• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program-program Sektoral dan Regional

Dalam dokumen Penanggulangan kemiskinan dan id. doc (Halaman 26-35)

Sejak awal, pembangunan nasional ditujukan untuk mening-katkan kesejahteraan rakyat sehingga semua program berupaya mencapai tujuan tersebut, yaitu untuk menjangkau kelompok sasaran dari sektor yang bersangkutan.

Beberapa program yang mempunyai pengaruh besar pada pengurangan kemiskinan antara lain adalah Proyek Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) oleh Departemen Pertanian, dan program-program lain dari Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PIR Trans dan HTI-Trans), Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil (Kredit Candak Kulak dan berbagai skim kredit), Departemen Dalam Negeri (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melalui Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UPPKA) yang selanjutnya diubah menjadi Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS).

Program pembangunan regional yang dilaksanakan melalui berbagai Inpres, baik Inpres Dati I, Dati II, Desa, serta Inpres Sektoral, mempunyai dampak besar pada upaya penanggulangan kemiskinan. Program regional ini pelaksanaannya langsung dikelola oleh pemerintah daerah. Dari tahun ke tahun, dana Inpres yang dialokasikan semakin besar sesuai dengan arah kebijakan Repelita VI untuk meningkatkan pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan. Berhubung dengan itu telah dilakukan penyempurnaan mekanisme bantuan mulai dari aspek perencanaan, penyaluran, pelaksanaan, dan pemantauannya. Pembenahan sistem kelembagaan perencanaan pembangunan dilakukan semakin transparan, efektif, dan efisien dengan memantapkan mekanisme

Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangun- an di Daerah (P5D) dan berpedoman pada Sasaran Repelita Tahunan yang diawali dari daerah (Sarlitada).

Beberapa program sektoral juga dilaksanakan untuk menun-jang upaya penanggulangan kemiskinan seperti Kartu Sehat khusus untuk penduduk miskin oleh Departemen Kesehatan, wajib belajar oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, padat karya oleh Departemen Tenaga Kerja, dan program-program sektoral lainnya. Program-program ini memang tidak langsung diarahkan kepada penduduk miskin, tetapi keberhasilannya akan mendukung terca-painya sasaran penanggulangan kemiskinan.

a. Program P4K

Program Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) yang dimulai tahun 1986 adalah program bantuan dana yang diberikan kepada petani kecil yang pendapatan- nya di bawah garis kemiskinan atau yang pendapatannya setara dengan 320 kg beras per kapita atau kurang. Besar pinjaman disesuaikan dengan kebutuhan kelompok-kelompok Petani-Nelayan Kecil (KPK). Jangka waktu pinjaman adalah 12, 15, dan 18 bulan termasuk tenggang waktu pembayaran angsuran 3 atau 6 bulan. Masa tenggang tersebut hanya diberikan apabila memang benar-benar diperlukan. Seluruh anggota KPK bertanggung jawab atas pengembalian seluruh pinjaman yang diterima KPK dengan sistem tanggung renteng.

Sampai dengan tahun anggaran 1996/97 telah terbentuk sebanyak 46.694 KPK dengan jumlah anggota sebanyak 466.940 KK. Dari jumlah tersebut, KPK pria sebanyak 16.981, KPK wanita sebanyak 17.518, dan KPK Campuran sebanyak 12.195. Jumlah

kredit yang diserap mencapai Rp 91,3 miliar dengan pengembalian kredit sebesar Rp 65,7 miliar, sisa pinjaman sebesar Rp 25,6 miliar, dan tunggakan kredit sebesar Rp 2,2 miliar (2,42%). Pengembangan Program P4K dalam jangka panjang diarahkan kepada penyempurnaan program/proyek peningkatan pendapatan perdesaan dengan sasaran sekitar 800.000 keluarga miskin.

b. Program PHBK

Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) dirintis oleh Bank Indonesia pada tahun 1989 sebagai proyek ujicoba dan mencakup 4 propinsi yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Bali. Tujuan PHBK adalah tersedianya pelayanan keuangan yang layak bagi Kelompok Simpan Pinjam/Kelompok Swadaya Masyarakat (KSP/KSM) yang mempunyai kegiatan simpan pinjam dan beranggotakan petani kecil serta pengusaha mikro di sektor ekonomi rakyat perdesaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan PHBK diarahkan untuk memperkuat KSP/KSM sebagai lembaga keuangan informal dan memprakarsai atau mempromosikan hubungan bank dengan KSP/ KSM melalui kegiatan-kegiatan pengenalan, pelatihan, dan pembenahan KSP/KSM bekerjasama dengan lembaga yang membentuk dan membina KSP/KSM yakni Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) baik milik pemerintah maupun LSM.

