IV. PENGATURAN PELAKSANAAN UNTUK KOMPONEN 2 5.1 Sub-Komponen 2.1
2. GAMBARAN UMUM LOKASI CCDP-IFAD
2.1. PROFIL SINGKAT 9 DESA TARGET CCDP-IFAD
Secara historis, Kabupaten Merauke terbentuk pada tanggal 12 Februari 1902 yang merupakan bagian dari hindia belanda dan menjadi salah satu kota pemerintahan penjajahan belanda yang berada di Pulau Papua, yang mana kemudian setelah pelaksanaan pepera bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi daerah papua bagian selatan. Pada tahun 2003, Kabupaten Merauke mengalami pemekaran daerah menjadi beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi dan Kabupaten Asmat sehingga terjadi perubahan batas-batas topografi Kabupaten Merauke.
Posisi Kabupaten Merauke terletak ujung paling selatan dari pulau papua, dimana batas-batas wilayahnya di batasi oleh daratan dan lautan serta berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua New Guinea (PNG). Kabupaten Merauke merupakan dataran rendah yang hanya memiliki kelas ketinggian antara 0 hingga 60 meter dari permukaan laut.
Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Merauke sebagai berikut :
 Sebeleah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Mapi dan
Kabupaten Boven Digoel
 Sebelah Timur : Berbatasan dengan Papua New Guinea
 Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Laut Arafuru
 Sebelah Barat : Berbatasan dengan Laut Arafuru.
Wilayah administrative kabupaten Merauke terbagi dalam 20 distrik dengan rincian sebanyak 160 kampung dan 8 kelurahan. Sedangkan Sasaran Program CCDP-IFAD kabupaten Merauke hanya mencakup 3 distrik dan 9 kampung/kelurahan untuk tahun pertama.
Distrik Merauke
Distrik Merauke memiliki luas wilayah 1.445,63 km2 merupakan 3 % dari luas
kabupaten Merauke, dengan luas laut 188,93 km2.
 Kelurahan Samkai
Kelurahan Samkai merupakan desa tardekat dengan pusat kabupaten Merauke, jarak tempuh sekitar 1,5 km dengan waktu tempuh sekitar 10-15 menit dari pusat aktivitas kabupaten Merauke. Perjalanan menuju kelurahan Samkai melalui jalan beraspal sehingga tidak ditemukan kesulitan dalam mengakses kelurahan Samkai.
Luas kelurahan Samkai sekitar 324 ha dengan batas wilayah sebagai
berikut; sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Karang Indah,
sebelah Selatan dengan Kelurahan Rimba Raya, sebelah Barat dengan Seringgu dan Sebelah Timur dengan Laut Arafura.
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin didominasi oleh laki-laki berjumlah 4.403 jiwa sedangkan perempuan berjumlah 4.043 Jiwa, tingkat pendidikan cukup rendah dimana lulusan SMA sekitar 352 orang, lulusan Sarjana hanya 104 orang. Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Merauke mata pencarian penduduk kelurahan Samkai di dominasi oleh nelayan sekitar 656 orang. Profesi sebagai nelayan merupakan turun temurun yang telah diwariskan oleh orang tua, sehingga meyoritas nalayan kelurahan Samkai merupakan nelayan tangguh dengan fasilitas perahu/kapal > 1 GT, nelayan Samkai terdiri dari suku asli papua Marin pantai yang sudah berdomisili lama di pesisir pantai samkai, namun sejak kedatangan nelayan pendatang dari suku bugis, jawa, ambon dan buton sedikit demi sedikit mulai berkurang dominasinya. Fenomena perubahan penangkapan ikan juga terjadi ketika suku pendatang yang mendominasi penangkapan ikan, yaitu penggunaan kapal/perahu ukuran besar dengan jarak penangkapana dan jumlah penangkapan yang lebih besar dibandingkan dengan suku asli yang hanya mengandalkan jaring hanyut tanpa menggunakan perahu.
Mayoritas penduduk asli Samkai memeluk agama Kristen sedangkan penduduk pendatang mayoritas memeluk agama Islam. Fasilitas
peribadatan terdiri dari gereja (5 buah), Masjid (4 buah). Fasilitas pendidikan terdiri dari Sekolah Dasar (9 buah), fasilitas perikanan terdiri dari kedai pesisir, SPDN, pabrik es, cold storage, dan peluncurab kapal. Kondisi umum fasilitas perikanan cukup memprihatinkan mengingat kondisi fasilitas yang tidak terjaga dengan baik sehingga banyak komponen fasilitas yang rusak dan hilang.
