• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III APLIKASI MODEL MANAJEMEN PERUBAHAN

A. Data Umum

1. Profil Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar

a. Latar Belakang Sejarah

Pondok Pesantren “Wali Songo” terletak di desa Ngabar, Kecamatan

Siman, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Letaknya kira-kira 7 km di sebelah selatan kota Ponorogo, 35 km di sebelah selatan kota Madiun, 185 km di sebelah Barat kota Surabaya. Didirikan pada tanggal,

4 April 1961 oleh K.H. Muhammad Thoyyib bin Syafi’i seorang ulama

karismatik, keturunan dari desa Bayat, Cirebon yang hijrah ke Ponorogo untuk berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam.135 Menurut riwayat, Muhammad Thoyyib masih kerabat dari Kasultanan Cirebon.136 Meski tidak ada bukti yang otentik yang bisa ditelusuri kecuali pengakuan

beberapa pihak, namun, selain tidak memiliki “trah” garis keturunan dari

Ponorogo, penampilannya mencerminkan seorang juru dakwah yang datang dari jauh. Baik postur dan bentuk fisiknya menunjukkan beliau memang bukan dari asli Ponorogo. Ia lebih mirip dengan perawakan

135

Menurut penuturan kerabat yang masih tersisa, sebenarnya K.H. Muhammad Thoyyib menggembara ke Ponorogo tidak sendirian. Sebagian saudara-saudarinya memilih pergi ke daerah Kencong Jember karena selain berdakwah mereka mencari daerah agraris yang bisa digunakan untuk bercocok tanam. Silsilah keluarga K.H. Muhammad Thoyyib dapat dilihat dalam lampiran.

136

Seperti disampaikan oleh ustadz Drs. H. Moh. Bisri, M.A., yang menjabat sebagai Ketua

Majlisu Riyasatil Ma’had, Lembaga tertinggi di lingkungan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo.

Arab. Berpostur tinggi, kurus, berkulit gelap dan selalu memakai pakaian ala Arab, kafiyah dan sorban. Untuk ukuran sebuah desa, pakaian tersebut terlihat asing dan tidak biasa. Mayoritas masyarakat Ponorogo

lebih sering berpakaian adat Jawa atau “warok”137

yang menjadi ciri khasnya. Data-data fisik dan kultur yang dimiliki menguatkan kesan bahwa beliau memang bukan asli Ponorogo, meskipun belum tentu juga beliau keturunan Arab.

Pendirian Pondok Pesantren “Wali Songo” telah dirintis sejak lama

sekitar tahun 1920-an. Kiyai Muhammad Thoyyib adalah tokoh sentral

sekaligus ulama’ karismatik di desa Desa Ngabar. Selain menjadi imam

masjid, beliau juga mengajar ngaji di Surau Selatan (Langgar Kidul). Di sebelah utara desa Ngabar juga terdapat Surau Utara (Langgar Lor) yang dipimpin oleh tokoh lain yang bernama Imam Bukhori. Kedua surau ini meski berbeda tempat merupakan cikal bakal lembaga pendidikan keagamaan di desa Ngabar. Sebenarnya, jauh sebelum kedua langgar ini ada, telah berdiri masjid desa di sebelah barat Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar. Masjid desa itu dipimpin oleh tokoh agama kiyai Dawud

yang juga memiliki beberapa santri yang tinggal di sekitar masjid. Masjid ini juga diyakini sebagai lembaga keagamaan tertua, berusia lebih dari 100 tahun. Kegiatan pengajian dan pendidikan agama dilaksanakan pada sore hari. Namun, masjid besarta lembaga keagamaan berangsur punah

137Warok secara umum memiliki pengertian orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin. Warok biasanya seseorang yang sangat dihormati dalam masyarkat Ponorogo karena memiliki kelebihan ilmu kanuragan dan tempaan fisik lainnya. Secara lahiriyah, mereka sering menggunakan pakaian khas ala Ponorogo dan hanya bergaul di kalangan tertentu. Jumlah mereka saat ini sudah hampir tidak ada.

seiring meninggalnya Kiyai Dawud. Tidak ada seorang pun yang bisa memastikan siapa dan dari mana asal usul Kiyai Dawud.138

