• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.3. Profil Informan

1) Bapak Nyoman Sumandro

Bapak Nyoman Sumandro adalah seorang pria bersuku Bali yang lahir dan besar di Sumatera Utara. Pria yang memiliki kulit sawu mateng ini merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Beliau merupakan generasi kedua yang tinggal di Kampung Bali. Pria yang beragama Hindu ini sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Bapak Nyoman Sumandro memiliki istri yang berasal dari luar Suku Bali. Istrinya yang bernama Ketut Triasih merupakan seorang wanita bersuku Jawa yang berasal dari Desa Paya Tusam. Istrinya yang dulu memeluk agama Islam kini ikut dengannya memeluk agama Hindu. Berdasarkan tradisi yang berlaku nama dari istrinya harus ditambahi dengan sistem penyebutan yang berlaku, maka ditambahkanlah kata Ketut dalam nama istrinya.

Pria yang berusia 41 tahun ini adalah seorang Kepala Dusun yang mengayomi 90 Kepala Keluarga yang ada di Kampung Bali. Setiap hari beliau memberikan waktunya kepada masyarakat yang ada di Kampung Bali apabila ada keperluan. Memiliki lahan karet seluas ± 2 Ha merupakan sumber penghasilan beliau. Untuk mengurus ladang karetnya ini beliau menghabiskan waktunya dari pagi sampai tengah hari siang di ladang.

Selain berperan sebagai Kepala Dusun, bapak dengan tiga anak ini juga dipercaya sebagai Pemangku untuk 34 Kepala Keluarga Masyarakat Bali yang ada di Kampung Bali. Beliau ditunjuk sebagai pemangku pada saat beliau sudah menjabat sebagai Kepala Dusun. Karena pemangku terdahulu sudah tidak sanggup lagi mengemban amanah dan berdasarkan hasil musyawarah di Pura maka beliau ditunjuk untuk mengemban amanah sebagi pemangku tersebut, sehingga beliau kini menjabat posisi yang rangkap di Kampung Bali.

Sebagai pemangku beliau bertugas untuk membimbing dan menuntun Umat Hindu yang ada di Kampung Bali untuk bersembhyang di Pura. Dalam

34

melakukan persembahyangan beliaulah yang bertugas untuk memimpin jalannya persembahyangan tersebut. Selain itu jika ada acara-acara yang berkaitan dengan tradisi dan keadatan beliau jugalah yang bertugas untuk menjalankannya.

2) Bapak Nyoman Suyetno

Bapak Nyoman Suyetno adalah pria bersuku Bali yang berasal dari keuarga yang sederhana. Sehari-hari beliau bekerja sebagai petani karet. Selain mengolah lahan karetnya beliau juga mengolah lahan karet milik orang tuanya. Dalam mengolah ladang karet miliknya dan orang tuanya, sehari-hari beliau menghabiskan waktunya dari pagi hingga tengah hari di ladang.

Pria dengan perawakan kurus ini merupakan orang kepercayaan dari Kepala Dusun sekaligus Pemangku yaitu Bapak Nyoman Sumandro. Saat ini Bapak Nyoman Suyetno sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Sama halnya dengan Pak Nyoman Sumandro, Bapak Nyoman Suyetno ini juga memiliki istri yang berasal dari Suku Jawa. Istrinya yang bernama Ibu Sri yang berasal dari Desa Stungkit yang letaknya tidak terlalu jauh dari Kampung Bali. Istri Bapak Nyoman Suyetno ini dulunya memeluk agama Islam dan kemudia ikut memeluk agama Hindu saat menikah.

Berbeda dengan Bapak Nyoman Sumandro yang menambahkan nama istrinya dengan sistem penyebutan yang berlaku di masyarakat Bali, pria yang berusia 35 tahun ini tidak menggunakan hal yang serupa karena beliau menganggap tidak menjadi permasalahan jika hal tersebut tidak dilaksanakan.

Hingga saat ini ada tiga generasi dari masyarakat Bali yang tinggal di Kampung Bali dan Bapak Nyoman Suyetno merupakan generasi kedua. Beliau juga lahir dan besar di Kampung Bali.

