• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Program Laktasi

Program laktasi adalah suatu program multidepartemental yang melibatkan bagian yang terkait, agar dihasilkan suatu pelayanan yang komprehensif dan terpadu terhadap ibu hamil, ibu menyusui dan bayinya, bahkan seluruh keluarga yang mencakup masa prenatal. Segera sesudah melahirkan dan sesudah ibu dan bayinya dipulangkan dari Rumah Sakit atau Klinik Bersalin.

Program laktasi ini memiliki anggota program yang disebut sebagai Team Manajemen Laktasi (TML) yang terdiri dari seorang profesor dokter anak, perawat spesialis anak, bidan ahli gizi, pekerja sosial dan seorang sekretaris yang terdidik dan diketahui oleh dokter anak (Roesli, 2001).

Melalui suatu pelayanan yang berkesinambungan, program laktasi tersebut meliputi sebagai berikut :

1. Bimbingan Pranatal

Komponen pertama dari program laktasi ini merupakan dasar dari keberhasilan menyusui. Kegiatan disini akan meliputi, pemeriksaan dan perawatan payudara yang dilengkapi dengan, media cetak sebagai sarana pendidikan untuk ibu-ibu serta diberikan pula penyuluhan gizi.

2. Pelayanan Pascanatal yang Terarah

Terlepas dari kualitas pelayanan perinatal lainnya, maka proses laktasi tidak akan berhasil bila pascanatal ini tidak dikelola dengan baik. Untuk itu diperlukan petugas kesehatan terutama petugas pelayanan perinatal yang terlatih dan mengerti akan seluk-beluk proses menyusui. Oleh karena itu petugas kesehatan perlu mendapat tambahan pendidikan berkala yang berorientasi klinis sehingga dapat membina ibu-ibu ke arah fisiologi menyusui yang normal.

3. Konsultasi per telepon -24 jam

Walaupun sudah dipersiapkan dengan baik serta ditambah dengan pelayanan segera pascanatal yang sesuai, sering masih timbul masalah menyusui yang perlu segera ditanggulangi agar laktasi dapat dipertahankan. Anggota team managemen laktasi akan menjawab serta memecahkan masalah melalui telepon yang bila perlu akan dilanjutkan dengan kunjungan rumah. Sering jaringan informasi ini dipergunakan oleh petugas kesehatan lainnya.

4. Klinik Laktasi

Klinik laktasi merupakan sarana pendidikan yang utama, dari klinik ini petugas kesehatan, mahasiswa, dilatih dan dapat melihat sendiri segala aspek proses menyusui. Mereka dapat bertemu dengan pasangan ibu dan anak, memeriksa bayi secara menyeluruh, memeriksa payudara ibu dan melakukan pengamatan dengan seksama cara ibu menyusui bayinya. Dengan demikian akan dapat diketahui segala masalah pasangan ibu dan bayinya sehingga dapat diberikan penanggulangan yang sesuai, termasuk perbaikan gizi ibu

guna keberhasilan laktasi. Kalau perlu dilakukan kunjungan rumah oleh petugas sosial diikuti pertelepon. Klinik laktasi menerima rujukan untuk kasus yang sulit. Pasangan ibu dan bayinya diperiksa di Klinik Laktasi tujuh hari setelah dipulangkan dari RS atau kapan saja bila timbul masalah.

5. Konsultasi untuk NICU (Neonatal Intensive Care Unit)

Adanya pelayanan NICU membuktikan betapa komprehensifnya program laktasi ini. Bila seorang neonatus sakit, maka jelas betapa ASI dengan keunggulannya sangat dibutuhkan. Oleh karena itu petugas pelayanan perinatal dihimbau untuk secara sungguh-sungguh mengusahakan agar ASI tersedia dan mengatasi segala hambatan yang datang.

6. Pendidikan Petugas Kesehatan

Dampak dari program laktasi ini bukan saja terhadap ibu menyusui, tetapi juga terhadap petugas kesehatan lainnya. Petugas kesehatan makin sadar akan pentingnya menyusui dan merasakan perlunya pengetahuan dasar mengenai fisiologi laktasi dan informasi terbaru tentang cara mengelola ibu menyusui dengan berhasil.

2.4.1. Manajemen Laktasi

Manajemen laktasi adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk menunjang keberhasilan menyusui. Dalam pelaksanaanya terutama dimulai pada masa kehamilan, segera setelah persalinan dan pada masa menyusui selanjutnya. Adapun upaya-upaya yang dilakukan adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2002) : a. Pada masa Kehamilan (antenatal)

- Memberikan penerangan dan penyuluhan tentang manfaat dan keunggulan ASI, manfaat menyusui baik bagi ibu maupun bayinya, disamping bahaya pemberian susu botol.

