• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Purwakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Purwakarta"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

AGUSTINA SINUHAJI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Purwakarta

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2010

(3)

RINGKASAN

Agustina Sinuhaji. C24051216. Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Purwakarta. Dibawah bimbingan Enan M. Adiwilaga.

Waduk cirata merupakan salah satu waduk yang dibangun di DAS Citarum, yang pada saat pembangunannya ditujukan sebagai pembangkit listrik tenaga air. Waduk Cirata juga dimanfaatkan untuk tujuan budidaya ikan konsumsi dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA). Saat ini waduk cirata mengalami masalah yang cukup serius seperti penurunan kualitas air yang disebabkan oleh bahan organik yang berasal dari sisa pakan, limbah domestik, dan industri. Dalam kondisi anoksik proses penguraian bahan organik terjadi secara anaerobik sehingga akan menghasilkan gas-gas beracun seperti H2S, NH3, dan CH4. Jika dalam kondisi ini terjadi

pembalikan masa air ke permukaan akan membahayakan kehidupan biota perairan dan mengakibatkan kematian massal ikan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi ketersediaan oksigen terlarut melalui pencampuran masa air di beberapa kedalaman di lokasi keramba jaring apung pada waduk Cirata, sehingga akan diketahui pengaruhnya terhadap biota dan petani ikan pada waduk tersebut. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2010. Dari hasil penelitian pendahuluan di dapatkan titik kedalaman pencampuran adalah kedalaman 2, 12, 24, dan 42 meter. Selanjutnya, dilakukan pencampuran massa air (masing-masing 2 kali ulangan) dari kedalaman 2 dan 12 meter sebagai perlakuan 1; kedalaman 2, 12, dan 24 meter sebagai perlakuan 2; dan kedalaman 2, 12, 24, dan 42 meter sebagai perlakuan 3. Parameter utama dari penelitian ini adalah DO dan parameter pendukung terdiri dari suhu, kecerahan, NH3,

pH dan H2S. hasil penelitian ini dikaitkan dengan baku mutu berdasarkan Peraturan

Pemerintah No. 82 tahun 2001 kelas III (kegiatan perikanan).

Dari hasil pengamatan yang dilakukan didapatkan kisaran rata-rata DO dari dasar hingga permukaan pada stasiun 1 dan 2 adalah 0,45-8,35 mg/l dan 0,30-8,00 mg/l sehingga tipe perairan di Waduk Cirata, khususnya di titik pengamatan, menggambarkan tipe clinograde. Kedalaman zona eufotik di lokasi pengamatan mencapai 3,81 pada stasiun 1 dan 3,75 meter pada stasiun 2. Nilai DO rata-rata dari pencampuran massa air pada perlakuan 1 di stasiun 1 dan 2 adalah 7,41 dan 7,00 mg/l; pada perlakuan 2 adalah 5,48 dan 5,28 mg/l; dan pada perlakuan 3 adalah 2,54 dan 2,44 mg/l. Nilai suhu rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 1 hingga 3 berturut-turut pada stasiun 1 adalah 29,50C; 28,10C; dan 26,80C, dan stasiun 2 nilai rata-rata

suhu adalah 29,60C; 28,30C; dan 26,60C, sedangkan nilai pH rata-rata berturut-turut

pada stasiun 1 adalah 6,93; 6,79; dan 6,62, stasiun 2 nilai rata-rata pH adalah 7,10; 6,90; 6,60. Nilai amonia rata-rata perlakuan 1 hingga 3 berturut-turut pada stasiun 1 adalah 0,0067 mg/l; 0,0083 mg/l; dan 0,0144 mg/l, stasiun 2 nilai amonia rata-rata adalah 0,0273 mg/l; 0,0278 mg/l; dan 0,0300 mg/l, sedangkan konsentrasi sulfida rata-rata berturut-turut pada stasiun 1 adalah 0,0556 mg/l; 0,3506 mg/l; dan 1,8036 mg/l, stasiun 2 nilai sulfida berturut-turut adalah 0,0520 mg/l; 0,2871mg/l; dan 1,5876mg/l.

(4)

PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP

KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA

JARING APUNG DI WADUK CIRATA, PURWAKARTA

AGUSTINA SINUHAJI C24051216

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul Penelitian : Pengaruh Pencampuran Massa Air Terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut

Pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Purwakarta.

Nama Mahasiswa : Agustina Sinuhaji

Nomor Pokok : C24051216

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui, Pembimbing

Dr.Ir. Enan M. Adiwilaga NIP. 19481207 198012 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dimana telah memberikan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Pencampuran Massa Air Terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) pada Lokasi Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata, Purwakarta”. Skripsi ini disusun sebagai hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2009 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku dosen pembimbing dan Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1 serta Dr. Ir. Hefni Effendi selaku penguji tamu yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari ketidaksempurnaan penulisan Skripsi ini sehingga besar harapan adanya saran dan kritik yang dapat membangun bagi penulisan selanjutnya.

Bogor, 26 Mei 2010

Penulis

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Hefni Effendi, M. Phil selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis.

3. Keluarga tercinta; Bapak, Mamak, kak Tua, kak Duma, dan Kia, terimakasih atas doa, kasih sayang, dukungan serta motivasinya.

4. Pemilik Keramba Jaring Apung sebagai lokasi penelitian (Desa Tegal Datar Kec. Maniis, Purwakarta)

5. Seluruh staf Laboratorium Produktivitas Lingkungan dan Perairan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (Bu Ana, Pak Tony, Kak Aan, Kak Budi, Pak Hery, dan Mas Adon) atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

6. Seluruh staff Tata Usaha dan civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.

7. Teman-teman tercinta MSP 42 atas kesetiaannya, doa dan motivasi dalam membantu penulis dalam menyelesaikan perkuliahan (Fina, Pipit, Mechin, Adnan, Agus, Erys, Moro, Shiro, Sumo, Wati, Boli, Endah, Dindo, Bonit, Herman, Puput, dan semua teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu).

8. Andung Crew(ka Pita, Mba Ulfah, Etax, Jesmon, Esti, Desi, Killa, kutil, Jejen, Krisna, Vera, Helen, Era, Rosinta, dan ka Tata) atas suka duka, semangat dan kekompakannya. “love You All”

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabanjahe, pada tanggal 18 Agustus dari pasangan Bapak Sinuhaji dan Ibu Sembiring. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN 4 Kabanjahe, SUMUT (1999), SLTPN 1 Kabanjahe (2002) dan SMAN 1 Kabanjahe (2005). Pada tahun 2005 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) Setelah setahun melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Sumberdaya Perikanan Di Indonesia (2008/2009) serta aktif sebagai anggota Sosial Lingkungan Himpunan Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada periode tahun 2008/2009.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Departemen manajemen Sumberdaya Perairan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pencampuran Massa Air Terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut Pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Purwakarta”.

(9)

DAFTAR ISI

2.1. Kondisi Umum Waduk Cirata ... 4

2.2. Keramba Jaring Apung (KJA)... 4

2.3. Umbalan (Pencampuran Massa Air) ... 6

2.4. Oksigen Terlarut-(Dissolved Oxygen)... 9

2.4.1. Sumber oksigen dalam perairan ... 9

2.4.2. Faktor yang mempengaruhi distribusi oksigen terlarut dalam perairan ... 11

2.4.3. Penurunan kandungan oksigen dalam perairan... 12

2.4.4. Distribusi vertikal oksigen dalam perairan ... 13

2.5. Bahan Organik di Perairan... 14

2.6. Parameter Fisika-Kimia Penunjang... 15

2.6.1. Suhu... 15

3.3.1. Penentuan stasiun pengamatan... 20

3.3.2. Pengambilan contoh air ... 21

3.4.2. Analisis tipe distribusi vertikal oksigen terlarut ... 26

(10)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut... 27

4.2. Pengaruh Pencampuran Masa Air Terhadap Kandungan Oksigen Terlarut ... 30

4.3. Persen Saturasi Oksigen... 32

4 4. Parameter Fisika-Kimia Penunjang ... 34

4.4.1. Suhu ... 34

4.4.2. Kecerahan ... 37

4.4.3. Amonia ... 37

4.4.4. pH ... 40

4.4.5. Hidrogen sulfida (H2S) ... 42

4 5. Pengelolaan ... 44

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 46

5.2. Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

DAFTAR LAMPIRAN ... 51

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Estimasi daya dukung Waduk Cirata, Jatiluhur, dan Saguling untuk

pengembangan budidaya ikan dalam KJA (Krismono 2004) ... 6

2. Hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut jenuh dan suhu pada tekanan udara 760 mmHg (Cole 1983in Effendi 2003) ... 16