3) Bapak Wayan Weto

Bapak Wayan Weto adalah pria bersuku Bali yang lahir di Pulau Bali. Beliau merupakan generasi pertama yang tinggal di Kampung Bali. Saat berusia 18 tahun Bapak Wayan Weto ikut dengan orang tuanya pindah ke Kampung Bali. Pria ini merupakan orang yang dituakan di Kampung Bali karena hanya tinggal sedikit dari generasi pertama yang masih hidup.

35

Pria berusia 60 tahun ini memiliki seoarng istri yang bernama Ni Made Sara. Istrinya berasal dari suku Bali yang juga lahir di Pulau Bali. Pria yang sudah berambut putih ini memiliki empat orang anak. Bapak Wayan Weto merupakan orang yang sangat pintar bergaul, beliau juga sering ikut jika teman-temannya yang muslim ada perwiritan atau kenduri.

Kesehariannya Bapak Wayan Weto bekerja sebagi petani, sebelumnya dia hanya petani karet namun karena karet miliknya sudah mulai rusak kini beliau juga mendapatkan penghasilannya dari kelapa sawit. Setiap pagi beliau pergi ke ladang dan pulang di siang hari untuk makan siang. Biasanya menjelang sore beliau kembali ke ladangnya hingga menjelang senja. Walaupun sudah terbilang tua tetapi beliau masih giat dalam bekerja.

4) Bapak Nyoman Sutejo

Bapak Nyoman Sutejo atau yang akrab dipanggil Pak Tejo adalah seorang pria berdarah Bali yang lahir dan besar di Sumatera Utara, tepatnya di Kampung Bali. Beliau merupakan generasi kedua dari masyarakat Suku Bali yang ada di Kampun Bali. Sehari-hari beliau bekerja sebagai petani karet, dari pagi hingga siang hari beliau berada di ladangnya untuk menyadap karet. Selain sebagai petani karet beliau juga seorang tokeh karet atau masyarakat Kampung Bali biasa menyebutnya tokeh getah. Beliau setiap hari menerima pembelian karet dari masyarakat dan setiap hari minggu beliau pergi ke Kota Tebing Tinggi untuk mengantar Karet yang ia beli ke Pabrik yang ada disana.

Pria berusia 36 tahun ini memiliki seorang istri yang bernama Ni Ketut Santi dan dua orang anak. Istri beliau bersuku Jawa yang berasal dari Desa Patok Delapan Belas. Saat menikah istrinya ikut dengannya memeluk agama Hindu dan berdasarkan ketentuan yang berlaku nama istrinya ditambahkan penyebutan berdasarkan sistem penyebutan yang berlaku di masyarakat Suku Bali.

Pria yang memiliki kulit gelap ini dipercaya oleh masyarakat Kampung Bali untuk menjabat sebagai Ketua Badan Pendapatan perKapita Desa (BPKD). Sebagi ketua BPKD beliau bertugas untuk mengajak dan memimpin masyarajat dalam hal gotong rooyong dan pembangunan desa, setiap enam bulan sekali beliau mengumpulkan masyarakat di balai dusun untuk membahas BPKD terkait

36

transparansi dana dan hal-hal yang ingin dilaksanakan untuk pembangunan Kampung Bali.

5) Bapak Wayan Dangin

Bapak Wayan Dangin adalah seorang pria bersuku Bali yang lahir dan besar di Sumatera Utara. Beliau merupakan generasi kedua dari masyarakat suku Bali yang tinggal di Kampung Bali. Sehari-hari beliau bekerja sebagi seorang petani karet. Beliau menghabiskan waktunya di ladang dari pagi hingga siang hari. Pria yang berusia 41 tahun ini memiliki seorang istri dan tiga orang anak. Istri dari Bapak Wayan Weto bernama Nyoman Suyati, istrinya merupakan wanita bersuku Bali, sama dengannya.

Selain sebagi petani, Bapak Wayan Dangin ini memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat Bali yang ada di Kampung Bali. Pasalnya beliau merupakan ketua Suka-duka. Sebagai ketua Suka-duka beliau bertugas untuk membimbing masyarakat Hindu Bali yang ada di Kampung Bali jika ada acara- acara keagamaan atau upacara-upacara Umat Hindu. Beliau biasanya mengumpulkan masyarakat Hindu Bali di Pura dan melakukan musyawarah untuk pengambilan keputusan dalam pelaksanaan upacara atau perayaan yang mereka laksanakan.

