BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.3 Profil Informan
4.1.3.1 Profil Informan Pertama
Nama : Martha Retniati Situmeang TTL : Jakarta, 7 Maret 1988 Pendidikan
Terakhir : D3 Administrasi Niaga Bisnis Politeknik Negeri Jakarta
Bergabung di
PRs PLN : Tahun 2011 Waktu
Wawancara : Rabu,19 Feb 2014 Pkl 10.00 WIB
Martha Retniati Situmeang merupakan alumnus Politeknik Negeri Jakarta ini mengambil jurusan Administrasi Niaga Bisnis. Wanita berusia 26 tahun ini awalnya hanya merantau ke kota Medan akhirnya memilih menetap di Kota Medan setelah menikah dengan pria bernama Zulkifli pegawai di sebuah bank besar di Medan. Staf PLN wilayah Sumatera Utara yang lahir di Jakarta ini pernah bekerja sebagai public relations di salah satu media nasional di Jakarta. Pegawai PLN yang sudah bergabung sejak tiga tahun terakhir ini mengaku sangat senang bisa bekerja sebagai seorang public relations. Menurutnya banyak hal yang tidak terlupakan selama beliau bekerja sebagai public relations seperti, berkomunikasi
dengan banyak orang, bersosialisasi dengan lapisan masyarakat dan kesibukan ketika menyelenggarakan acara-acara.
Saat ditemui, wanita yang sering disapa dengan panggilan Martha ini mengenakan atasan semi kemeja merah bermotif dipadu dengan jeans hitam santai. Beliau terlihat semakin santai dengan sepatu hitam dengan tatanan rambut digerai.
4.1.3.2 Profil Informan Kedua
Nama : Raidir Sigalingging
TTL : Dolok Sanggul, 16 Februari 1962 Pendidikan
Terakhir : S1 Ekonomi Universitas Tri Sakti Bergabung di
PRs PLN : 2010 Waktu
Wawancara : Selasa, 25 Februari 2014 Pkl 13.15 WIB
Raidir Sigalingging lahir pada tanggal 19 Februari 1962. Pria kelahiran Dolok Sanggul ini menyelesaikan studi S1-nya di Universitas Tri Sakti, Jakarta. Awal Karirnya sudah dimulai di PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara. Namun beliau baru bergabung di divisi public relations sejak empat tahun terakhir. Menjadi pihak yang selalu menyampaikan informasi kepada masyarakat juga menjadi pihak yang dipercaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pelanggan menjadi tugas-tugas berkesan dan tak terlupakan bagi ayah 2 orang anak ini.
Saat diwawancarai di ruangannya pria berkacamata ini mengenakan kemeja kotak-kotak dengan corak putih hitam yang dipadupadankan dengan celana keper hitam lengkap dengan pantofelnya. Di sela-sela wawancara, pria yang sangat mencintai keluarganya ini banyak menggunakan kata dan logat khas Medan yang sering mengundang gelak tawa. Saat ini pria berperawakan tinggi ini
menjabat sebagai deputi divisi public relations PT PLN (Persero) wilayah Sumatera Utara.
4.1.3.3 Profil Informan Ketiga Nama : Syaiful Lubis
TTL : Serbelawan, 16 November
1958 Pendidikan
Terakhir : S1 ilmu Administrasi Negara UMSU
Bergabung di
PRs PLN : 1999 Waktu
Wawancara : Selasa, 25 Februari 2014 Pkl 14.15 WIB
Syaiful Lubis, informan ketiga ini lahir pada tanggal 16 November 1958. Pria asal kota Ser Belawan ini menamatkan strata satunya dengan mengambil jurusan Administrasi Negara di Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara. Pegawai PLN ini bisa dikatakan sebagai pegawai yang sudah cukup lama mengabdi di PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara karena sudah bergabung sejak 15 tahun terakhir.
Saat diwawancarai di ruang tunggu divisi public relations, bapak yang terkenal dengan topi kopiahnya sedang mengenakan kemeja berwarna krem yang dipasangkan dengan celana keper abu-abu serta sepatu pantofel coklatnya. Di sela-sela wawancara yang hanya memakan waktu 27 menit, pria berkacamata ini melontarkan keinginannya untuk meninggalkan tanah air Indonesia jika diperbolehkan memilih sendiri negara yang ingin ditinggalinya. Saat ini, pria yang mengaku vokal dan tegas ini menjabat sebagai plt. Supervisor public relations di PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara.