Selama tiga tahun pertama proyek ujicoba PHBK menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dalam meningkatkan akses kelompok swadaya masyarakat perdesaan pada jasa pelayanan keuangan. Mengingat keberhasilan tersebut, pada tahun 1992 proyek PHBK ditingkatkan menjadi program PHBK dan cakupan daerahnya diperluas menjadi 9 propinsi yaitu Sumatera

Utara, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Bali, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.

Sampai dengan bulan Januari 1994, PHBK telah berhasil menghubungkan 1.348 KSM (dengan anggota 40.000 orang) dengan 65 bank. Jumlah kredit yang disetujui mencapai Rp 12,1 miliar, tabungan beku yang dihimpun dari anggota kelompok mencapai Rp 1,9 miliar, dan tingkat pengembalian kredit mencapai 96,3%. Dapat dikatakan bahwa masyarakat berpendapatan rendah apabila dibina dengan tepat dapat meningkatkan partisipasinya dalam pembangunan ekonomi secara mandiri.

Dalam rangka lebih memperluas PHBK, telah dikembangkan kerjasama dengan proyek-proyek potensial lainnya yang bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat miskin seperti: (1) proyek Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) yang dilaksanakan oleh Departemen Pertanian bekerjasama dengan IFAD dan BRI; (2) Pusat Pelayanan Kredit Koperasi Perdesaan (PPKKP) yang dilaksanakan oleh Bank BUKOPIN bekerjasama dengan Rabobank-Belanda; dan (3) Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa (TPSP-KUD) yang dilaksanakan oleh Departemen Koperasi dan Pengembangan Pengusaha Kecil bekerjasama dengan Departemen Dalam Negeri dan BRI; dan (4) Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera yang sebelumnya disebut Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UPPKA) yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). PHBK mendapat bantuan teknis dari Pemerintah Jerman (melalui GTZ, Deutsche Gessellschaft fuer Technische Zusammmenarbeit) sampai Desember 1996.

Sampai dengan tahun anggaran 1996/97, jumlah KSM yang terbentuk sebanyak 7.587 KSM dengan kredit yang disalurkan sebesar Rp 51,7 miliar, posisi kredit sebesar Rp 22,5 miliar, tabungan sebesar Rp 9,0 miliar, sedangkan tunggakan sebesar Rp 1,1 miliar. Program PHBK juga telah menjangkau 17 propinsi, yang dalam jangka panjang akan dikembangkan sehingga menjangkau seluruh propinsi di Indonesia. Di samping itu, dalam perkembangannya program PHBK juga diarahkan agar terkait dengan program-program kredit yang lain, dan diharapkan dapat menjadi "payung" mekanisme pelayanan kredit bagi ekonomi rakyat.

c. Program UED-SP

Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) merupakan pola pelayanan kredit di bawah pembinaan Departemen Dalam Negeri (Ditjen PMD) bersama-sama dengan Departemen Koperasi dan PPK dan BRI. Kegiatan UED-SP yang dimulai pada tahun kedua Repelita VI (1995/96) meliputi pemberian pinjaman pada lembaga-lembaga dan masyarakat desa yang membutuhkan modal usaha, dan pengembangan simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela anggota. Ketentuan pinjaman ditetapkan oleh para pengelola UED-SP sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dengan memperhatikan adanya kelayakan usaha calon peminjam, perilaku calon peminjam, kemampuan dana UED-SP yang tersedia, dan saran atau pendapat dari Kepala Desa/Kepala Kelurahan serta Ketua I LKMD. Pemberian pinjaman berdasarkan urutan prioritas adalah anggota UED-SP, kemudian masyarakat yang bukan warga desa akan tetapi berdomisili di desa bersangkut- an, serta warga masyarakat desa yang berdomisili di desa lain yang belum ada UED-SP dan mendapat rekomendasi dari Kepala Desa yang bersangkutan dan persetujuan Kepala Desa lokasi UED-SP.