Komposisi substrat pesisir pantai samkai di dominsai oleh substrat pasir sehingga menyebabkan ekosistem mangrove kurang tumbuh dengan baik, hanya pada bagian tertentu saja yang tumbuh dengan baik misalkan pada bagian wilayah Barat kelurahan Samkai ekosistem Mangrove tumbuh dengan baik karena terdapat sedimen lumpur yang menopang pertumbuhan mangrove. Pesisir pantai Samkai di dominasi oleh vegetasi pohon kelapa yang sengaja di tanam oleh masyarakat sebagai pengahasilan tambahan dari buah kelapa.
 Kelurahan Maro
Latak geografis Kelurahan Maro berada di dekat pusat aktivitas kabupaten Merauke, jarak tempuh sekitar 3 km dari pusat kabupaten dan waktu tempuh sekitar 15-20 menit dengan kendaraan motor, perjalanan menuju kelurahan Maro melewati jalan beraspal yang kondisinya rusak setelah melewati kantor pertamina dan kondisi semakin rusak ketika memasuki dusun target (Gudang Arang) perjalanan harus melewati jalan pengerasan. Jumlah penduduk kelurahan menurut hasil survey Badan Pusat Statistik 17.863 Jiwa, dengan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan 3.817 jiwa atau sekitar 40 % dari jumlah penduduk kelurahan Maro.
Sasaran program CCDP-IFAD kabupaten Merauke di kelurahan Maro mengambil lokasi di tepi sungai Maro yaitu dusun Gudang Arang, mayoritas profesi penduduk gudang arang menggantungkan hidupnya pada hasil perikanan baik dari sungai Maro dan laut, profesi lain yang ditekuni warga lainnya adalah buruh pelabuhan, dan hanya sedikit yang berprofesi sebagai guru SD dan PAUD.
Mayoritas warga gudang arang adalah pendatang yang berprofesi sebagai Nelayan turun temurun dari orang tua, ada juga warga yang berprofesi sebagai penangkap buaya disekitar sungai Maro, nelayan yang memiliki perahu hanya sebagian kecil mayoritan nelayan gudang arang adalah nelayan tepian yang hanya memanfaatkan jaring tanpa perahu, sehingga tingkat ketergantungan kepada kondisi pesisir sangat tinggi.
Fasilitas perikanan di dusun gudang arang hampir tidak ada karena jarang di sentuh bantuan oleh dinas Perikanan kabupaten Merauke, hanya terlihat fasilitas pendidikan Sekolah Dasar (1 buah), fasilitas peribadatan gereja (2 buah) masjid (1 buah) dan pelabuhan kapal milik pribadi.
Vegetasi di dusun gudang arang di dominasi oleh bakau jenis api-api dan Rhizopora yang tumbuh sekitar tepian sungai Maro, persentase penutupan mangrove sudah mengalami penurunan disebabkan oleh kegiatan penebangan pohong menjadi lahan pelabuhan dan pemukiman warga, sering juga ditemukan warga gudang arang yang memanfaatkan kayu bakau sebagai bahan bakar rumah tangga.
 Kampung Nasem
Secara geografis letak kempung Nasem merupakan kampung terjauh berbatasan langsung dengan distrik Naukenjerai, jarak tempuh dari pusat kabupaten Merauke sekitar 30 km dan waktu tempuh sekitar 45-60 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor. Perjalanan menuju kampung Nasem melewati taman nasional Wasur dengan kondisi jalan memprihatinkan hingga sekarang jalan dalam kondisi perbaikan, sering juga dilewati jembatan yang kondisinya buruk karena terbuat dari papan kayu ala kadarnya sehingga ketiga terjadi banjir banjir papan jembatan dibawa arus sungai.
Jumlah penduduk kampung Nasem 563 jiwa, secara fisik bangunan rumah penduduk masih tergolong warga miskin dengan fasilitas dapur terletak di luar rumah dan WC memanfaatkan aliran sungai kecil di sekitar kampung Nasem, adapun warga yang memiliki WC siram merupakan bantuan dari pemerintah Kabupaten Merauke.
