KEBIJAKAN POLITIK ISLAM HINDIA-BELANDA:
ORDONANSI PERKAWINAN DI JAWA-MADURA TAHUN
1929-1931
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh: Siti Nur Latifah
A02212019
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “KEBIJAKAN POLITIK ISLAM HINDIA-BELANDA:
ORDONANSI PERKAWINAN DI JAWA-MADURA TAHUN 1929-1931”. Adapun
permasalahan yang muncul dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana kebijakan politik Islam pemerintah Hindia Belanda terhadap Muslim Nusantara? 2) Mengapa pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Kebijakan Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura pada tahun 1929-1931? 3) Bagaimana reaksi umat Islam terhadap Kebijakan Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura pada tahun 1929-1931?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan historis yang bertujuan untuk mendiskripsikan peristiwa yang terjadi pada tahun 1929-1931 di Jawa dan Madura ketika diberlakukan kebijakan politik Islam Hindia Belanda masalah perkawinan umat Islam. Dengan menggunakan teori struktural fungsional dan teori konflik, yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana pemerintah kolonial secara struktural mengawasi dan mengontrol pribumi agar tetap tunduk, serta untuk mengetahui bagaimana reaksi umat Islam akibat kebijakan yang diterapkan.
ABSTRACT
This thesis entitled "Policy - DUTCH INDIAN POLITICAL ISLAM : Ordinance MARRIAGE IN JAVA-MADURA YEAR 1929-1931". The issues that arise in this study are: 1) How is the policy of political Islam Dutch government against Muslim archipelago? 2) Why did the Dutch government issued the Ordinance Marriage Policy in Java-Madura in 1929-1931? 3) What was the reaction of Muslims to the Marriage Ordinance policy in Java-Madura in 1929-1931?
To answer these questions , this study takes a historical approach that aims to describe the events that occurred in 1929-1931 in Java and Madura when Islamic political policy applies Indies marital problems of Muslims. By using the structural-functional theory and the theory of conflict, which is used to explain how the colonial government structurally supervise and control the natives to remain subject, and to know how the Muslims as a result of the policy implemented.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi
MOTTO ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Kegunaan Penelitian ... 6
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 6
F. Penelitian Terdahulu ... 9
G. Metode Penelitian ... 10
BAB II POLITIK ISLAM PEMERINTAH HINDIA-BELANDA
A. Kebijakan Netral Terhadap Agama ... 17
B. Kebijakan Politik Asosiasi ... 23
C. Kebijakan Politik Pengawasan ... 27
BAB III SEJARAH PERKAWINAN DI MASA KOLONIAL BELANDA
A. Pembentukan Peradilan Agama ... 31
B. Penghuludi Masa Kolonial ... 38
C. Perjalanan Hukum Perkawinan Islam Pada Masa Kolonial ... 47
BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAP PERKAWINAN MUSLIM DI JAWA-MADURA
A. Latar Belakang Dikeluarkannya Kebijakan Ordonansi Perkawinan di
Jawa-Madura Tahun 1929-1931 ... 56
B. Kebijakan Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura Tahun 1929-1931
... 59
C. Reaksi Umat Islam Terhadap Kebijakan Ordonansi Perkawinan di
Jawa-Madura Tahun 1929-1931 ... 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 73
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah Indonesia mencatat bahwa negara kita ini telah mengalami
masa kolonialisasi selama tiga setengah abad yaitu baik oleh kolonial
Belanda maupun kolonial Jepang. Dalam kurun waktu sedemikian panjang
itu pastinya ada dampak yang diterima bangsa Indonesia sebagai
konsekwensi masa penjajahan. Pada masa penjajahan Belanda, berbagai
macam kebijakan telah diterapkan guna pembatasan dan pelemahan gerak
bangsa Indonesia baik dalam bidang politik, pendidikan maupun sosial.
Tujuan diadakannya kebijakan pembatasan ini, tidak lain untuk
mempertahankan kestabilan wilayah kekuasaan atau jajahannya.
Sebagaimana disebutkan oleh Aqib Suminto, bahwa dalam
mempertahankan kekuasaannya, setiap pemerintah kolonial selalu
berusaha memahami hal ihwal penduduk pribumi yang dikuasainya,
sehingga kebijaksanaan mengenai Pribumi (Inlandsch Politiek) sangat
besar artinya dalam menjamin kelestarian kekuasaan tersebut.1
Dalam rencana penelitian ini saya akan memfokuskan pembahasan
mengenai salah satu kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda yang
ditujukan kepada umat Islam dalam bidang sosial keagamaannya yaitu
2
terkait masalah ordonansi2 perkawinan Muslim di Jawa-Madura pada
tahun 1929-1931. Saya tertarik membahas masalah ini, karena menurut
saya terdapat ketimpangan antara teori dan praktik dari pihak Belanda
dalam menetapkan kebijakan politiknya terhadap pribumi, khususnya
pribumi Muslim. Politik Etis yang digaungkan pun tidak terlepas dari
segala kepentingan pemerintah Belanda yang sepenuhnya secara nyata
tidak memihak pribumi Muslim.
Pada tahun 1855, pemerintah Belanda melalui Undang-undang
Dasar Belanda ayat 119 tahun 1855 menyatakan sebagai pemerintahan
yang bersikap netral terhadap agama. Pengertian netral agama dalam hal
ini seharusnya tidak memihak dan tidak campur tangan sama sekali, atau
bisa juga membantu kesemuanya secara seimbang tanpa mencampurinya.
Namun, dalam praktiknya pemerintah Belanda bisa dikatakan masih
sangat mengintervensi daripada bersikap netral, meskipun campur tangan
terhadap Islam dan Kristen berbeda dalam jenis kualitas dan kuantitasnya.
Hal ini jelas terlihat dalam berbagai diktum keputusan pemerintah yang
tercantum dalam Regeerings Almanak, serta pada ketidakseimbangan
pemberian aneka dana yang diberikan pemerintah kolonial kepada agama
Islam dan Kristen, yang mana Belanda lebih berpihak kepada agama
Kristen.
Sikap Belanda yang demikian, terkesan hanya memberikan angin
segar saja untuk pribumi Muslim. Kebijakan netral terhadap agamapun
3
hanya gaungan-gaungan semata, sehingga pada pelaksanaannya
pemerintah Belanda tetap berperan aktif dalam mengatur dan membatasi
masalah keagamaan pribumi, khususnya agama Islam yang dikhawatirkan
akan mengancam kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, maka
muncul berbagai kebijakan terhadap agama melalui ordonansi-ordonansi,
seperti ordonansi yang mengatur masalah haji pada tahun 1859, ordonansi
guru pada tahun 1905, serta ordonansi perkawinan di Jawa-Madura pada
tahun 1929 dan untuk di luar Jawa pada tahun 1932.3
Selainitu, berbagai usaha guna menjaga keamanan dan ketertiban
dilakukan oleh pemerintah kolonial, dalam kaitannya ini yaitu dengan
melalukan pengawasan juga terhadap lembaga hukum umat Islam yaitu
terhadap peradilan agama yang kemudian diaresmikan dengan nama
Preisterraad pada tahun 1882. Sehingga kewenangan umat Islam untuk
mengatur masalah hukum berdasarkan sumber hukum Islam menjadi
terganggu, sebab pada saat itu preisterraad berada di bawah kewenangan
landraad atau pengadilan negeri milik pemerintah Belanda.
Dengan munculnya beberapa ordonansi dan kebijakan pembatasan
tersebut, maka umat Islam terpancing pula reaksinya sebagai tanggapan
kebijakan tersebut. Reaksi-reaksi tersebut disampaikan oleh para pejuang
muslim melalui buku atau surat kabar, atau juga melalui langkah kerja
organisasi muslim, seperti Sarekat Islam (SI) pada tahun 1924 sampai
1927 yang memperjuangkan agar semua peraturan tentang Islam ditarik
3Staatsblad van Nederlandsch Indie, Batavia, tahun 1929 no. 348; yang diubah oleh Staatsblad
4
dari wewenang Belanda, dan Partai Syarikat Islam Indonesia yang
merencanakan membentuk front bersama dengan organisasi-organisasi
Islam lainnya untuk menolak gagasan pemerintah kolonial tentang
Undang-undang Perkawinan, tetapi sayang gagasan ini tidak dapat
direalisasikan sebab perintah dari Adviseur voor Inlandsche zaken.