- Pemeriksaan kesehatan, kehamilan dan payudara/keadaan puting susu, apakah ada kelainan atau tidak. Disamping itu perlu dipantau kenaikan berat badan ibu hamil.

- Perawatan payudara mulai kehamilan umur enam bulan agar ibu mampu memproduksi dan memberikan ASI yang cukup.

- Memperhatikan gizi/makanan ditambah mulai dari kehamilan trisemester kedua sebanyak 1 1/3 kali dari makanan pada saat sebelum hamil.

- Menciptakan suasana keluarga yang menyenangkan. Dalam hal ini perlu diperhatikan keluarga terutama suami kepada istri yang sedang hamil untuk memberikan dukungan dan membesarkan hatinya.

b. Pada masa setelah persalinan (prenatal)

- Ibu dibantu menyusui 30 menit setelah kelahiran dan ditunjukkan cara menyusui yang baik dan benar, yakni : tentang posisi dan cara melekatkan bayi pada payudara ibu

- Membantu terjadinya kontak langsung antara bayi-ibu selama 24 jam sehari agar menyusui dilakukan tanpa jadwal

- Ibu nifas diberikan kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 S) dalam waktu dua minggu setelah melahirkan

c. Pada masa menyusui selanjutnya (post-natal)

- Menyusui dilanjutkan secara eksklusif selam 4 bulan pertama usia bayi, yaitu hanya memberikan ASI saja tanpa makanan/minuman lainnya

- Perhatikan gizi/makanan ibu menyusui, perlu makanan 1 ½ kali lebih banyak dari biasa dan minum minimal 8 gelas sehari.

- Ibu menyusui harus cukup istirahat dan menjaga ketenangan pikiran dan menghindarkan kelelahan yang berlebihan agar produksi ASI tidak terhambat.

- Pengertian dan dukungan keluarga terutama suami penting untuk menunjang keberhasilan menyusui

- Rujuk ke Posyandu atau Puskesmas atau petugas kesehatan apabila ada permasalahan menyusui seperti payudara banyak disertai demam.

- Menghubungi kelompok pendukung ASI terdekat untuk meminta pengalaman dari ibu-ibu lain yang sukses menyusui

- Memperhatikan gizi/makanan anak, terutama mulai bayi 4 bulan, berikan MP-ASI yang cukup baik kuantitas maupun kualitas.

2.4.2. Promosi ASI dan Kesiapan Petugas Kesehatan

Sebelum mulai mendidik ibu-ibu, para petugas kesehatan harus yakin bahwa nasihatnya adalah berdasarkan pengetahuan yang cukup. Karena itu perlu diketahui seberapa jauh pengetahuan petugas. Petugas Kesehatan haruslah merasa bertanggung jawab akan masalah ibu menyusui dan bayinya. Dalam kaitan ini diharapkan bahwa petugas kesehatan pengetahuan sudah siap untuk membina dan mengelola ibu-ibu menyusui berdasarkan pengetahuan yang

didapat selama pendidikan dan bekerja, jika disetiap instansi kesehatan tersedia tenaga yang terampil dan terlatih mengenai aplikasi klinis dari seluk beluk proses menyusui. Serta didukung oleh program laktasi, maka dapatlah diharapkan bahwa gabungan kedua komponen ini menjadi kunci keberhasilan proses laktasi (Roesli, 2000).

2.5. Pengertian Perilaku

Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri seperti berjalan, berbicara, bereaksi dan lain-lain, bahkan kegiatan internal sendiri seperti berpikir, persepsi dan emosi. Dapat juga dikatakan bahwa perilaku itu adalah aktivitas organisme, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung, seperti perilaku petugas kesehatan dalam memberikan gambaran atau pandangan tentang pentingnya inisiasi menyusu dini. Perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor keturunan merupakan konsep dasar atau modal untuk perkembangan perilaku, sedangkan lingkungan merupakan kondisi-kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut (Notoatmodjo, 1996).

2.5.1. Bentuk Perilaku

Bentuk perilaku ini dapat diamati melalui sikap dan tindakan, namun demikian tidak berarti bentuk perilaku itu hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakan saja, perilaku juga dapat bersifat potensial, yakni dalam bentuk pegetahuan, motivasi dan persepsi. Secara lebih operasional perilaku dapat

diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek. Respon ini dibedakan menjadi 2 (dua) (Notoatmodjo, 2003) :

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut covert behavior atau

unobservable behavior, misal seorang ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan, ibu yang sedang menyusui tahu pentingnya ASI bagi bayinya, dan sebagainya.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktek (practice) misal, seorang ibu memeriksa kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi dan sebagainya. 2.5.2. Pembagian Perilaku

Menurut Benyamin Bloom (1908) yang dikutip oleh Notoatmodjo (1993), membagi perilaku dalam tiga kawasan yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan Psikomotor (tingkah laku).

