• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Profil Komisi Fatwa

1. Sejarah Komisi Fatwa

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia merupakan salah satu bagian didalam organisasi MUI yang tugas utamanya membahas dan menetapkan fatwa, baik tentang masalah keagamaan (masail diniyyah), masalah sosial-keagamaan kontemporer (masaildiniyyah ijtima`iyyah wagi`iyyah mu`ashirah), dan masalah kehalalan produk makanan, minuman, kosmetik dan obat-obatan.

Masalah keagamaan meliputi masalah aqidah (aliran paham keagamaan yang menyimpang, masalah ritual keagamaan, dan masalah yang terkait dengan pernikahan. Masalah sosial-keagamaan kontemporer meliputi permasalahan actual yang muncul ditengah mayarakat yang terkait dengan perkembangan science dan teknologi, kedokteran dan medis, serta isu-isu sosial-kemasyarakatan yang membutuhkan fatwa, permasalahan yang terkait dengan peraturan perundangan.16

Dalam setiap pengambilan keputusan fatwa, komisi fatwa memiliki mekanisme dan prosedur penetapan fatwa sesuai dengan masalah yang dibahas. Fatwa yang berkaitan dengan masalah aqidah (aliran dan paham keagamaan yang menyimpang), terlebih dahulu dilakukan penelitian dan pengkajian oleh Komisi Pengkajian bersama dengan Komisi Fatwa

16

Karni Asrori S, Helmi, Mustafa Thaha, Ahmadie. 35 Tahun MUI Berkiprah Menjaga Integritas Bangsa. h.129-130.

38

terhadap ajaran dan praktek keagamaan dari aliran yang dikaji. Hasil penelitian dan pengkajian selanjutnya dilaporkan ke Sidang Komisi Fatwa untuk dibahas dan diputuskan Fatwanya. Tidak semua hasil kajian terhadap sebuah aliran/paham keagamaan diputuskan fatwanya, jika aliran tersebut bersedia untuk dibina dan dibimbing maka dilakukan pembinaan dan bimbingan.17

Fatwa berkaitan dengan masalah sosial-keagamaan kontemporer dilakukan dengan cara menghadirkan dan mendengarkan terlebih dahulu penjelasan dari pihak-pihak yang terkait masalah fatwa, baik dari unsur masyarakat, lembaga-lembaga profesi, lembaga-lembaga sosial maupun lembaga Negara. Selain itu, jika diperlukan komisi fatwa juga akan memanggil para ahli di bidang masalah yang tengah dibahas. Setelah dilakukan kajian dan penelaahan dari pihak-pihak terkait dan ahli, barulah sidang komisi fatwa digelar untuk menghasilkan keputusan fatwa digelar untuk menghasilkan keputusan fatwa yang lebih objektif dan komprehensif.

Fatwa yang berkaitan dengan masalah Makanan, Minuman, Obat-obatan dan Kosmetik dilakukan bersama LP POM MUI. Sebelum dibahas oleh Komisi Fatwa, sebuah produk diteliti/diaudit terlebih dahulu oleh LP POM MUI, baik dari sisi bahan buku, bahan tambahan, dan bahan penolongnya, serta dari sisi proses produksi. Selanjutnya hasil audit

17

Karni Asrori S, Helmi, Mustafa Thaha, Ahmadie. 35 Tahun MUI Berkiprah Menjaga Integritas Bangsa. (Jakarta: Komisi InfoKom MUI, Juli 2010), h.129-130.

dituangkan dalam berita acara yang kemudian menjadi bahan bagi Komisi Fatwa untuk menetapkan status hukumnya.

Dalam proses penetapan fatwa produk halal, tidak jarang memerlukan penjelasan lebih dalam dari tenaga ahli LP POM MUI, khususnya terkait dengan bahan baku yang dianggap “kritis”, artinya yang diduga kuat tidak halal menurut kajian fiqih. Setelah semuanya, baik bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong, serta proses produksi diyakini telah sesuai dengan ketentuan syara`, maka sebuah produk difatwakan halal, yang kemudian dikeluarkan sertifikat halal untuk produk tersebut. Sertifikat halal sebagaimana dimaksudkan mempunyai masa berlaku selama dua tahun.18

Komisi Fatwa MUI dalam memutuskan sebuah fatwa mempunyai metode dan sistem penetapan fatwa, yang menjadi panduan dalam menetapkan fatwa. Metode dan sistem penetapan fatwa ini mengikat bagi komisi fatwa MUI semua tingkatan, sehingga ada keseragaman dalam proses, sistem dan metodologi penetapan fatwa di komisi fatwa MUI semua tingkatan.