4.1.3.4 Profil Informan Keempat Nama : Agus Mulaydi
TTL : Belawan, 17 Agustus 1967 Pendidikan
Terakhir : Alumnus SMA Widyautama Medan Bergabung di
PRs PLN : 1999 Waktu
Wawancara : Selasa, 25 Februari 2014 Pkl 16.00 WIB
Agus Mulyadi, informan keempat dalam penelitian ini lahir di Belawan, 17 Agustus 1962. Pria yang berparas kebapakan ini menyelesaikan studi terakhirnya di SMA Swasta Widyautama Medan. Sekalipun tidak mengecap pengetahuan komunikasi di jenjang perguruan tinggi, Agus Mulyadi termasuk seorang staf public relations yang berhasil menerapkan pengetahuan komunikasi yang dipelajari secara otodidak ke dunia kerjanya. Keputusannya untuk bergabung sebagai praktisi public relations di PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara sejak tahun 1999 memberi peluang besar baginya untuk belajar dan berkarya.
Saat diwawancara di meja kerjanya, pria berkacamata ini mengenakan kemeja hitam bermotif garis, serasi dengan celana hitam dan sepatu pantofel hitamnya. Baginya pengalaman yang sangat menarik menjadi seorang praktisi public relations adalah ketika beliau dapat berhubungan dengan banyak media dan berkesempatan mengetahui lebih tentang kondisi kelistrikan Indonesia baik secara general maupun hanya sebatas ruang lingkup Sumatera Utara. Selain itu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi beliau ketika bisa berteman dengan banyak kalangan dan ketika suaranya bisa didengar orang. Saat ini pria yang pernah dipercaya memimpin acara soft launching sms center PLN ini menjabat sebagai salah satu staf public relations di PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara. 4.1.4 Pemetaan Krisis PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara
Penelitian di PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap informan pertama. Informan pertama ini merupakan informan yang paling lama diwawancarai oleh peneliti.
Keberadaannya yang tergolong masih baru di divisi public relations PT PLN (Persero) wilayah Sumatera Utara sedikit banyaknya membuat beliau lebih ramah dan peka dibanding pegawai lain. Wawancara yang menyita waktu lebih kurang 60 menit ini memberikan informasi yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi ini. Berbicara soal krisis listrik yang terjadi di tubuh PT PLN (Persero) wilayah Sumatera Utara 2013, informan pertama ini mengaku tidak begitu tahu persis sejak kapan krisis listrik yang mengakibatkan pemadaman listrik bergilir ini terjadi di wilayah Sumatera Utara. Hanya beliau sepakat bahwa krisis ini sudah terjadi dalam jangka waktu yang lumayan lama. Jika diurutkan dari tahun 2004 pasca tsunami, beliau mengaku ada hubungannya walau sebelum gempa tsunami terjadi pun pemadaman listrik bergilir sudah diberlakukan.
“Sebenarnya sudah lumayan lama ya, tepatnya mulai tahun berapa saya kurang tahu tapi sudah lumayan lama. Waktu itu sempat pernah di 2007, namun setelah 2007 tidak begitu, artinya pemadaman listrik tetap ada.” Menurut informan pertama ini, krisis listrik yang terjadi di tahun 2013 ini disebabkan defisit energi listrik. Beliau juga menjelaskan bahwa krisis yang terjadi di 2013 sama dengan krisis yang terjadi di 2007 lalu. Krisis 2013 semakin memarah ketika mesin pembangkit yang dijadwalkan sudah beroperasi ternyata tidak dapat beroperasi karena berbagai kendala. Menurut beliau, kondisi ini tidak semata-mata kelalaian PLN, karena PT PLN sendiri sudah memiliki sumber daya manusia yang berkompeten diikuti dengan program-program yang dianggap sudah baik dan efektif dalam upaya menyeimbangkan pasokan listrik di Sumatera Utara ini. Kendala yang terjadi kebanyakan diakibatkan kesulitan dalam perizinan baik dari pemerintah maupun masyarakat setempat.