Dalam bukunya Aqib, disebutkan bahwa reaksi yang paling tajam
yang diberikan umat Islam terhadap ordonansi Belanda memang lebih
kepada masalah Ordonansi Perkawinan, sehingga sampai disebut oleh
Pijper sebagai “bukti kekuatan Islam”. Hal ini, menunjukkan bahwa pada
masa itu masalah perkawinan yang seharusnya cukup diserahkan kepada
pemeluk agama Islam itu sendiri, memiliki peranan yang bagi pihak
Belanda cukup “mengancam” atau “ditakuti”, sehingga sampai pada
keputusan perlunya membuat sebuah peraturan pemerintah khusus yang
menangani masalah perkawinan (Ordonansi Perkawinan) yang seharusnya
dapat diselesaikan secara intern oleh agama Islam sendiri dengan pedoman
5
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul mengenai “Politik Islam Hindia-Belanda:
KebijakanOrdonansi Perkawinan di Jawa-Madura Tahun 1929-1931”,
maka penulis menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kebijakan politik Islam pemerintah Hindia Belanda
terhadap Muslim Nusantara?
2. Mengapa pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Kebijakan
Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura pada tahun 1929-1931?
3. Bagaimana reaksi umat Islam terhadap Kebijakan Ordonansi
Perkawinan di Jawa-Madura pada tahun 1929-1931?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan yang ingin
penulis sampaikan, antara lain:
1. Untuk mengetahui kebijakan politik Islam pemerintah Hindia Belanda
terhadap Muslim Nusantara.
2. Untuk mengetahui alasan/penyebab pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan Kebijakan Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura pada
tahun 1929-1931.
3. Untuk mengetahui reaksi umat Islam terhadap Kebijakan Ordonansi
6
D. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Secara Akademik (Praktis)
a. Hasil daripada penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber
informasi bagi penelitian di bidang kesejarahan.
b. Memberikan kontribusi wacana bagi perkembangan
perbendaharaan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang
sejarah.
2. Secara Ilmiah (Teoritis)
a. Untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar S1 pada jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
b. Untuk memperkaya kajian sejarah nasional terutama terkait
Politik Islam Hindia-Belanda yang diterapkan bagi pribumi Islam
bangsa Indonesia, khususnya mengenai kebijakan Ordonansi
Perkawinan di Jawa-Madura pada tahun 1929-1931.
E. Pendekatan dan Kerangka Teori
Penulis menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya
untuk mempermudah membantu ilmu sejarah memecahkan masalah.
Menurut Sartono Kartodirdjo, penggambaran kita mengenai suatu
peristiwa sangat bergantung pada pendekatan, yaitu dari segi mana kita
7
yang diungkapkan, dan sebagainya.4 Dengan pendekatan tersebut maka
akan memudahkan penulis untuk merelasikan antara ilmu sosial sebagai
ilmu bantu dalam penelitian sejarah.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan historis, yang bertujuan untuk mendeskripsikan peristiwa
yang terjadi pada masa lampau. Dengan menggunakan pendekatan
historis maka penulis dapat menjelaskan bagaimana kondisi sosial dan
politik Jawa-Madura tahun 1929-1931, kebijakan ordonansi perkawinan
yang diterapkan Hindia-Belanda sebagai langkah politik Islamnya, serta
respon para intelektual Islam menanggapi penerapan kebijakan ordonansi
perkawinan tersebut.
Adapun dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teori.
Teori merupakan pedoman guna mempermudah jalannya penelitian dan
sebagai pegangan pokok bagi peneliti disamping sebagai pedoman, teori
adalah salah satu sumber bagi peneliti dalam memecahkan masalah
penelitian.5 Dalam penelitian ini, yang penulis gunakan yaitu teori
Struktural Fungsional serta teori Konflik. Di mana menurut teori
Struktural Fungsional, masyarakat sebagai sistem memiliki struktur yang
terdiri dari banyak lembaga, di mana masing-masing lembaga memiliki
fungsi sendiri-sendiri. Struktur dan fungsi, dengan kompleksitas yang
4Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia,
1993), 4.
5Djarwanto, Pokok-pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penelitian Skripsi (Jakarta: Liberty,
8
berbeda-beda ada pada setiap masyarakat baik masyarakat modern
maupun masyarakat primitif. Pendekatan struktural fungsional ini juga
bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Untuk itu, penulis
menggunakan pendekatan teori ini guna menganalisa kebijakan yang
diberlakukan oleh kolonial Belanda pada tahun 1929 hingga 1931
menyangkut Ordonansi Perkawinan bagi Muslim Jawa-Madura. Karena,
ketika suatu penguasa memberlakukan suatu peraturan tidak terlepas dari
perannya sebagai pemegang posisi teratas dari suatu sistem yang disebut
negara. Dengan ini, akan diketahui bagaimana penguasa tersebut
menerapkan kebijakan guna mencapai keteraturan sosial masyarakat di
Indonesia khususnya di Jawa-Madura pada kurun waktu tersebut.
Sedangkan teori Konflik merupakan teori yang mengatakan
bahwa konflik itu perlu agar tercipta perubahan sosial. Selain itu menurut
teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan’. Ini maksudnya,
keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya
paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya
dengan dominasi, koersi, dan power. Teori ini penulis gunakan untuk
menganalisa keadaan ketika kebijakan Belanda tersebut diberlakukan
yang pastinya menimbulkan suatu permasalahan sosial baik berupa
9
F. Penelitian Terdahulu
Kajian dan penelitian tentang Politik Islam Hindia-Belanda sudah
pernah dituliskan oleh beberapa mahasiswa dan sejarahwan, baik dalam
bentuk buku maupun skripsi. Namun, pembahasan mengenai “Politik
Islam Hindia-Belanda: Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura thun
1929-1931” masih belum ada. Adapun beberapa penelitian terdahulu tentang
Politik Islam Hindia-Belanda antara lain:
1. Skripsi oleh Miftahul Jannah, “Politik Hindia Belanda Terhadap Umat
Islam di Indonesia”. Dalam skripsi mahasiswa jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut membahas
tentang kondisi umat Islam pada masa kolonial Belanda serta
perlawanannya terhadap penjajah secara umum. Selain itu, lebih
ditekankan pada kebijakan politik Hindia Belanda yang dipelopori oleh
Snouck Hurgronje.
2. Buku karangan Aqib Suminto, “Politik Islam Hindia Belanda”. Dalam
buku tersebut dijelaskan tentang kebijaksanaan politik pemerintah
Hindia Belanda tentang Islam secara menyeluruh dan organisasi Het
Kantoor voor Inlandsche zaken, sedangkan untuk pembahasan
Ordonansi Perkawinan di Jawa-Madura hanya disbutkan tanpa ada
10
G. Metodologi Penelitian
Untuk memudahkan dalam penyusunan penelitian ini, maka
penulis menggunakan empat metode penulisan sejarah yaitu heuristik
(pengumpulan sumber), verifikasi (kritik), interpretasi (penafsiran), dan
historiografi (penulisan sejarah). Tahapan-tahapan metode penelitian
sejarah akan dijelaskan sebagai berikut:6
1. Heuristik (pengumpulan data), adalah kegiatan untuk mencari data atau
menghimpun bahan-bahan sumber sejarah. Sumber sejarah adalah
segala sesuatu yang berlangsung atau tidak langsung menceritakan
tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lampau.7
Metode heuristik merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh
peneliti. Adapun metode yang ditempuh dalam menghimpun data-data
sumber sejarah dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
sumber data tertulis baik berupa sumber primer maupun sumber
sekunder.
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber yang ditulis oleh pihak yang
terlibat langsung dalam peristiwa sejarah atau pihak yang menjadi
saksi mata peristiwa sejarah. Sumber primer yang digunakan
penulis untuk penelitian ini adalah arsip yang dibukukan oleh
Pemerintah Hindia-Belanda berupa kumpulan perundang-undangan
yaitu:
11
(a) Staatsblad van Nederlandsch Indie, Batavia, tahun 1929 no. 348.