Kegiatan utama Komisi Fatwa adalah rapat-rapat membahas draft fatwa. Rapat komisi fatwa, selain dilaksanakan secara rutin setiap hari sabtu, terkadang juga diselenggarakan pada hari rabu atau kamis. Dengan

18

Karni Asrori S, Helmi, Mustafa Thaha, Ahmadie. 35 Tahun MUI Berkiprah Menjaga Integritas Bangsa. (Jakarta: Komisi InfoKom MUI, Juli 2010), h.129-130.

40

demikian, frekuensi komisi fatwa tidak kurang dari 6 kali pada setiap bulan. Sebagian hasil (notulen, keputusan) rapat-rapat tersebut telah dilaporkan secara tertulis, tidak lama sesudah rapat berlangsung, kepada Pimpinan MUI melalui sekretaris.

2. Mekanisme Kerja Komisi Fatwa

a. Mekanisme Kerja Pimpinan Komisi Fatwa dan Sistem Prosedur Surat Menyurat.

1. Pimpinan bersifat kolektif dengan asas kebersamaan

2. Untuk menangani masalah yang bersifat khusus, pimpinan dapat membentuk Tim Khusus/ Pokja yang bersifat ad hoc.

3. Beberapa masalah yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada point b antara lain; (i) penyelesaian fatwa atas masalah-masalah yang tertunda; (ii) kompilasi dan pembukuan himpunan fatwa; (iii) kompilasi, verifikasi dan pembukuan hasil ijtima ulama I dan II; (iv) sosialisasi fatwa yang dibutuhkan masyarakat.

4. Surat-surat yang masuk ke komisi fatwa atau ke Pimpinan MUI yang diteruskan ke Komisi Fatwa didisposisi oleh Ketua Komisi. Jika Ketua berhalangan, didisposisi oleh pimpinan yang lain. 5. Dalam tindak lanjut surat-surat, sekretaris dan wakil sekretaris

sesuai pembidangannya menyiapkan administrasi, termasuk penjadwalan rapat-rapat, dan penentuan nara sumber/draft acuan.19

19

6. Sekretaris/Wk. Sekretaris juga bertanggung jawab dalam menghasilkan notulasi, kesimpulan, dan/atau rumusan akhir draft fatwa, yang harus diselesaikan selambat-lambatnya tiga hari setelah berakhirnya rapat.

7. Ketetapan tentang suatu Fatwa MUI ditandangani oleh Ketua dan Sekretaris, dengan mengikuti ketentuan pada pedoman dan prosedur penetapan fatwa MUI.

8. Ketetapan fatwa/keputusan komisi fatwa harus disampaikan kepada Dewan Pimpinan Harian MUI dalam waktu sesingkat mungkin sebelum dipublikasikan kepada masyarakat.

9. Surat Komisi Fatwa ke Dewan Pimpinan MUI ditandanganai oleh Ketua dan Sekretaris atau pimpinan yang membidangi.20

b. Pembidangan Pimpinan Komisi Fatwa

1. Bidang I : Aqidah, Ibadah dan Aliran Keagamaan 2. Bidang II : Sosial dan Budaya

3. Bidang III : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 4. Bidang IV : Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika.21

Pembidangan tugas tersebut di bawah koordinasi Ketua Komisi Fatwa. c. Penugasan mewakili Komisi Fatwa.

1. Setiap tugas untuk mewakili Komisi Fatwa harus sepengetahuan Ketua Komisi Fatwa.

20

Berdasarkan Rapat Pengurus Komisi Fatwa MUI tgl 3 September 2009. 21

42

2. Setiap penugasan mewakili Komisi Fatwa dilaporkan hasilnya kepada pimpinan Komisi Fatwa secara tertulis.

3. Penugasan dimaksud pada point a didasarkan pada (i) kompetensi dan keahlian; (ii) keadilan proporsional.

2. Dasar umum dan sifat fatwa

a. Penetapan fatwa didasarkan pada al-Quran, sunnah (hadis), ijma’ dan qiyas serta dalil lain yang mu’tabar.

b. Aktifitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan komisi fatwa.

c. Penetapan fatwa bersifat responsive, proaktif, dan antisipasif.22

3. Metode penetapan fatwa

Fatwa dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan (an-nushush

as-syari’iyah) menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang yang tidak tercover dalam nash-nash keagamaan. Nash-nash keagamaan telah berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman.