Keberadaan pesantren kecil dengan Kiyai Dawud inilah yang kemudian menjadi inspirasi bagi Muhammad Thoyyib untuk mendirikan lembaga pendidikan semisal. Maka beliau merintis pendirian madrasah diniyyah sore yang bernama Bustanul Ulum. Madrasah ini operasionalnya diserahkan kepada kedua putra beliau, Ahmad Thoyyib139 dan Ibrohim Thoyyib140 yang merupakan lulusan sekolah formal. Dengan madrasah dan masjid, cita-cita dakwah K.H. Muhamamd Thoyyib untuk mengubah masyarakat Ngabar semakin kuat. Beliau ingin masyarakat Ngabar berubah dan keluar dari kemaksiatan. Masyarakat Ngabar sangat identik dengan kebiasaan masyarakat Jawa dan kemaksiatan. Judi, minum-minuman keras, main perempuan dan menyembah benda keramat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kultur masyarakat Ngabar. Wajar bila mereka menentang keras berdirinya masjid yang kemudian diikuti madrasah. Memang secara dzahir mayoritas masyarakat Ngabar

138 Pidato Pimpinan Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar, K.H. Ibrohim Thoyyib dalam Resepsi Kesyukuran Peresmian Wakaf dan Reuni pada tanggal 6 Juli 1980, diperkuat oleh

wawancara dengan Bpk. Ahmad Dja’far yang diyakini sebagai kuturunan Kiai Dawud, pada 31

Agustus 2013.

139

Ahmad Thoyyib lahir di desa Ngabar Kecamanatan Siman Kabupaten Ponorogo, putra K.H. Muhammad Thoyyib ke tiga dari sembilan bersaudara. K.H. Ahmad Thoyyib menimba ilmu di pesantren tradisional (salafiyah) seperti Pesantren Tegalsari. Beliau yang pertama kali membina lembaga pendidikan dasar pertama di Ngabar yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar. Beliau lebih banyak mengurus persoalan tanah-tanah wakaf Pondok ketimbang pendidikan. Sedangkan pendidikan lebih banyak ditangani dua adiknya, K.H. Ibrohim Thoyyib dan K.H. Ishaq Thoyyib.

140

Ibrohim Thoyyib lahir di Desa Ngabar pada tanggal 30 Juni 1925 dan wafat pada tanggal 5 Mei 2001. Anak ke 4 dari KH. Muhammad Thoyyib, selain pernah nyantri di Pesantren tradisional seperti Joresan dan Tegalsari juga melanjutkan pendidikan menengahnya di Pondok Modern Darussalam Gontor mulai tahun 1948 serta diangkat menjadi staf pengajar pada tahun 1952. Lihat Biografi K.H. Ibrohim Thoyyib yang diterbitkan oleh Sektretariat Pimpinan Pondok Pesantren

adalah muslim. Tapi dalam hal kepercayan mereka masih mempertahankan budaya Jawa yang amat kental dengan sinkretisme yaitu memadukan, mencampur dan menyelaraskan antara tradisi Jawa dan Islam.141 Mereka masih menjalankan ritual agama Islam, tetap pergi ke masjid pada bulan Ramadan dan shalat hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri, akan tetapi juga percaya kepada animisme dan dinamisme.142

Usaha Muhammad Thoyyib untuk mendirikan pondok pesantren tidaklah ringan. Tantangan terbesar justru datang dari masyarakatnya sendiri. Budaya, adat istiadat dan kebiasaan yang selama ini mereka jalankan tidak mungkin dihilangkan begitu saja. Dakwah kultural melalui pendidikan yang kemudian dipilih Muhammad Thoyyib. Beliau kemudian menyekolahkan anak-anak lelakinya ke pesantren salafiyah di sekitar Ponorogo. Di antaranya Pesantren Tegalsari yang legendaris, juga pesantren Joresan143 dan pesantren Gontor. Nantinya setelah menyelesaikan pendidikan mereka diharapkan dapat merintis berdirinya lembaga pendidikan Islam di desa Ngabar. Ketiga putra lelaki beliau yaitu Ahmad Thoyyib, Ibrohim Thoyyib dan Ishak Thoyyib belajar secara tradisional dengan mengkaji kitab-kitab agama secara

141

Menurut Zamakhsyari dalam kehidupan keagamaan sehari-hari orang Jawa belum biasa disebut orang Islam. Banyak desa-desa di Jawa yang menyelenggarakan sajian-sajian untuk danyang desa dan makhluk halus yang menempati batu-batu, pohon, gua, kuburan, sungai dan lain-lainnya. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 11.

142

Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dalam Budaya Spiritual Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2006), hal. 76.