3. Konsentrasi oksigen terlarut rata-rata pada penelitian pendahuluan di lokasi pengamatan... 22

4. Komposisi air dari setiap kedalaman yang mewakili... 24

5. Parameter dan metode analisis contoh air selama penelitian ... 25

6. Distribusi vertikal DO (mg/l) di lokasi pengamatan ... 28

7. Konsentrasi DO (mg/l) dari hasil pencampuran air di beberapa kedalaman ... 31

8. Distribusi vertikal suhu ( 0C) di lokasi pengamatan ... 35

9. Hasil pengukuran suhu (0C) melalui pencampuran air beberapa kedalaman... 36

10. Hasil pengukuran amonia (mg/l) melalui pencampuran air di Beberapa Kedalaman……… 39

11. Distribusi vertikal pH di lokasi pengamatan ... 40

12. Hasil pengukuran pH melalui pencampuran air di beberapa kedalaman... 42

13. Hasil pengukuran Hidrogen Sulfida (H2S) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman... 43

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tipe distribusi oksigen terlarut secara vertikal di danau/waduk

berdasarkan kedalaman (Goldman dan Horne 1983) ... 14

2. Peta Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat ... 21

3. Titik pengambilan sampel di lokasi KJA... 21

4. Distribusi vertikal konsentrasi oksigen terlarut... 29

5. Persen saturasi oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Cirata ... 33

6. Distribusi vertikal suhu di lokasi pengamatan... 36

7. Distribusi vertikal pH di lokasi pengamatan ... 41

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Perhitungan komposisi pencampuran air ... 52

2. Prosedur pengukuran parameter kualitas air ... 55

3. Baku mutu berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 ... 57

4. Data hasil perhitungan parameter yang diamati ... 58

5. Lokasi pengamatan dan botol BOD ... 60

(14)

1.1. Latar Belakang

Waduk adalah suatu badan perairan yang dibuat oleh manusia dengan membendung aliran sungai agar energi dan sumberdaya airnya tidak terbuang percuma ke laut, tetapi dapat di manfaatkan. Waduk merupakan badan air yang karakteristik fisik, kimia, dan biologis berbeda dari sungai asalnya yang dibendung, serta kualitas perairan waduk lebih stabil dibandingkan dengan sungai asalnya. Waduk memiliki fungsi yang beragam diantaranya sebagai pembangkit tenaga listrik, irigasi pertanian, sarana transportasi, tempat rekreasi, sumber air minum, dan pusat budidaya ikan keramba jaring apung (Garno 2002).

Waduk Cirata merupakan salah satu waduk yang dibangun di DAS Citarum, yang pada saat pembangunannya ditujukan sebagai pembangkit tenaga listrik. Waduk yang dibangun pada tahun 1988 ini berada pada ketinggian 221 m dari permukaan laut, mempunyai wilayah luas tangkapan air 603.200 Ha, luas 6.200 Ha, kedalaman rata-rata 34,9 m, dan volume 2.165 x 106m3. Waduk Cirata kini menjadi genangan

yang relatif permanen dan merupakan badan air besar yang memiliki kesamaan fungsi dengan ekosistem perairan umum. Waduk ini memiliki berbagai potensi dibidang sosial-ekonomi seperti, sumber pengairan sawah, sumber air bersih industri, sumber air minum, tempat budidaya ikan, tempat rekreasi, dan sarana perhubungan (Garno 2002).

(15)

pakan utama sering menimbulkan masalah serius di perairan wilayah KJA yaitu penurunan kualitas air. Akumulasi sisa pakan di dasar perairan dalam kondisi anaerob akan membentuk gas-gas beracun seperti NH3 dan H2S. Apabila suatu saat

terjadi pembalikan massa air ke permukaan (overturn) maka akan membahayakan kehidupan organisme perairan bahkan dapat mengakibatkan kematian massal ikan yang dibudidayakan.

Kandungan oksigen terlarut pada waduk berasal dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air, masukan dari aliran sungai, dan dari difusi udara. Oksigen di perairan dimanfaatkan untuk respirasi oleh biota perairan dan proses dekomposisi oleh bakteri aerob. Pada lapisan hipolimnion, kandungan oksigen sangat minim dan bahkan mencapai nol, sehingga terjadi dekomposisi bahan organik secara anaerobik pada lapisan ini maka akan dihasilkan gas-gas beracun seperti H2S, NH3, dan

CH4 dan jika terjadi proses umbalan (pembalikan massa air) dari dasar perairan ke

permukaan maka gas-gas beracun tersebut akan terangkat ke permukaan. Selain itu, ketersediaan oksigen di perairan akan mengalami defisit akibat pencampuran massa air dari dasar ke permukaan perairan sehingga dapat menyebabkan kematian massal ikan di area KJA tersebut. Hal ini pernah terjadi di lokasi keramba jaring apung Waduk Cirata yang menyebabkan kerugian para pengusaha budidaya ikan akibat kematian massal ikan.

Defisit oksigen di lapisan hipolimnion diduga menjadi penyebab kematian massal ikan saat terjadi umbalan. Oleh karena itu, untuk mengetahui fluktuasi ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan perlu dilakukan penelitian terhadap pola distribusi keberadaan oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Cirata melalui pencampuran massa air yang dianggap sebagai kejadian umbalan.

1.2. Permasalahan

Oksigen terlarut dalam ekosistem perairan sangat penting untuk mendukung keberlangsungan hidup organisme akuatik dan proses–proses yang terjadi didalamnya. Pasokan oksigen di waduk berasal dari difusi udara dan hasil proses fotosintesis, sedangkan bentuk pemanfaatan oksigen terutama berupa aktivitas dekomposisi dan respirasi.

(16)

tersuspensi. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas air serta meningkatnya sedimentasi yang akan mempengaruhi fungsi waduk. Sisa pakan yang tidak termakan dan sisa metabolisme ikan akan menjadi limbah organik yang akan terakumulasi di dasar perairan. Kondisi ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi limbah organik tersebut. Jika endapan sisa pakan di dasar perairan semakin tebal, maka hal tersebut mengindikasikan semakin menebalnya lapisan anoksik di dasar perairan dan semakin menipisnya lapisan oksik di permukaaan. Dalam kondisi anoksik proses penguraian bahan organik terjadi secara anaerobik sehingga akan dihasilkan gas-gas beracun seperti H2S, NH3, dan CH4. Jika dalam

kondisi ini terjadi pembalikan massa air ke permukaan maka akan membahayakan kehidupan biota perairan dan mengakibatkan kematian massal ikan.

Dampak negatif yang paling dirasakan oleh petani sekitar adalah kematian ikan yang mencapai ribuan ton yang sementara ini diduga akibat dari proses umbalan (overturn) yang terjadi saat kotoran yang ada di dasar waduk naik karena arus ke permukaan. Waduk Cirata telah beberapa kali memgalami umbalan yang mengakibatkan matinya ikan yang dikembangkan di KJA dan terganggunya kehidupan ikan-ikan yang berada di luar KJA karena ketidakmampuan ikan dalam menghadapi keterbatasan oksigen terlarut di perairan. Terbatasnya ketersediaan oksigen terlarut di keramba jaring apung akibat proses umbalan ini perlu dipahami lebih lanjut untuk mengantisipasi dampak yang lebih lanjut.

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi ketersedian oksigen terlarut (dissolved oxygen) melalui pencampuran massa air di beberapa kedalaman di lokasi perairan keramba jaring apung pada Waduk Cirata, Purwakarta.

1.4. Manfaat

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Waduk Cirata

Waduk Cirata terletak di Wilayah Kabupaten Bandung, Cianjur dan Purwakarta. Ketinggian air dari permukaan laut adalah 200 m. Waduk ini dibangun pada tahun 1988, terbentuk karena pembendungan sungai Citarum. Volume air pada waktu normal adalah sekitar 2.160.000.000 m3dengan luas permukaan sekitar 6.200

Ha, kedalaman rata-rata sekitar 34,9 m dan mempunyai kedalaman maksimum mencapai 106 m.

Kedalaman rata-rata waduk cirata sepanjang tahun 2003 sebesar 34,9 m menurun menjadi 26,3 m. Pada bulan Agustus-September kedalaman rata-rata mencapai 20,7 m. Hal ini disebabkan musim kemarau yang berkepanjangan, sehingga volume air berkurang hingga 30% dari keadaan normal sebelumnya (Prihadi 2003).

Waduk Cirata merupakan waduk yang banyak terdapat KJA (Hardjamulia et al.