22Ma’ruf Amin, dkk. Himpunan Fatwa MUI, Edisi Ketiga. (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h.5.

Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah fatwa yang ditetapkan tanpa mempergunakan metodologi, keputusan hukum yang dihasilkannya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh.23 Dan metodenya adalah:

a. Sebelum fatwa ditetatapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat para imam mazhab dan ulama yang mu`tabar tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secara seksama berikut dalil-dalilnya.

b. Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan sebagaimana adanya.

c. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah dikalangan mazhab, maka, penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat- pendapat Ulama mazhab melalui metode al-jam`u wa al-taufiq dan jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melaluin metode muqaranah dengan menggunakan kaidah- kaidah Ushul Fiqh muqaran.

d. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya dikalangan mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad

23

Diakses pada tanggal 20 Agustus 2010 dari http.www.mui.or.id/ metode penetapan fatwa.

44

jama’i (kolektif) melalui metode bayani, ta’lili (qiyasi, istihsani, ilhaqi), istishlahi, dan sad al-zari’ah.

e. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (mashalih’ammah) dan maqashid al-syari’ah.24

4. Format fatwa

a. Fatwa dirumuskan dengan bahasa hukum yang mudah dipahami oleh masyarakat luas.

b. Fatwa memuat:

1. Nomor dan judul fatwa 2. Kalimat pembuka basmalah

3. Konsideran yang terdiri atas:

a. Menimbang, memuat latar belakang, alasan, dan urgensi penetapan fatwa.

b. Mengingat, memuat dasar-dasar hukum (adillah al-ahkam)

c. Memperhatikan, memuat pendapat peserta rapat, para ulama, pendapat para ahli, dan hal-hal lain yang mendukung penetapan fatwa.

4. Diktum, memuat substansi hukum yang difatwakan, rekomendasi, dan atau jalan keluar jika dipandang perlu.

5. Penjelasan, berisi uraian dan analisis secukupnya tentang fatwa.

24Ma’ruf Amin, dkk. Himpunan Fatwa MUI, Edisi Ketiga. (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h.7.

6. Lampiran-lampiran jika dipandang perlu.25

5. Kewenangan dan wilayah fatwa

b. MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fiqh) dan masalah aqidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.

c. MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan seperti tersebut pada huruf a yang menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional atau masalah-masalah keagamaan disuatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain.

d. Terhadap masalah yang sudah ada fatwa MUI Pusat, MUI Daerah tidak berhak melaksanakannya.

e. Jika karena faktor-faktor tertentu fatwa MUI sebagaimana dimaksud huruf c tidak dapat dilaksanakan, MUI daerah boleh menetapkan fatwa yang berbeda setelah berkonsultasi dengan MUI Pusat.

f. Dalam hal belum ada fatwa MUI Pusat, MUI daerah berwenang menetapkan fatwa.

g. Khusus untuk masalah-masalah yang sangat musykil dan sensitif, sebelum menetapkan fatwa, MUI Daerah diharapkan terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan MUI Pusat.26

25

Ma’ruf Amin, dkk. Himpunan Fatwa MUI, Edisi Ketiga. (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h.7.

46

6. Macam-macam fatwa

Fatwa yang dikeluarkan MUI Pusat dibagi menjadi beberapa bidang yaitu:

a. Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan b. Bidang Ibadah

c. Bidang Sosial dan Budaya

d. Bidang Pangan, Obat-obatan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi .27

7. Fatwa Hukum Merokok

a. Latar belakang dikeluarkannya fatwa merokok

Pertama yang namanya Fatwa itu menjawab permasalahan. Ada yang pihak yang bertanya kepada MUI tentang hukum merokok, pihak itu adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Lembaga Pengendalian Tembakau (Tembakau control). Mereka memberikan data tentang bahaya rokok yang sudah sangat jelas sekali, serta bahaya penanggulangannya juga sangat besar sekali jika dibandingkan dengan cukai rokok itu sendiri. Tetapi jika ada yang menganggap ada pesanan khusus dari pihak asing untuk fatwa merokok, jelas tidak sama sekali, MUI menyadari bahwa ada pihak yang setuju dan tidak setuju berkaitan dengan dikeluarkannya Fatwa Merokok.

