• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Program Keluarga Berencana

2.2.1 Pengertian Program Keluarga Berencana

Dalam kamus Barat pada umumnya, Family planning diartikan sebagai pembatasan kelahiran dan jarak antar anak. The American Heritage (2007) menyebutkan bahwa KB adalah suatu program untuk mengatur jumlah dan jarak anak dalam keluarga melalui penggunaan kontrasepsi atau metode pengaturan kelahiran lainnya WHO (2011)

Dalam konteks Indonesia, definisi family planning dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Disebutkan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peranserta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.

Dalam buku Pegangan Penyuluh Keluarga Berencana (BKKBN, 2004) disebutkan bahwa Program KB Nasional adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera menuju keluarga berkualitas.

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai penjabaran visi dan misi Pemerintah untuk kurun waktu 2004-2009, menyebutkan Program KB Nasional merupakan rangkaian pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas sebagai

langkah penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Pembangunan ini diarahkan sebagai upaya pengendalian kuantitas penduduk.

Beberapa negara melaksanakan program KB dalam upaya mengurangi tingkat kelahiran dan mencegah ledakan penduduk. Di China, sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia, program KB mulai benar-benar diterapkan tahun 1970-an. Program yang dicanangkan adalah: menunda perkawinan, menunda memunyai anak serta menjaga jarak kelahiran antar-anak. Slogannya adalah: satu anak itu baik, dua anak masih dapat diterima dan tiga anak itu terlalu banyak. Dengan menerapkan program KB, diperkirakan dapat menekan 300 juta kelahiran antara tahun 1970-1994 (Lie, 1998). Pada awalnya, masyarakat tradisional Cina lebih suka menikah muda, memunyai anak pada usia muda serta memunyai banyak anak. Mereka biasanya memunyai anak antara 5-6 orang. Dalam pandangan mereka, “lebih banyak anak berarti suatu kebahagiaan yang besar” (Lie, 1998).

Meskipun secara formal disebutkan bahwa kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki di bidang politik, ekonomi, sosial dan kehidupan keluarga, akan tetapi dalam kenyataannya beban kaum perempuan dalam program KB masih lebih berat. Tahun 1992, tingkat partisipasi KB mereka adalah 83,5 persen. Adapun sisanya adalah tingkat partisipasi laki-laki, yang berarti masih di bawah 20 persen. Alat kontrasepsi yang popular di kalangan laki-laki adalah vasektomi yang dipilih oleh sekitar 22,62 juta laki-laki. Kondisi ini tidak meningkat jauh. Partisipasi laki-laki dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang kompleks seperti sosial, ekonomi, politik dan terutama budaya. Kunci keberhasilan pelaksanaan KB mereka adalah pada

tiga hal yang utama yakni: pendidikan, pelayanan regular dan penggunaan alat kontrasepsi.

Di India, program KB dimulai tahun 1950-an, tetapi belum optimal. Akhir 1960-an, barulah dilakukan program besar-besaran untuk menurunkan kelahiran dari 41 per 1000 menjadi 20-25 per 1000 pada pertengahan tahun 1970-an. Kebijakan Kependudukan Nasional yang diadopsi tahun 1976 menyatakan perlunya pengintegrasian antara program KB dengan tingkat kesejahteraan penduduk. Pembuat kebijakan berasumsi bahwa ukuran/jumlah keluarga yang terlalu besar adalah bagian dari kemiskinan, sehingga harus dikikis dengan strategi terintegrasi. Untuk itu, pendidikan tentang kependudukan dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum sekolah (Wikipedia, 2010).

Di Malaysia, Family Planning dimulai sekitar 1950. Metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah pil. Menurut survei tahun 1957, sebanyak 31 persen perempuan di kota dan dua persen di desa menggunakan alat tersebut. Saat ini, kebutuhannya adalah: melatih petugas kesehatan, menginformasikan dan memotivasi keluarga untuk menerima KB, melanjutkan program pendididikan, mereformasi hukum anti aborsi, serta mengintegrasikan pelayanan KB dengan pelayanan kesehatan.

Di Banglades yang pada tahun 2003 menjadi negara terpadat terbanyak ke-7 di dunia (sekitar 135 juta) yang hampir setengahnya miskin, program KB mulai dilaksanakan tahun 2003 dengan nama The Health Nutrition and Population Sector

lapangan dan klinik-klinik pembantu yang menyediakan layanan KB serta kunjungan rumah ke rumah (Rob, 2006).

Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa program KB merupakan salah satu solusi bagi negara-negara “besar” dalam upaya mengendalikan penduduk. Pelaksanaan program KB dilakukan oleh para petugas yang secara resmi diberi mandat untuk itu. Mereka adalah para pegawai negeri sipil baik yang berstatus sebagai penyuluh fungsional (yang disebut dengan Penyuluh KB/PKB) maupun bukan fungsional (yang disebut Petugas Lapangan Keluarga Berencana/PLKB).

Keberhasilan penyuluhan KB pada periode awal pelaksanaannya tidak terlepas dari peran petugas lapangannya. Petugas Lapangan KB (PLKB) adalah tenaga penyuluh yang sejak awal perkembangan program KB telah sangat berjasa. Seiring dengan berkembangnya program, tugas mereka pun semakin berat. Tidak hanya mencari akseptor, tetapi juga harus melakukan pencatatan pelaporan, pendistribusian alat kontrasepsi ulangan, kegiatan gizi keluarga dan sebagainya. Tahun 1981, dijadikan Pegawai Negeri Sipil. Tahun 1988, status mereka dinaikkan menjadi pejabat fungsional. Bagi mereka yang tidak memenuhi persyarakat pendidikan, tidak bisa beralih menjadi tenaga fungsional, akan tetapi tetap memiliki tugas penyuluhan dan pelayanan KB. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/120/M.PAN/9/2004 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Keluarga Berencana dan Angka Kreditnya (BKKBN, 2004:3) menyebutkan bahwa Penyuluh KB (PKB) adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan

kegiatan penyuluhan, pelayanan, evaluasi dan pengembangan Keluarga Berencana Nasional. Dengan kata lain, PKB adalah PLKB yang berstatus sebagai pejabat fungsional (BKKBN, 2002).

Tugas pokok mereka adalah (1) melakukan penyuluhan KB Nasional dan (2) memberikan pelayanan KB. Kegiatan penyuluhan KB adalah kegiatan

penyampaian informasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dan masyarakat guna mewujudkan keluarga berkualitas. Sedangkan pelayanan KB adalah pemberian fasilitas kepada keluarga dan masyarakat guna memenuhi kebutuhannya dalam mewujudkan keluarga berkualitas. Tugas memberikan penyuluhan KB Nasional meliputi: persiapan penyuluhan, pelaksanaan penyuluhan dan pembinaan generasi muda. Adapun tugas pelayanan KB mencakup: persiapan pelayanan, pelaksanaan pelayanan dan pengembangan model pelayanan. 2.2.2 Alat Kontrasepsi KB Pria

Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma tersebut (Hartanto, 2004).

Pelayanan kontrasepsi merupakan salah satu komponen dalam pelayanan kependudukan/KB. Selain Pelayanan kontrasepsi juga terdapat komponen pelayanan kependudukan/KB lainnya seperti Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), konseling, pelayanan infertilitas, pendidikan seks (sex education), konsultasi

pra-perkawinan dan konsultasi pra-perkawinan, konsultasi genetik, tes keganasan dan adopsi (Depkes RI, 2005).

Tidak ada satupun metode kontrasepsi yang aman dan efektif bagi semua klien karena masing-masing mempunyai kesesuaian dan kecocokan individual bagi setiap klien. Namun secara umum persyaratan metode kontrasepsi ideal adalah : a. Aman, artinya tidak akan menimbulkan komplikasi berat jika digunakan

b. Berdaya guna, dalam arti jika digunakan sesuai dengan aturan akan dapat mencegah kehamilan. Ada beberapa komponen dalam menentukan keektifan dari suatu metode kontrasepsi diantaranya adalah keefektifan teoritis, keefektifan praktis, dan keefektifan biaya. Keefektifan teoritis (theoritical effectiveness) yaitu kemampuan dari suatu cara kontrasepsi untuk mengurangi terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, apabila cara tersebut digunakan terus menerus dan sesuai dengan petunjuk yang diberikan tanpa kelalaian. Sedangkan keefektifan praktis (use effectiveness) adalah keefektifan yang terlihat dalam kenyataan di lapangan setelah pemakaian jumlah besar, meliputi segala sesuatu yang mempengaruhi pemakaian seperti kesalahan, penghentian, kelalaian, dan lain-lain (Saifuddin, 2006).

c. Dapat diterima, bukan hanya oleh klien melainkan juga oleh lingkungan budaya di masyarakat. Ada dua macam penerimaan terhadap kontrasepsi yakni penerimaan awal (initial acceptability) dan penerimaan lanjut (continued acceptability). Penerimaan awal tergantung pada bagaimana motivasi dan persuasi yang diberikan oleh petugas KB. Penerimaan lanjut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur,

motivasi, budaya, sosial ekonomi, agama, sifat yang ada pada KB, dan faktor daerah (desa/kota).

d. Terjangkau harganya oleh masyarakat

e. Bila metode tersebut dihentikan penggunaannya, klien akan segera kembali kesuburannya, kecuali untuk kontrasepsi mantap.