1991) KJA adalah waduk yang sisi samping dan dasarnya dibatasi jaring dan dipakai untuk memelihara ikan. Pertukaran air dapat terjadi antara dalam dan luar keramba sehingga kotoran dan sisa pakan dari keramba dapat keluar dengan mudah ke perairan sekelilingnya. Ukuran jaring KJA sekitar 7 x 7 x 1,3 m3. Padat penebaran ikan

yang dipelihara (ikan mas) yaitu 25 – 200 ekor/m2atau 4 – 5 kg/m2. Jumlah karamba

jaring apung yang diizinkan hanya 12.000 unit tetapi kenyataannya perkembangan KJA di waduk Cirata terbilang sangat cepat. Garno (2002) mencatat pada tahun 1999 terdapat 27.786 unit. Pada tahun 2003 jumlah KJA mencapai 38.276 unit (Prihadi 2003) dan pada tahun 2008 jumlah unit KJA mencapai 53.100 (Effendi 2008). Jumlah KJA sebanyak itu sangat padat sehingga menyebabkan kualitas air waduk Cirata menurun. Kegiatan KJA memberikan masukan bahan organik paling besar ke perairan yaitu sekitar 80% dari total kandungan bahan organik yang terdapat di Waduk Cirata (Garno 2000). Bahan organik tersebut berupa sisa pakan kotoran ikan dari KJA. Sisa pakan dan kotoran dari KJA tersebut diuraikan oleh bakteri pengurai menjadi nutrien sehingga menyebabkan peningkatan kandungan nutrien di perairan waduk Cirata.

2.2. Keramba Jaring Apung

(18)

dalam perairan seperti danau, waduk, laguna, selat dan teluk. Sistem ini sekarang dikenal dengan nama Keramba Jaring Apung (Effendi 2003).

Paket teknologi budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) merupakan salah satu paket teknologi budidaya ikan yang cocok untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya perairan danau dan waduk Indonesia yang luasnya 2,1 juta Ha (Illyas et al. 1990 inNastiti 2001). Saat ini teknologi KJA sudah berkembang sangat pesat dan menyebar hampir di seluruh Indonesia. Daerah yang paling pesat perkembangannya berada di waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Hal ini dapat dipahami karena daerah Jawa Barat dikenal sebagai tempat pembudidayaan ikan air tawar secara turun-temurun. Selain itu, pangsa pasar terbesar bagi ikan air tawar adalah Jawa Barat.

Perkembangan unit KJA yang pesat berdampak positif terhadap peningkatan produksi ikan dan pendapatan petani ikan. Namun demikian, peningkatan jumlah unit KJA yang kurang terkendali dapat menimbulkan masalah yang berdampak negatif. Prinsip-prinsip dalam budidaya ikan dengan sistem KJA seperti cara pemberian pakan, tata letak KJA, dan daya dukung perairan tidak begitu diperhatikan sehingga berdampak buruk terhadap KJA tersebut (Subandar et al. 2005).

(19)

Tabel 1. Estimasi daya dukung Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata untuk pengembangan budidaya ikan dalam KJA (Krismono 2004).

Parameter Saguling Cirata Jatiluhur

Luas waduk minimum (ha) 4 4,5 6

Pakan maks harian (kg) 53.459,67 60.142,1 80.189,5

Daya dukung ikan maksimum (kg) 1.781.988,89 2.004.737,5 1.672.983,3

Padat tebar KJA (kg/m3) 7,5 7,5 7,5

Ukuran keramba (m3) 98 98 98

Bobot rataan ikan/KJA (kg) 735 735 735

Jumlah maksimum KJA (unit) 2.424,4 2.727,5 3.636,7

Budidaya ikan keramba jaring apung di waduk Cirata megalami peningkatan yang tinggi mengakibatkan waduk itu harus menanggung beban limbah yang cukup besar. Setiap bulannya, pakan ikan yang ditebar dalam jaring menghasilkan limbah yang mengandug unsur nitrogen (N) sebanyak 105.412 ton, fosfor (P) sebanyak 39.914 ton, dan belerang (S) sebanyak 8.235 ton (Garno 2002). Beban seperti ini telah bertahun-tahun terjadi dan mengakibatkan limbah pada air waduk melebihi batas ambang. Melimpahnya limbah pakan ini mengakibatkan masalah yang serius antara lain seperti proses sedimentasi yang tinggi dan penurunan kualitas air. Tingginya kandungan N dan P di air dan sedimen ini merupakan salah satu penyebab Waduk Cirata menjadi eutrofik bahkan mendekati hipertrofik (Garno 2002).

2.3. Umbalan (Pencampuran Massa Air)

Umbalan merupakan peristiwa pembalikan massa air pada saat suhu di lapisan permukaan terjadi penurunan secara tiba-tiba mencapai kisaran suhu yang lebih daripada suhu di dasar yang akan mempengaruhi biota dalam perairan tersebut (Nastiti dan Krismono 2003). Peristiwa ini sering terjadi di ekosistem tergenang seperti waduk pada saat peralihan musim.

(20)

dilakukan oleh angin dan tidak terjadi secara rutin. Akibatnya terbentuklah pelapisan dalam kolom badan air termasuk juga pelapisan kualitas air sehingga semakin dalam lapisan air maka akan semakin rendah mulutnya. Jika umbalan terjadi pada badan air yang memiliki stratifikasi atau pelapisan, maka dapat berakibat fatal bagi organisme di dalamnya. Peristiwa ini terjadi karena kualitas air yang rendah dan umumnya terdapat di dasar yang akan ikut terangkat ke permukaan tempat ikan hidup. Umbalan tidak berpengaruh terlalu buruk terhadap perairan yang jernih, sedangkan pada perairan yang dasarnya kotor atau tercemar limbah (termasuk limbah pakan ikan) dapat mengancam kehidupan ikan karena massa air yang naik ke permukaaan akan membawa senyawa-senyawa beracun yang membahayakan kehidupan ikan.

Jangkaru (2002) menyatakan bahwa penurunan suhu udara pada malam hari, waktu hujan, atau pada waktu sinar matahari terhalang oleh awan, asap, debu atau pelindung lainnya akan menurunkan suhu permukaan. Jika proses penurunan suhu udara berlanjut sehingga suhu air permukaan sama dengan suhu lapisan bawah maka akan terjadi proses pembauran atau pencampuran air (upwelling).

Goldman dan Horne (1983) membagi upwelling berdasarkan banyaknya

upwellingyang terjadi dalam satu tahun, yaitu:

1. Monomitic : Pencampuran massa air yang terjadi satu kali dalam setahun biasanya terjadi pada perairan yang beriklim tropis;

2. Dimitic : Pencampuran massa air yang terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada permulaan musim semi, pada musim dingin atau musim salju;

3. Polymitic : Pencampuran massa air yang terjadi secara terus-menerus dalam setiap tahun.

Berdasarkan pembalikan massa air, Goldman dan Horne (1983) membagi

upwellingmenjadi dua, yaitu:

1. Holomitic : Pencampuran massa air yang terjadi dari permukaan hingga ke dasar perairan yang terjadi secara sempurna. Siklus pencampuran ini biasanya terjadi setiap tahunnya.

(21)

Faktor yang menyebabkan terjadinya umbalan menurut Mann (1978) inNastiti dan Krismono (2003) adalah sebagai berikut :

1. Pendinginan secara konveksi

Pendingin secara konveksi biasa terjadi setiap hari terutama pada perairan yang dangkal di daerah dataran tinggi. Proses pendinginan terjadi pada waktu malam hari menyebabkan pendinginan di daerah permukaan. Partikel-partikel air yang dingin dan berat akan tenggelam sampai pada lapisan yang mempunyai suhu atau berat jenis yang sama. Dengan demikian arus konveksi yang timbul menyebabkan perpindahan massa air dari bawah ke atas atau permukaan perairan. Proses pendinginan secara konveksi selain disebabkan pendinginan pada malam hari juga disebabkan karena penguapan, ataupun cuaca dingin.

2. Angin

Angin topan akan menimbulkan arus kuat, yang mampu memindahkan massa air dari bawah ke atas atau ke permukaan. Jangkaru (2003) menyatakan bahwa angin yang bertiup dengan kecepatan yang tinggi di atas permukaan air yang luas dapat menimbulkan gerakan air vertikal. Angin mengangkat sejumlah massa air dan menumpuknya di sisi lain, yang umumnya disebut dengan gelombang. Ruang kosong yang ditinggalkan gelombang akan segera diisi oleh lapisan air di bawahnya sehingga terjadilah umbalan.