(b) Staatsbladvan Nederlandsch Indie, Batavia, tahun 1931 no. 467.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder digunakan sebagai pendukung dalam penelitian
ini. Sumber-sumber tersebut didapatkan dari beberapa buku
maupun literatur yang berkaitan dengan tema yang penulis bahas.
1) Buku “Politik Islam Hindia Belanda”, karya Aqib Suminto pada
tahun 1996.
2) Buku “FragmentaIslamica”, karya G. F. Pijper pada tahun 1987.
3) Buku “Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia-Belanda
1889-1936”, karya E. Gobee dan C. Andriaanse tahun 1992.
4) Buku “Sejarah Indonesia Modern”, karya M. C. Ricklefs tahun
2011.
5) Buku “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”, karya
Deliar Noer pada tahun 1988.
2. Verifikasi (kritik), sumber-sumber yang telah diperoleh dalam tahap
heuristik perlu diadakan proses seleksi dengan cara melakukan kritik
sumber. Kritik sumber merupakan usaha untuk mendapatkan
sumber-sumber yang relevan dengan cerita sejarah yang ingin disusun. Selain
12
dari sejumlah prinsip-prinsip untuk menilai atau menguji kebenaran
nilai-nilai sejarah dalam bentuk aslinya dan menerapkan pengertian
sebenarnya. Kritik sumber terdiri dari dua jenis yaitu kritik ekstern dan
kritikintern. Kritikekstern adalah proses untuk melihat apakah sumber
yang didapatkan tersebut asli atau tidak, sedangkan kritik intern adalah
upaya yang dilakukan untuk melihat apakah isi sumber tersebut layak
dipercaya kebenarannya atau tidak.
3. Interpretasi (penafsiran), yaitu menetapkan makna yang saling
berhubungan atau menafsirkan fakta-fakta sejarah yang telah
diperoleh. Tujuannya agar fakta yang ada mampu untuk mengungkap
permasalahan yang ada, sehingga diperoleh pemecahannya. Dalam
tahap ini penulis membandingkan fakta yang satu dengan fakta yang
lain, sehingga dapat ditetapkan makna dari fakta yang diperoleh untuk
menjawab permasalahan yang ada.
4. Historiografi(penulisan sejarah), adalah tahap akhir metode penulisan
sejarah yang menyajikan cerita dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. Penulisan dalam
penelitian ini juga menggunakan metode penulisan sejarah secara
kronologis (penyusunan sejumlah kejadian atau peristiwa). Hal ini
terlihat dari pengambilan bahasan pada rentang waktu tahun
1929-1931. Pada tahun tersebut terjadi perubahan sikap pemerintah kolonial
13
serangkaian kebijakan politik Islam, salah satunya yaitu Ordonansi
Perkawinan di Jawa-Madura.
I. Sistematika Pembahasan
Secara umum sistematika pembahasan disusun untuk
mempermudah pemahaman terhadap penulisan ini, dimana akan
dipaparkan tentang hubungan antara bab demi bab. Untuk lebih jelasnya di
bawah ini akan dijelaskan beberapa bab yang akan dibahas:
Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II Menjelaskan tentang beberapa kebijakan politik Islam yang
diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, seperti kebijakan
netral terhadap agama, kebijakan politik asosiasi dan kebijakan
politik pengawasan.
Bab III Menjelaskan tentang sejarah perkawinan pada masa kolonial
Belanda, seperti pembentukan Peradilan Agama, Penghulu dan
Peranannya, serta bagaimana perjalanan hukum perkawinan
Islam di masa kolonial.
Bab IV Menjelaskan tentang Kebijakan Ordonansi Perkawinan di
Jawa-Madura pada Tahun 1929-1931, seperti latar belakang
14
ordonansi tersebut, serta bagaimana reaksi umat Islam terhadap
dikeluarkannya ordonansi perkawinan tersebut.
Bab V Berisi tentang kesimpulan-kesimpulan pembahasan dari awal
15
BAB II
POLITIK ISLAM PEMERINTAH HINDIA-BELANDA
Sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap bangsa Indonesia pada dua
dasawarsa terakhir abad ke-19 hingga dua dasawarsa awal abad ke-20, mengalami
gejolak yang signifikan.Hal ituterjadi sebab pada masa tersebut dikenal sebagai masa
puncak abad imperialisme, yang merupakan masa keemasan bagi bangsa-bangsa yang
bernafsu membentuk kekaisaran.1
Di Indonesia, Belanda menghadapi kenyataan bahwa mayoritas penduduk
yang dijajahnya di kepulauan Nusantara ini merupakan beragama Islam. Sehingga
dalam menghadapi rakyat Indonesia Belanda memerlukan senjata berupa
pengetahuan yang mendalam mengenai Islam. Sebab tidak dipungkiri bahwa
beberapaperlawanan yang timbul di berbagai daerah seperti perang Paderi
(1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lain-lainnya,
pada kenyataannya tidak terlepas dari pengaruh ajaran agama Islam. Namun, karena
pada masa itu Belanda belum memiliki pengetahuan yang tepat tentang Islam, maka
mula-mula Belanda mengambil sikap aman dengan tidak mencampuri urusan agama
Islam secara langsung, karena khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang
Islam yang fanatik, tetapi di lain pihak Belanda masih berharap dan sangat percaya
16
diri bahwa proses kristenisasi yang terus berjalan mampu menyelesaiakan segala
persoalan sehingga proses kolonialisasi dapatdapat terus berlangsung.2
Dengan demikian pemerintah Belanda tidak memiliki kebijaksanaan yang
jelas mengenai persoalan Islam.Hal ini karena, selain Belanda tidak memiliki cukup
pengetahuan yang mendalam mengenai Islam dan bahasa Arab, mereka juga belum
mengetahui sistem sosial yang ada dalam Islam. Sehingga Belanda enggan dalam
memberikan bantuan dana bagi kegiatan umat Islam seperti pembangunan suatu
masjid. Namun, kebijaksanaan untuk tidak mencampuri agama ini nampak tidak
konsisten, karena tidak adanya batasan yang jelas. Misalnya dalam masalah haji,
pemerintah kolonial berusaha untuk memberikan batasan-batasan kepada orang-orang
Islam di Indonesia yang pergi naik haji ke Mekkah, karena mereka dianggap sebagai
biang keladi penyebaran agitasi dan pemberontakan di Indonesia3. Di sinilah terlihat
bahwa kebijaksanaan Belanda tidak mencampuri urusan agama hanya bersifat
sementara, karena belum dikuasainya masalah Islam sepenuhnya.
Setelah kedatangan seorang Belanda yang ahli mengenai Islam bernama
Snouck Hurgronje pada tahun 1889, barulah pemerintah Hindia Belanda memiliki
kebijaksanaan yang jelas mengenai masalah Islam. Melalui Snouck Hurgronje
pemerintah Hindia Belanda memperoleh banyak pengetahuan mengenai Islam,
sehingga mampu melawan ketakutan terhadap potensi kekuatan Islam.Sebagai
2Ibid., 9.
17
kolonialis, pemerintah Belanda memerlukan inlandsch politiek, yakni kebijaksanaan
mengenai pribumi, untuk memahami dan menguasai pribumi. Untuk itu, Snouck
Hurgronje dengan ide politik Islam yang ditawarkannya, berhasil menemukan seni
memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar muslim itu. Dialah “arsitek
keberhasilan politik Islam yang paling legendaris,” yang melengkapi pengetahuan
Belanda tentang Islam terutama bidang sosial dan politik.
Melalui Snouck, ketidaktahuan Belanda tentang ancaman yang diberikan
Islam akhirnya mampu mereka ketahui, yaitu pengetahuan bahwa musuh
kolonialisme yang sesungguhnya merupakan bukan Islam sebagai agama, melainkan
Islam sebagai doktrin politik. Berdasarkan pengetahuan inilah, Belanda mulai jelas
dan tegas dalam membuat kebijakan terhadap Islam dengan berpedoman pada tiga
pilar politik Islam milik Snouck Hurgronje, yakni: 1. Terhadap dogma agama dan
perintah hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah bersikap netral. 2.
Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam, menuntut penghormatan.