Selain itu beliau juga bertugas jika ada masyarakat Hindu Bali yang kemalangan atau ditimpa musibah. Sesuai dengan nama perkumpulannya yaitu Suku-duka, beliau bertugas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat Hindu Bali, baik itu yang sifatnya suka cita atau duka cita.

6) Bapak Made Suprapto.

Bapak Made Suprapto atau yang sering dipanggil Made Prapto adalah seorang pria bersuku Bali yang lahir dan besar di Kampung Bali. Made Prapto merupakan anak keempat ari tujuh bersaudara. Made Prapto ini merupakan adik kandung dari Bapak Nyoman Sutejo yang juga merupakan Informan dalam penelitian ini. Beliau merupakan generasi kedua dari masyarakat Suku Bali yang tinggal di Kampung Bali ini.

37

Pria berusia 31 tahun ini memiliki istri yang bernama Made Santi dan seorang anak yang masih balita. Istri beliau juga berasal dari Suku Bali yang tinggal di Kampung Bali. Sehari-hari beliau bekerja sebagai seorang petani karet, di pagi hari terkadang beliau menghabiskan waktunya di ladang. Selain sebagi petani, pria lulusan Sarjana Agama ini juga mengajar di salah satu SMP Negeri yang ada di dekat Kampung Bali.

Selain bertani dan mengajar, beliau juga handal dalam memperbaiki alat elektronik seperti televisi. Di malam hari beliau sering menghabiskan waktunya untuk memperbaiki televisi jika ada meminta tolong kepadanya. Pria yang ramah ini memiliki hobi memancing, sering menjelang sore hari beliau pergi memancing dengan teman-temannya.

4.1.4. Hasil Pengamatan dan Wawancara

Peneliti melakukan wawancara mendalam kepada enam orang masyarakat Hindu Bali sebagai informan dan satu orang masyarakat yang bersuku Jawa sebagai informan tambahan. Berikut hasil wawancara dengan masing-masing informan.

Informan I

Nama : Nyoman Sumandro

Umur : 41 Tahun

Pekerjaan : Petani Karet

Tanggal Wawancara : 21 Februari 2016 dan 03 Maret 2016 Tempat : Rumah Bapak Nyoman Suyetno

Kp. Bali, Kec. Sei Wampu Kab. Langkat.

Peneliti melakukan wawancara dengan Bapak Nyoman Sumandro sebanyak dua kali di rumahnya. Di awal wawancara peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menyampaikan maskud dan tujuan penelitian yang dilakukan. Kemudian peneliti menanyakan biodata diri dan keseharian informan di lingkungan tempat tinggalnya. Bapak Nyoman Sumandro merupakan Pria bersuku Bali yang lahir dan besar di Sumatera Utara, saat ini Bapak Nyoman

38

Sumandro telah berusia 41 tahun. Saat ini Bapak Nyoman Sumandro telah memiliki dua orang putra dan satu orang putri dari penrikahannya dengan istri yang bernama Ketut Triasih, istrinya adalah wanita bersuku Jawa dari Desa Paya Tusam yang awalnya beragama Islam kemudian ikut memeluk agama Hindu saat menikah dengan Bapak Nyoman Sumandro.

Bapak Nyoman Sumandro adalah seorang Kepala Dusun di Kampung Bali, selain itu beliau juga seorang Pemangku yang bertugas untuk membimbing dan menuntun masyarakat Hindu Bali yang ada di Kampung Bali untuk melakukan persembahyangan di Pura. Selain itu beliau juga bertugas untuk menyelesaikan upacara-upacara keagamaan seperti tiga bulan anak, upcara kematian dan lain sebagainya.

Iya saya seorang Pemangku. Sebagai pemangku tugas saya menyelesaikan upacara-upacara keagamaan, menuntun umat Hindu untuk bersembahyang di Pura, kalau hari raya Nyepi atau sebagainya disitu pemangku bertugas menuntun, membantu masnyarakat Hindu itu untuk sembahyang. Yang kedua menyelesaikan upacara-upacara apabila ada pernikahan, apabila ada tiga bulan anak, di rumah masyarakat Hindunya. Melaksanakan upacara-upacra keagamaan di kampung sini lah, itulah tugas pemangku.