3. Aliran sungai

Masukan air sungai ke dalam perairan waduk ataupun danau akan menimbulkan arus. Arus sungai mempunyai berat yang berbeda dengan air waduk atau danau. Kedalaman air yang dicapai tergantung kepada perbedaan berat jenis. Jika berat jenis air sungai lebih besar daripada air waduk atau danau maka air sungai tersebut mengalir di bawah air waduk atau danau. Akan tetapi bila berat jenis air sungai lebih kecil dari waduk atau danau maka air sungai akan mengalir di atas air waduk atau danau. Pada waduk atau danau yang mengalami stratifikasi, air sungai yang dingin mengalir ke bawah hingga mencapai daerah yang mempunyai berat jenis dan suhu yang sama. Daerah ini umumnya di atas hipolimnion.

4. Pasang surut

(22)

Kematian massal ikan yang sering terjadi di KJA disebabkan oleh terjadinya perubahan ekosistem lingkungan secara mendadak karena umbalan (Azwar et al. 2004). Hal ini disebabkan karena massa air di lapisan bawah kadar oksigennya rendah yang diakibatkan oleh tingginya pembusukan bahan organik, tingginya NH3–N, H2S,

dan gas methan. Ketiga senyawa terakhir ini bersifat toksik bagi ikan, sedangkan ketersediaan oksigen sangat penting dalam mempertahankan kehidupan ikan.

Pada umumnya di luar negeri proses umbalan ini sangat menguntungkan karena status trofik danau atau waduk mereka masih tergolong oligotrofik atau mesotrofik, sehingga nutrien yang di dasar akan ke atas maka fitoplankton akan dapat berkembang biak sehingga produktivitas primer atau sekunder akan naik. Berbeda halnya di Indonesia, proses umbalan menghasilkan kematian massal bagi ikan-ikan budidaya yang berada dalam keramba jaring apung (KJA). Hal ini terjadi akibat perairan Indonesia bersifat eutrofik yang pada lapisan bawah anaerob mengandung senyawa beracun hasil dari dekomposisi. Hasil dekomposisi tersebut akan terangkat kepermukaan dan menyebabkan kekurangan oksigen pada seluruh badan air, sehingga biota perairan tidak dapat beradaptasi pada kondisi tersebut dan terjadilah kematian massal ikan (Nugroho 2009).

2.4 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut (dissolved oxygen) merupakan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan kosentrasi oksigen minimum yang dibutuhkan untuk kehidupannya (FardiazinOctaviany 2005).

2.4.1 Sumber oksigen dalam perairan

(23)

Laju transfer oksigen tergantung pada kosentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan bervariasi sesuai kecepatan angin (Sellers dan Markland 1987). Transfer oksigen dari udara ke perairan melalui proses difusi dan penghilangan oksigen dari perairan ke udara akan terus terjadi jika kondisi jenuh belum tercapai (Effendi 2003). Difusi oksigen dalam atmosfer ke perairan berlangsung relatif lambat meskipun terjadi pergolakan massa air. Oleh karena itu, sumber utama oksigen masuk ke dalam perairan waduk atau danau berasal dari proses fotosintesis (Schmittou 1991 inWidiyastuti 2004).

Perairan tergenang biasanya memiliki stratifikasi secara vertikal yang diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu secara vertikal pada kolom air. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Bila dibagi berdasarkan ada tidaknya cahaya pada suatu lapisan perairan, maka ada dua kelompok lapisan, yaitu lapisan fotik (eufotik, kompensasi, dan disfotik) dan lapisan afotik (Effendi 2003).

Berdasarkan perbedaan intensitas cahaya yang masuk kedalam perairan, stratifikasi vertikal kolom air pada perairan tergenang dikelompokkan menjadi:

1. Lapisan eufotik, yaitu lapisan yang masih mendapat cukup matahari. Pada lapisan ini oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis lebih besar daripada oksigen yang digunakan untuk respirasi.

2. Lapisan kompensasi, yaitu lapisan dengan intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya permukaan atau dicirikan oleh hasil fotosintesis yang sama dengan respirasi.

3. Lapisan profundal, yaitu lapisan di sebelah bawah lapisan kompensasi dengan intensitas cahaya sangat kecil (disfotik) atau sudah tidak ada lagi cahaya (afotik).

Berdasarkan perbedaan panas dalam bentuk perbedaan suhu pada setiap kedalaman, stratifikasi vertikal kolom air pada perairan tergenang dikelompokkan menjadi :

1. Epilimnion, yaitu lapisan sebelah atas perairan yang hangat, perubahan suhu secara vertikal sangat kecil, seluruh massa air pada ini mengalami pencampuran dengan baik, karena daya angin dan gelombang.

(24)

3. Hipolimnon, yaitu lapisan di bawah metalimnion, lebih dingin, perbedaan suhu secara vertikal relatif kecil. Massa air bersifat stagnan, tidak mengalami pencampuran, dan memiliki air yang lebih besar.

Selanjutnya dijelaskan bahwa lapisan yang terbentuk pada stratifikasi vertikal kolom air berdasarkan intensitas cahaya (eufotik, kompensasi, afotik) kadangkala berada pada posisi yang sama dengan lapisan-lapisan yang terbentuk akibat perbedaan panas (epilimnion, metalimnion/termoklin, dan hipolimnion). Lapisan eufotik merupakan lapisan epilimnion, adalah lapisan yang paling produktif karena mendapat pasokan cahaya matahari yang cukup sehingga proses fotosintesis berlangsung optimum (Effendi 2003).

Pada waduk yang memiliki kecerahan sangat tinggi, produksi oksigen oleh fitoplankton dapat terjadi di epilimnion sampai metalimnion bahkan hipolimnion yang masih mendapat bagian cahaya (Kimmel et al. 1990 in Octviany 2005). Distribusi horizontal oksigen di hipolimnion dimodifikasi oleh turbulensi vertikal, perpindahan secara horizontal, dan aliran air yang bergerak sebagai arus densitas di lapisan bawah (underflow) (Wetzel 2001). Perambatan oksigen juga dapat terjadi dari lapisan atas pada kondisi air yang tenang.

Selain melalui transfer oksigen dari udara dan proses fotosintesis, oksigen juga dapat masuk ke perairan karena terbawa oleh aliran yang masuk ke dalam badan perairan (inflow). Inflowmasuk dan bergerak ke waduk, airnya akan mengalir menuju lapisan yang memiliki densitas yang hampir sama dengan densitasnya.

Perbedaan densitas air di waduk lebih banyak disebabkan oleh suhu. Jika densitas inflowlebih kecil daripada densitas air permukaan waduk (Pin), inflow akan berada di atas (overflow). Jika densitas inflow lebih besar daripada densitas air permukaaan waduk (Pin>P), inflow akan berada di bawah (underflow), sedangkan jika densitas inflow lebih besar dari densitas lapisan epilimnion tapi lebih kecil dari densitas lapisan hipolimnion (P1<Pin<P2), inflowakan berada lapisan tengah (interflow)

(Wetzel 2001).

(25)

1. Suhu. Kelarutan oksigen semakin meningkat dengan menurunnya suhu, sehingga selama terjadi stratifikasi saat musim panas, lapisan perairan dalam waduk memiliki konsentrasi oksigen terlarut lebih tinggi daripada lapisan yang lebih hangat. Kondisi ini dapat digambarkan seperti distribusi vertikal oksigen tipe

orthograde (Goldman dan Horne 1983), yang umum terjadi pada perairan oligotrofik.

2. Arus. Zona riverinewaduk menerima air dari sungai induk, yang mempengaruhi distribusi dan konsentrasi oksigen terlarut dalam semua zona baik di epilimnion, metalimnion, dan hipolimnion.

3. Morfologi. Dua danau yang memiliki persamaan zona trofogenik dan laju produktivitas primer, namun memiliki volume hipolimnion yang berbeda, akan memiliki konsentrasi oksigen terlarut yang berbeda pula (Wetzel 2001). Hal yang sama terjadi di waduk dimana terdapat hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut di hipolimnion dan volume hipolimnion perairan waduk.

4. Masukan allochtonous(dari luar perairan) yang dapat berasal dari sungai induk. 5. Fotosintesis dan respirasi

6. Angin

2.4.3 Penurunan kandungan oksigen dalam perairan

Penyebab utama terjadinya penurunan kandungan oksigen dalam air menurut Welch (1952) adalah:

1. Respirasi organisme dalam air, baik hewan maupun tumbuhan yang berlangsung sepanjang hari.

2. Oksigen terlarut digunakan untuk dekomposisi bahan organik yang terlarut dan terakumulasi di dasar perairan. Penurunan oksigen terlarut akibat dekomposisi bergantung pada jumlah dan distribusi bahan organik yang terakumulasi, temperatur air, dan volume air di lapisan hipolimnion

3. Reduksi oleh gas lain

4. Pelepasan oksigen terlarut secara otomatis dari lapisan epilimnion mendekati musim panas. Air yang dingin dapat menampung oksigen terlarut lebih banyak sebelum mencapai saturasi.