Mayoritas masyarakat penduduk kampung Nasem merupakan warga pendatang local papua, dan sedikit pendatang dari Sulawesi dan jawa. Penduduk warga asli kampung Nasem selama ini melakukan migrasi ke Negara tetangga Papua New Guenia(PNG) yang masih dalam wilayah adat marga Marin Papua.
Pemukiman warga kampung Nasem mengambil tempat di sekitar jalan poros yang berjarak 500 meter dari pesisir pantai, sebelumnya warga bermukim sekitar pantai namun karena kebijakan pemerintah kampung memindahkan pemukiman dengan kompensasi diberikan rumah bantuan yang terbuat dari papan.
Mayoritas warga kampung Nasem merupakan Nelayan tangkap tradisional menggunakan jaring Insang dan hanyut tanpa menggunakan perahu, sehingga sangat tergantung pada kondisi pesisir dan musim ikan disekitar pesisir pantai.
Akses jalan kampung menuju laut cukup baik, namun kurang di dukung fasilitas perikanan pasca tangkap sehingga hasil tangkap banyak yang terbuang akibat tidak terdapat es pendingin, di kampung Nasem sering pembeli hasil tangkap datang mengambil ikan dengan harga murah dan menjualnya ke kota dengan harga mahal, sehingga margin keuntungan hanya didapat oleh pedagang sedangkan nelayan tidak mendapat margin keuntungan yang diperoleh dari sumberdaya alam yang cukup melimpah. Salah satu kendala dari masyarakat nelayan kampung Nasem adalah tidak tersedianya fasilitas transportasi rutin yang menghubungkan dengan pasar dan kurangnya informasi harga ikan yang up date.
Vegetasi pesisir kampung Nasem di tumbuhi mangrove yang di dominasi oleh Api-api dan Rhizopora. Penduduk kampung Nasem sering memanfaarkan hutan mangrove sebagai daeraha penangkapan ikan, kepiting dan udang. Ranting bakau yang kering sering dimanfaatkan sebagai bahan bakar rumah tangga.
Distrik Naukenjerai
Distrik Naukenjerai luas wilayah 905,86 km2 merupakan 2 % dari persentase
luas wilayah kabupaten Merauke, dengan luas laut 517,48 km2.
 Kampung Kuler
Kampung Kuler mempunyai luas 1.700 ha, dengan Posisi kampung Kuler berbatasan dengan kampung Tomer, Onggaya dan Nasem, dan laut Arafura, berbatasan dengan Negara PNG menjadikan kampung Kuler sebagai kampung lintasan dua warga Negara yang berbeda.
Kampung Kuler terletak pada sector pesisir pantai dengan ketinggian 2 m
dpl dan suhu rataan 25 oC. jumlah penduduk sebanyak 539 jiwa yang
terdiri dari laki-laki 273 jiwa dan perempuan 266 jiwa. Jumlah penduduk menurut agama, protestan 287 jiwa, Katolik 164 jiwa dan Islam 88 jiwa. Penduduk kampung Nasem terdiri dari suku Marind, suku Kanuum dan sisanya adalah suku pendatang yang berasal dari Kei, Toraja, Timor dan Makassar.
Mata pencarian masyarakat suku Kanum dan suku Marind adalah berkebun, berburu dan menjaring. Hasil kebun, menjaring dan buruan mereka dijual ke kota yang jaraknya dari kampung sekitar 30 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor dan angkutan pedesaan selama 60 menit.
Masyarakat asli suku marind dan suku kanum dalam komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa daeranya masing-masing dan sebagaian besar masyarakat asli telah menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan masyarakat luar atau pendatang, sedangkan untuk pertemuan kelompok ataupun dalam acara adat mereka menggunakan bahasa Teuro tonggal tbra (Kanuum) dan Pig (Marind).
Menurut kepercayaan suku Kanum dan Marind terdapat banyak tempat yang dipandang keramat (pemali). Tempat-tempat tersebut berupa daerah yang lapang, hutan, pohon tertentu atau mata air tertentu. Tempat keramat tersebut mungkin merupakan sesuatu yang sukar untuk dipahami oleh orang luar karena seringkali keistimewaan tidak dapat dijelaskan atau diterangkan secara fisik dan manfaatnya hanya dapat dirasakan dan dimengerti oleh orang-orang tertentu. Tempat tersebut dapat memiliki hubungan tertentu yang bermakna larangan untuk pemakaian, bahkan kunjungan, karena tempat sacral dipandang suci oleh masyarakat asli.