Alat kontrasepsi untuk pria yang ada sampai saat ini masih sangat terbatas yaitu kondom dan Medis Operasi Pria (MOP) biasa juga disebut vasektomi.

a. Kondom

Kondom adalah sarung karet tipis, cara kerjanya adalah dengan mencegah sperma bertemu dengan ovum. Secara teori tingkat efektivitas kondom sebesar 98 % namun dalam prakteknya hanya mencapai 85 % (Saifuddin, 2006).

Kondom efektif jika digunakan secara benar tiap kali berhubungan. Namun efektivitasnya kurang jika dibandingkan metode pil, AKDR, suntikan KB. Keuntungan menggunakan alat kontrasepsi kondom adalah : (a) dapat dipakai sendiri, (b) dapat mencegah penularan penyakit kelamin, (c) tidak mempengaruhi kegiatan menyusui, (d) tidak mengganggu kesehatan, (e) tidak ada efek samping sistemik, (f) tersedia secara luas (toko farmasi dan toko-toko yang ada di masyarakat), (g) tidak perlu resep atau penilaian medis.

Penggunan kondom sudah lebih mengemuka namun hambatan pemasyarakatan kondom di kalangan pria karena masih adanya stigma negatif terhadap alat kontrasepsi tersebut, kesan bahwa kondom sebagai alat kontrasepsi yang tingkat kegagalannya tinggi, kurang enak dipakai, rumit penggunaannya dan sebagian

di antara pria ada yang merasa jijik, terlebih kondom selama ini dianggap dekat dengan pandangan miring masyarakat seperti kondom identik dengan pelacuran, kenakalan pria, seks bebas dan sebagainya.

b. Metode Operasi Pria (MOP) atau Vasektomi

Program KB pria yang kini semakin marak digalakkan pemerintah dalam upaya menekan laju pertumbuhan penduduk adalah terutama Metode Operasi Pria (MOP), sebagai bentuk perubahan paradigma program KB adalah pemotongan/pengikatan kedua saluran sperma laki-laki (vasektomi).

Prinsip dasar dari vasektomi adalah bagaimana menjadikan pipa saluran spermatozoa atau sel benih vasa deferens pria agar betul-betul dibuat buntu. Operasi vasektomi sebagai metode mencegah pertemuan sel telur dengan sperma secara teori dan praktek mempunyai tingkat efektivitas 99,9 % dengan keuntungan paling efektif mengakhiri kesuburan selamanya (keberhasilan pembalikan tidak bisa dijamin). Metode vasektomi baik untuk pasangan yang: sudah yakin tidak ingin punya anak lagi, jika hamil akan membahayakan jiwanya serta menginginkan metode yang tidak mengganggu.

Vasektomi dulu sebelum tahun 1990 dikenal dengan vasektomi konvensional, dimana dalam pelaksanaannya dapat memakan waktu 1 (satu) jam lebih. Namun sehubungan tuntutan masyarakat yang hidup di era globalisasi mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat di era sebelumnya. Saat ini segala sesuatu dituntut untuk lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik. Selain kualitas yang baik, masyarakat juga menginginkan suatu kepuasan termasuk kenyamanan dalam setiap

pelayanan, maka saat ini telah dikembangkan Vasektomi Tanpa Pisau (VTP) yang merupakan inovasi teknik Vasektomi yang terbukti lebih cepat, lebih baik dan lebih sehat dibandingkan cara vasektomi yang terdahulu (Rahardjo, 1995).

Vasektomi Tanpa Pisau (VTP) adalah tindakan pengikatan vas deferens/saluran sperma kiri dan kanan, sehingga pada waktu ejakulasi cairan mani yang keluar tidak lagi mengandung sperma, sehingga tidak terjadi kehamilan. Vasektomi Tanpa Pisau (VTP) diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1990 dan disambut dengan baik oleh kaum pria karena menurunkan derajat kengerian para pria terhadap pembedahan Vasektomi, dimana pada Vasektomi cara konvensional menggunakan pisau bedah sedangkan pada Vasektomi Tanpa Pisau (VTP) tindakan dilakukan tanpa menggunakan pisau bedah (Rahardjo, 1995).