(26)

berdampak nyata karena cenderung akan teraerasi, namun bila air tanah ini masuk ke bawah lapisan termoklin, akan menyebabkan peningkatan isi lapisan rendah oksigen di hipolimnion.

6. Keberadaan besi. Pada danau yang mengandung besi, oksidasi senyawa besi yang terlarut menjadi penyebab penting dalam penurunan oksigen terlarut.

Proses respirasi berlangsung di seluruh lapisan perairan, sehingga pada lapisan eufotik dimana fotosintesis berjalan sangat baik, kadar oksigen cenderung lebih melimpah dipermukaan dibandingkan lapisan di bawahnya. Titik kedalaman dimana terjadinya konsumsi oksigen (respirasi dan dekomposisi) sama dengan produksi hasil proses fotosintesis disebut kedalaman kompensasi.

Pada siang hari ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik perairan lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh respirasi. Pada malam hari fotosintesis berhenti tetapi respirasi terus berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian oksigen di lapisan eufotik perairan. Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari dan minimum pada pagi hari (Effendi 2003).

Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman bergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, evaporasi, dan limbah yang masuk ke dalam perairan (Effendi 2003).

2.4.4 Distribusi vertikal oksigen dalam perairan

Kadar oksigen terlarut di perairan dapat mencapai dasar terutama bila terjadi sirkulasi air dari atas sampai dasar. Pada keadaan air yang stagnan dapat terjadi stratifikasi oksigen. Kandungan oksigen terlarut menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini berhubungan dengan penurunan pasokan yang berasal dari proses difusi dari udara dan fotosintesis.

(27)

Tipe distribusi oksigen terlarut dalam suatu perairan secara vertikal menurut Goldman dan Horne (1983) (Gambar 1) adalah :

1. Tipe orthograde: Terjadi pada danau yang tidak produktif (oligotrofik) atau danau yang miskin unsur hara dan bahan organik. Konsentrasi oksigen semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman perairan. Peningkatan oksigen pada kondisi ini lebih diakibatkan oleh penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman.

2. Tipe clinograde: Terjadi pada suhu yang produktif (eutrofik) atau danau yang kaya unsur hara dan bahan organik. Konsentrasi oksigen semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman.

3. Tipe heterograde positif dan negatif : Pada tipe ini terlihat bahwa fotosintesis dominan terjadi di atas lapisan termoklin dan akan meningkatkan oksigen di bagian atas lapisan metalimnion.

4. Tipe anomali : Tipe ini terjadi pada aliran yang deras, dingin, kaya oksigen dan membentuk sebuah lapisan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri.

Gambar 1. Tipe distribusi oksigen terlarut secara vertikal di danau/waduk berdasarkan kedalaman; (a). orthograde, (b). clinograde, (c). heterograde,

(d). anomali (Goldman dan Horne 1983).

2.5. Bahan Organik di Perairan

(28)

dan hasil dekomposisi, juga dari luar daerah waduk (allochthonous) seperti limbah rumah tangga dan sisa aktivitas di sekitar waduk (Jangkaru 2003).

Pengembangan budidaya ikan dengan KJA diduga telah mencemari waduk karena kandungan N dan S merupakan produk utama dekomposisi bahan organik yang mengalami peningkatan. Bahan organik dalam KJA terutama berasal dari sisa pakan dan kotoran ikan. Semakin tingginya jumlah unit KJA, akan menyebabkan pertambahan bahan organik pada waduk tersebut karena jumlah pakan yang dibutuhkan akan semakin tinggi. Pertambahan unit KJA ini akan berpengaruh terhadap jumlah ikan yang akan di tebar (Jangkaru 2003).

Pakan dapat berasal dari pemberian atau tersedia secara alami di KJA, sedangkan kotoran ikan biasanya berupa sisa-sisa hasil metabolisme ikan. Pakan dan sisa metabolisme tersebut terakumulasi di dasar perairan dalam bentuk bahan organik yang akan dimanfaatkan oleh organisme dekomposer baik mikroorganisme maupun makroorganisme. Dalam batas tertentu, kandungan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan perairan. Namun, jika melampaui batas maksimum, justru akan menghambat pertumbuhan ikan (Jangkaru 2003).

Peningkatan konsentrasi bahan organik di perairan diduga karena : (a) pengadukan massa air, (b) penurunan muka air yang mengakibatkan konsentrasi di perairan menjadi pekat dan kandungan bahan organik menjadi meningkat, dan (c) pengaruh buangan yang semakin meningkat tiap waktu dari luar waduk, jika peningkatan bahan organik terjadi secara terus-menerus maka akan memberi dampak negatif pada waduk tersebut menurut Vitner et al. (1999), seperti :

1. Akan bertambahnya beban waduk dalam menampung limbah organik. 2. Akan berakibat berupa penurunan umur fisiologis dan biologi waduk.

3. Menurunnya kualitas air dan kematian ikan bila terjadi perubahan siklus air. Dimana tingginya konsentrasi bahan organik yang kemudian akan meningkatkan pengendapan, kemudian setelah terjadi musim hujan akan mengakibatkan pembalikan massa air. Keadaan ini akan memperkaya zat hara dan akan mempercepat pertumbuhan fitoplankton. Pembalikan yang diiringi bloomingakan menurunkan konsentrasi oksigen. Kemudian perairan akan berbau busuk dan mempercepat kematian ikan.

(29)

2.6. Parameter Fisika-Kimia Penunjang 2.6.1. Suhu

Suhu pada suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman perairan. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi pada perairan tersebut. Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan (Effendi 2003).

Peningkatan suhu perairan sebesar 10 0C menyebabkan terjadinya

peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat. Namun peningkatan suhu seringkali disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen terlarut tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003).

Tabel 2. Hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut jenuh dan suhu pada tekanan udara 760 mmHg (Cole 1983).

(30)

Kecerahan merupakan salah satu parameter fisika yang menggambarkan ukuran transparansi dan sifat optik perairan terhadap transmisi cahaya (Effendi 2003). Kecerahan air ditunjukkan dengan kedalaman secchi disk. Kedalaman secchi disk berhubungan erat dengan intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun non-organik yang tersuspensi dalam perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus (Boyd 1990).

Kedalaman secchi disk merupakan faktor yang menentukan produktivitas primer perairan. Semakin tinggi kedalaman secchi disk semakin tinggi penetrasi cahaya ke dalam air, yang selanjutnya akan meningkatkan ketebalan lapisan air yang produktif. Masuknya bahan pencemar terutama yang berupa tersuspensi dapat mengurangi kedalaman secchi diskdalam perairan (Mardiana 2007). Menurut Effendi (2003) jumlah cahaya matahari yang cukup bila masuk ke kolom air merupakan kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan, karena proses fotosintesis dapat berjalan seimbang dan jumlah fitoplankton memadai untuk kehidupan biota perairan.

2.6.3 Amonia

Sumber utama amonia adalah bahan organik dalam bentuk sisa pakan, kotoran ikan dan plankton serta bahan organik tersuspensi. Pembusukan bahan organik terutama yang banyak mengandung protein akan menghasilkan amonium (NH4+) dan

amonia (NH3). Amonia dan amonium dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik atau

mengalami nitrifikasi membentuk nitrat. Pada kondisi anaerob, sejumlah organisme dapat mempergunakan oksigen yang terikat dalam nitrat maupun senyawa lainnya untuk keperluan respirasinya (Hariyadi et al. 1992). Bila proses lanjut dari proses pembusukan (nitrifikasi) tidak berjalan lancar maka terjadi penumpukan ammonia sampai konsentrasi yang membahayakan bagi ikan. Di dalam perairan terdapat amonia dalam bentuk terionisasi bersifat toksik terhadap ikan dan toksisitas meningkat ketika kandungan O2 terlarut rendah (Markens dan Dowing 1975 inBoyd

1989). Kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 1,12 mg/l. Jika kadar amonia bebas lebih dari 0,02 mg/l perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer dan McCarty 1978 in

(31)

2.6.4. pH

Nilai pH menurut Cole (1983) dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen. pH mencirikan keseimbangan antara asam dan basa yang merupakan pengukuran aktivitas ion hidrogen. Nilai pH dalam suatu perairan dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi tersedianya unsur hara serta toksisitas dari unsur-unsur renik (Saeni inOctaviany 2005).