143

Pondok Joresan adalah pondok yang berada di desa Joresan, kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo sekitar 12 KM dari kota Ponorogo. Pondok Joresan yang dimaksud di sini adalah pondok Joresan lama yang tidak ada kaitannya dengan pondok Joresan saat ini.

“sorogan”144 dan secara “weton”145

kemudian melanjutkan pendidikan agamanya ke Pesantren Gontor yang sudah bersistem modern di bawah pengasuhan K.H. Imam Zarkasyi. Keterpaduan antara sistem pendidikan Islam tradisional dan modern ini kelak menjadi dasar sintesa model lembaga pendidikan baru.

Cita-cita mendirikan lembaga pendidikan yang lebih terarah mulai dilaksanakan pada tahun 1946 dengan mendirikan madrasah diniyah sore

Bustanul Ulum al-Islamiyah” yang dipimpin oleh Ahmad Thoyyib.

Pendirian ini menjadi tonggak penting, cikal bakal lahirnya Pondok

Pesantren “Wali Songo” Ngabar. Langkah awal berdirinya tidak berjalan

mulus. Banyak sekali tantangan dan rintangan yang dihadapi, khususnya dari masyarakat Ngabar sendiri yang merasa terancam akan hilangnya adat dan kebiasaan yang dilakukan. Maka dengan sekuat tenaga mereka menghalangi kemajuan madrasah ini secara langsung atau tidak langsung. Keluarga besar K.H. Muhammad Thoyyib dikucilkan oleh masyarakat selama hampir enam bulan. Siapapun yang berhubungan dengan keluarga ini akan menerima konsekuensi yang sama, dikucilkan, diboikot dan diperangi. Kuatnya tantangan dan rintangan yang dihadapi hampir membuat Ahmad Thoyyib putus asa. Ayahnya bahkan berpesan kepada Ahmad Thoyyib, ”lek aku mati, sungginen karo adikmu menyang

144

Sorogan adalah membaca dan memahami kitab secara individual dihadapan kiyai agar terjamin kebenaran apa yang dipelajarinya.

145Weton adalah sistem belajar di mana kiyai membaca dan menerangkan isi kitab sedangkan santri menyimak kitabnya masing-masing.

kuburan.”146

Namun, rintangan dan halangan tersebut tidak sampai benar-benar menyurutkan niat, bahkan sebaliknya justru menambah semangat untuk meneruskan. Madrasah Diniyah kemudian diubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah dan masuk pagi (formal) pada tahun 1950.

Nama Madrasah Diniyah “Bustanul Ulum” diubah menjadi Madrasah

Ibtidaiyah “Mamba’ul Huda.”

Dari model madrasah Ibtidaiyah ini kemudian dapat dikembangkan lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Pada tahun 1958 berdiri Madrasah menengah tingkat pertama yang bernama Madrasah

Tsanawiyah Lil Mu’alimin yang kemudian diubah namanya menjadi

“Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah dan Tarbiyatul Mu’allimat al

-Islamiyah” tingkat tsanawiyah dan aliyah. Berdirinya lembaga tersebut adalah untuk mewadahi murid Madrasah Ibtidaiyah yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mengingat saat itu sekoah lanjutan masih sangat langka. Yang ditunjuk dan dipercaya menjadi kepala sekolah waktu itu adalah Muhammad Fadhil bin Imam Hanafi hingga tahun 1961.147 Setelah Madrasah ini berjalan tiga tahun (1961) maka diselenggarakan sistem Pesantren yang di beri nama Pondok

Pesantren “Wali Songo.”

Penamaan “Wali Songo” dinyatakan pertama kali pada pertemuan

pembukaan dan perkenalan dengan santri-santri pertama pada 4 April

146M. Bisri dan Hariyanto, “Percikan Sejarah Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo

Jawa Tmur.” Kumpulan Bahan Sidang Majlisu Riyasatil Ma’had ke 46 di Ngebel, Ponorogo, pada tanggal, 26-27 Februari 2011, hal. 11

