• Tidak ada hasil yang ditemukan

m ) pH

Profil sebaran vertikal pH

Tabel 12. Hasil pengukuran rata-rata pH melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Stasiun Perlakuan 1 2 3 1 6,93 6,79 6,62 2 7,10 6,90 6,60 Rata-rata 7,02 6,84 6,61 Keterangan:

Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m

Nilai pH pada siang hari relatif lebih tinggi dibandingkan pH pada malam hari. Hal tersebut dikarenakan adanya proses fotosíntesis pada siang hari yang banyak menyerap CO2 bebas. Pada kondisi ini, CO2 diperoleh dari HCO3dengan melepaskan ion hidroksil (OH-) yang akan meningkatkan pH ke arah basa. Oleh karena itu pula nilai pH di permukaan pada lokasi pengamatan cenderung bersifat basa. Keberadaan karbondioksida akan mempengaruhi kadar pH pada perairan menyebabkan perairan semakin asam. Namun, seluruh perlakuan menunjukkan bahwa nilai pH yang diperoleh masih layak bagi kegiatan perikanan.

4.4.5. Hidrogen Sulfida (H2S)

Sulfida berasal dari limbah industri atau dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yaitu proses reduksi sulfat oleh bakteri pada kondisi anaerob. Sulfida dalam bentuk H2S tak terionisasi bersifat sangat toksik dan korosif terutama terhadap bahan-bahannya yang tersusun dari logam. Kadar H2S tak terionisasi yang tinggi dalam perairan menimbulkan bau telur busuk (Boyd 1989).

Berdasarkan data (Tabel 13) dapat ditunjukkan bahwa nilai sulfida rata-rata tertinggi pada lokasi pengamatan terdapat pada perlakuan 3 dengan nilai 1,6956 mg/l; nilai sulfida rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 adalah 0,3189; dan sulfida rata-rata pada perlakuan 1 di stasiun pengamatan adalah 0,0538 mg/l. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai rata-rata sulfida yang terukur cenderung meningkat.

Tabel 13. Hasil pengukuran rata-rata Hidrogen Sulfida (H2S) melalui pencampuran air dibeberapa kedalaman Ulangan Perlakuan 1 2 3 1 0,0556 0,3506 1,8036 2 0,0520 0,2871 1,5876 Rata-rata 0,0538 0,3189 1,6956 Keterangan:

Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m

Sama halnya dengan pengamatan yang dilakukan oleh Nugroho (2009) dan Pratiwi (2009) di Waduk Saguling dan Jatiluhur, dimana nilai H2S yang didapatkan pada perlakuan 3 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2. Hal ini terjadi karena adanya proses dekomposisi bahan organik yang banyak menggunakan oksigen sehingga pada kondisi anoksik hasil dari proses dekomposisi tersebut akan membentuk sulfida (H2S). Dapat dilihat dari nilai oksigen terlarut pada stasiun pengamatan, dimana nilainya semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman.

Pada pengamatan ini, tidak dilakukan pengukuran konsentrasi sulfida di setiap kedalaman sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti sebaran vertikal sulfida di lokasi pengamatan. Namun, konsentrasi sulfida yang diperoleh dari hasil pengukuran pada setiap perlakuan ini dapat diduga bahwa konsentrasi sulfida cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai sulfida yang diperoleh pada ketiga perlakuan tersebut tidak memenuhi baku mutu untuk kegiatan budidaya perikanan tawar karena konsentrasi sulfida yang dianjurkan <0,002 mg/l. Secara umum kandungan H2S tersebut berbahaya bagi kelangsungan ikan di keramba jaring apung karena melebihi baku mutu. Kandungan H2S yang melebihi batas ambang yang diperkenankan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan, sebab gas H2S yang naik kepermukaan perairan dapat menyebabkan kematian ikan secara massal. Namun mengingat adanya parameter lain (DO, pH, dan suhu) yang mampu mendukung kelangsungan hidup ikan budidaya di keramba jaring apung maka tingginya konsentrasi sulfida pada perlakuan 1 diduga masih dapat di tolerir oleh ikan budidaya.

Berbeda dengan perlakuan 3, pada perlakuan 1 tingginya konsentrasi sulfida tidak diiringi dengan rendahnya DO dan meningkatnya amonia. Nilai suhu dan pH

yang diperoleh pun masih berada pada baku mutu yang dianjurkan sehingga jika dilihat dari keempat parameter tersebut maka untuk perlakuan 1 masih dianggap layak untuk kegiatan budidaya ikan, sedangkan tingginya sulfida menunjukkan bahwa perlakuan 1 tidak aman bagi kegiatan budidaya perikanan berdasarkan PPRI No. 82 tahun 2001. Jika konsentrasi sulfida tidak memenuhi baku mutu kegiatan perikanan, diiringi dengan kondisi perairan yang miskin oksigen seperti hasil yang diperoleh pada perlakuan 3, maka ikan budidaya yang berada pada keramba jaring apung tersebut cenderung akan mati karena tidak mampu untuk meloloskan diri dari kondisi air yang buruk. Keadaan ini biasanya terjadi pada saat terjadi umbalan sempurna (holomictic) yang mengakibatkan terjadinya kematian massal ikan di lokasi keramba jaring apung.

4.5. Pengelolaan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diketahui konsentrasi oksigen terlarut di perairan Waduk Cirata, khususnya pada lokasi pengamatan secara teoritis mengalami defisit oksigen mulai dari 18 meter sampai dasar perairan. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Waduk Cirata khususnya pada lokasi pengamatan, berisiko tidak dapat memnuhi kebutuhan oksigen untuk respirasi organisme akuatik dan juga proses-proses yang terjadi di dalam perairan yang membutuhkan oksigen terutama di dasar perairan. Selain itu, pencampuran secara holomiticmenghasilkan konsentrasi oksigen yang rendah dan H2S yang tinggi. Tingginya konsentrasi amonia bebas dan hidrogen sulfida (H2S) juga berakibat fatal bagi ikan karena amonia bebas dan H2S bersifat toksik pada ikan.