3. Tiada satu pun bentuk Pan Islam boleh diterima oleh kekuasaan Eropa.4 Di bawah
ini, pembahasan lebih lanjut mengenai kebijakan politik Islam pemerintah Belanda
yang dititikberatkan pada tiga masalah di atas:
A. Kebijakan Netral Terhadap Agama
Sikap pemerintah Hindia dalam menghadapi kenyataan bahwa mayoritas
masyarakat Indonesi meruopakan muslim, tidak terlepas dari usul-usul Snouck
18
Hurgronje yang dalam hal ini membagi Islam ke dalam dua golongan yakni Islam
religius dan Islam politik. Untuk menghadapi golongan yang pertama yakni Islam
religius, pemerintah Belanda disarankan untuk toleransi dan tidak mencampuri
urusan keagamaan, karena pada Islam religius ini tidak dikhawatirkan muncul
ancaman yang mengganggu stabilitas dan keamanan5. Untuk itu pemerintah
Belanda mengeluarkan Undang-Undang Hindia Belanda ayat 119 RR yang
berbunyi bahwa: “setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak
kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan
umum hukum agama”.
Namun, karena latarbelakang hubungan Belanda dengan Pribumi ini tidak
terlepas dari hubungan sesama umat beragama yakni antara pemerintah Belanda
yang umumnya beragama Kristen dan penduduk pribumi yang beragama Islam,
ditambah lagi dengan hasrat yang menggebu dari pemerintah Belanda yang ingin
tetap menguasai bangsa Indonesia, mengakibatkan pemerintah kolonial tidak akan
mampu memperlakukan agama pribumi sama dengan agamanya sendiri. Dengan
demikian, karena latar belakang inilah diketahui bahwa mengapa sering terjadi
diskriminasi dalam kebijaksanaan yang berhubungan dengan agama, meskipun
telah dinyatakan bahwa pemerintah Belanda bersikap netral terhadap agama. Oleh
karena itu, untuk mengupas lebih dalam mengenai kebijakan netral terhadap
agama ini patut kita ketahui mengenai kedudukan Islam dan Kristen, serta sikap
netral pemerintah Belanda baik teori maupun praktinya.
19
1. Islam dan Kristen
Pada dasawarsa terakhir abad ke-19 pada parlemen Negara Belanda
terjadi persaingan yang sengit antara partai agama dan partai
nonagama.Persaingan ini terkait seberapa banyak masing-masing partai
mampu memperoleh suara dalam pemilihan sebagai partai penguasa. Di mana
pada masa ini partai nonagamalah yang memperoleh kemenangan dalam
parlemen Belanda. Namun, pada peralihan abad ke-20 kemenangan beralih ke
tangan partai agama yang berlanjut hingga tahun-tahun selanjutnya yakni pada
tahun 1905, 1913 hingga selesainya Perang Dunia Kedua. Dengan demikian
tampuk kekuasaan yang selama lima puluh tahun dipegang oleh partai
nonagama yang Liberal berhasil diambil alih oleh partai agama yang
mengakibatkan golongan agama semakin kuat dan membawa pemerintahan
Belanda ke prinsip Kristen.
Dengan berkuasanya kembali partai agama, maka semangat zending
mulai digalakkan lebih giat lagi. Hingga pada tahun 1909 Gubernur Jenderal
Idenburg yang berkuasa sampai tahun 1916, menyatakan bahwa “Belanda
akan tetap menguasai Indonesia sampai agama Kristen menjadi agama bangsa
Indonesia”. Sejak tahun 1909 inilah berbagai organisasi Kristen sangat cepat
meningkatkan kegiatannya di Indonesia, hal ini tidak lain karena dukungan
penuh yang diberikan pemerintah Belanda kepada para missionaris. Sampai
pada awal abad ke-20, dukungan pemerintah Belanda terhadap kristenisasi
20
daerah yang nilai Islamnya lemah. Sedangkan bagi daerah yang nilai
Islamnya kuat seperti daerah Aceh misalnya, penasehat pemerintah Belanda
seperti Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkannya kristenisasi. Karena
bagi Snouck, umtuk menghadapi Islam yang kuat maka diperlukan cara yang
halus, yaitu dengan menyalurkan semangat orang Islam kearah yang menjauhi
agama Islam melalui asosiasi kebudayaan.
Bahkan menurut R. A. Kern, agama Islam harus dihadapi dengan
cara membawa pemeluknya ke tingkat yang lebih tinggi, karena menurutnya
semua peraturan Islam dinilainya merupakan tangan paling besar bagi
kemajuan. Namun, kemajuan yang diharapkan dapat mengalihkan pandangan
orang Islam agar lalai dari ajaran Islam yang dianutnya, nampaknya justeru
membawa masyarakat Indonesia ke dalam kemajuan, karena ternyata dalam
banyak hal ajaran agama Islam mengakibatkan perubahan dan modernisasi,
sehingga pemerintah Belanda berjuang untuk membatasi pengaruh Islam itu
dengan mendukung kepala adat dan menggalakkan rasa kedaerahan. Tetapi di
luar dugaan pemerintah Belanda, dengan digalakkannya rasa kedaerahan
justeru membantu penyebaran agama Islam dan pengaruhnya di seluruh
Indonesia.Selain itu, akibat yang ditimbulkan dari kegiatan kristenisasi ini
yaitu kebangkitan Islam. Di mana ulama-ulama daerah yang sebelumnya
merasa tenang dengan ibadahnya tanpa merasa ada ancaman, menjadi
21
Berdasarkan hal tersebut, nampak jelas bahwa persaingan antara
pemerintah Belanda, Kristen dan Islam bukanlah persaingan segitiga
melainkan persaingan yang bersifat dua lawan satu, yakni di mana pemerintah
Belanda berkoalisi dengan Kristen untuk menghadapi Islam.Karena sebagian
besar penduduk Indonesia beragama Islam, maka penguasaan masalah Islam
adalah kunci pemecahan bagi terciptanya kelanggengan kolonialisasi. Oleh
karena itu, diakui bahwa “ kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses
penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan seperkutuan bagi pemrintah
kolonial”. Sehingga pemerintah Belandan akan membantu semua masalah
yang dihadapi dalam kegiatan perluasan zending.
2. Netral Teori dan Praktik
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda untuk bersikap netral terhadap
agama ini tertuang dalam Undang-undang Dasar Belanda ayat 119 tahun 1885
yang menyatakan bahwa pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan
beragama dan menyatakan netral dalam masalah agama, kecuali bila aktivitas
agama tersebut dinilai mengganggu ketertiban keamanan. Jika sepintas
dipahami makna netral terhadap agama tersebut, pastinya yang terbesit yakni
keengganan pemerintah Belanda untuk tidak memihak dan tidak ikut campur
tangan sama sekali terhadap semua agama yang ada di Indonesia kala itu.
Namun kenyataaan yang didapatkan tidak sesuai isi teks undang-undang yang
22
konsisten terhadap kebijakan yang dikeluarkannya sendiri. Hal ini tercermin
dalam kebijakan yang dikeluarkan bagi masyarakat Indonesia sebagaimana
berikut ini:
a. Terhadap masyarakat animis, pemerintah Belanda melarang
kebiasaan-kebiasaan tertentu mereka, misalnya: menjadikan manusia sebagai kurban
pemujaan, perang balas dendam, potong kepala, dan sebagainya.
b. Terhadap masyarakat Hindu, pemerintah Belanda melarang kebiasaan
yang mewajibkan seorang janda membakar diri ketika suaminya
meninggal.
c. Terhadap Islam, pemerintah Belanda tidak berkenan ikut campur dalam
urusan pembangunan masjid, tetapi bersikap sangat waspada dan penuh
curiga terhadap para haji, sehingga pada tahun 1859 pemerintah Belanda
mengeluarjan suatu ordonansi yang mengatur masalah ibadah haji lebih
ketat dari sebelumnya.
d. Sedangkan terhadap Kristen, pemerintah Belanda bersikap sangat peduli
terutama dalam hal pemberian bantuan bagi kegiatan keagamaan Kristen
yang seringkali sangat tidak adil antara agama yang lainnya. Misalnya
bantuan untuk Kristen berjumlah f. 1.666.300,-; sedangkan untuk Islam
hanya berjumlah f. 3.950,-;.