“Kalau pemadaman listrik itu terjadi kan bisa dibagi-bagi. Bisa karena defisit, pemeliharaan, perawatan, ada juga misalkan perbaikan. Nah untuk kategori defisit itu terjadi di 2007 dan 2013, setelah itu tidak ada. Bukan tidak ada sih bisa dikatakan berkuranglah intensitasnya. Jadi memang kita banyak membangun pembangkit, hanya diwaktu yang kita targetkan, pengoperasiannya tidak tercapai, itu yang menyebabkan. Untuk 2007 sebenarnya aku kurang jelas permasalahan utamanya tetapi untuk tahun 2013, banyak pembangkit-pembangkit yang seharusnya sudah beroperasi ternyata belum beroperasi. Contohnya itu pembangkit di Pangkalan Susu. Pangkalan Susu itu harapan besarnya kita. Karena kita yakin pembangkit di Pangkalan Susu mampu menyumbangkan daya yang lumayan besar dan akan membantu mengurangi defisit bahkan
menghilangkan defisit di Sumatera Utara ini. Tapi masalah yang sempat membuat pengoperasian itu tidak berjalan ya perizinan, baik izin dari pemerintah maupun dari masyarakat. Itu yang menyebabkan kita jauh dari target.”
Informan pertama ini agak keberatan jika kondisi kelistrikan Sumatera Utara ini disebut dengan istilah krisis. Beliau lebih setuju jika kondisi yang terjadi disebut defisit. Menurut beliau kondisi ini terjadi karena pengoperasian mesin pembangkit yang tidak sesuai jadwal dan adanya mesin-mesin pembangkit yang rusak sehingga harus mengalami perbaikan dan pemeliharaan. Di tambah lagi dengan kondisi pada saat Agustus 2013 adalah bulan Ramadhan sehingga posisi beban puncak pun meningkat. Ketika ditanyai tentang pemetaan siklus krisis listrik yang terjadi, beliau berpendapat bahwa situasi ini belum pantas diklasifikasikan dalam tahapan fase akut. Beliau juga optimis bahwa kondisi ini akan segera berakhir dan segera memasuki tahap penyembuhan. Dengan kerjasama seluruh pihak termasuk pemerintah dan masyarakat, pemadaman listrik bergilir tidak akan terjadi lagi.
“Kalau menurut saya dikatakan krisis tidak terlalu ya, karena 2013 ke 2014 kemarin itu tidak terlalu drop. Memang kalau kita melihat 2013 kemarin ya itu tadi kita banyak membangun pembangkit, hanya saja pembangkit yang seharusnya beroperasi di 2013 ini tapi belum beroperasi, terus juga pembangkit di Belawan yang sedang bermasalah pada waktu itu. Nah, di saat bersamaan, beban puncak. Jadi 2013 itu bertepatan di bulan puasa. Di bulan puasa itu pemakaian semakin tinggi. Menurut aku mungkin mengarah ke akut ya, cuma belom akut banget sih. gini sih ya, banyak permasalahan di PLN ini bukan cuma dari kita tapi juga dari tanggung jawab seluruhnya. Kalau hanya PLN yang melakukan perbaikan ini tidak akan bisa, tidak akan bisa PLN ini menjadi baik. Kalau menuju ke kronis saya yakin tidak, pasti ke tahap penyembuhan. Kenapa saya yakin ke tahap penyembuhan? Karena dari 2013 ke awal 2014 kemarin aja sudah berkurang sebenarnya. Yah semoga bulan depan atau beberapa minggu lagi tidak ada lagi defisit. Kalau semuanya ikut berpartisipasi memperbaiki PLN.”
Kebutuhan masyarakat akan kestabilan pasokan listrik tidak bisa dianggap sepele, karena listrik sudah menjadi kebutuhan vital masyarakat. Maka informan ini juga memandang bahwa krisis ini memang sangat diperhitungkan dan harus segera diselesaikan. Belum lagi dampak yang diakibatkan pemadaman listrik bergilir ini, baik dampak eksternal maupun internal. Martha mengakui, krisis
listrik yang terjadi sejak 2013 ini menimbulkan keresahan masyarakat, aksi demo hingga pembakaran kantor cabang PLN. Selain itu masyarakat menengah yang sangat bergantung dengan ketersediaan listrik dalam menjalankan usahanya juga banyak mengalami kerugian. Namun tidak bisa dipungkiri, pihak internal PLN juga mengalaminya. Pegawai PLN khususnya teknisi dan praktisi public relations harus bekerja melebihi jam kerja biasanya. Praktisi public relations sendiri, yang biasanya sudah pulang kantor pukul 17.00 wib kini harus bekerja 24 jam demi melayani semua pertanyaan dan keluhan masyarakat. Meski demikian dari segi jumlah pelanggan, PLN sama sekali tidak mengalami kerugian mengingat PT PLN merupakan perusahaan monopolistik yang artinya hanya ada satu di Indonesia.