 Kampung Onggaya
Kampung Onngaya terletak pada sector pantai dengan ketinggian 1 m dpl
dan suhu rataan 23,2 oC. jumlah masyarakat sebanyak 365 jiwa yang
terdiridari laki-laki 195 jiwa dan perempuan sebanyak 170 jiwa. Jumlah penduduk yang mencapai perguruan tinggi hanya 1 orang dan mayoritas masyarakt berpendidikan lulusan SD kemudian tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya karena disebabkan oleh kebutuhan membantu
keluarga dengan menangkap ikan di pantai atau berburu di hutan. Masyarakat kampung Onggaya terdiri dari suku Kanuum, suku marind dan sisanya adalah suku pendatang yang berasal dari jawa, Kei, Toraja, dan Timor. Mayoritas masyarakat kampung Onggaya adalah pemeluk agama Kristen protestan.
Kampung Onggaya memiliki luas sekitar 1.500 ha yang di batasi oleh batas-batas administrative sebagai berikut sebelah barat berbatasan dengan Laut Arafura, Timur berbatasan dengan kampung Rawa Biru, bagian Utara berbatasan dengan Kampung Kuler, sebeah selatan berbatasan dengan Desa Tomer.
Mata pencarian masyarakat kampun Onggaya adalah Menjaring ikan, berkebun dan berburu, hasil kerja mereka di jual ke kota yang dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor dan ankutan pedesaan selama 1 jam, dengan jarak tempuh sekitar 40 km.
 Kampung Tomer
Secara geografis kampung Tomer berbatasan dengan kampung Tomerau, Onggaya, Kuler dan Laut Arafura, dengan ketinggian 1 m dpl dan suhu
rataan 23,2 oC.
Akses menuju kampung Tomer dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda dua dan angkutan pedesaan, dengan jarak tempuh 45 km dari pusat kabupaten dan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Kondisi jalan menuju Kampung masih dalam pengerasan diselingi jalan aspal yang kondisinya rusak.
Jumlah penduduk Tomer 554 jiwa, mayoritas penduduk merupakan suku Kanuum dan Marind yang di tambah dengan suku pendatang dari Kei, Timor, Jawa dan Sulawesi dan mayoritas penduduk memeluk agama Kristen.
Terletak di pesisir pantai menjadikan mayoritas penduduk Tomer sebagai nelayan tradisional yang memanfaatkan sumberdaya sekitar pesisir dan hutan mangrove. Nelayan tradisional tanpa menggunakan perahu membuat jarak tangkap penduduk sangat terbatas dan hanya memanfaatkan hasil hutan mangrove berupa Ikan, Kepiting bakau dan udang.
Mayorita Penduduk Tomer memiliki tingkat pendidikan hanya sampai pendidikan dasar, mengingat keterbatasan sekolah lanjut yang terdapat di Tomer, selama ini jika ingin melanjutkan pendidikan harus melakukan perjalanan yang cukup jauh yang mengakibatkan banyak siswa enggan melanjutkan pendidikannya karena akses pendidikan cukup jauh dan lama, dan juga tidak di dukung oleh tanaga pengajar yang minim untuk bersedia mengajar.
Selama ini hasil tangkap nelayan di ambil oleh pedagang dari kota dengan harga murah sehingga margin keuntungan tidak dinikmati oleh nelayan karena harus menutupi ongkos biaya melakukan penangkapan.
Salah satu permasalahan yang ditemui ketika berdiskusi adalah limbah ikan yang sering di buang oleh nelayan besar ketika menangkap ikan disekitar perairan Tomer, membuat dampak bau busuk di sekitar pesisir pantai yang mengakibatkan beberapa jenis ikan menjauh dari tepi pantai dan membuat hasil tangkap nelayan tradisional menjadi menurun.
Distrik Okaba
Berdasarkan wilayah target CCDP-IFAD distrik Okaba memiliki luas wilayah
1.560,50 km2 merupakan 3 % dari persentase luas wilayah kabupaten
Merauke dengan luas laut 376,45 km2.
 Kampung Okaba
Kampung Okaba yang merupakan pusat ibukota distrik Okaba adalah distrik tertua di kabupaten Merauke karena pertamakali didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1910 dengan nama Okaba Post, kemudian Misi diundang masuk untuk membantu mengatur masyarakat yang pada saat itu hidup dengan system mengayau (memenggal kepala manusia). Pembinaan yang dilakukan misi ini sampai pada tahun 1963 ketika integrasi Republik Indonesia di Irian Jaya, Pemerintah Hindia Belanda digantikan pemerintahan Indonesia.