Nilai pH suatu perairan dipengaruhi oleh suhu, fotosintesis, respirasi, oksigen terlarut dan keberadaan ion dalam perairan tersebut. Nilai pH biasanya dimanfaatkan untuk menentukan indeks pencemaran dengan memperhatikan tingkat keasaman atau kebasaan air (Surachman 2003inSatria 2007). Proses respirasi dan degradasi dalam perairan akan menghasilkan gas karbondioksida, kemudian akan membentuk asam karbonat yang dapat berasosiasi menjadi bikarbonat dan karbonat. Ion karbonat dan bikarbonat dapat dimanfaatkan alga sebagai sumber karbon.

Nilai pH perairan mengalami fluktuasi harian. Pada siang hari proses fotosintesis menggunakan karbondioksida sebagai salah satu bahan bakunya. Proses ini dapat mengurangi kandungan karbondioksida pada perairan hingga lebih kecil dari konsentrasi kesetimbangan karbondioksida di air dan di udara. Pada malam hari terjadi proses respirasi yang memproduksi karbondioksida, sedangkan proses fotosintesis tidak berlangsung. Perairan yang ideal bagi perikanan budidaya mempunyai pH berkisar antara 6,5-9 (Ellis 1937 inBoyd 1989). Berdasarkan PP RI No. 82 tahun 2001 tentang pengendalian pencemaran air, pH yang ideal bagi kepentingan perikanan adalah 6-9. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH berkisar 7-8,5. Perairan dengan pH <6 menyebabkan organisme-organisme yang menjadi makanan ikan tidak dapat hidup dengan baik, bahkan ikan mati ketika perairan memiliki pH 4.

(32)

2.6.5 Hidrogen Sulfida (H2S)

Sulfida berasal dari limbah industri atau dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yaitu proses reduksi sulfat oleh bakteri pada kondisi anaerob. Sulfida dalam bentuk H2S tak terionisasi bersifat sangat toksik dan korosif terutama terhadap

bahan-bahannya yang tersusun dari logam. Kadar H2S tak terionisasi yang tinggi

dalam perairan menimbulkan bau telur busuk (Boyd 1989).

Hidrogen sulfida pada kondisi perairan anoksik bersifat racun. Hidrogen sulfida berasal dari sulfat yang terbentuk secara reduksi (pengurangan oksigen dan penambahan hidrogen) anion sulfat menjadi H2S pada kondisi anaerob oleh bakteri

heterotrof (Effendi 2003).

Pada pH 9 sebagian besar sulfur (99%) berada dalam bentuk ion HS-, jumlah

H2S sangat sedikit, sehingga permasalahan bau tidak muncul pada kondisi ini. Pada pH

< 8 kesetimbangan bergeser pada pembentukan H2S yang tidak terionisasi. Pada pH 5

sekitar 99% sulfur terdapat dalam bentuk H2S. Pada kondisi ini timbul permasalahan

yang cukup serius. Hidrogen sulfida bersifat mudah larut, toksik, dan menimbulkan bau seperti telur busuk. Oleh karena itu, toksisitas H2S meningkat dengan penurunan

nilai pH.

Pada perairan alami yang cukup aerasinya biasanya tidak ditemukan gas H2S

karena teroksidasi menjadi asam sulfat. Proses reduksi (pengurangan oksigen dan penambahan hidrogen) anion sulfat menjadi hidrogen sulfida pada kondisi anaerob yang dilakukan oleh bakteri heterotrof selama proses dekomposisi bahan organik akan menimbulkan bau. Pada pH 5 sekitar 99% sulfur terdapat dalam H2S. Kadar sulfida

total (H2S, HS-) kurang dari 0,002 mg/l dianggap tidak membahayakan bagi

kelangsungan hidup organisme akuatik (Mcneelyet al. 1979 inEffendi 2003).

Apabila suatu saat terjadi peristiwa pembalikan massa air (overturn) maka senyawa-senyawa toksik yang berada di lapisan dasar perairan akan ikut terangkat ke permukaan dan dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut pada lapisan tersebut. Hal ini karena pada permukaan perairan akan banyak dibutuhkan oksigen untuk mengoksidasi kembali H2S menjadi SO42-(sulfat). Indikasi perairan yang didalamnya

terkandung H2S adalah air yang berbau busuk dan berwarna hitam seperti lumpur.

Dampak selanjutnya dari tingginya H2S dapat mengakibatkan kematian massal ikan

(33)

3. METODE PENELITIAN

3.1 . Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Cirata Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 2). Kegiatan penelitian berlangsung pada bulan Juli dan September 2009 yang meliputi penentuan stasiun pengamatan, penelitian pendahuluan, pengambilan contoh air, dan analisis contoh air. Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan September 2009 selanjutnya dilakukan analisis contoh air untuk beberapa parameter di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 . Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vandorn Water Sampler,

Secchi disk, DO meter, botol BOD, botol sampel, pH meter, ice box, termometer, alat titrasi, spektrofotometer, labu erlenmeyer, gelas piala, dan gelas ukur. Bahan-bahan yang digunakan adalah contoh air, penyaring Whatman 0,45 µm, aquades, alumunium foil, dan bahan-bahan kimia sebagai bahan pereaksi.

3.3 . Metode Kerja

3.3.1. Penentuan stasiun pengamatan

(34)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat.

Gambar 3. Titik pengambilan sampel di lokasi KJA

3.3.2. Penentuan perlakuan, titik kedalaman, dan komposisi pencampuran Sebelum melaksanakan penelitian inti dilakukan penelitian pendahuluan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran oksigen terlarut (DO) dengan interval 2 sampai 6 meter dengan tujuan untuk mendapatkan pola sebaran vertikal oksigen

Lokasi Stasiun

Keterangan : Stasiun 1

Stasiun 2 Inset

Sumber :

1. Google Earth 2009

17 19' 48" 17 19' 32"

6

41

'1

9"

6

41

'3

5"

di Waduk Cirata

(35)

terlarut (Tabel 3). Dari sebaran vertikal oksigen terlarut tersebut diperoleh keterwakilan area dan titik–titik kedalaman pengambilan contoh air. Selanjutnya akan diperoleh beberapa perlakuan melalui pencampuran massa air dari keterwakilan area atau titik-titik kedalaman tersebut.

Tabel 3. Konsentrasi oksigen terlarut rata-rata pada penelitian pendahuluan di lokasi Pengamatan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian pendahuluan (Tabel 3) ditetapkan titik kedalaman 2 meter, 12 meter, 24 meter, dan 42 meter. Penentuan titik kedalaman didasarkan pada:

1. Keterwakilan konsentrasi oksigen terlarut di tiap kedalaman.

(36)

16 sampai 27 meter; dan kedalaman 42 meter (0,7 mg/l) yang dianggap mewakili kedalaman 27 meter hingga dasar perairan.

2. Keterwakilan konsentrasi oksigen terlarut berdasarkan baku mutu PP No. 82 tahun 2001 untuk kegiatan perikanan.

Kedalaman 2 meter (8,4 mg/l) dianggap baik untuk kegiatan perikanan; kedalaman 12 meter (3,7 mg/l) dianggap cukup untuk kegiatan perikanan; kedalaman 24 meter (2,2 mg/l) dianggap di bawah baku mutu bagi kegiatan perikanan; dan kedalaman 42 meter (0,7 mg/l) dianggap berbahaya bagi kegiatan perikanan.

3. Keterwakilan di beberapa kolom air

Lapisan permukaan untuk kedalaman 2 meter, lapisan bagian tengah untuk kedalaman 12 dan 24 meter dan lapisan dasar untuk kedalaman 42 meter.

Dari titik-titik kedalaman tersebut diperoleh tiga perlakuan yakni perlakuan 1 yang merupakan pencampuran air dari kedalaman 2 dan 12 meter; perlakuan 2 diperoleh melalui pencampuran massa air dari kedalaman 2, 12, dan 24 meter; dan perlakuan 3 yang merupakan pencampuran massa air dari kedalaman 2, 12, 24 dan 42 meter. Perlakuan 1 dianggap sebagai pencampuran massa air sebagian (meromictic) yaitu pencampuran massa air dari permukaan hingga kedalaman 8 meter. Perlakuan 2 dianggap sebagai pencampuran massa air sebagian (meromictic) yaitu dari permukaan hingga kedalaman 27 meter, sedangkan perlakuan 3 dianggap sebagai pencampuran massa air sempurna (holomictic) hingga dasar perairan (pencampuran seluruh titik kedalaman).

Komposisi contoh air yang akan dicampurkan sebagai perlakuan didasarkan pada ketebalan lapisan yang terwakili, kedalaman total, dan volume botol kemudian dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus :

(37)

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut (Lampiran 1), diperoleh komposisi air dari masing-masing kedalaman yang mewakili seperti yang tercantum pada tabel 4.