Bapak Nyoman Sumandro mengaku bahwa ia sering berinteraksi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali, baik itu yang bersuku Bali, Jawa maupun Karo tanpa terkecuali. Sebagai Kepala Dusun, ia sering berintekasi dengan semua masyarakat, dia juga sering memberikan nasihat dan solusi kepada warganya yang berkonsultasi kepadanya.

Sering, apalagi saya Kepala Dusun, jadi ada masalah apapun mereka kemari. Saya berinteraksi sebagaimana baiknya saya bikin kepada masyarakat. Saya bimbing mereka, jangan, misalnya dia itu akan begini- akan begitu, ya saya arahkan. Apa solusinya, ya seringlah. Itu juga tugas dan tanggungjawab pemangku. Apa itu Pemangku? Ya, rohaniawan kan. Terus kedua sebagai Kepala Dusun, ya kalau saya tidak peduli masyarakat ini, bagaimana nasibnya.

Dengan masyarakat Bapak Nyoman Sumandro memiliki hubungan yang akrab, beliau juga sosok yang terbuka dengan semua masyarakat yang ada di Kampung Bali tanpa membeda-bedakan mereka, beliau selalu menyambut dengan

39

hangat masyarakat yang datang ke rumahnya. Beliau selalu merasa senang saat berinteraksi dengan masyarakat yang ada di Kampung Bali.

Iya, saya akrab sama semua masyarakat yang ada disini. Apalagi saya kepala dusun jadi saya memang harus akrab dengan masyarakat disini. Saya terbuka dengan mereka, mereka terbuka dengan saya. Kalau ada apa mereka datang ke rumah saya. Kalau mereka ada masalah kita cari solusinya sama-sama.

Perasaan saya sih kalau masalahnya itu misalnya dia misalnya punya masalah dan itu bisa saya selesaikan, rasa saya itu gembiralah, kemudian itu masyarakat tadinya udah, masih ada masalah dan bisa saya selesaikan dengan berupaya saya.

Kalau itu saya berinteraksi untuk gotong royong, ya kadang-kadang agak keras sedikit, karena ya kadang diajak gotong royong itu agak sulit, makanya kadang agak apa jugalah, agak ada penekanan, sedikit aja, dengan bahasa ajalah. “ Harus hadir karena untuk kita bersama jadi tolonglah untuk besok/hari ini kita hadir bersama-sama”

Bapak Nyoman Sumandro tidak memiliki pemikiran yang berbeda terhadap masyarakat yang ada di Kampung Bali, beliau tidak pernah membeda- bedakan mereka berdasarkan suku dan agama, beliau tidak pernah ada keberpihakan dengan masyarakat. Beliau menganggap bahwa semua masyarakat yang tinggal di Kampung Bali itu sama.

Sama saja, sama saja saya menyayanginya, sama saja saya mengarahkannya, ibaratnya tidak ada saya itu “ ah dia suku saya” tidak ada keberpihakan. Lagipun kita sudah satu kampung, suatu pimpinan kan tidak boleh berpihak, kebenaran yang diutamankan.

Masyarakat yang tinggal di Kampung Bali ini memiliki kebiasaan yang sama dengan masyarakat di luar setiap ada hajatan atau pesta. Bapak Nyoman Sumandro mengatakan bahwa di Kampung Bali ini jika ada hajatan atau pesta mereka selalu saling mengundang, jika Suku Bali ada hajatan mereka mengundang masyarakat Suku jawa dan masyarakat lainnya, begitu pula jika ada masyarakat di luar suku Bali mengadakan hajatan atau pesta mereka juga mengundang rekan-rekannya Suku Bali. Bahkan masyarakat di Kampung Bali ini juga mengundang ke luar Kampung jika mereka melakukan hajatan atau pesta.