Rendahnya konsentrasi oksigen akibat peningkatan pemanfaatan oksigen di Waduk Cirata khususnya di lokasi pengamatan, disebabkan pemanfaatan oksigen terlarut untuk proses-proses dekomposisi. Bahan-bahan organik yang terdapat di kolom perairan yang terakumulasi di dasar perairan berasal dari kegiatan budidaya KJA. Jumlah kandungan bahan organik pada waduk cirata terutama pada lokasi pengamatan sudah melebihi daya dukung perairan. Salah satu solusi pengelolaanya adalah dengan mengurangi jumlah KJA yang beroperasi, namun pengurangan KJA yang dilakukan secara drastis akan menimbulkan permasalahan sosial dan ekonomi bagi penduduk di sekitar Waduk Cirata, sehingga pengurangan dapat dilakukan secara bertahap, salah satunya dengan tidak memberi izin kepada pengusaha yang ingin menambah Keramba jaring apung di Waduk Cirata. Selain itu, pengendalian jumlah

KJA di Waduk Cirata, alternatif pengelolaan yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut:

1. Pengendalian pemberian pakan

Pemberian pakan didasarkan kepada bobot ikan, pertambahan pemberian pakan harus sesuai dengan pertambahan bobot ikan.

2. Memberikan pengarahan kepada petani untuk tidak melakukan budidaya pada saat peralihan musim kemarau ke musim hujan karena potensi terjadinya umbalan sangat besar, dengan pencampuran dari permukaan hingga ke dasar perairan (holomitic) akan memiliki potensi terjadinya kematian ikan secara masal yang mengakibatkan kerugian pada petani keramba jaring apung.

3. Penggunaan sistem aerasi untuk meningkatkan DO cadangan

Peningkatan konsentrasi oksigen terlarut di perairan dengan sistem aerasi dapat menggunakan kincir yang dapat di pasang di setiap unit KJA atau pada satu lokasi KJA apabila dan kurang memadai

4. Penyedotan sedimen yang merupakan akumulasi semua bahan organik, yang pada kondisi tidak ada oksigen akan menghasilkan gas-gas beracun, seperti H2S, CO2dan amonia. Alternatif pengelolaan ini membutuhkan biaya yang cukup besar, namun sedimen yang telah disedot dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk lahan pertanian.

5. Prinsip budidaya KJA intensif akan berdampak terhadap penambahan bahan organik ke perairan yang mengakibatkan terjadinya eutrofikasi sehingga menyebabkan fitoplankton melimpah yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan kualitas air menurun jika tidak ada yang memanfaatkan. Untuk menanggulangi masalah tersebut perlu dilakukan restocking atau penebaran ikan-ikan pemakan plankton (plankton feeder) yang tidak bersifat kompetitor dengan ikan lainnya seperti ikan tawes, nilem, nila, bandeng, dan sebagainya.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Secara umum, konsentrasi DO di lokasi KJA di Waduk Cirata cenderung menurun seiring bertambahnya kedalaman dengan kisaran rata-rata, 0,38 mg/l (pada lapisan dasar) hingga 8,20 mg/l (pada lapisan permukaan). Distribusi vertikal oksigen terlarut menggambarkan tipe perairan clinograde.Pada pengamatan diperoleh kondisi oksigen yang mencapai titik jenuh pada lapisan permukaan dengan nilai saturasi mencapai 110,03%. Dari hasil pengukuran suhu, tidak ditemukan lapisan termoklin pada lokasi pengamatan. Kedalaman zona eufotik pada perairan ini mencapai 3,78 m.

Berdasarkan hasil pencampuran massa air, disimpulkan bahwa terdapat variasi ketersediaan oksigen terlarut dari berbagai pencampuran massa air (meromictic dan

holomictic) di perairan KJA di Waduk Cirata. Pada perlakuan 1 dianggap sebagai

meromictichingga 16 meter, diperoleh nilai DO rata-rata sebesar 7,21 mg/l. Perlakuan 2 sebagai meromictichingga 27 meter memiliki nilai DO rata-rata sebesar 5,38 mg/l; sedangkan perlakuan 3 yang dianggap sebagai pencampuran air sempurna

(holomictic) memiliki nilai DO rata-rata sebesar 2,64 mg/l.

Berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut yang diperoleh disimpulkan bahwa jika terjadi pencampuranmeromictic hingga kedalaman 16 meter maka kegiatan budidaya ikan masih dianggap layak (PPRI no. 82 tahun 2001 kelas III) juga dengan

meromictic 27 meter sedangkan hingga kedalaman dasar yang dianggap sebagai pencampuran holomicticsudah melewati ambang batas sehingga tidak baik untuk budidaya perikanan. Namun, jika dilihat dari konsentrasi sulfida, semua jenis pencampuran massa air baik meromictic maupun holomicticdapat membahayakan kehidupan ikan budidaya.

Secara umum berdasarkan parameter fisika-kimia, disimpulkan bahwa kejadian

holomicticmemiliki potensi paling buruk bagi kegiatan perikanan dan berpotensi mencemari perairan sehingga pengelolaan sumberdaya perairan sangat berperan penting bagi pencegahan dampak buruk dari kejadian umbalan di KJA Waduk Cirata.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian dengan topik yang sama pada peralihan musim kemarau ke musim hujan dengan titik pengamatan lebih dari 2 stasiun dan

dilaksanakan selama 24 jam sehingga diperoleh keterwakilan yang lebih baik dari efek umbalan di Waduk Cirata.