1961 yang secara kebetulan dihadiri oleh sembilan orang santri.148 Atas usul mereka dan akhirnya disetujui oleh Pimpinan Pondok, pesantren ini

dinamakan “Wali Songo” hingga sekarang. Secara historis dan filosofis, penamaan “Wali Songo” dikaitkan dengan sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Perjuangan para mubaligh Islam tersebut begitu berkesan di hati pendiri Pondok Pesantren Ngabar

sehingga memberi nama “Wali Songo” kepada pesantrennya. Pendiri

ingin agar semangat dakwah Islam yang diemban oleh para wali terdahulu juga meresap dalam jiwa dan sanubari para santrinya. Selain jiwa dakwah, cara dan metode dakwah para wali tersebut juga dapat menjadi landasan kelak ketika para santri sudah kembali ke masyarakat. Sedang secara filosofis, ada keinginan kuat dari pendiri pondok agar

pesantren ini tetap mempertahankan “kultur pesantren” meski

mengadopsi sistem modern dalam pendidikannya. Secara alamiah, pesantren muncul dan ada di tengah masyarakat, tidak mungkin memisahkan diri dari masyarakatnya. Maka Pesantren ini diharapkan terus dapat memberi kemanfaatan bagi masyarakat.149

“Wali Songo” tidak saja menjadi simbol pesantren ini. Secara

ideologis pesantren ini betul-betul ingin mengadopsi model dan jiwa

148

Menurut H. M. Zaini nama-nama santri pertama yang berjumlah Sembilan orang tersebut adalah: Ahmad dan Kawakib dari Pacitan, Muhammad Nawawi dari Jakarta, Mahmud Sulaiman dan Sahan dari Riau, Harun al-Rasyid dan Basrah dari Kalimantan dan Muhammad A’ul dan

Aunur Rofiq dari Ujung Pandang. Nama-nama tersebut belum dapat divalidasi hingga saat ini, mengingat tidak ada pencatatan otentik. Mereka berada di Pesantren ini tidaklah lama, sehingga menyulitkan penelusuran terhadap siapa saja Sembilan santri pertama tersebut. Lihat H. M. Zaini, Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo Jawa Timur (Surabaya: Proyek Penelitian Keagamaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama RI, 1981), hal. 2.

dakwah “Wali Songo”. Salah satunya, dengan tetap mempertahankan tradisi lokal yang sudah ada sebelum pesantren ini ada.150 Tradisi dan budaya yang sudah melekat pada masyarakat Ngabar selama tidak bertentangan dengan akidah dan ajaran pokok Islam lainnya tetap dipertahankan. Pada kenyataannya sejak lama masyarakat Indonesia telah hidup dalam kultur dan agama yang majemuk. Agama Budha, Hindu, animisme dan dinamisme telah ada terlebih dahulu. Islamisasi dan akulturasi budaya berjalan mulus, salah satunya atas jasa Wali Songo. Tidak heran bila pesantren ini dalam perkembangannya tetap melibatkan partisipasi masyarakat lokal Ngabar dalam kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan dan keagamaan. Masjid dan semua fasilitas pondok dibiarkan terbuka untuk dimanfaatkan masyarakat. Kiai sebagai figur pemimpin tidak hanya representasi masyarakat pesantren, tapi juga wakil masyarakat dalam urusan keagamaan.

Penolakan masyarakat yang muncul di awal berangsur hilang seiring mulai dirasakannya manfaat keberadaan pesantren. Pandangan sepihak bahwa pesantren hanya lembaga agama yang normatif mulai terkikis dengan pendekatan kiyai kepada masyarakat. Melalui kerjasama-kerjasama yang saling menguntungkan antara pondok dan masyarakat. Figur kiayi sangat berpengaruh besar dalam keberhasilan dakwah

Pesantren “Wali Songo” di Ngabar. Semangat pengabdian dan

konsistensi untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat melalu jalur

150

Prinsip dasar yang dianut pesantren tertuang dalam kaidah, “al-muahafadzhatu ‘ala al-qadim al-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik)

pendidikan keagamaan memunculkan simpati kepada Pesantren sehingga terciptalah kerjasama untuk saling menguatkan dalam banyak bidang.

b. Visi dan Misi Kelembagaan

Visi (vision) adalah gambaran masa depan tentang apa yang hendak dicapai oleh lembaga. Visi adalah cita-cita idealis di masa yang akan datang. Ibarat “kompas” ke arah mana lembaga itu akan dikembangkan. Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar memiliki visi yang diadopsi dari

filosofi dan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pesantren yaitu: “Menjadi lembaga pendidikan Islam yang berjiwa

pesantren, unggul dalam Iman dan Takwa, Ilmu pengetahuan dan

teknologi, bahagia dunia dan akhirat.” Untuk mencapai visi tersebut,

diperlukan usaha dan usaha yang berorientasi kepada:

1) Mendidik dan membentuk generasi unggul yang bertakwa kepada Allah, beramal shalih, berbudi luhur, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berfikiran bebas, berjiwa wiraswasta dan cinta tanah air.