Tabel 4. Komposisi air dari setiap kedalaman yang mewakili

Perlakuan Kedalaman (meter) DO (ml) Amonia (ml) Sulfida dan pH (ml)

1

2 46.88 60 150

12 78.12 40 100

total volume botol 125 100 250

2

2 27.78 22.22 55.56

12 46.29 37.04 92.59

24 50.93 40.74 101.85

total volume botol 125 100 250

3

2 14.71 11.76 29.41

12 24.51 19.61 49.02

24 26.96 21.57 53.92

42 58.82 47.06 117.65

total volume botol 125 100 250

3.3.3. Pengukuran Data Kualitas Air 3.3.3.1. DO (Oksigen Terlarut)

Oksigen terlarut (DO) merupakan parameter utama dalam penelitian ini. Air contoh untuk analisis oksigen terlarut diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler. Pengukuran DO dilakukan secara vertikal pada setiap kedalaman dan setiap perlakuan melalui metode Winkler dengan menggunakan alat titrasi dan diukur secara

in situ. Pencampuran contoh air dari titik kedalaman yang merupakan perlakuan dimana pencampuran contoh air tersebut dilakukan dengan menggunakan botol BOD.

3.3.3.2. Kecerahan

(38)

3.3.3.3 pH

Air contoh untuk analisis pH diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler. Pengukuran pH diukur di setiap kedalaman dan setiap perlakuan, melalui metode elektromagnetik menggunakan pH meter dan dilakukan secara in situ.

3.3.3.4. Amonia bebas (NH3)

Air contoh untuk analisis amonia bebas diambil dengan menggunakan

Vandorn Water Sampler. Amonia bebas hanya diukur pada tiap perlakuan melalui metode titrimetri dengan menggunakan spektrofotometer dan dianalisis di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Depertemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.3.3.5. Hidrogen Sulfida (H2S)

Air contoh untuk analisis hidrogen sulfida (H2S) diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler. Contoh air dari perlakuan dimasukkan kedalam botol BOD 125 ml dan diberi Zn asetat serta NaOH untuk mengikat gas H2S agar tidak menguap,

setelah itu baru didinginkan. Hidrogen sulfida hanya diukur ditiap perlakuan melalui metode iodometri dengan menggunakan alat titrasi dan dianalisis di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Depertemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Beberapa parameter yang diukur dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 5. Parameter dan metode analisis contoh air selama penelitian

No. Parameter Unit Alat dan Metode Keterangan

1. Kecerahan Cm Secchi Disk/Pembiasan cahaya In situ

2. Suhu 0C Thermometer Hg/Pemuaian In situ

3. pH - pH meter/Elektrometrik In situ

4. DO mg/l Titrasi/Modifikasi Winkler In situ

5. NH3 mg/l Spektrofotometer/Phenate Laboratorium

(39)

3.4. Analisis Data

3.4.1. Kedalaman eufotik

Kedalaman eufotik ditunjukkan oleh lapisan eufotik dimana kolom air berada di sebelah atas dari kedalaman kompensasi (kolom perairan). Menurut Boyd (1989), pada umumnya kedalaman zona eufotik pada perairan di daerah tropis sekitar dua sampai tiga kali kecerahan secchi disk.

3.4.2. Analisis tipe distribusi vertikal oksigen terlarut

Analisis tipe distribusi vertikal oksigen terlarut dilakukan berdasarkan data oksigen terlarut yang didapat pada setiap kedalaman kemudian dibandingkan dengan tipe distribusi vertikal oksigen terlarut menurut Goldman dan Horne (1983) seperti yang tertera pada Gambar 1.

3.4.3. Analisis saturasi oksigen terlarut

Konsentrasi oksigen jenuh (saturasi) akan tercapai jika konsentrasi oksigen yang terlarut di perairan sama dengan konsentrasi oksigen terlarut secara teoritis. Konsentrasi oksigen tidak jenuh terjadi jika konsentrasi oksigen yang terlarut lebih kecil daripada konsentrasi oksigen secara teoritis. Selanjutnya kondisi super saturasi terjadi bila konsentrasi oksigen terlarut lebih besar daripada konsentrasi oksigen secara teoritis. Tingkat kejenuhan oksigen di perairan dinyatakan dalam persen saturasi (Jeffries dan Mills 1996 inEffendi 2003).

% Saturasi Oksigen Terlarut= x100% DOt

DO

Keterangan:

DO : Konsentrasi oksigen terlarut di air (mg/l).

DOt : Konsentrasi oksigen terlarut jenuh secara teoritis pada suhu tertentu

(40)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya respirasi aerob, pertumbuhan dan reproduksi. Konsentrasi oksigen akan menggambarkan seberapa besar perairan menerima beban bahan organik tanpa menyebabkan gangguan bagi organisme hidup.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan September 2009 di salah satu keramba jaring apung Waduk Cirata, distribusi kandungan oksigen terlarut cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini diduga karena di lapisan dasar perairan terjadi akumulasi bahan organik dari sisa pakan dan feses ikan juga ketersediaan cahaya yang masuk ke dalam perairan tidak ada. Cahaya merupakan salah satu faktor pembatas yang mempengaruhi proses fotosintesis oleh fitoplankton, sehingga hal ini akan menyebabkan rendahnya kadar oksigen terlarut pada lapisan dasar perairan.

Berdasarkan hasil pengamatan oksigen terlarut (Tabel 6), diperoleh nilai oksigen terlarut yang bervariasi di setiap kedalaman berkisar antara 0,38-8,20 mg/l. Dari data tersebut dapat diketahui semakin dalam perairan maka konsentrasi oksigen cenderung menurun. Pada hasil pengamatan oksigen terlarut terbesar berada pada kedalaman 0 meter sebesar 8,20 mg/l begitu, sebaliknya kandungan oksigen terlarut terkecil pada berada pada kedalaman 51 meter sebesar 0,38 mg/l. Permukaan perairan memiliki konsentrasi oksigen yang tinggi disebabkan karena cahaya matahari masih sangat besar sehingga proses fotosintesis juga berjalan dengan baik. Selain fotosintesis kandungan oksigen pada permukaan perairan juga berasal dari difusi udara. Difusi oksigen dari udara terjadi ketika berlangsung kontak antara campuran gas atmosphericdengan air, baik secara langsung dalam keadaan diam maupun saat terjadi agitasi. Kejadian ini akan mempengaruhi konsentrasi oksigen dipermukaan perairan.

(41)

pemukiman di sekitar keramba jaring apung akan menyebabkan kebutuhan akan oksigen semakin tinggi, sedangkan pada dasar perairan kandungan oksigennya sangat rendah dan proses dekomposisi bahan organik terjadi secara anerobik. Apabila tetap dibiarkan akan menambah lapisan anoksik pada perairan tersebut.

Tabel 6. Distribusi vertikal DO (mg/l) di lokasi pengamatan Kedalaman (m) DO (mg/l)

Keterangan : * kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 51 m

Kedalaman suatu perairan yang bersifat eutrofik dapat menunjukkan kandungan oksigen terlarut yang ada pada perairan tersebut. Semakin dalam suatu perairan jumlah kandungan oksigennya juga menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman, hal ini didukung dengan kecerahan suatu perairan yang berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Pada daerah perairan yang tidak mendapatkan pasokan cahaya matahari, proses yang terjadi berupa respirasi dan dekomposisi, dimana proses ini membutuhkan lebih banyak oksigen. Pada daerah kedalaman tersebut proses fotosintsesis tidak ada sehingga terjadi deplesi oksigen.

(42)

kedalaman. Menurut Goldman dan Horne (1983) tipe distribusi oksigen terlarut (Gambar 4) yang diperoleh dari hasil pengamatan termasuk tipe clinograde. Tipe

clinograde pada umumnya terjadi pada danau yang produktif (eutrofik) dengan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tinggi. Pada tipe ini oksigen semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman karena adanya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme.

Gambar 4. Distribusi vertikal konsentrasi oksigen terlarut.

Distribusi vertikal oksigen terlarut pada saat pengamatan menunjukkan bahwa pada lokasi pengamatan tidak terjadi penurunan oksigen hingga mencapai nol karena oksigen masih ditemukan hingga dasar perairan. Pada dasarnya penumpukan limbah organik yang berasal dari sisa pakan dan hasil metabolisme ikan pasti akan membutuhkan oksigen untuk melakukan proses dekomposisi, namun pada kenyataannya oksigen terlarut di lokasi pengamatan masih tersedia hingga dasar perairan meskipun dalam jumlah yang sangat minim. Hal ini didukung hasil penelitian Sukimin (2003) yang menyebutkan bahwa kandungan DO dari permukaan hingga dasar perairan adalah sebesar 1,99-8,47 mg/l. Selain itu, adanya arus balik (upwelling) yang terjadi di Waduk Cirata pada bulan Juni 2009 mengakibatkan oksigen terlarut di

(43)

dasar perairan menjadi terangkat dan tercampur ke permukaan sehingga oksigen masih tersedia hingga lapisan hipolimnion.

