• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Profil Kualitas Air

Keberadaan proses nitrifikasi dan denitrifikasi mempengaruhi keberadaan nitrogen dan bentuk-bentuknya dalam lingkungan budidaya. Nitrifikasi akan merubah amonia menjadi nitrit dan nitrat. Sedangkan denitrifikasi akan mereduksi nitrat menjadi gas N2 yang akhirnya akan lepas dari kolom air. Dalam prosesnya

nitrifikasi dan denitrifikasi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (EPA, 2002; Ripple, 2003; Woon, 2007). Faktor lingkungan yang mempengaruhi proses nitrifikasi dan denitrifikasi, diantaranya adalah pH, DO, dan suhu.

Profil pH selama masa pemeliharaan berfluktuatif (Gambar 7). Tetapi secara umum nilai pH cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan. Nilai pH selama pemeliharaan masih berada dalam kisaran toleransi udang dengan nilai 7.32–7.92 (Lampiran 3).

Nilai pH selama masa pemeliharaan dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu CO2

dalam media pemeliharaan, penambahan molase serta keberadaan bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi. Nilai pH selama masa pemeliharaan cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan (Gambar 7). Salah satu penyebabnya adalah adanya proses respirasi yang dilakukan oleh udang yang menghasilkan CO2. Adanya CO2 dalam air akan menggeser

kesetimbangan karbonat ke arah kanan sehingga akan menurunkan nilai pH. Berikut merupakan reaksi kesetimbangan karbonatnya:

CO2 + H2O ↔ H+ + HCO3-

Ketika terdapat CO2 maka reaksi kesetimbangan akan bergeser ke kanan sehingga

terbentuk ion H+ yang akan menyebabkan pH perairan menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat McIntosh (2001) yang menyatakan peningkatan CO2 akan

menurunkan nilai pH pada kolam. Seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan, maka jumlah CO2 akan semakin banyak sehingga nilai pH pada

media pemeliharaan cenderung semakin menurun.

Sumbangan CO2 pada media pemeliharaan diduga juga berasal dari

dekomposisi bahan organik dan respirasi yang dilakukan oleh bakteri. Beristain et al., (2005a) mengungkapkan metabolisme bakteri melibatkan (a) proses oksidasi bahan organik yang menghasilkan CO2 dan energi, serta (b) proses biosintesis

material sel bakteri. Dapat dilihat pada pengamatan hari ke-5, nilai pH pada perlakuan [10], [15], [20], dan [25] cenderung mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan perlakuan kontrol dan [0] (Gambar 7). Jumlah bakteri pada perlakuan [10], [15], [20], dan [25] lebih tinggi dibandingkan perlakuan [0] dan kontrol (Gambar 6). Jumlah bakteri yang lebih banyak akan menghasilkan jumlah CO2 yang lebih banyak pula, oleh karenanya perlakuan [10], [15], [20], dan [25]

cenderung mengalami penurunan pH yang lebih besar.

7 7.2 7.4 7.6 7.8 8 0 5 10 15 20 25

Pengamatan (Hari Ke-)

pH

Kontrol [0] [10] [15] [20] [25]

 

Keterangan : K = Kontrol (tanpa penambahan bakteri maupun molase) [0] = Penambahan bakteri tanpa molase

[10] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 10 [15] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 15 [20] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 20 [25] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 25 Gambar 7. Profil pH pada beberapa perlakuan selama penelitian

Pada perlakuan kontrol nilai pH cenderung menurun stabil selama masa pemeliharaan, tetapi pada perlakuan [0], [10], [15], [20], dan [25] nilai pH-nya

cenderung berfluktuatif (Gambar 7). Nilai yang berfluktuatif tersebut diduga sebagai akibat penambahan bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi ke dalam media pemeliharaan. Mekanisme bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi dapat mempengaruhi pH dapat dijelaskan melalui persamaan berikut (Novotny dan Olem, 1994) :

Nitrifikasi :

NH4+ + 2 O2→ NO3- + 2 H+ + H2O ... (1)

Denitrifikasi :

NO3- + H+ → ½ (H2O + N2) + 5/2 O2 ... (2)

Melalui persamaan (1) dapat dilihat bahwa bakteri nitrifikasi dalam prosesnya untuk mengubah NH4+ (amonium) menjadi NO3- (nitrat) menghasilkan

ion H+ yang dapat membuat pH pada media pemeliharaan turun. Sedangkan melalui persamaan (2) dapat dilihat bahwa bakteri denitrifikasi untuk dapat membentuk gas N2 membutuhkan ion H+. Adanya pengambilan ion H+ tersebut

akan mengurangi jumlah ion H+ dalam media pemeliharaan sehingga pH pun akan meningkat. Woon (2007) mengemukakan bahwa efek dari proses denitrifikasi adalah dapat meningkatkan pH media.