Batas wilayah Okaba disebelah timur adalah kampung Alaku, sebelah barat kampung Makaling, sebelah utara kampung Yawimo dan disebelah selatan laut Arafura. Jumlah penduduknya 1.242 dengan masyarakat aslinya adalah suku Marind. Karena kampung Okaba merupakan pusat ibukota distrik maka jumlah pendatang lebih banyak dibandingkan masyarakat asli, dimana para pendatang ini umumnya adalah pegawai pemerintahan, guru, petugas kesehatan, TNI dan pedagang.
Secara geografis kampung ini bertopografi datar 100 % dengan jarak 96 km dari pusat kabupaten yang dapat ditempuh menggunakan motor dengan melalui 2 kali penyeberangan di kali Kumbe dan kali Bian, namun bila musim hujan kondisi jalan rusak. Jalan dalam kampung terbuat dari aspal sepanjang 5 km dan jalan tanah sepanjang 3 km. Perumahan masyarakat sangat sederhana terbuat dari batang dan daun sagu yang merupakan swadaya. Sumber air bersih diperoleh dari sumur yang terdapat di beberapa tempat dan merupakan sumur buatan pemerintah Hindia Belanda, dimana sumber air ini tidak pernah kering walaupun saat musim kemarau.
Prasarana umum yang tersedia di kampung cukup lengkap antara lain satu gedung SD YPK, satu gedung SD YPPK, satu gedung SD Negeri, satu gedung SLTPN, gereja protestan 1, gereja katolik 1, mesjid 1, satu gedung puskesmas rawat inap, pasar 1 dan kios milik pendatang 10, warung telekomunikasi 1 buah yangdi kelola swasta, SPDN 1 buah dan
penginapan sederhana 1 buah. Fasilitas keamanan kampung Okaba terdiri dari Polsek Okaba dan Danramil yang mengambil lokasi di pusat kampung okaba, selain akses darat kampung Okaba dapat ditempuh dengan menggunakan peswat terbang dengan waktuh tempu sekitar satu jam menggunakan peswat berpenumpang 12 orang, kampung okaba memiliki fasilitas bandara yang dikelola oleh dinas perhubungan kabupaten Merauke, kondisi bandara cukup baik yang dikelilingi oleh pagar sehingga ternak masyarakat tidak dapat masuk ke area bandara. Potensi sumber daya alam yang ada di kampung Okaba cukup banyak dan secara umum telah dikembangkan bahkan ada beberapa yang hampir habis, karena pengambilan hasil alam untuk dikomersilkan. Hasil laut seperti berbagai jenis ikan, kepiting dan udang sangat melimpah namun terbatas hanya untuk konsumsi sehari-hari Adapun jenis-jenis ikan yang ada adalah bandeng, kuru, bulanak dan kakap terutama saat musim angin timur yaitu bulan April – Desember. sedangkan musim udang pada bulan November – Maret. Ikan kakap disamping dagingnya dijual pada kapal penampung yang berlabuh di kali bian dengan harga Rp. 4.000 per kg, juga diambil gelembungnya karena harga gelembung kering cukup tinggi yaitu Rp. 50,000 per ons. Jenis ikan hias yang banyak diusahakan masyarakat Okaba terutama kaum mudanya adalah mencari anakan ikan arwana yang musimnya dimulai saat awal musim hujan karena ikan ini hidup di air tawar.