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui Panca indra yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Overt Behaivour), (Notoatmodjo, 2003).

Didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan berlangsung lama, suatu contoh ibu-ibu diperintahkan oleh petugas kesehatan untuk melakukan penggunaan ASI Eksklusif dan pentingnya melakukan inisiasi menyusu secara dini, mereka akan segera melakukan perintah tersebut.

2. Sikap (Attitude)

Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk berespons (secara positif atau negatif) terhadap orang, obyek atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih dsb), disamping itu komponen kognitif (pengetahuan tentang obyek itu) serta aspek konatif (kecenderungan bertindak). Dalam hal ini pengertian sikap adalah merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003).

Dalam penentuan sikap yang utuh, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya kasus pemberian ASI, apabila seorang ibu telah mendengar dan mendapat penjelasan dari petugas kesehatan pentingnya pemberian ASI secara dini dengan benar dan coba

menerapkannya kepada bayinya, maka ibu berpikir dan berusaha untuk memberikan anaknya/bayinya ASI Eksklusif sampai berusia 6 bulan atau bahkan sampai 2 tahun, akan tetapi karena lingkungan belum ada yang menerapkannya, maka ibu tersebut menjadi asing di masyarakat dan tidak mungkin ia menjadi kembali dengan pemberian ASI yang salah (Notoatmodjo, 1993).

3. Tindakan atau Praktek (Pratice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkannya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Tingkat-tingkat tindakan/praktek, yaitu :

1. Persepsi (perseption)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

2. Respons Terpimpin (guided respons)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

3. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

4. Adaptasi (adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan tersebut sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.5.3. Pengetahuan ASI

Menurut Depkes RI (2004), ada beberapa hal yang harus diketahui oleh ibu untuk meningkatkan cakupan ASI, yaitu :

1. Pengertian ASI Eksklusif dan kolostrum, makanan, minuman pralakteal dan laktasi.

2. Manfaat kolostrum bagi kesehatan bayi, manfaat pemberian ASI dan manfaatmenyusui

3. Waktu, yaitu kapan ibu mulai menyusui bayinya, berapa lam dan sampai umur berapa

4. Cara menyusui yang baik dan benar, menghentikan bayi menyusui, menyendawakan bayi setelah disusui, meningkatkan produksi ASI, menyimpan ASI dan cara menyapih yang baik

5. Cara mengatasi permasalahan menyusui, antara lain : puting susu datar dan terpendam, lecet dan nyeri, payudara bengkak, saluran ASI tersumbat, radang payudara, payudara abses, produksi ASI kurang dan bingung puting.

2.5.4. Perilaku Dalam Pemberian ASI

Perilaku seorang ibu juga mempengaruhi dalam pemberian ASI terhadap bayinya. Menurut penilitian Suraatmaja (1994), faktor-faktor yang

mempengaruhi ibu dalam pemberian ASI adalah : faktor sosial budaya, faktor psikologis, dan faktor fisik ibu.

Sedangkan menurut Boedihardjo (1993), ketidakmampuan menyusui erat hubungannya dengan situasi ibu-ibu yang kurang atau tidak mendapatkan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan menyusui, kurangnya pengalaman dan pengetahuan tentang mekanisme laktasi, kurang percaya diri atau tidak yakin akan kemampuannya untuk menyusui. Jadi keberhasilan pemberian ASI tergantung pada perilaku dari ibu yang memberikan ASI secara dini.

Perilaku seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (Notoatmodjo, 2003) :

1. Niat adalah minat seseorang sehubungan dengan kepentingan pribadinya (behavior intention)

2. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support)

3. Adanya atau tidaknya informasi yang ia terima agar ia dapat bertindak (accessibility of information)

4. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy)

Pola pemberian ASI pada bayi disesuaikan dengan dua faktor yaitu: 1. Faktor yang berhubungan dengan keadaan ibu

Keadaan yang sering dihadapi ibu adalah bendungan ASI yang menyebabkan ibu merasa sakit sewaktu bayi menyusui. Keadaan ini dapat diatasi dengan cara mengurut payudara perlahan-lahan. Adanya penyakit kronis yang diderita ibu seperti TBC, malaria merupakan alasan untuk tidak menyusui bayinya. Demikian juga ibu yang gizinya tidak baik, akan menghasilkan ASI dalam jumlah lebih sedikit dibanding dengan ibu dengan gizi yang lebih baik.

2. Faktor yang berhubungan dengan keadaan bayi

Anak yang lahir dengan prematur atau lahir dengan berat badan lahir rendah masih terlalu lemah untuk menghisap ASI dari payudara ibunya. Pada waktu anak sakit juga akan menimbulkan kesulitan karena si anak menolak untuk menyusui (Roesli, 2005).

Dokumen terkait