Ya misalnya ada nikahan, sukuran rumah baru, ya saling mengundang. Kalau misalnya Hindu atapun masyarakat suku bali punya hajatan masuk rumah baru, selapan anak, kalau kami 3 bulan anak kalau kami orang bali, itu ya mengundang, jika dia mampu mengundang dia mengundang

40

seluruh masyarakat Kampung Bali ataupun mengundang keluar jug a, mengundang keluar kampung ini juga. Misalnya adalah saudara dia, misalnya ada yang di Patok (nama desa), keluarga di Paya Tusam, ya dia mengundang juga. Ada kawinan, memasuki rumah baru, kami mengundang. Disini orang suku jawa juga mengundang kami dan pamilinya yang ada dimana-mana. Seperti apa yang dilaksanakan diluar sana, menikahkan anak, menghajatkan anak, seperti itu jugalah kami. Mengundang-undang sahabat, kerabat, orang kampung sebelah.

Bapak Nyoman Sumandro mengaku sering bertamu ke rumah masyarakat yang ada di Kampung Bali, baik itu yang beragaam muslim maupun yang Hindu, tetapi beliau bertamu hanya jika ada kepentingan-kepentingan saja dan pada momen-momen tertentu. Beliau sering bertamu ke rumah masyarakat yang beragama muslim pada saat lebaran Idul Fitri. Dalam bertamu pun tidak semua rumah beliau masuki, beliau hanya bertamu ke rumah masyarakat-masyarakat yang memiliki hubungan yang erat dengannya, ke rumah orang-orang yang dituakannya. Kalau bertamu biasanya Bapak Nyoman Sumandro membicarakan hal-hal mengenai kehidupan mereka di Kampung Bali, selain itu beliau juga berbicara mengenai perekonomian.

Saya kalau ada kepentingan-kepentingan ya bertamu saya, tapi nanti kalau misalnya itu ada hari raya, muslim misalnya hari raya, kalau misalnya bertamu ya bertamu saya. Tapi gak semua rumah saya masuki gitu. Ya bertamu saya, bertamu ke rumah yang erat persahabatannya, ke rumah orang-orang yang dituakan, itu saya bertamu.

Ya banyak, cerita tentang kehidupan kita disini, tentang ekonomi kita. Ya banyak lah bang.

Duduk dan berbincang di warung merupakan hal yang sering dilakukan kaum bapak di kampung-kampung. Namun, tidak dengan Bapak Nyoman Sumandro, Semenjak menjadi Pemangku beliau tidak pernah lagi duduk-duduk di warung, karena tersebut tidak dibenarkan bagi seorang rohaniawan. Menurutnya hal itu tidak dibenarkan, karena di warung merupakan tempat bercanda tawa sehingga sering terdengar hal-hal yang tidak enak di telinga.

Dulu sering, tapi selama saya menjabat pemangku , ini tidak dibenarkan duduk di warung samapai lama-lama. Gak boleh, karena diakan seorang Rohaniawan. Di warung itukan penuh dengan canda dan tawa, jadi tidak dibenarkan. Nanti ada yang kita dengar (tidak layak) kan tidak enak. Sekarang udah gak pernah lagi.

41

Bapak Nyoman Sumandro sering melakukan Komunikasi Antarpribadi dengan masyarakat Kampung Bali. Biasanya dalam melakukan KAP masyarakat datang ke rumahnya untuk membicarakan hal-hal mengenai pemerintahan dan melakukan konsultasi untuk mendapatkan solusi dari Pak Mandro.

Pernah, sering malah bang. Ya kalau mereka ada masalah atau mereka ada perlu tentang pemerintahan, mereka datang ke rumah saya. Kita bicara-bicara. Kalau mereka ada masalah ya saya carikan solusinya. Tapi kalau untuk interaksi secara santai itu tidak pernah. Paling yang sering sama tetangga depan ini.

Dalam bertukar informasi Bapak Nyoman Sumandro sering melakukannya dengan masyarakat Kampung Bali. Biasanya informasi yang beliau sampaikan terkait dengan pemerintahan. Dalam menyampaikan informasi mengenai pemerintahan biasanya Bapak Nyoman Sumandro mengumpulkan masyarakat di balai dusun. Namun sebelum kumpul di balai dusun untuk memberitahukan kepada masyarakat Ia datang dari rumah ke rumah.