Tingkat pendidikan masyarakat di kampung Okaba relative rendah karena sebagian besar masyarakat hanya memiliki pendidikan formal dasar (SD/SR) hingga mereka tidak buta huruf. Hal ini karena pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1920 telah membangun sekolah yaitu SR (sekolah rakyat) dengan staf pengajarnya adalah orang-orang dari kepulauan Kei, guru Antonius Dumatubun merupakan guru pertama di Okaba. Saat ini jumlah guru di SD YPPK 3 orang, SD YPK 7 orang dan SD Inpres 3 orang guru. Sedangkan masyarakat yang berpendidikan SLTP dan SLTA terbatas karena SLTPN didirikan sekitar tahun 1984 dengan jumlah guru saat ini 6 orang dan SLTA baru dibuka tahun 2004 yang saat ini masih menggunakan fasilitas milik SLTP dan staf pengajarnya adalah guru-guru SLTP. Secara umum rendahnya tingkat pendidikan masyarakat adalah karena kurangnya kesadaran atau motivasi dari orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka, disamping karena tidak ada biaya. Sebagian besar penduduk asli Okaba beragama Kristen katolik, untuk kegiatan pelayanan keagamaan ini dibina oleh seorangpastor yang secara aktif melakukan pelayanan. Sedangkan untuk mengatasi masalah-masalah adat terdapat juga lembaga adat / LMA wilayah Muli Malin Anim distrik Okaba, yang mulai berfungsi secara adminitratif dan operasional pada tahun 2000. Peran LMA di kampung Okaba cukup besar terutama
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan pembangunan kampung, misalnya untuk pelepasan tanah milik masyarakat yang akan melepaskan diri dari NKRI; perselisihan pendapat; rencana pembangunan SMK; pembentukan koperasi sebagai wadah pemasaran hasil masyarakat dll. PPL yang ada kurang aktif sehingga aktifitas pertanian di kampung kurang produktif. Salah satu masalah yang menyebabkan rendahnya pendapatan masyarakat adalah pemasaran hasil yang dilakukan dari rumah ke rumah karena belum diaktifkannya fasilitas pasar yang ada.
 Kampung Makaling
Secara geografis Kampung Makaling terletak di pesisir pantai, kampung ini bertopografi datar 100 % dengan jarak 98 km dari pusat kabupaten yang dapat ditempuh menggunakan motor dengan melalui 2 kali penyeberangan di kali Kumbe dan kali Bian, namun bila musim hujan kondisi jalan rusak. Jalan menuju kampung Makaling dari pusat distrik terbuat dari aspal.
Batas wilayah Makaling disebelah timur adalah kampung Okaba, sebelah barat kampung Iwol, sebelah utara kampung Yauwinu dan disebelah selatan laut Arafura. Jumlah penduduknya 638 dengan masyarakat aslinya adalah suku Marind dan suku pendatang dari timor, kei, jawa dan Sulawesi, dimana para pendatang ini umumnya adalah nelayan dan pedagang.
Perumahan masyarakat sangat sederhana terbuat dari batang dan daun sagu yang merupakan swadaya. Sumber air bersih diperoleh dari sumur yang terdapat di beberapa tempat.
Mayoritas masyarakat Makalin bermata pencarian sebagai penangkap ikan tepi pantai tanpa menggunakan perahu, alat tangkap yang sering digunakan adalah pancing, jaring tarik, jaring gantung dan jaring kakap yang di operasikan secara manual menggunakan tenaga manusia.
Hasil tangkapan nelayan merupakan jenis ikan Bandang, kakap cina, kuru, udang dan kepiting. Hasil tangkap nelayan di jual ke ibukota distri Okaba dan sisanya di konsumsi sendiri, sering juga pedagang dari kabupaten datang membeli hasil tangkapan berupa udang dan ikan dengan harga murah.
Vegetasi pesisir kampung Makaling di dominasi oleh Api-api dan Rhizopora di sekitar sungai, sedangkan pesisir pantai di dominasi oleh pohon kelapa dan semak belukar.
Musim tangkap nelayan kampung makaling masih tergantung kepada kondisi alam di mana ketika musim timur banyak nelayan yang
menangkap ikan tetapi ketika musim Barat (musim gelombang) banyak nelayan yang menganggur. Kegiatan kosong tersebut diisi dengan melakukan perburuan atau bercocok tanam di kebun.
Mayoritas penduduk makali memeluk agama Kristen katolik, kemudian di susul Kristen protestan dan sebagian Islam yang di dominasi oleh pendatang dari Sulawesi dan jawa, adapun pemeluk Islam penduduk asli merupakan pendatang local dari kampung Dufmira.
 Kampung Alaku
Pemukiman penduduk Kampung Alaku merupakan tempat baru yang mengambil posisi sepanjang jalan poros kampung, sebelumnya kampung Alaku terletak di sepanjang pantai, namun kebijakan pemerintah kabupaten Merauke yang memindahkan pemukiman agar lebih mudah diakses dari sisi bantuan, maka pemukiman penduduk di pindahkan dari pinggir pantai ke sepanjang jalan poros.
Jumlah penduduk kampung Alaku 512 jiwa, yang mayoritas penduduk asli papua suku Marind dan sebagian kecil pendatang dari Timur, Sulawesi