“Dari eksternalnya pasti banyak demonstrasi dimana-mana, terus kalau adek mengikuti di 2013 lalu, itu banyak kantor kami yang dibakar sama pelanggan atau masyarakat. Mungkin karena mereka sangat emosi karena pemadaman listrik. Kalau dari sisi internalnya yah itu tadi jam kerja kita jadi tidak teratur. bahkan jam kerja kami bisa 3 sampai 4 kali lipat dari jam biasanya. Jadi pasti lebih sibuklah, apalagi dengan adanya demo sana-sini, kerusakan-kerusakan dan ada juga somasi-somasi dari pihak-pihak, gitu. Kalau soal pelanggan, kita ini kan perusahaan monopolistik, satu-satunya di Indonesia. Jadi pelanggan kita tetap. Jatuhnya di citranya, itu tadi informasi pemberitahuan di luar sana tentang kita pasti buruk, pegawai-pegawai di lingkungannya juga jadi panik. Karena orang-orang juga berfikir karena dialah pemadaman ini terjadi. Itu dampak internalnya. Kalau untuk pasar kita, ya citra kita jadi buruk tapi untuk pelanggan itu tetap kok, pasang baru tetap ada, tambah daya tetap ada. Tanpa kita harus mempublish apapun pelanggan pasti tetap ke kita.” Upaya pengumpulan data dilanjutkan dengan informan kedua yang cukup diplomatif dalam menjawab setiap pertanyaan. Wawancara yang memakan waktu lebih kurang 30 menit ini membukakan banyak hal tentang PLN. Berbicara mengenai krisis listrik yang terjadi 2013, informan kedua ini menjelaskan bahwa pemadaman listrik bergilir ini terjadi sudah sejak 1999 tepatnya pasca krisis moneter 1998. Pasalnya, sejak tahun 1999 PLN gagal membangun pembangkit-pembangkit yang sudah direncanakan pada saat itu. Beliau menjelaskan, pembangunan pembangkit bukan suatu hal yang gampang, harus didesain dan direncanakan jauh-jauh sebelumnya. Menurut beliau, untuk rencana 10 tahun ke depan sudah harus dikerjakan dari sekarang. Karena akan banyak sekali kendala
dalam rencana membangun pembangkit, mulai dari perizinan hingga respon masyarakat yang tidak mau dilewati tower pembangkit.
“krisis di PLN sejak sekitar tahun 1999 gagal membangun pembangkit-pembangkit yang sudah direncanakan pada saat itu mulai harus dibangun, sebagai contoh Pangkalan Susu, Asahan Tiga, Nagan Raya. Ini terjadinya kelambatan atau penangguhan karena krisis moneter. Sebenarnya itu awalnya. iya.. itu dia. Jadi permasalahan di PLN ini tidak bisa ibaratkan seperti makan cabe. Jadi perusahaan pembangkit PLN ini harus memang betul-betul didesain, dirancanakan jauh-jauh hari sebelum.Untuk 10 tahun ke depan kita harus kerjakan sekarang. Karena membangun pembangkit itu tidak gampang. Bertahun-tahun kalau tidak ada kendala. Kalau ada kendala misalkan dari perizinan, kendala masyarakat tidak mau dilewati towernya. Itu yang saya katakan tadi ini masih normal-normal aja.
Informan kedua ini lebih suka mengembalikan pertanyaan kepada peneliti ketika diminta memberikan kesimpulan sederhana seputar pemetaan krisis listrik di Sumatera Utara. Ketika ditanyai soal siklus krisis listrik yang terjadi, beliau menjawabnya dengan gaya diplomatis yang membingungkan. Namun secara tersirat beliau juga menyampaikan ketidaksetujuannya apabila krisis listrik ini disimpulkan telah memasuki fase akut. Karena menurut beliau hingga saat ini mereka masih bisa beroperasi. Beliau kembali menekankan kondisi ini masih bisa diobati, dengan selesainya pembangunan pembangkit Pangkalan Susu maka teratasilah krisis ini. Walau demikian PT PLN (Persero) wilayah Sumatera Utara tidak bisa membuat kebijakan sendiri, harus tetap tunduk dengan PLN pusat. begitu juga dalam hal pembangunan pembangkit, karena prosedur keuangan dan prosedur kebijakan harus melalui persetujuan DPR dan menteri keuangan.