2) Menanamkan jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah Islamiyah dan kebebasan.

3) Mempersiapkan generasi muslim yang menguasai teknologi, cakap, bertanggung jawab dan berkhidmat kepada agama dan masyarakat.

4) Menyelenggarakan pendidikan Islam yang bermutu, dan konsisten kepada jiwa pesantren.

5) Menyediakan pendidik yang profesional, sarana dan prasarana yang memadai dan lingkungan yang Islami.

c. Status Pesantren Wakaf

Pada tradisi pesantren pada umumnya, secara kelembagaan, pesantren adalah milik kiyai. Kiyai dan keluarga kiyai menjadi pemilik tunggal seluruh aset yang dimiliki oleh pesantrennya. Karena ia adalah hak milik, maka ketika kiyai wafat maka ia akan diturunkan kepada ahli warisnya. Dalam hal ini, pesantren tidak ubahnya sebagai kerajaan kecil dari sebuah dinasti yang diwariskan kepada generasi berikutnya secara turun-temurun. Sistem kelembagaan semacam ini memiliki kelebihan berupa kuatnya ikatan emosional antara pesantren dengan pemiliknya. Ikatan (bonding) ini akan menimbulkan rasa tanggung jawab dan pemahaman yang lebih baik serta sekaligus lebih memungkinkan bagi upaya transfer nilai-nilai pesantren.151

Namun tentu saja sistem kelembagaan pesantren semacam ini juga memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya adalah bahwa tidak semua keluarga dapat mengerti dan memahami pondok dengan segala persoalannya sehingga sangat terbuka kemungkinan bagi kepentingan dan persoalan keluarga akan muncul dan berubah menjadi kepentingan dan persoalan pondok. Di samping itu, keberadaan pondok menjadi sangat bergantung kepada keluarga, karena fihak lain tidak merasa memiliki, mereka hanya sekedar membantu. Masalah juga akan timbul

151

Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Jakarta: Rajawali Press, 2005), hlm. 117-118.

berkaitan dengan suksesi kepemimpinan. Karena miliki keluarga, maka mau tidak mau pemimpin pesantren harus dari keluarga, sekalipun tidak ditemukan di antara mereka yang memenuhi kualifikasi untuk itu. Hal ini seringkali menjadi faktor utama mundur dan runtuhnya sebuah pesantren.152

Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar adalah Pondok Pesantren

yang berstatus Pondok wakaf. Secara resmi telah diwakafkan oleh

pendirinya kepada umat Islam pada 22 Sya’ban 1400 H/6 Juli 1980, bertepatan dengan hari kesyukuran Sembilan tahun yang ke II Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, dengan disaksikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, c/q Direktur Jendral Pembinaan kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia yang waktu dijabat oleh Bapak Prof. H. Anton Timur Jaelani M.A., para pejabat pemerintah pusat maupun daerah, pimpinan pondok Modern Gontor, para alim ulama dan tokoh-tokoh masyarakat. Ikrar Wakaf ini ditandatangani oleh pihak (wakil) wakif I dan II:K.H. Ahmad Thoyyib dan K.H. Ibrohim Thoyyib yang kemudian diserahkan kepada nadzir (wakil) wakif yang berjumlah 15 orang, terdiri dari para alumni dan Keluarga Besar Pondok

Pesantren “Wali Songo” Ngabar yang benar-benar mengerti dan mengenal dengan baik nilai-nilai dasar dan garis besar haluan Pondok, dengan amanat agar supaya Pondok Wali Songo:

1) Menjadi suatu lembaga pendidikan Islam yang tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum agama Islam, berkhidmat kepada masyarakat, menuju kebahagian hidup di dunia dan akhirat. 2) Menyelenggarakan Pendidikan Islam dari Tingkat Taman

kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.