Berdasarkan kenyataan di atas, kebijakan netral terhadap agama yang
23
kesinambungan. Di mana dalam teori pemerintah Belanda seakan-akan tidak mau
ikut campur tangan terhadap urusan semua agama, namun pada kenyataannya
pemerintah Belanda nampaknya tidak dapat menahan diri untuk terus mengatur
dan mengawasi setiap gerak-gerik masyarakat jajahannya dengan berbagai siasat
yang dikeluarkan baik melalui kebijaksanaan ataupun berbagai ordonansi. Hal ini
dilakukan oleh pemerintah Belanda, karena memang pemerintah Belanda tidak
benar-benar bersikap netral pada semua agama, tujuannya yakni demi
terpeliharanya ketertiban keamanan dan demi kelestarian kekuasaannya di
Indonesia.6
B. Kebijakan Politik Asosiasi
Jika kita menilik kembali pada primsip politik Islam milik Snouck
Hurgronje di bidang kemasyarakatan adalah pemerintah Belanda hendaknya
memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat Indonesia untuk digalakkan mendekati
adat, kebiasaan atau budaya Belanda. Sehingga jika nanti telah didapati bahwa
pribumi telah menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda, maka tujuan
pemerintah Belanda untuk menguasai Islam dapat tercapai, yakni apabila orang
Islam telah terbiasa dengan kebudayaan Belanda berarti mereka telah berhasil
lepas dari batasan yang dibuat oleh aturan Islam, karena bagi pemerintah Belanda
melalui aturan-aturan Islam itulah dikhawatikan pribumi Islam dapat melawan
24
kekuasaannya. Berikut ini kebijakan pemerintah Belanda terkait politik asosiasi
terhadap masyarakat Indonesia:
1. Asosiasi dan Pemanfaatan Budaya
Istilah asosiasi sering digunakan dalam pengertian yang sama dengan
istilah asimilasi, namun sebenarnya ada perbedaan makna dari kedua istilah
ini, yaitu jika “asosiasi”lebih bersifat mempertemukan antara dua negeri yang
berbeda sebagai teman, maka “asimilasi” cenderung untuk menyatukan
kedudukannya. Politik asosiasi ini memiliki tujuan untuk memperkuat ikatan
antara negeri jajahan dengan negeri penjajahnya melalui pemanfaatan
kebudayaan, di mana lapangan pendidikan menjadi garapan utamanya.
Dengan adanya asosiasi ini maka Indonesia bias memanfaatkan kebudayaan
Belanda tanpa mengabaikan kebudayaannya sendiri.
Usaha yang dilakukan pemerintah Belanda ini dimaksudkan untuk
memperkuat ikatan antara daerah jajahan dengan negara penjajahnya yang
tidak terlepas dari usaha untuk memperkukuh eksistensi penjajahan itu
sendiri. Di mana, konsep asosiasi sendiri adalah produk tipikal pada masa itu
yang diharapkan mampu menjembatani jurang yang memisahkan antara
Timur dan Barat dalam hal kultural.7 Sedangkan, langkah asosiasi yang
diambil oleh pemerintah Belanda yaitu dengan mengabulkan keinginan orang
Indonesia memperoleh pendidikan, yang menurut Snouck Hurgronje jika
25
pribumi memperoleh pendidikan maka akan menjamin kekalnya loyalitas
mereka terhadap pemerintah Belanda.
Penerapan politik asosiasi ini pada hakekatnya bukanlah berarti
pengembangan seluruh masyarakat pribumi, karena pada kenyataanya tidak
semua pribumi disentuh oleh kebijakan politik asosiasi ini. Dalam paraktiknya
yang berhasil disentuh hanya beberapa individu yang diusahakan untuk
terlepas dari masyarakat pribuminya.Sebagaimana dengan diterapkannya
kebijakan pendidikan anak-anak bangsawan yang diprakarsai oleh Snouck
Hurgronje, di mana yang mampu merasakan pendidikan hanyalah putra-putra
bangsawan saja. Tujuan dari Snouck Hurgrinje untuk memasukkan anak
pribumi ke dalam sekolah Belanda ini ialah untuk dijadikan kader pribumi
yang disiapkan menjadi pemimpin bangsanya yang berasosiasi dengan
Belanda.8
2. Asosiasi Pendidikan
Untuk melancarkan siasat politik Islamnya, pemerintah Hindia
Belanda memberikan kesempatan bagi pribumi untuk mengenyam pendidikan
dengan memberikan kebijaksanaan asosiasi pendidikan bagi daerah
jajahannya.Meskipun yang dapat menikmati pendidikan hanya anak-anak dari
kalangan tertentu yaitu kalangan bangsawan dengan materi pendidikan yang
diberikan ialah pendidikan Barat.
26
Melalui pemberian pendidikan bagi pribumi ini pemerintah Belanda
berharap bahwa anak-anak bangsawan yang telah dididik dengan pendidikan
ala Barat itu mampu menjadi tangan kanannya, sehingga mampu
mengendalikan masyarakat Indonesia agar eksistensi kolonialisasi dapat terus
berjalan. Namun, seiring berjalannya waktu pemerintah Belanda menyadari
bahwa pendidikan akan menjadi dinamit yang sewaktu-waktu akan meledak
menjadi perlawanan bagi penjajahan yang mereka lakukan. Oleh karena itu,
pemerintah Belanda pada tahun-tahun selanjutnya lebih memperjelas langkah
pengawasan pada asosiasi pendidikan yang diberikan dengan melakukan
pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam yang semakin
berkembang.9Selain itu, pemerintah kolonial juga mengeluarkan
kebijaksanaan berupa ordonansi guru dan ordonansi sekolah liar.
Kekahawatiran pemerintah Belanda ini, dapat dimaklumi sebab
kelestarian penjajahan merupakan impian yang diharapkan dapat terwujud,
sehingga berbagai siasat politik mereka lancarkan baik berupa angin segar
seperti pemberian pendidikan yang tidak jarang juga dengan batasan dan
pengawasan sebagai satu paket kebijakan. Terlebih lagi jika melihat
kenyataan bahwa mayoritas masyarakat yang dijajahnya merupakan
orang-orang Islam, maka kebijaksanaan di bidang pendidikan menempatkan Islam
sebagai saingannya. Sehinga pada tahun 1905 dikeluarkanlah suatu
peraturantentang pendidikan agama Islam yang disebut dengan Ordonansi
27
Guru, dan dinyatakan berlaku untuk Jawa Madura kecuali Yogyakarta dan
Solo.
Sedangkan pada tahun 1923, dengan dikeluarkannya Ordonansi
Pengawasan oleh pemerintah Belanda, maka aktivitas pendidikan ikut
terpengaruh dengan semakin terbatasnya pribumi untuk mendapatkan
pendidikan yang semula cenderung mudah didapatkan melalui sekolah swasta
milik masyarakat Indonesia.10Namun, karena dirasa mengancam stabilitas
kolonialisasi, mengakibatkan pemerintah belanda mengambil langkah tegas
dengan mengeluarkan peraturah bahwa “setiap orang yang hendak mendirikan
suatu lembaga pendidikan, harus memberitahukan maksudnya secara tertulis
kepada kepala daerah setempat, dengan menyebutkan cara pengajaran dan
tempat mengajarnya”.
C. Kebijakan Politik Pengawasan
Sebagaimana prinsip politik Islam Snouck Hurgronje, bahwa pemerintah
Hindia Belanda tidak boleh mentolerir timbulnya gerakan fanatisme Islam yang
dinilianya berpotensi menggoyahkan kekuasaannya. Untuk itu dalam hal ini
pemerintah Belanda sangat mengawasi setiap gerakan orang Islam yang
dipandang sebagai gerakan fanatik Islam seperti Pan Islam dan Tarekat. Kedua
gerakan tersebut dianggap oleh pemerintah Belanda sebagai gerakan berbahaya
yang akan mengancam eksistensinya di bumi Nusantara. Sehingga pemerintah
28
Belanda dalam mengeluarkan kebijaksanaan, terkadang nampak sebagai suatu
bentuk kewaspadaan dan reaksi dari kecurigaan yang berlebihan.