“susah ini bagi saya. Sah-sah saja penilaian begitu. Kalau aku katakan itu, akut sih bisa dirumuskan iya-iya juga, nggak ya nggak juga . karena kami ini tetap bisa jalan kok. Kalau yang namanya akut itu apa?? Sudah tidak bisa diobati, kalau udah penyakit. Apalgi bisa diobatin ini, selesai Pangkalan Susu, efektif ini. Ha ha ha. Jadi perlu adek ketahui PLN itu terdiri dari PLN pusat, PLN kanwil, inilah kanwil. Baru ada cabangnya. Artinya adek kan tahu situasi keuangan negara, apa yang dibuat di kanwil harus seizin yang di pusat kan? Prosedur keuangan dan prosedur kebijakan. Jadi PLN di Sumut ini harus tetap harus tunduk sama pusat atau negara. Dan di negara itu pun setiap ada kebijakan baru harus ada persetujuan menteri keuangan dan DPR. Tidak bisa gampang membangun itu. Ini kan perusahaan negara, aaa… jadi harus tetap disangkut pautkan sama pusat gitu lho.. jadi tidak bisa saya mengatakan ini besok bisa, tidak
bisa, PLN ini miliknya negara, kebijakan PLN adalah kebijakan negara. Biaya operasi yang dikeluarkan PLN adalah uang negara. Bahkan PLN disubsidi, kan begitu setiap kebijakan subsidi adalah keputusan DPR. Nah, begitu lho.. jadi kebijakan kami itu tidak bisa terlepas dari badan apa, maunya apa, suka kebijakannya sama negaranya.”
Listrik sudah menjadi suatu kebutuhan di seluruh negara yang ada di dunia ini termasuk juga Indonesia. Jadi ketika ditanyai perihal dampak yang diakibatkan krisis listrik ini Raidir Sigalingging dengan tegas menyatakan kondisi ini pasti meresahkan, mengecewakan, dan menyakitkan. Aksi demo dimana-mana, statement, kritikan di media, internet dan sebagainya sudah menjadi santapan yang harus ditanggapi dengan sebaik-baiknya. Menurut beliau, selain pelanggan secara internal dari keluarga pun mereka mendapat tekanan.
“Nah, oke saya coba jawab saja. Nah masalah listrik ini sudah jadi satu kebutuhan. Udah pasti sangat berdampak pada penggunanya. Ke penggunanya. Karena belum tentu masyarakat di Indonesia ini menggunakan listrik, belum tentu. Jadi mati lampu itu sudah pasti meresahkan, mengecawakan, menyakitkan, kira-kira begitu secara umumnya. Kalau hal demo kan sudah biasa ya, statement-statement itu sudah biasalah dalam Ilmu Komunikasi itu juga sebagai salah satu sarana, media baik secara lisan, tertulis. Kalau kita memang menghadapi semua diterima. Ada kritikan melalui media, melalui tv, komunikasi langsung juga, macam lah. Baik secara pribadi, website, melalui segala macam. Secara organisasi. Misalkan orang ribut di perwiritan, orang ribut di gereja, itulah. Memang sudah inilah, karena kami memang menyadari PLN ini sudah jadi suatu kebutuhan, kami juga menyadari sakit kali, susah kali, sedih kali karena mati lampu. Karena kenapa? Kita juga mati lampu kan?. Jadi apapun yang masyarakat rasakan saya juga rasakan, kecuali saya nggak mati lampu. Saya juga mati lampu dirumah, keluarga saya. Kadang-kadang kami ini lebih sakit, pertama, keluarga, anak-anak.kekmana papa ini, masa (kerja di PLN kita mati lampu juga!) Hah. Itu yang kita hadapi gitu lho. Bahkan kami ini menghadapi double. Satu keluhan dari masyarakat, satu keluhan dari keluarga dari diri sendiri. Gitu lho..