Oksigen diperlukan oleh udang untuk kegiatan respirasi, proses-proses fisiologis sel, dan untuk mengoksidasi karbohidrat dalam pembentukan energi. Jika konsentrasi oksigen tidak mencukupi maka kemampuan udang untuk memetabolis pakan akan berkurang. Hal ini akan berimplikasi pada penurunan laju pertumbuhan dan peningkatan FCR (Van Wyk dan Scarpa, 1999). Profil

dissolved oxygen (DO) selama pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 8.

Nilai DO selama masa pemeliharaan cenderung turun dengan semakin bertambahnya waktu pemeliharaan. Selain itu terdapat kecenderungan dimana perlakuan penambahan bakteri dan perlakuan penambahan bakteri+molase memiliki kisaran DO lebih rendah dibandingkan kontrol dan seiring dengan penambahan konsentrasi molase, nilai DO pun cenderung menurun (Gambar 8). Kisaran nilai DO untuk perlakuan kontrol dan [0] adalah 5.37–7.15 mg/l, 4.56– 7.15 mg/l. Sedangkan kisaran DO untuk perlakuan [10], [15], [20], [25] adalah

4.53–7.15 mg/l, 3.84–7.15 mg/l, 3.69–7.15 mg/l, 3.83–7.15 mg/l (Lampiran 4). Nilai DO tersebut masih berada dalam kisaran DO minimum untuk dapat tumbuh.

3 4 5 6 7 8 0 5 10 15 20 25

Pengamatan (Hari Ke-)

DO ( m g /L ) Kontrol [0] [10] [15] [20] [25]  

Keterangan : K = Kontrol (tanpa penambahan bakteri maupun molase) [0] = Penambahan bakteri tanpa molase

[10] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 10 [15] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 15 [20] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 20 [25] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 25 Gambar 8. Profil DO pada beberapa perlakuan selama penelitian

Oksigen akan digunakan oleh udang untuk respirasi dan proses-proses fisiologi sel. Perlakuan [0], [10], [15], [20], dan [25] memiliki nilai DO yang cenderung lebih rendah (3.69–7.15 ppm) dibandingkan perlakuan kontrol (5.37– 7.15 ppm). Hal ini mengindikasikan adanya bakteri pada media pemeliharaan yang turut memanfaatkan oksigen. Dan pada perlakuan [10], [15], [20], dan [25] memberikan nilai DO yang cenderung lebih rendah dibandingkan perlakuan [0], karena molase yang ditambahkan pada media pemeliharaan akan meningkatkan dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Proses dekomposisi tersebut membutuhkan oksigen sehingga perlakuan penambahan bakteri+molase memiliki kebutuhan oksigen yang lebih banyak. Akibatnya oksigen pada perlakuan tersebut cenderung lebih rendah dibandingkan perlakuan kontrol dan [0]. Beristain et al.,

(2005) menyatakan bakteri aerobik akan menggunakan oksigen dalam media budidaya untuk proses dekomposisi bahan organik.

Bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi memiliki respon yang berbeda terhadap keberadaan oksigen pada media pemeliharaan. Bakteri nitrifikasi merupakan bakteri aerobik (Novotny dan Olem, 1994), sehingga dalam prosesnya selalu membutuhkan oksigen. Hal ini juga dapat dilihat pada persamaan reaksi (1) dimana bakteri nitrifikasi membutuhkan oksigen untuk dapat mengubah NH4+

menjadi NO3-. Ripple (2003) menyatakan bakteri nitrifikasi membutuhkan 4.6

mg/l oksigen untuk dapat mengoksidasi 1 mg amonia. Dan untuk dapat bekerja bakteri nitrifikasi membutuhkan DO minimal 2 mg/l. Bakteri denitrifikasi dalam prosesnya tidak membutuhkan oksigen. Hal ini dapat terlihat dari persamaan reaksi (2). Lingkungan yang tepat bagi bakteri denitrifikasi adalah lingkungan dengan kandungan oksigen rendah atau tidak ada oksigen (Woon, 2007).