1. Gerakan Tarekat
Pemerintah Hindia Belanda memang sejak lama sangat khawatir
dan penuh curiga jika terdapat orang-oraang Islam yang berkelompok
membentuk suatu majelis perkumpulan. Hal demikian ini disebabkan oleh
rasa ketakutan pemerintah kolonial terhadap tarekat, karena mereka yakin
bahwa gerakan tarekat akan digunakan sebagai basis kekuatan untuk
memberontak oleh pemimpin-pemimpin fanatik Islam.11 Ketakutan
pemerintah Belanda ini terlihat jelas pada beberapa peristiwa seperti:
peristiwa Cianjur Sukabumi pada tahun 1885, peristiwa Cilegon Banten pada
tahun 1888 dan peristiwa Garut pada tahun 1919.
Pada kenyataanya penyebab meletusnya peristiwa-peristiwa
tersebut ialah tidak sepenuhnya disebabkan oleh menyimpangnya gerakan
tarekat seperti yang dikhawatirkan pemerintah Belanda mampu menimbulkan
kekacauan ataupun suatu gerakan pemberontakan. Sebaliknya, dalam pada itu
penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut yakni dikarenakan
propaganda pemerintah Belanda yang sering mengaitkan masalah lain kepada
masalah tarekat. Sehingga yang pada dua tahun sebelum tahun 1888 tarekat
tidak begitu dicurigai dan diawasi menjadi lebih diperketat pengawasan
terhadapnya. Hal ini tidak lain dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk
29
sekali lagi membatasi gerak orang-orang Islam agar tidak muncul bibit-bibit
pemberontakan yang mengancam kekuasaan pemerintah penguasa.
2. Gerakan Pan Islam
Sebagaimana kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap gerakan
tarekat, terhadap Gerakan Pan Islam pemerintah kolonial juga penuh curiga
dan selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang akan mengancam
kekuasaannya. Jikalau gerakan tarekat merupakan bahaya dari dalam, maka
gerakan Pan Islam merupakan bahaya dari luar. Dalam kaitannya dengan ini,
para haji lah yang seringkali dicurigai sebagai faktor pembawa Pan Islam dari
luar, sehingga gerak-gerik mereka sering diawasi oleh pemerintah Belanda.
Pengertian Pan Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia
Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang
khalifah.Pada masa Usmani Muda, Turki memanfaatkan ide Pan Islam ini
sebagai kekuatan untuk merangkul seluruh umat Islam untuk bersatu di bawah
kerajaan Usmani.12 Usaha ini secara cepat mampu menarik perhatian Asia
Afrika yang pada saat itu hamper seluruhnya sedang dijajah oleh Barat.
Dalam tahun-tahun selanjutnya, Pan Islam diartikan sekedar sebuah
usaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia kawan,
atau menghidupkan rasa ukhuwah Islamiyah di kalangan dunia Islam.
Meskipun demikian, pengertian ini masih saja dianggap mengancam dunia
30
Barat, karena sangat berpontensi membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa
Islam yang dikuasainya.
Rasa khawatir ini juga dirasakan oleh pemerintah Belanda yang
berkuasa di Indonesia.Bagaimana tidak, meskipun letak kepulauan Indonesia
berada jauh dari Turki, namun kenyataan terjalinya hubungan bain antara
keduanya ini tidak dipungkiri berjalan baik. Hal inilah yang membuat
pemerintah Belanda merasa khawatir jika ide Pan Islam akan mempengaruhi
kestabilan kekuasaannya di Indonesia. Pemerintah Belanda bersikap demkian
ini, sebab mereka tidak lupa pada kenyataan masa lalu yaitu ketika terjadi
perlawanan Aceh kepada Portugis di Malaka dengan perang sabilnya yang
terjadi pada abad ke-16, ketika itu Aceh memiliki perwakilan di Istambul,
sehingga dalam menghadap penjajah Aceh memperoleh bantuan Senjata Api
dari Turki.Perang ini merupakan perang yang paling akhir, paling pahit dan
paling lama.Sebab hingga menjelang abad ke-20 segala usaha dilakukan untuk
mengatasi masalah ini, namun masih belum bisa terselesaikan.
Melihat kenyataan inilah, Belanda mngambil langkah sigap untuk
mengantisipasi pengaruh Pan Islam terhadap daerah-daerah kekuasaannya
yang lain, agar tidak muncul lagi kejadian seperti yang terjadi di Aceh.Oleh
karenanya, berbagai bentuk pengawasan dilakakuan salah satunya yakni
pengawasan terhadap para haji dan orang-orang Indonesia yang bermukim di
31
BAB III
SEJARAH PERKAWINAN DI MASA KOLONIAL BELANDA
A. Pembentukan Peradilan Agama 1. Munculnya Peradilan Agama
Peradilan Agama telah tumbuh dan melembaga di bumi Nusantara
ini sejak agama Islam dianut oleh penduduk yang berada di wilayah ini,
berabad-abad lamanya sebelum kehadiran penjajah. Tumbuh dan
berkembangnya Peradilan Agama itu adalah karena kebutuhan dan kesadaran
hukum orang-orang Islam yang menginginkan hukum sesuai keyakinan
mereka.1
Sebelum melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum
Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang
kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan
Negara. Kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melakukan hukum
Islam dalam wilayah hukumnya masing-masing. Sebagaimana kerajaan Islam
Pasai yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke-13 M, yang merupakan
kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti oleh kerajaan Islam lainnya
1 Munawir Sjadzali, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek (Bandung: Rosdakarya, 1994),
32
seperti kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten.2 Selain
itu di bagian Timur Indonesia yang juga berdiri kerajaan Islam seperti Tidore
dan Makassar pada abad ke- 16 M. kemudian kerajaan Mataram yang muncul
sebagai dinasti baru yang memerintah Jawa Tengah dan akhirnya berhasil
menaklukkan kerajaan kecil di pesisir utara, sehingga sangatlah besar
peranannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya
penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka penyebaran agama
Islam, maka pada permulaan abad ke-17 penyebaran agama Islam hampir
meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.
Agama Islam masuk ke Indonesia melalui jalan perdagangan di
kota-kota pesisir secara damai tanpa gejolak, sehingga norma-norma Islam
diterima oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan
penganut agama Islam. Dengan timbulnya komunitas-kimunitas masyarakat
Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang menuntut perkara
berdasarkan hukum Islam semakin diperlukan.3
Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat bahwa system Peradilan
Agama di Indonesia sudah dikenal sejak Islam masuk ke bumi Nusantara pada
abad ke-7 M. Pada masa itu hukum Islam mulai berkembang di wilayah
Nusantara bersama-sama hukum adat, kendati demikian dalam perjalanannya
keberadaan Peradilan Agama mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan
2 Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Pers,
1996), 55.
33
kaerena sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan
yaitu Peradilan Perdata dan Peradilan Padu. Di mana materi hukum Peradilan
Perdata bersumber dari ajaran Hindu dan ditulis dalam Papakem, sedangkan
Peradilan Padu menggunakan hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari
kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam prakteknya, Peradilan Perdata
menangani persoalan-persoalan yang berhubungan dengan wewenang raja.
Keberadaan dua peradilan ini berakhir setelah raja Mataram menggantikan
dengan system Peradilan Serambi yang berasaskan Islam. Penggantian ini
bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah kerajaan Mataram. Oleh sebab
inilah para ahli sejarah sependapat bahwa system Peradilan Agama di
Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh penguasa Mataram.4
Peradilan Agama sebagai bagian dari mekanisme penyelenggaraan
kenegaraan pernah mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal
dan digantikan oleh Amangkurat I. Amangkurat I pernah menutup Peradilan
Agama dan menghidupkan kembali Peradilan Perdata. Namun, setelah masa
ini Peradilan eksis kembali, hal ini dibuktikan dengan hukum Islam
diterbitkannya sebuah kitab “Shirath al-Mustaqim” yang ditulis oleh Nurudin
ar-Ramiri, kitab ini menjadi rujukan para hakim di Indonesia.5 Keberadaan
Peradilan Agama sebagaimana disebutkan di atas telah ada sejak Islam
pertama kali masuk ke Indonesia, di mana pada masa itu masyarakat
4 Dewi Indahsari, Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia (Palembang: Ilmiah Vol. VI
No. II, 1979), 21.