Informan ketiga juga memberikan tanggapannya tentang krisis listrik yang terjadi di Sumatera Utara. Informan ketiga ini merupakan informan yang kelihatannya tegas dan vocal. Walau demikian beliau tetap bersedia membantu peneliti dalam penelitiannya. Hal ini terlihat dari sambutannya ketika peneliti tiba di kantor tepatnya di ruangan public relations, beliau dengan sigap dan cepat menanyakan, ada apa, apa yang bisa dibantu, mau ketemu siapa dan sebagainya.
Sama halnya ketika ditanyai tentang krisis listrik yang terjadi di Sumatera Utara. Menurut beliau agenda pemadaman listrik bergilir ini masih wajar mengingat mesin pembangkit yang sudah tua yang masih dipertahankan hingga sekarang. Pencanangan pembangunan pembangkit sudah dilakukan jauh-jauh sebelumnya tetapi sejak terjadi krisis moneter 1998 maka pembangunan pun tersendat. Hal inilah yang akhirnya membawa masalah sampai sekarang. Untuk merealisasikan program itu pun bukan suatu hal yang mudah, banyak kendala yang masih harus dibereskan seperti masalah perizinan, pembebasan lahan dari masyarakat sekitar dan sebagainya. Bahkan antar sesama BUMN pun tidak ada kesepahaman dalam hal membangun bersama negara ini. Pertambahan pembangunan, pabrik, kebutuhan masyarakat memang harus diimbangi dengan pembangunan mesin pembangkit listrik. Negara maju sendiri seharusnya mempunyai cadangan daya 40 persen dari jumlah seluruh daya yang dimiliki.
“Kalau pemadaman itu wajar dek. Karena mesin pembangkit kita ini kan udah lama, sejak zaman Soeharto. Itu yang dipertahankan sampai sekarang. Kita sudah pernah canangkan, cuma sejak terjadi moneter tahun 1998 maka pembangunan ini pun tersendat. Itu yang pada akhirnya membawa masalah sampai sekarang. Kita ajukan juga pembangunan-pembangunan ke pusat, juga kita informasikan kendala-kendala di lapangan, kan macam itu kan. Jadi kita sudah usulkan itu dek, pembangunan asahan 3, yang namanya Aceh, Nagan Raya, uap yang di Pangkalan Susu, dan lain-lain tapi kendalanya di lapangan kan, masyarakat tidak terimo. Antara sesama BUMN pun susah di negara ini dek. Masalah kehutanan, pembebasan lahan, masyarakatnya tidak terimo. Banyak tetek bengek namanya di lapangan ini. Pembangkit kita dek, defisit dek, kurang kapasitas kita sementara kebutuhan listrik di republik ini sudah kebutuhan pokok itu dek. Jadi harus ada stok sebenarnya, paling tidak negara maju harus punya stok 40 persen.” Ketika ditanya soal siklus krisis listrik yang terjadi, sama halnya dengan informan pertama dan kedua, informan ketiga ini pun tidak setuju jika dikatakan sudah akut. Lebih jauh beliau menjelaskan, krisis ini hanya persoalan keberanian pemerintah. Apa yang terjadi sekarang sudah seperti air yang terus berkelanjutan. Jika pemerintah berani dan turun ke lapangan pemadaman tidak akan mencapai empat sampai lima jam tiap sekali pemadaman. Menurut beliau PLN hanya pesuruh, jika pemerintah mengarahkan untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk pembangunan tidak akan sesusah ini.
“Bukan akut dek, keberanian pemerintahnya. Kalau ini seperti air sebenarnya berkelanjutan terus. Sebenarnya sebentar bisa diatasi dek, asal pemerintah berani dan turun ke lapangan. Trus ini dek jalan tol yang di Sisingamangaraja yang mau ke Siantar segera diselesaikan nggak ada sampai 4 sampai 5 jam. Keberanian pemerintah aja, siapkan ini, bangun ini. Ini nggak akan sampai akut ini, orang 2006 kejadiannya lanjut 2007, 2009. Bapak ikut ngalami kok. Ini krisis aja terus-terusan. PLN ni kan operator, pesuruh, pelayan. Siapkan ini, disiapkan, pemerintah menyiapkan dananya. Nggak susah itu.”