Kualitas air yang baik merupakan salah satu syarat keberhasilan budidaya. Kualitas air yang buruk akan menyebabkan stres, pertumbuhan lambat, serta meningkatkan serangan penyakit dan kematian pada organisme budidaya. Masalah utama dalam manajemen kualitas air adalah adanya akumulasi amonia dan nitrit yang merupakan hasil ekskresi dan dekomposisi limbah kaya nitrogen (Avnimelech et al., 1994). Pemberian bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi akan mempengaruhi keberadaan amonia, nitrit, dan nitrat dalam media pemeliharaan.

Nilai amonia pada semua perlakuan selama masa pemeliharaan cenderung berfluktuatif (Gambar 9). Kisaran nilai amonia dari masing-masing perlakuan, yaitu kontrol (0.003–0.022) mg/l, [0] (0.003–0.025) mg/l, [10] (0.003–0.042) mg/l, [15] (0.003–0.043) mg/l, [20] (0.003–0.033) mg/l, dan [25] (0.003–0.029) mg/l (Lampiran 5). Lebih jelasnya fluktuasi nilai amonia selama masa pemeliharaan dapat dilihat dari grafik perubahan amonia (Gambar 10). Nilai perubahan tersebut merupakan persentase nilai perubahan amonia dengan nilai amonia pada pengamatan sebelumnya. Nilai perubahan yang positif menunjukkan adanya peningkatan amonia, sedangkan nilai yang negatif menunjukkan adanya penurunan amonia. Nilai rata-rata perubahan amonia pada akhir pengamatan untuk tiap-tiap perlakuan, yaitu kontrol 16.1%, [0] -2.2%, [10] -28.5%, [15] - 7.2%, [20] -13.9%, [25] 3.4% (Lampiran 6).

0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0 5 10 15 20 25

Pengamatan (Hari Ke-)

Am o n ia (m g /L ) Kontrol [0] [10] [15] [20] [25]   Gambar 9. Profil amonia pada beberapa perlakuan selama penelitian

-150 -50 50 150 250 350 450 550 650 750 0 5 10 15 20 25

Pengamatan (Hari Ke-)

Pe ru b a ha n A m o n ia ( % ) [K] [0] [10] [15] [20] [25]  

Keterangan : K = Kontrol (tanpa penambahan bakteri maupun molase) [0] = Penambahan bakteri tanpa molase

[10] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 10 [15] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 15 [20] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 20 [25] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 25

Gambar 10. Profil perubahan amonia pada beberapa perlakuan selama penelitian Umumnya konsentrasi amonia pada masing-masing perlakuan meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu pemeliharaan, kecuali pada perlakuan [10] dan [15] yang mengalami penurunan pada hari ke-15 dan perlakuan [20] yang

mengalami penurunan pada hari ke-20 (Gambar 9). Nilai amonia pada semua perlakuan selama masa pemeliharaan masih berada pada kisaran toleransi bagi udang (0.0031–0.044 mg/l).

Perlakuan [10] cenderung memberikan nilai rata-rata perubahan amonia yang paling baik, diikuti dengan perlakuan [20] dan [15]. Sedangkan perlakuan kontrol memberikan nilai perubahan yang paling rendah, diikuti dengan perlakuan [25] dan [0] (Lampiran 6). Perlakuan penambahan bakteri+molase cenderung memberikan nilai perubahan yang lebih baik, karena bakteri akan menggunakan molase yang kaya akan karbon dan nitrogen anorganik untuk sintesis protein mikrobial. Biosintesis protein mikroba berakibat pada terhambatnya proses pembentukan nitrogen anorganik sehingga akan mengurangi jumlah nitrogen anorganik dalam kolom air (Avnimelech et al., 1994). Berikut merupakan proses sintesis protein mikrobial menurut Beristain et al., (2005a):