3) Menjadi Lembaga Pendidikan Islam yang tetap berjiwa Pondok Pesantren dengan mengutamakan arah pendidikanya kepada: Taqwa kepada Allah, beramal soleh, berbudi luhur, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berfikiran bebas dan berwiraswasta. 4) Menjadi tempat beramal untuk meninggikan kalimat Allah. 5) Tidak berafiliasi kepada partai politik maupun golongan

manapun.153

Dengan diwakafkannya Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar,

maka status kepemilikan Pondok berubah dari milik pribadi menjadi milik institusi. Konsekuensinya, ahli waris pendiri tidak mempunyai hak untuk mewaris harta dan aset-aset materi Pondok, sebab Pondok bukan milik keluarga, tetapi sudah menjadi milik ummat. Karena itu kelangsungan hidup Pondok bukan hanya menjadi tanggung jawab keluarga, tetapi telah menjadi tanggung jawab semua umat Islam. Dengan perubahan status wakaf ini pula, pengelolaan Pondok tidak lagi menjadi dominasi keluarga keluarga pendiri Pondok atau kiyai. Pertalian kekerabatan tidak menjadi faktor penentu dalam pengangkatan

kepemimpinan dan kepengurusan Pondok pada semua tingkatan. Penetapan itu justru lebih didasarkan pada standar dan kriteria yang mengutamakan kecakapan dan kelayakan.

d. Pemahaman Keagamaan Pesantren

Secara garis besar, Pondok Pesantren “Wali Songo” memegang

prinsip wasathiah (moderasi) dalam banyak hal khususnya masalah keagamaan. Sikap moderat tidak mengandung arti tidak memiliki prinsip atau pedoman, tetapi lebih mengedepankan pandangan yang bisa diterima masyarakat umum selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Pesantren Ngabar sesuai kulturnya lebih merangkul dan mewadahi semua faham, sehingga institusi pesantren menjadi lebih terbuka; tidak terkooptasi oleh madzhab maupun kelompok tertentu. Bagaimanapun perpecahan dalam tubuh umat Islam menginspirasi pendiri Pesantren ini untuk menjunjung perbedaan pandangan dan mengembangkan semangat “ukhuwah diniyyah”. Prinsip “berdiri di atas

dan untuk semua golongan” betul-betul dipegang teguh. Semangat

moderasi ini menjadikan Pondok Pesantren “Wali Songo” mudah

diterima oleh semua golongan maupun organisasi kemasyarakatan

“menjadi perekat umat”, meski dengan konsekuensi seringkali dianggap

tidak “berprinsip” dan memiliki stand yang jelas.154

154

Pendekatan moderat dalam bidang keagamaan sejalan dengan amanat KH. Imam Zarkasyi yang juga merupakan guru dari KH. Ibrohim Thoyyib. Dalam rapat pengurus Badan Wakaf Pondok

Modern Gontor pada 24 Desember 1977, beliau menyampaikan: “andaikata, guru-guru Pondok terdiri dari orang-orang yang bersimpati atau anggota Muhammadiyah, murid-muridnya terdiri dari anak keluarga Muhammadiyah, tetapi Pondok Modern tidak boleh dijadikan Pondok Muhammadiyah.” Selanjutnya beliau juga menegaskan tentang hal yang sama “jika guru dan

Sejalan dengan itu, seluruh penghuni Pesantren diharapkan tidak

menonjolkan identitas atau “ta’ashubiyah” suatu golongan. Di Pesantren

mereka betul-betul diajarkan bersikap bijak dalam memandang keragaman cara pandang keagamaan. Tidak fanatik terhadap madzhab

tertentu, dan menghukuminya. Identitas ‘kultural’ ini menjadikan santri Ngabar lebih “cair” dan membaur, mudah diterima di kalangan

masyarakat yang heterogen. Meski nantinya selepas selesai belajar di Pesantren, mereka diberikan kebebasan untuk memilih atau masuk salah satu kelompok tertentu yang diyakini dengan tetap berprinsip menjadi perekat umat. Dalam amaliyah ibadah misalnya, Pesantren ini tidak mengamalkan kegiatan seperti tahlilan, manakiban, yasinan atau diba’an yang biasanya dianggap sebagai ciri khas golongan Nahdliyin. Tetapi dalam segi yang lain, terlihat amalan seperti sholat shubuh dengan do’a

qunut dan membaca wirid secara bersama-sama setelah sholat. Bagi

Pondok Pesantren “Wali Songo” hal-hal tersebut dalam rangka pembelajaran dan pembiasaan. Mereka diberikan kebebasan untuk memilih karena setiap kelompok memiliki alasan-alasan sendiri. Hal-hal

yang sifatnya furu’iyah tidak perlu dipertentangkan.155

murid Gontor dari NU, tetapi Pondok Modern tidak boleh dijadikan NU.” Lihat KH. Abdullah

Dokumen terkait