Berdasarkan data yang diperoleh diketahui pula bahwa hingga kedalaman 16 meter konsentrasi oksigen terlarut masih dianggap layak bagi kegiatan perikanan karena memiliki kisaran nilai DO 3,35-8,20 mg/l. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 tahun 2001 kelas III yang menganjurkan batas minimal konsentrasi oksigen terlarut untuk kepentingan perikanan sebesar 3 mg/l, sedangkan pada kedalaman 18 meter hingga dasar perairan konsentrasi oksigen terlarut sudah tidak layak bagi kegiatan perikanan karena nilai oksigen terlarut pada kedalaman tersebut kurang dari 3 mg/l yaitu berada pada kisaran 0,38-2,48 mg/l. Hal tersebut menandakan kondisi perairan dari kedalaman 18 meter hingga dasar cenderung mendekati kondisi anoksik. Kondisi oksigen terlarut yang minim tersebut dapat membahayakan kehidupan ikan, baik ikan yang berada di dalam keramba maupun yang berada di luar keramba apabila pada nantinya terjadi proses pembalikkan massa air ke lapisan permukaan.

4.2. Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Oksigen Terlarut

(44)

Tabel 7. Konsentrasi rata-rata DO (mg/l) dari hasil pencampuran air di

Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m

Berbeda dengan hasil pengamatan Pratiwi (2009) di Waduk Jatiluhur yang memiliki nilai konsentrasi DO untuk perlakuan 1 masih memenuhi baku mutu (> 3 mg/l) yaitu 4,03 mg/l sedangkan perlakuan 2 dan 3 sudah berada di bawah nilai baku mutu yaitu 2,65 mg/l dan 2,02 mg/l, dan pada hasil pengamatan Nugroho (2009) nilai DO pada perlakuan 1 dan 2 masih memenuhi baku mutu yaitu 4,40 mg/l dan 3,21 mg/l, sedangkan pada perlakuan 3 sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan yaitu 2,20 mg/l. Hal ini disebabkan karena perbedaan kandungan awal oksigen, karakteristik perairan seperti kedalaman, kepadatan KJA dan waktu pengamatan juga perbedaan titik kedalaman yang akan dicampurkan.

Umbalan atau upwelling merupakan suatu peristiwa alam yang tidak dapat diduga dengan pasti waktu terjadinya. Pada pengamatan ini, perlakuan 1 dan perlakuan 2 merupakan salah satu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai DO di perairan jika terjadi pencampuran air sebagian (meromictic), sedangkan perlakuan 3 merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui nilai DO jika perairan mengalami pencampuran massa air sempurna (holomictic). Pencampuran massa air sebagian pada umumnya lebih sering terjadi dibandingkan dengan pencampuran massa air sempurna (holomictic). Meromictic pada umumnya disebabkan oleh pergerakan angin, suhu, dan masukan aliran air sungai atau masukan inlet dari waduk yang berada diatasnya.

(45)

dibandingkan perlakuan 1. Perlakuan 3 di stasiun pengamatan memiliki nilai oksigen paling rendah dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2 dengan nilai 2,64 mg/l, hal ini diduga akibat komposisi dari pencampuran pada kedalaman 42 m lebih dominan daripada kedalaman 2, 12, dan 24 m. Pada kedalaman 42 m nilai oksigen terlarut sangat rendah karena tingginya dekomposisi dan respirasi, sedangkan fotosíntesis tidak ada. Hal ini yang menyebabkan rendahnya nilai oksigen terlarut pada perlakuan 3. Perlakuan 3 merupakan pencampuran sempurna (holomitic) di mana pencampuran ini dianggap mewakili umbalan di alam yang mengalami pencampuran hingga ke dasar perairan. Nilai konsentrasi oksigen terlarut pada perlakuan 3 di stasiun pengamatan berada di bawah baku mutu yaitu > 3 mg/l menurut Effendie (2003), sehingga pada perlakuan 3 kondisi perairan tidak baik untuk budidaya perikanan.

Apabila dilihat dari ketiga perlakuan maka yang berpotensi berakibat buruk ketika terjadi pembalikan masa air adalah perlakuan 3. Dimana perlakuan ini mewakili pencampuran secara sempurna (holomitic), bahan-bahan organik dari proses dekomposisi yang bersifat toksik yang memilki nilai sufida dan amonia yang berlebih akan terangkat ke permukaan perairan sehingga dapat menyebabkan kematian massal pada ikan. Pada hasil pengamatan (Tabel 7) juga terlihat bahwa nilai oksigen terlarut sangat kecil dan berada di bawah batas baku mutu untuk perikanan (Effendi 2003).

4.3. Persen Saturasi Oksigen

Berdasarkan nilai konsentrasi oksigen terlarut yang diperoleh dari hasil pengamatan, didapatkan kadar oksigen yang melebihi nilai jenuh disebut lewat jenuh (supersaturasi). Effendi (2003) menyatakan bahwa kondisi supersaturasi menggambarkan kadar oksigen terlarut di perairan lebih besar daripada kadar oksigen yang terlarut secara teoritis berdasarkan nilai suhu pada tekanan udara 760 mmHg (Tabel 2). Kondisi supersaturasi pada saat pengamatan diperoleh pada kedalaman 0 meter (permukaan perairan) dengan nilai saturasi sebesar 110,03% (Gambar 5).

(46)

yaitu 102,29%, dimana terdapat persamaan pada saat pengamatan yaitu waktu dan kondisi cuaca sangat cerah, berbeda dengan Nugroho (2009) nilai persen saturasi yang didapatkan 86,65%, dimana adanya perbedaan waktu pengambilan sampel pada saat pengamatan.

Kondisi saturasi yang diperoleh dari ketiga hasil pengamatan ini sesuai dengan Goldman dan Horne (1983) yang menyatakan bahwa perairan yang mengalami penyuburan memiliki kejenuhan oksigen berkisar antara 80-250% saturasi.

Gambar 5. Persen saturasi oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Cirata

Pada saat matahari bersinar terang menurut Jeffries dan Mills (1996) in Effendi (2003), pelepasan oksigen oleh proses fotosíntesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi untuk proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar oksigen jenuh (saturasi) sehingga perairan mengalami supersaturasi. Menurut Effendi (2003) oksigen yang mencapai titik jenuh akibat pertumbuhan fitoplankton yang berlangsung dengan cepat seiring dengan peningkatan unsur hara. Hal ini dapat membahayakan kelangsungan hidup

Gambar

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat.
Tabel 6. Distribusi vertikal DO (mg/l) di lokasi pengamatan
Gambar 4. Distribusi vertikal konsentrasi oksigen terlarut.
Gambar 5.  Persen saturasi oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Cirata
+7

Referensi

Dokumen terkait

Standar Pengujian Efikasi Pestisida konsentrasi yang efektif adalah &gt; 90% sehingga dapat disimpulkan pada hasil penelitian bioinsektisida (Beauveria basssiana) belum efektif

dihadapi, langkah pertama ialah ketika wanita bersalin baru tiba di kaunter penerimaan, jururawat perlu menunjukkan sikap menerima ketibaan mereka dengan ramah,

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan serta manfaat penelitian ini ialah bertujuan untuk mengidentifikasi strategi yang dilakukan oleh kepala sekolah

Jelasnya, bahwa konsep hukum dalam Alquran yang disertai sanksi, baik berupa sanksi duniawi mau pun sanksi ukrawi (neraka), adalah bertujuan untuk membatasi

Jiwa merupakan esensi dari diri manusia yang mampu mengarahkan individu untuk mencapai kesempurnaan hidup, atau bahkan menghinakan diri sendiri. Peran jiwa dalam

Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) dan bengkel merupakan salah satu lembaga pemberdayaan masyarakat yang diharapkan dapat meningkatkan penggunaan alat mesin

Perkiraan tagihan rumah sakit Anda akan diberikan pada Anda saat masuk rumah sakit.Perkiraan ini didasarkan pada diagnosis saat masuk rumah sakit, lama

Tidak hanya itu, pergeseran pemahaman objektifasi yang disepakati masyarakat pada umumnya pun juga bergeser menjadi subjektifasi yang membuat para keluarga double