34
Indonesia belum mengenal betul masalah-masalah hukum Islam, sehingga
kondisi ini nampak pada masa kerajaan Islam di nusantara dengan
bentuk-bentuk lembaga peradilan yang memberlakukan hukum Islam yang
pelaksanaannya di serambi-serambi masjid oleh hakim-hakim yang
menjalankan hukum Islam terhadap perkara-perkara perdata, perkawinan dan
kekeluargaan sehingga pada saat itu penampungan perkara perdata sudah ada
tempatnya yang pasti.6
Peradilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para
penghulu yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang-sidang
pengadilan agama pada masa itu biasanya dilaksanakan di serambi masjid,
sehingga pengadilan agama sering pula disebut sebagai “Pengadilan
Serambi”. Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di
Indonesia yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu atau
hakim sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan umum.
Peradilan dan lembaga peradilan pada masa ini masih sangat sederhana,
demikian juga para pegawainya yang biasanya diangkat oleh para pejabat
setempat. Peradilan Agama yang diselenggarakan oleh para pejabat
(penghulu) yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat dan begitu pula
dengan siding-sidang yang berlangsung biasanya dilaksanakan di serambi
masjid. Oleh karena itu, pengadilan serambi menjadi pengadilan yang secara
resmi menangani urusan perdata, yaitu melayani dan menangani rakyat di
35
Jawa. Kemudian pada tahun-tahun selanjutnya barulah muncul pengadilan
agama yang kedudukannya berada di bawah pengadilan kolonial yaitu
“Landraad” (pengadilan negeri). Hanya Landraad inilah yang berwenang
untuk memerintahkan suatu pelaksanaan bagi keputusan Pengadilan Agama
dalam bentuk “Executor Verklaring” (pelaksanaan putusan). Oleh
karenannya, pada masa ini pengadilan agama sangat terbatas kewenangannya
terutama dalam hak menyita barang milik yang berpekara.7
2. Peradilan Agama Pada Masa Pemerintah Kolonial Belanda
Pada masa VOC masih menduduki Indonesia, hukum Islam yang
berkembang di Indonesia dibiarkan lestari dengan pemberian kebebasan oleh
pemerintahan VOC dalam melaksanakan hukum Islam seluas-luasnya selama
tidak mengganggu kepentingan VOC di Indonesia. Semula VOC memiliki
keinginan untuk memberlakukan hukum Belanda di Indonesia yang tujuannya
untuk memeperlancar hubungan mereka dalam kegiatan perniagaan dengan
negara-negara lain, akan tetapi keinginan tersebut gagal sebab mendapat
reaksi keras dari kelompok masyarakat tertentu. Oleh sebab itu, VOC merasa
enggan untuk ikut campur terhadap hukum yang berlaku di Indonesia, bahkan
VOC kemudian membuat alternatif lain yaitu dengan membentuk peradilan
lain untuk bangsa pribumi dan mengumpulkan materi-materi hukum sebagai
36
hukum Islam, yang mana hal ini tertuang dalan sebuah resolusi (dar indische
regering).8
Peraturan resmi yang mengatur masalah eksistensi Peradilan Agama
di Indonesia ini adalah keputusan raja Belanda no. 24 tertanggal 19 Januari
1882, dimuat dalam Stb. 1882 no. 152 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura. Berdasarkan hall tersebut, para pakar hukum
sependapat bahwa lahirnya keputusan raja tersebut merupakan hasil dari teori
Van Den Berg yang menganut paham “reception in complexu”, yang berarti
bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang
dipeluknya. Namun, teori itu digugat oleh Van Vollenhoven dan Snouck
Hurgronje melalui teori “receptie”. Di mana mereka menganggap bahwa teori
reception in complex adalah sebuah kesalahan besar kolonial Belanda, karena
telah memberi keluasan kepada pengadilan agama untuk memberlakukan
hukum Islam secara keseluruhan, bagi mereka yang benar ialah hukum Islam
dapat diterima dan boleh diberlakukan jika telah diterima oleh hukum adat
mereka.
Kemudian Snouck Hurgronje mengkritik kesalahan pemerintah
kolonial Belanda itu dengan mengeluarkan pernyataan bahwa sebenarnya para
pejabat kolonial Belanda masih sangat minim pengetahuannya tentang arti
dari pengadilan agama di Indonesia dan keberadaannya. Dengan kedatangan
Snouck Hurgronje sebagai seorang ahli tentang Islam, pemerintah Belanda
37
sangat diuntungkan. Namun, bagi masyarakat Islam kedatangan Snouk
Hurgronje ini sangat berdampak bagi kehidupan beragamanya, terutama bagi
lembaga-lembaga pendidikan dan peradilan. Sebagaimana lembaga peradilan
Islam yang tidak dapat leluasa menjalankan hukum Islamnya, sebab telah
mendapatkan campur tangan dari pemerintah Belanda.
Kemudian Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven juga
melakukan beberapa perubahan pasal-pasal RR (Stb. 1885 No. 2) yang
mengatur pelaksanaan undang-undang agama bagi bumi putera. Di mana
pasal yang mula-mula diubah yakni pasal 75 RR melalui Stb.Bld 1906 No.364
(Stb. Hindia Belanda 1907 No. 204), dengan mengubah istilah “undang
-undang agama” menjadi “peratura yang berkenaan dengan agama dan
kebiasaan”. Melalui perubahan ini maka, berarti bahwa hukum Islam tidak
berlaku lagi di Indonesia kecuali telah diterima oleh hukum adat. Berdasarkan
Stb. tahun 1937 No. 638, engadilan agama di Jawa dan Madura serta di
Kalimantan Selatan hanya berwenang menangani hukum perkawinan saja. Hal
ini diatur dalam pasal 2a dan mulai berlaku pada 1 April 1937. Sedangkan
perkara-perkara selain perkawinan menjadi wewenang pengadilan negeri.
Ketentuan ini tetap berlaku hingga masa pemerintahan Jepang, hanya saja
nama peradilan agama berubah menjadi “Kaikoyo Kootoo Hooin”
38
B. Penghulu di Masa Kolonial 1. Arti dan Fungsi Penghulu
Ketika kita dihadapkan pada istilah “penghulu” maka yang muncul
dalam pikiran kita yakni seseorang yang memiliki tugas untuk menikahkan
laki-laki dan perempuan. Sangat ironi memang jika saat ini istilah “pengulu”
atau “penghulu”9 hanya dipahami sebagai seorang yang bertugas mencatat
pernikahan atau sekaligus juga meinikahkan sepasang pengantin, dan
memiliki sedikit pengetahuan mengenai pernikahan dan pembagian warisan
menurut hukum Islam. Biasanya pekerjaan ini diakaitkan dengan tugas
penghulu sebagai seorang pejabat di Kantor Urusan Agama Islam yang ada di
setiap kecamatan. Jika dibandngka dengan fungsi dan peran penghulu pada
masa kerajaan Islam dan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, peran
yang tersisa saat ini adalah dua dari peran minor yang dilakukan oleh
penghulu.
Fungsi dan jabatan penghulu adalah fungsi yang inheren sejak awal
dibentuknya pemerintahan Islam di Nusantara. Sejarah awal mengenai
Islamisasi di Nusantara, merekam adanya fungsi penghulu pada
kerajaan-kerajaan Islam Jawa. Pada kerajaan-kerajaan Demak, raja berfungsi sebagai pemimpin
negar, pemimpin militer, dan pemimpin agama. Ketiga fungsi ini diwakili
oleh masing-masing tiga petinggi kerajaan yaitu patih (perdana menteri),
9 Amelia Fauziah, Antara Hitam dan Putih: Penghulu pada Masa Kolonial Belanda (Jakarta:Studia
39
adipati (pemimpin militer), dan penghulu (pemimpin agama). Dari abad ke-16
M, struktur ini terus dipertahankan sampai pada abad ke-19 M dan
berkembang tidak hanya pada daerah vorstenlanden (kerajaan), tapi juga pada
daerah gouvernementslanden (kabupaten di bawah administrasi kolonial).10
Secara umum, tugas penghulu adalah memastikan bahwa syariat
Islam dijalakan oleh masyarakat, disamping perannya menjadi penasihat
spiritual kerajaan. Oleh karenanya, wajar jika tugas penghulu cukup banyak
yaitu menjadi imam shalat di masjid agung; menikahkan pengantin menurut
hukum Islam; menjadi wali nikah, menjadi hakim pada kasus perceraian, pada
kasus harta warisan, dan masalah wasiat; memberi nasihat tengtang masalah
keislaman; bertanggung jawab terhadap pendidikan agama Islam, sekaligus
juga sebagai da’i untuk menyebarkan agama Islam ke pelosok Nusantara.