26Ma’ruf Amin, dkk. Himpunan Fatwa MUI, Edisi Ketiga. (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h.7-8.

27

MUI itu lembaga yang independen, dalam memutuskan a, b, c, atau d berdasarkan kaidah-kaidah keislaman. Mungkin ada pihak yang menginginkan MUI dibawa ke yang haram-haram saja, padahal Fatwa yang berkaitan dengan rokok itu namanya Fatwa Merokok, karena hukum merokok tidak semua haram.28

Masyarakat mengakui bahwa industri rokok telah memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang cukup besar. Industri rokok juga telah memberikan pendapatan yang cukup besar bagi Negara. Bahkan, tembakau sebagai bahan baku rokok telah menjadi tumpuan ekonomi bagi sebagian petani. Namun disisi yang lain. Merokok dapat membahayakan kesehatan serta berpotensi terjadinya pemborosan dan merupakan tindakan

tabdzir. Secara ekonomi penanggulangan bahaya merokok juga cukup besar.29

Pro-kontra mengenai hukum merokok menyeruak ke publik setelah muncul tuntutan beberapa kelompok masyarakat yang meminta kejelasan hukum merokok. Masyarakat merasa bingung karena ada yang mengharamkan, ada yang meminta pelarangan terbatas, dan ada yang meminta tetap pada status makruh.

28

Wawancara pribadi dengan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa, Sholahuddin AL-Aiyub, M.Si di Kantor Komisi Fatwa MUI jl. Proklamasi no.51 Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 3 November 2010 pukul 15.05 wib.

29Ma’ruf Amin, dkk. Himpunan Fatwa MUI, Edisi Ketiga. (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h.812.

48

Menurut ahli kesehatan Dijelaskan, rokok ditengarai sebagai produk berbahaya dan adiktif serta mengandung 4.000 zat kimia, di mana 69 di antaranya adalah karsinogenik (pencetus kanker). Disamping membahayakan perokok, tindakan merokok juga dapat membahayakan orang lain, khususnya yang berada disekitar perokok. Beberapa zat berbahaya di dalam rokok tersebut di antaranya tar, sianida, arsen, formalin, karbonmonoksida, dan nitrosamin. Dijelaskan juga, para perokok memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkena penyakit serius seperti kanker paru-paru daripada bukan perokok. Tidak ada rokok yang “aman”.30

Direktur Jenderal WHO, Dr. Margareth Chan, melaporkan bahwa epidemi tembakau telah membunuh 5,4 juta orang pertahun lantaran kanker paru dan penyakit jantung serta penyakit lain yang diakibatkan oleh merokok. Itu berarti bahwa satu kematian di dunia akibat rokok untuk setiap 5,8 detik. Apabila tindakan pengendalian yang tepat tidak dilakukan, diperkirakan 8 juta orang akan mengalami kematian setiap tahun akibat rokok menjelang tahun 2030. Selama abad ke-20, 100 juta orang meninggal karena rokok dan selama abad ke-21 diestimasikan bahwa sekitar 1 miliar nyawa akan melayang akibat rokok.31

Hukum merokok tidak disebutkan secara jelas dan tegas oleh Al-Quran dan Sunnah/Hadis Nabi. Oleh karena itu, fuqaha` mencari solusinya

30

Diakses pada tanggal 20 Agustus 2010 dari http.Viva news.com/ fatwa rokok MUI.

31

melalui ijtihad. Sebagaimana layaknya masalah yang hukumnya digali lewat ijtihad, hukum merokok diperselisihkan oleh fuqaha`. Akhirnya Fatwa Merokok diputuskan oleh 750 ulama se-Indonesia di Padang Panjang.32

b. Tujuan dikeluarkannya Fatwa Merokok

Tujuan dikeluarkannya Fatwa Merokok adalah menjawab pertanyaan dari pihak-pihak yang bertanya tentang hukum merokok. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Tembakau Control (Lembaga Pengendalian Tembakau) beratanya tentang hukum merokok. Mereka memberikan data tentang bahaya merokok yang sudah sangat jelas sekali, serta biaya penanggulangannya sangat besar sekali jika dibandingkan dengan cukai rokok. Untuk itulah MUI mengeluarkan Fatwa Merokok dan Fatwanya seperti apa itu terserah MUI.33

c. c. Ketentuan hukum

1. Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia 111 sepakat adanya perbedaan

2. pandangan mengenai hukum merokok, yaitu antara makruh dan haram (khilaf ma baina al-makruh wa al-haram).