(CH2O)n + O2 + NH4+→ mikrobial protein + CO2

Jumlah karbon yang dibutuhkan dapat diketahui dengan berdasar pada nilai C/N rasio. Nilai C/N rasio ini harus berada dalam komposisi yang tepat bagi bakteri, karena kerja bakteri tidak akan efisien pada media yang mengandung terlalu banyak karbon atau terlalu banyak nitrogen (Chamberlain et al., 2001). Perlakuan [10] memberikan nilai rata-rata perubahan amonia yang paling baik (- 28.5%), diduga C/N rasio 10 memberikan rasio karbon dan nitrogen yang paling cocok bagi bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi. Didukung oleh pernyataan Mohanty et al., (1994) dalam Beristain et al., (2005b) dimana proses mineralisasi nitrogen berlangsung cepat pada C/N rasio 5-10, cukup cepat pada C/N rasio 10- 20, dan lambat pada C/N rasio 20-40. Mineralisasi nitrogen merupakan proses merubah nitrogen organik menjadi nitrogen anorganik (Van Wyk dan Scarpa, 1999). Dengan semakin cepatnya mineralisasi nitrogen, maka sintesis protein mikrobial akan berlangsung lebih cepat. Selain itu menurut Alexander (1999)

dalam Beristain et al., (2005b) C/N rasio 10 merupakan nilai C/N rasio yang direkomendasikan untuk bioremediasi. Perlakuan [15] dan [20] memberikan nilai penurunan yang cukup baik (-7.2% dan -13.9%), karena mineralisasi nitrogen berlangsung cukup cepat pada C/N rasio 10-20. Berard et al., (1995) dalam

diasimilasi menjadi biomassa bakteri sedangkan pada C/N rasio dibawah 10 sebagian besar karbon akan hilang sebagai CO2.

Perlakuan [0] memberikan nilai rata-rata perubahan amonia yang cukup baik sebesar -2.2% (Lampiran 6). Tanpa adanya penambahan molase, nilai C/N rasio pada media pemeliharaan rendah sehingga bakteri tidak dapat tumbuh maksimal. Didukung oleh data total bakteri perlakuan [0] yang lebih rendah dibandingkan perlakuan penambahan molase (Gambar 6). Budidaya yang dilakukan secara intensif menyebabkan kolam kaya akan nitrogen anorganik dan C/N rasio yang rendah (Beristain et al., 2005a).

Perlakuan [25] memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan kontrol sebesar 3.4% (Lampiran 6). Diduga pada C/N rasio 25 aktivitas mikrobial telah menurun. Liu dan Han (2004) menyatakan C/N rasio yang terlalu tinggi diasosiasikan dengan penurunan aktivitas mikrobial. Didukung pernyataan Mohanty et al., (1994) dalam Beristain et al., (2005b) dimana C/N rasio berada dititik kritis pada kisaran 20-25.

Pemberian bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi akan mempengaruhi keberaadaan nitrit dan nitrat dalam media pemeliharaan. Profil nitrit dan nitrat selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.

0 1 2 3 4 0 5 10 15 20 25

Pengamatan (Hari Ke-)

N itr it (m g /L) Kontrol [0] [10] [15] [20] [25]  

Keterangan : K = Kontrol (tanpa penambahan bakteri maupun molase) [0] = Penambahan bakteri tanpa molase

[10] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 10 [15] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 15 [20] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 20 [25] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 25

0 1 2 3

0 5 10 15 20 25

Pengamatan (Hari Ke-)

N itr a t (m g /L ) Kontrol [0] [10] [15] [20] [25]  

Keterangan : K = Kontrol (tanpa penambahan bakteri maupun molase) [0] = Penambahan bakteri tanpa molase

[10] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 10 [15] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 15 [20] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 20 [25] = Penambahan bakteri + molase C/N rasio 25

Gambar 12. Profil nitrat pada beberapa perlakuan selama penelitian

Konsentrasi nitrit cenderung meningkat dan fluktuatif dengan semakin lamanya waktu pemeliharaan udang (Gambar 11). Kisaran nilai nitrit selama masa pemeliharaan, yaitu kontrol (0.099–3.38) mg/l, [0] (0.099–3.09) mg/l, [10] (0.09– 2.35) mg/l, [15] (0.075–3.14) mg/l, [20] (0.099–2.01) mg/l, dan [25] (0.099–1.02) mg/l (Lampiran 7). Sama halnya dengan profil nitrit, profil nitrat juga cenderung berfluktuatif (Gambar 12). Kisaran nilai nitrat selama masa pemeliharaan, yaitu kontrol (0.40–2.28) mg/l, [0] (0.60–2.28) mg/l, [10] (0.54–2.28) mg/l, [15] (0.80– 2.28) mg/l, [20] (0.66–2.28) mg/l, dan [25] (0.83–2.64) mg/l (Lampiran 8).

