi hukum Islam yang berlaku dalam masyarakat,

karena mereka paham bahwa isi atau materi hukum Islam ini sangatlah

kompleks. Meskipun VOC berhasil mendirikan landraad di setiap kabupaten

sebagai pengadilan yang bisa dipakai oleh pengulu dan jaksa. Namun,

(53)

43

keberadaan landraad tersebut tidak dapat menghapuskan “pengadilan

serambi” seutuhnya, bahkan pengadilan serambi atau pengadilan agama masih

melangsungkan kegiatan peadilannya di masing-masing serambi masjid.

Pada periode pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang

pertama yakni pada masa Deandels adalah langka awal adanya pengakuan

terhadap pengulu. Deandels mengakui keilmuan dan otoritas pengulu dalam

pengadilan Islam secara resmi untuk menangani pernikahan, perceraian, dan

kasus-kasus kriminal. Selanjutnya, Deandels mengangkat pengulu menjadi

penasihat pengadilan pribumi. Setelah lima tahun di bawah administrasi

Inggris, pemerintah Hindia Belanda yang baru berusaha menghubungkan

antara hukum Belanda dengan hukum pribumi, dalam surat keputusan tahun

1829, menyatakan bahwa status pengulu bersama jaksa dikukuhkan tetap

berkedudukan sebagai penasihat dalam peradilan kabupaten. Bahkan pada

tahun 1830, pengadilan Islam yang dipimpin pengulu dimasukkan ke dalam

bagian dari pengadilan negeri (landraad).

Sebagai bentuk usaha untuk mengurangi pengaruh Islam di

Indonesia, baik dengan cara kristenisasi yang terus digaungkan agar penduduk

pribumi lebih setia pada penjajah, pemerintah kolonial Belanda juga

melakukan usaha untuk mengarakan hukum pribumi (hukum Islam) menuju

ke arah hukum Eropa secara signifikan karena dianggap bahwa hukum Eropa

lebih baik. Oleh karena itu, keputusan yang dihasilkan oleh pengadilan Islam

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian dengan data IKONOS memperlihatkan bahwa batas permukaan air danau dengan memperhatikan sebaran vegetasi air menggunakan komposit RGB (Red: NIR+SWIR, Green: NIR,

Deskripsi Produk Asuransi Tambahan Penyakit Kritis yang dapat ditambahkan pada Asuransi Unit Link yang tersedia di Perusahaan, sebagai pelengkap perlindungan anda untuk

Yang melakukan kegiatan-kegiatan rutin seperti, mengumpulkan informasi dari pihak swasta (perusahaan) tentang lowongan pekerjaan, memberikan fasilitas dalam pembuatan

Abstrak – Persamaan Dirac untuk potensial Pöschl-Teller Trigonometrik pada kasus spin simetri bagian radial diselesaikan dengan menggunakan metode Iterasi Asimtotik

mempertahankan kelanggengan genetisnya mem- butuhkan pakan darah yang diperoleh melalui aktifitas mengigit dengan beberapa altematif obyek seperti manusia dan beberapa spesies

Mustafa dalam Mustafa (1999) juga menegaskan konsep pengelolaan perikanan berbasis stok berdasarkan fakta adanya variabilitas yang tinggi dalam diversitas genetik pada ikan

Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Musi Rawas merupakan unsur pelaksanaan Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang berada di bawah dan

10 9=6+7+8 8 7 Tahun 2015 Tahun 2016 ( 1.04.. Kecamatan dan Puskesmas Fasilitasi Pengadaan dan Pengisian Ulang APAR. APAB 33.. ) - Komunikasi