32Ma’ruf Amin, dkk. Himpunan Fatwa MUI, Edisi Ketiga. (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h.812.

33

Wawancara langsung dengan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Sholahuddin Al-Aiyub, M.Si. di Kantor Komisi Fatwa MUI Jl. Proklamasi no.51 Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 3 November 2010 Pukul 15.15 wib.

50

3. Peserta Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia 111 sepakat bahwa merokok hukumnya haram jika dilakukan:

b) Ditempat umum c) Oleh anak-anak d) Oleh wanita hamil.34

Merokok haram apabila dilakukan ditempat umum karena, nikotin yang dikeluarkan bisa membahayakan orang lain yang menghirup asapnya, bahkan perokok pasif yang lebih berbahaya dari perokok aktif, dan prinsip islam tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain “ladhororo waladhiror”. Wanita hamil diharamkan merokok karena merokok bukan hanya mmembahayakan dirinya sendiri tetapi juga janin yang ada dirahimnya, dan ini kembali pada prinsip islam tadi. Rokok haram bagi anak kecil, karena target dari produsen rokok adalah perokok pemula yaitu anak-anak tujuannya menumbuhkan perokok yang nantinya loyal pada satu brand, lihat saja iklan rokok selalu dibintangi oleh anak muda yang diidentikkan dengan kejantanan.35

34Ma’ruf Amin, dkk. Himpunan Fatwa MUI, Edisi Ketiga. (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h.812.

35

Wawancara langsung dengan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Sholahudin Al-Aiyub, M.Si. di Kantor Komisi Fatwa MUI Jl. Proklamasi no. 51 Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 3 November pukul 14.40 wib.

d. d. Rekomendasi

Sehubungan dengan adanya banyak madlarrat yang ditimbulkan dari aktifitas merokok, maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:

ii. DPR diminta segera membuat undang-undang larangan merokok ditempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil.

iii. Pemerintah, baik pusat maupun daerah diminta membuat regulasi tentang larangan merokok ditempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil.

iv. Pemerintah, baik pusat maupun daerah diminta menindak pelaku pelanggaran terhadap aturan larangan merokok ditempat umum, bagi anak-anak, dan wanita hamil.

v. Pemerintah, baik pusat maupun daerah diminta melarang iklan rokok, baik langsung maupun tidak langsung.

vi. Para ilmuan diminta untuk melakukan penelitian tentang manfaat tembakau selain untuk rokok.36

e. Dasar penetapan

1. Merokok termasuk kategori perbuatan melakukan khabaa’its (kotor/najis) yang dilarang dalam AlQuran Surat Al-a’raf (ayat) 157. Yang artinya: “ nabi itu menyuruh mereka kepada yang ma`ruf, melarang mereka dari yang munkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan melarang bagi mereka segala yang buruk.”

36Ma’ruf Amin, dkk. Himpunan Fatwa MUI, Edisi Ketiga. (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h.813.

52

2. Oleh karena merokok jelas membahayakan kesehatan bagi perokok dan orang sekitar yang terkena paparan asap rokok, maka pembelanjaan uang untuk rokok berarti melakukan perbuatan mubazir (pemborosan) yang dilarang dalam AlQuran Surat Al-isra (ayat) 26-27. Yang artinya: “janganlah kamu menghambur -hamburkan hartamu secara boros”.”sesungguhnya orang-orang yang berlaku boros itu adalah saudara-saudara syaitan. Dan syaitan itu sangat ingkar terhadap Tuhannya.”

3. Hadis Nabi Saw yang artinya:“ tidak boleh membuat mudlarat kepada diri sendiiri dan tidak boleh membuat mudlarat kepada orang lain.”

4. Kaidah fiqhiyyah

“ bahaya itu ditolak semaksimal mungkin.”37

5. Kaidah fighiyyah “ yang menimbulkan mudlarat harus dihilangkan/ dihindarkan.”

6. Kaidah fiqhiyyah “ penetapan hukum itu tergantung ada atau tidak adanya `illat.”

7. Penjelasan delegasi Ulama Mesir, Yordania, Yaman, dan Syiria bahwa hukum merokok dinegara-negara tersebut adalah haram.