Konsentrasi nitrit dan nitrat yang cenderung fluktuatif mengindikasikan terjadinya proses nitrifikasi dan denitrifikasi pada media pemeliharaan. Pada hari ke-10 konsentrasi nitrit cenderung tinggi (Gambar 11) dibarengi dengan konsentrasi nitrat yang rendah (Gambar 12) dan amonia yang tinggi (Gambar 9). Hasil tersebut diduga disebabkan oleh berlangsungnya proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang menghasilkan zat antara berupa nitrit. Bakteri nitrifikasi yang digunakan sebagai inokulan merupakan bakteri yang memiliki kemampuan untuk mereduksi amonia sebesar 78.25% serta menghasilkan nitrit dan nitrat sebesar 0.51% dan 20.59% pada media nitrifikasi cair (Pranoto, 2007). Lebih lanjut Bock

et al., (1991) dalam Widiyanto (2006) mengemukakan bahwa pada kultur organisme kelompok bakteri nitrifikasi yang bersifat heterotrof, senyawa nitrit hanya akan dihasilkan jika aktivitas enzim nitrit reduktase dihambat oleh kandungan oksigen yang rendah. Data DO pada hari ke-10 menunjukkan DO berada pada nilai terendah selama masa pemeliharaan yang berkisar 3.69–5.37 mg/l (Gambar 8). Diduga konsentrasi nitrit yang tinggi sebagai akibat dari terhambatnya enzim nitrit reduktase sehingga proses nitrifikasi tersebut menghasilkan nitrit.

Konsentrasi DO yang rendah tersebut akan meningkatkan proses denitrifikasi, karena proses denitrifikasi berlangsung optimum pada DO rendah. Berlangsungnya proses denitrifikasi selain terlihat dari konsentrasi nitrat yang rendah pada hari ke-10 (Gambar 12), dapat juga dilihat dari nilai pH, nitrit, dan amonianya. Nilai pH pada hari ke-10 meningkat dibandingkan hari ke-5 (Gambar 7). Diduga terjadinya peningkatan tersebut sebagai akibat berlangsungnya proses denitrifikasi yang dapat meningkatkan pH media. Konsentrasi nitrit dan amonia yang meningkat diduga sebagai hasil samping dari proses denitrifikasi, karena bakteri denitrifikasi yang digunakan memiliki kemampuan untuk menghasilkan nitrit (29.1%) dan amonia (1.63 mg/l) pada media cair denitrifikasi (Pranoto, 2007). Enzim yang berperan dalam aktivitas denitrifikasi adalah nitrat reduktase yang mengubah nitrat menjadi nitrit, nitrit reduktase yang mengubah nitrit menjadi nitrit oksida, nitrit oksida reduktase yang mengubah nitrit oksida menjadi nitrous oksida, dan nitrous oksida reduktase yang mengubah nitrous oksida menjadi gas nitrogen (Richardson dan Watmough, 1999 dalam Widiyanto, 2006). Diduga nilai nitrit yang tinggi sebagai akibat kurang maksimalnya kerja enzim nitrit reduktase dalam proses denitrifikasi. Widiyanto (2006) menyatakan bahwa kerja dari enzim-enzim tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan mempunyai karakteristik yang beragam.

Adanya amonia sebagai produk sampingan mengindikasikan bahwa bakteri denitrifikasi yang digunakan memiliki kemampuan untuk mereduksi nitrat menjadi amonia (nitrate ammonification). Cole (1996) dalam Widiyanto (2006) mengemukakan bahwa reduksi nitrat diasimilasi menjadi amonia merupakan

proses untuk menghilangkan tenaga reduksi dan merangsang pertumbuhan dalam kondisi anaerobik.

Dokumen terkait