Menurut Serat Wadu Aji yaitu serat atau kitab yang menjelaskan semua
teknologi yang digunakan dalam administrasi keratin termasuk aturan dan
fungsi pegawainya, kata “pengulu” dalam bahawa Jawa berarti sesirah
(kepala) atau pangjeng (pemimpin). Serat Wadu Aji menjelaskan bahwa
pengulu adalah pemimpin tertinggi dari jabatan keagamaan kerajaan. Menurut
serat ini, pengulu selain berfungsi dalam masalah ibadah dan kasus-kasus
peradilan Islm termasuk memutuskan hukuman mati, jugabertugas untuk
mendoakan raja dan keluarganya, mendoakan tentara, dan semua masyarakat
agar mendapat berkah. Disamping hal-hal umum yang sudah dusebutkan di
40
atas, kitab ini menyebutkan bahwa pengulu disyaratkan menguasai buku-buku
agama dan ahli dalam bidang astronomi.11
Selain sebagai penasiat spiritual kerajaan, terkadang fungsi pengulu
juga merambah pada masalah politik. Pada abad ke-16 sampai ke-18 M,
fungsi pengulu pada kerajaan-kerajaan Jawa hamper sama dengan fungsi kadi
atau qadi , atau bahkan Syaikhul Islam pada kerajaan Islam di luar Jawa,
seperti Samudera Pasai, Malaka dan Aceh. Kadi dan Syikh Islam berperan
tidak hanya pada urusan agama saja melainkan juga berperan penting dalam
urusan diplomatik. Dalam banyak kasus, yang diangkat sebagai pengulu
adalah ulama yang memiliki otoritas keilmuan dan kepemimpinan yang
tinggi.
Pada periode awal abad ke-19 ketika kerajaan Mataram masih
berdiri, jabatan administarasi agama tertinggi tetap ada di tangan pengulu. Di
mana pada periode ini struktur pengulu sudah sedemikian lengkap memiliki
hirarki seperti halnya struktur pejabat birokrasi non agama yang disebut
priayi. Pejabat pengulu tertinggi terdpat pada level Kesultanan Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta yang disebut dengan pengulu ageng. Sedangkan,
dibawahnya yakni pada level kedua setingkat kabupaten, pejabat agama
disebut pengulu. Kemudian pejabat di tingkat kecamatan atau level ketiga
disebut na’ib atau na’ib pengulu. Selanjutnya pada tingkat desa, jabatan
keagamaan ini memiliki nama yang sedikit berbeda dari satu wilayah dengan
41
wilayah yang lain seperti mudin, kayim atau kaum. Karena fungsi pengulu dan
para pembantunya ini berhubungan dengan bidang keagamaan dan penegakan
syari’ah, maka “kantor” atau tempat dinasnya adalah di masjid yang ada di
setiap level administrasi, dari masjid kerajaan, masjid kabupaten, masjid
kecamatan, dan masjid desa.
Struktur hirarki pengulu pada wilayah kerajaan dan di luar wilayah
kerajaan tidak jauh berbeda. Hanya di luar wilayah kerajaan lebih sederhana
strukturnya. Sebagai contoh, struktur kepenghuluan pada kerajaan Mataram
Islam, yakni pada tingkat kerajaan terdapat pengulu ageng atau disebut
wedana kaum karena berperan sebagai pemimpin bidang agama, atau juga
disebut sebagai abdi dalem pamethakan (pegawai putihan), karena tugasnya
bertanggung jawab atas masalah keislaman di kraton. Pengulu kraton ini
memegang jabatan tumenggung yang setingkat dengan adipati dan patih, dan
memiliki hirarki di bawahnya. Pada tingkat kedua atau kabupaten terdapat
pengulu ketib untuk wilayah kawedanan jero atau pengulu naib lurah untuk
wilayah kawedanan jaba. Di bawahnya lagi yakni pada tingkat ketiga terdapat
naib yang bertugas di wilayah kapenewon atau kecamatan, serta pada tingkat
terakhir adalah kaum yang bertugas di tingkat desa.
Pada setiap level administrasi tersebut, masing-masing pengulu
memiliki staf administrasi agama yang membantunya. Di mana pada tingkat
kerajaan, pengulu ageng dibantu oleh Sembilan ketib (khatib atau
42
puluh ulama (seseuai jumlah jama’ah shalat jum’at), dan sepuluh merbot
(yang mengurus perabotan masjid). Sedangkan pada tingkat kabupaten
pengulu uga berperan sebagai hakim disamping jaksa. Pengulu memiliki
pmbantu utama yakni ketib. Di mana tugas ketib adalah menjadi khatib dalam
shalat Jum’at, dan membantu mencatat pernikahan, perceraian, pembagian
warisan, serta memberi nasihat kepada pengantin mengenai pernikahan dan
kehidupan rumah tangga. Naib (wakil) pengulu d tingkat kecamatan sering
disebut pengulu naib yang bertugas hamper sama dengan tugas pengulu di
tingkat kabupaten, hanysa saja ia tidak berfungsi sebagai hakim. Kemudian
kaum yang terdapat pada tingkat desa bertugas hamper sama dengan naib,
hanya saja ia tidak bertanggung jawab pada administrasi pernikahan,
perceraian, dan pembagian warisan. Di samping itu, terdapat juga pegawai
administrasi agama seperti merbot, mudin (mu’adzin) atau bilal, serta kebayan
(petugas keamanan masjid).12
2. Masuknya Penghulu dalam Sistem Administrasi Kolonial Belanda
Selama duaratus tahun VOC berkuasa di Indonesia, VOC tidak
mampu untuk merubah institusi hukum Islam yang berlaku dalam masyarakat,
karena mereka paham bahwa isi atau materi hukum Islam ini sangatlah
kompleks. Meskipun VOC berhasil mendirikan landraad di setiap kabupaten
sebagai pengadilan yang bisa dipakai oleh pengulu dan jaksa. Namun,
43
keberadaan landraad tersebut tidak dapat menghapuskan “pengadilan
serambi” seutuhnya, bahkan pengadilan serambi atau pengadilan agama masih
melangsungkan kegiatan peadilannya di masing-masing serambi masjid.
Pada periode pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang
pertama yakni pada masa Deandels adalah langka awal adanya pengakuan
terhadap pengulu. Deandels mengakui keilmuan dan otoritas pengulu dalam
pengadilan Islam secara resmi untuk menangani pernikahan, perceraian, dan
kasus-kasus kriminal. Selanjutnya, Deandels mengangkat pengulu menjadi
penasihat pengadilan pribumi. Setelah lima tahun di bawah administrasi
Inggris, pemerintah Hindia Belanda yang baru berusaha menghubungkan
antara hukum Belanda dengan hukum pribumi, dalam surat keputusan tahun
1829, menyatakan bahwa status pengulu bersama jaksa dikukuhkan tetap
berkedudukan sebagai penasihat dalam peradilan kabupaten. Bahkan pada
tahun 1830, pengadilan Islam yang dipimpin pengulu dimasukkan ke dalam
bagian dari pengadilan negeri (landraad).
Sebagai bentuk usaha untuk mengurangi pengaruh Islam di
Indonesia, baik dengan cara kristenisasi yang terus digaungkan agar penduduk
pribumi lebih setia pada penjajah, pemerintah kolonial Belanda juga
melakukan usaha untuk mengarakan hukum pribumi (hukum Islam) menuju
ke arah hukum Eropa secara signifikan karena dianggap bahwa hukum Eropa
lebih baik. Oleh karena itu, keputusan yang dihasilkan oleh pengadilan Islam