37Ma’ruf Amin, dkk. Himpunan Fatwa MUI, Edisi Ketiga. (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h.813.

8. Penjelasan dari Komnas Perlindungan Anak, GAPPRI, Komnas Pengendalian Tembakau, Departemen Kesehatan terkait masalah rokok.

9. Hasil rapat koordinasi MUI tentang masalah merokok yang diselenggarakan pada 10 september 2008 di Jakarta, yang menyepakati bahwa merokok menimbulkan madlarrat.38

38Ma’ruf Amin, dkk. Himpunan Fatwa MUI, Edisi Ketiga. (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h.813.

54 BAB 1V

ANALISIS PEMANFAATAN MEDIA OLEH MUI PUSAT DALAM MENSOSIALISASIKAN FATWA MEROKOK

a. Media Massa yang Digunakan MUI Pusat Dalam Mensosialisasikan Fatwa Merokok

Dengan kendali jarak jauh, memungkinkan siapapun dapat memindahkan 50 saluran televisi dalam beberapa menit dan seketika akan mendapatkan gambaran tentang apa yang sedang terjadi. Menurut Marshall McLuhan, manusia hidup dalam yang disebut “global village”, media komunikasi modern memungkinkan jutaan orang diseluruh dunia terus menerus terkoneksi.

Seperti yang sudah dipaparkan di bab II teori uses and gratifications mencoba mengungkap apa yang digunakan untuk medianya, dalam hal ini sosialisasi fatwa merokok yang disosialisasikan MUI melalui media, menurut Marshall McLuhan media massa terbagi menjadi dua yaitu media massa tradisional (media klasik) dan media massa modern (media baru), televisi mempengaruhi Anda terlepas dari apa yang Anda tonton. Dunia maya mempengaruhi masyarakat terlepas dari situs apa yang orang kunjungi. Media merupakan perpanjangan pikiran manusia, jadi media yang menonjol dalam penggunaan membiaskan masa historis apapun.

Untuk itulah, walaupun MUI belum memanfaatkan media massa secara maksimal tetapi secara prinsip MUI memanfaatkan seluruh media massa dalam mensosialisasikan fatwa merokok, baik media massa tradisional seperti, media

cetak dan media elektronik seperti televisi, maupun media massa modern seperti internet (media online).1

Berbicara tentang media massa apa yang efektif dalam mensosialisasikan fatwa merokok, Komisi Fatwa MUI memandang efektifitas dari segi segmentasinya, dan MUI sangat memanfaatkan itu, walaupun tidak menggarap itu, hampir semua media massa mempunyai segmentasinya tersendiri, dan MUI memandang efektifitas media massa dalam mensosialisasikan Fatwa Merokok dari segi segmentasinya.

Kalau media cetak sifatnya lebih mendalam, TV cenderung pada yang bersifat simbolik saja. Kadang kalau wawancara maksimal 30 menit, dipotong iklan, dan dipanelkan dengan beberapa orang, jadi tidak maksimal menyampaikannya, dan TV mempunyai jangkauan yang sangat luas.2

Ketika media berubah, demikian juga dengan cara pikir kita, cara kita mengatur informasi, dan berhubungan dengan orang lain. Ada perbedaan yang tajam antara media lisan, tulisan, dan elektronik, masing-masing dengan pengaruh berbeda dalam bagaimana kita berinteraksi dengan setiap media.

1

Wawancara pribadi dengan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Sholahuddin Al-Aiyub di Kantor Komisi Fatwa Jl. Proklamasi no. 51 Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 3 November 2010 pukul 14.40 wib.

2

Wawancara pribadi dengan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Sholahuddin Al-Aiyub di Kantor Komisi Fatwa Jl. Proklamasi no. 51 Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 3 November 2010 pukul 14.50 wib.

56

Komunikasi lisan sangat fleksibel dan organis, pesan-pesan lisan sangat cepat dan bersifat sementara, sehingga individu dan kelompok harus menyimpan informasi dalam pikiran mereka dan memberikannya lagi melalui pembicaraan.

Tulisan dan khususnya percetakan, menyebabkan perubahan yang mendalam pada masyarakat. Informasi dapat disimpan atau dikesampngkan, menjadikan tulisan sebagai alat percakapan. Kepentingan ditujukan pada apa yang

Dokumen terkait