Sering, Kalau ada informasi misalnya kata Kepala Desa ini perlu disampaikan kepada masyarakat, itu saya kumpulkan di balai dusun. Seperti ada perintah. Misalnya ini ada perintah yang penting dari Kepala Desa, ada instruksi besok harus... apa... ada...tamu yang mau datang, misalnya Bupati gitu.

Kalau kumpul biasanya di balai dusun. Jadi untuk mengumpulkannya saya buat strategi, saya cari waktu lowong mereka. Saya juga door to door, biasanyakan itu lewat tenagh hari “ besok jam 2 kita kumpul di balai

dusun” door to door saya, besok di hari-H nya saya pukul kentong. Di

balai dusun itukan ada kentong, saya pukul “ tung...tung...tung...” nanti ngumpul. Itulah dia kalau misalnya da penyambutan tamu, atau ada yang mau dibicarakan kepada masyarakat atau disampaikan kepada masyarakay secara formal. Harus kumpul di balai dusun, tapi door to door untuk membilanginya. Itu saya yang membilanginya, kadang kalau saya ada kegiatan tetangga depan saya suruh bilangi.

Bapak Nyoman Sumandro sering berkomunikasi secara berkelompok denga masyarakat yang ada di Kampung Bali. Biasanya komunikasi kelompok tersebut dilaksakan di balai dusun atau di Pura sesuai dengan topik dan keperluan. Kalau di balai dusun topik yang dibahas mengenai pemerintahan atau kemasyarakatan, tetapi kalau di Pura itu dinamakan kelompok suka-suka, kelompok suka-duka ini khusus membahas mengenai masyarakat Hindu Bali.

42

Ya itu di balai dusun kalau ada hal-hal penting tentang pemerintahan atau tentang masyarakat. Kalau perkumpulan Pura Dulu ada muda-mudi, tapi sekarang udah gak ada karena banyak yang keluar, banyak yang kos, sekolah, kerja di luar jadi sekarang udah gak ada lagi. Kalau orang tua masih ada, Suka-Duka namanya. Kalau suka-duka itu tentang masyarakat Hindunya, entah ada pembangunan pura atau ada kemalangan.

Dalam melakukan komunikasi, Bapak Nyoman Sumandro menggunakan alat komunikasi seperti Handphone untuk dapat berhubungan dengan masyarakat. Bapak Nyoman Sumandro menggunakan handphone untuk berbagai keperluan, seperti kepentingan pribadi untuk berhubungan dengan rekan dan saudara, kepentingan umum dan golongan seperti menghubungi warga yang ada keperluan untuk urusan pemerintahan.

Sering, misalnya memberitahu surat sudah selesai, saya telpon aja. Kepentingan umum, pribadi, golongan. Tapi kalau untuk mengumpulkan orang itu tidak menggunkan handphone. Misalnya dia mau ngurus surat keterangan berkelakuan baik, buat keterangan tanah, yang tadinya udah jumpa tapi kemudian kurang lengkap datanya, saya telpon aja. Yang ada nomor telponnya ya. Karna gak semua masyarakat punya HP, ataupun gak semua nomornya saya tau.

Masyarakat Kampung Bali dulunya aktif dalam melakukan gotong royong, namun untuk beberapa bulan belakangan gotong royong tersebut tidak lagi berjalan, dan sebagai penggantinya iuran BPKD yang dikutip dari masyarakat digunakan untuk membayar pekerja yang menggantikan pekerjaan masyarakat yang biasanya diselesaikan dengan cara gotong royong.

Dulu rutin dulu, sekarang memang enggak lagi. Sudah dialihkan, sudah diupahkan. Dulu setiap hari kamis, rutin dulu, sekarang sudah diupahkan kepada pekerja itu. Karena ada juga income dari BPKD-Badan Pendapatan Perkapita Desa. Kita menjual sawit atau karet. Jadi, kalau untuk karet ini kepada tengkulak kami kutipkan perkilonya 20 perak, ya dari income itu perkilonya 20 perak, jadi perminggunya itu kalo dikali satu tokeh itu biasanya apa dia, hari ini masyarakat ini setoran kesitu.

Dokumen terkait