Efek samping yang umum terjadi pada vasektomi adalah: infeksi dan epididimitis terjadi pada 1-2% pasien. Resiko keluhan pasca vasektomi yang paling sering berupa pembengkakan kantong buah zakar, selain rasa nyeri berkepanjangan di sekitar situ (post vasectomy pain syndrome). Pada nyeri yang berkepanjangan biasanya lantaran kondisi buah zakar memang sudah bermasalah sebelum vasektomi dilakukan. Mungkin sudah ada infeksi menahun di sana, kalau bukan ada tumor atau kanker buah zakar. Untuk mencegah yang tidak mengenakkan itu, sebaiknya kantong buah zakar diberikan kompres es dalam 24 jam pasca vasektomi, selain tetap memakai celana berpenyangga, dan pastikan tidak terinfeksi. Pembengkakan, muncul gejala merah meradang pada kantong buah zakar, berarti kemungkinan sudah terjadi infeksi di sana

MOP merupakan salah satu bentuk sterilisasi permanent MOP ditolak banyak pria, sebahagian dari mereka merasa ada ego yang terampas ketika kemampuan reproduksinya dihambat dengan tindakan operasi pada tubuhnya sendiri .Kemampuan reproduksi bagi pria masih menjadi lambang kejantanannya sebagai pria .Banyak pria merasa takut bila menjadi peserta MOP atau vasektomi, karena pemahaman yang mengindentikkan MOP dengan kebiri. Selain itu pemahaman yang keliru seperti anggapan MOP dapat membuat impoten, menurunkan libido, membuat pria tidak bisa ejakulasi, atau MOP merupakan tindakan operasi yang menyeramkan. Muncul pula kekhawatiran para istri karena beranggapan suami yang vasektomi atau sterilisasi berpeluang lebih besar untuk menyeleweng.

Adanya paradigma yang sudah mengakar dan sulit untuk mengubahnya berkaitan dengan budaya patriarki, yakni peran pria demikian besar dibanding wanita. Dengan demikian sesuatu yang berkenaan dengan mengubah atau mengurangi kemampuan pria, walau bersifat semu, akan berhadapan dengan stigma tersebut. Kemudian, masalah juga terjadi berkaitan dengan tabu, merupakan aib untuk menunjukkan alat kelamin didepan orang lain kecuali pasangan untuk melakukan hubungan sex. Memang ada pengecualian khusus jika berkaitan dengan perawatan medis untuk

Penelitian Ernayati (2007) menemukan bahwa alasan pria peserta KB aktif dalam melakukan KB adalah: (1) untuk menekan jumlah anak karena mereka telah memiliki anak lebih dari 3, (2) karena kesetaraan gender. Para pria yang melakukan penyakit semacam disfungsi ereksi maupun penyakit yang berkenaan dengan kantung kemih (Azwar, 2005).

KB disini ingin membuktikan urusan KB bukanlah semata-mata urusan perempuan tapi pria pun juga bisa ikut berpartisipasi dalam KB, (3) kesadaran para suami untuk ikut berpartisipasi dalam KB. Alasan pria memilih alat kontrasepsi bermacam-macam, alasan memilih kondom karena harganya yang murah dan mudah dicari, sedangkan yang memilih vasektomi karena tingkat kegagalan dari vasektomi sangat tipis, selain itu tidak ada efek samping dan merasa aman dan nyaman ketika sedang melakukan aktifitas seksual. Dalam hal tindakan pria peserta KB aktif dalam memilih alat kontrasepsi pertama kali mereka memperoleh pengetahuan tentang KB dari PLKB Kelurahan, setelah itu yang mereka lakukan yaitu dengan mendatangi klinik KB untuk berkonsultasi mengenai alat kontrasepsi yang tepat untuk mereka apakah dengan kondom atau vasektomi. Setelah itu mereka melakukan tindakan dengan berpartisipasi dalam KB dengan kondom atau vasektomi.

Hasil penelitian Suprihastuti (2000) menyatakan bahwa adanya kemudahan dan ketersediaan sarana pelayanan ternyata berdampak positif terhadap penggunaan sesuatu alat kontrasepsi. Aksesibilitas pria terhadap informasi mengenai KB rendah karena masih terbatasnya informasi tentang peranan pria dalam KB dan KR; dan aksesibilitas pria terhadap sarana pelayanan kontrasepsi rendah. Dimana Puskesmas terdapat pelayanan KIA yang umumnya melayani Ibu dan Anak saja sehingga pria merasa enggan untuk konsultasi dan mendapat pelayanan, demikian pula terbatasnya jumlah sarana pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pria serta waktu buka sarana pelayanan tersebut.

Dokumen terkait