Pinjaman diberikan untuk kegiatan ekonomis produktif dengan menekankan atas kelayakan usaha serta memperhatikan kemampuan, keinginan, dan kesungguhan calon peminjam.

Pada tahun 1995/96 telah dilakukan kegiatan perintisan penumbuhan 622 UED-SP yang pelaksanaannya dilakukan secara selektif melalui pelatihan 157 orang tenaga asistensi untuk pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan UED-SP, serta pelatihan 1.866 calon pengelola SP. Bantuan modal telah diberikan kepada UED-SP sebesar Rp 6,5 juta untuk setiap UED-UED-SP. Penyalurannya antara lain diberikan kepada 332 UED-SP di desa non-IDT. Dalam jangka panjang UED-SP diharapkan menjadi lembaga pengelola dana bantuan desa dengan menerapkan prinsip pengelolaan keuangan yang sehat.

d. Program Padat Karya

Dalam tahun 1997/98, telah terjadi musim kemarau berkepanjangan yang menyebabkan menurunnya kegiatan di sektor pertanian, khususnya tanaman pangan. Keadaan ini mengakibatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sangat menurun, sehingga meningkatkan jumlah pengangguran di perdesaan. Sementara itu, kondisi perekonomian juga kurang menguntungkan dengan terjadinya gejolak moneter sejak pertengahan tahun 1997. Gejolak moneter ini telah menimbulkan masalah keuangan bagi pemerintah maupun dunia usaha swasta, dan mengakibatkan permasalahan serius pada usaha-usaha jasa konstruksi, serta sektor industri terutama yang kandungan impornya tinggi. Akibat lebih lanjut yang terjadi adalah penundaan kegiatan sejumlah proyek pembangunan pemerintah maupun swasta, dan pemutusan hubung an kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan.

Untuk menanggulangi permasalahan pengangguran tersebut, telah diambil langkah-langkah penciptaan lapangan kerja produktif yang pada tahun 1997/98 sebagai program mendesak (crash program) padat karya selama sekitar 80 hari dimulai pada awal Januari 1998 sampai akhir Maret 1998. Kegiatan tersebut dilaksanakan di 12 kotamadya dan 18 kabupaten yang tersebar di daerah Jabotabek dan di beberapa daerah pengirim tenaga kerja ke Jabotabek, daerah Bandung dan sekitarnya, serta daerah Surabaya dan sekitarnya. Secara keseluruhan, kegiatan padat karya tersebut direncanakan menyerap sekitar 4.320.000 orang hari (OH) atau sekitar 54.000 orang per hari selama 80 hari dengan upah sebesar Rp 7.500 per orang per hari.

Kegiatan yang dilaksanakan berupa pemeliharaan/perbaikan ringan sarana/prasarana umum seperti saluran drainase, alur sungai, jalan lingkungan, irigasi, dan embung/kolam desa. Pemilihan dan pelaksanaan kegiatan tersebut ditentukan serta dikoordinasikan oleh daerah tingkat II.

Dalam tahun 1998/99 sebagai tahun terakhir Repelita VI program ini akan dilanjutkan dan diperluas, sehingga dapat lebih banyak menampung dampak krisis moneter pada lapangan kerja, khususnya tenaga kerja harian lepas yang bekerja di sektor konstruksi dan pekerja-pekerja di sektor pertanian di perdesaan.

e. Program ABRI Manunggal

Pembangunan pertahanan keamanan yang meliputi segenap komponen pertahanan keamanan negara didasarkan atas sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Oleh karena itu, setiap potensi yang ada dalam masyarakat dibina sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan sebagai ruang, alat, dan kondisi juang

(RAK Juang) bagi penyelenggaraan sishankamrata tersebut. Berbagai upaya dalam mewujudkan RAK Juang tersebut pada dasarnya merupakan permasalahan teritorial yang menyangkut segala ikhwal yang berhubungan dengan usaha dan kegiatan "pembinaan wilayah" yang diarahkan pada kesejahteraan dan berdaya guna bagi Hankam dan "pembinaan teritorial" yang dititikberatkan pada penyusunan potensi Hankam.

Dengan pengertian dari berbagai kegiatan tersebut, sejak Repelita II secara sistematis telah diupayakan berbagai kegiatan secara terencana untuk membantu peningkatan pemerataan pembangunan daerah, utamanya daerah terpencil, daerah perbatasan, dan daerah tertinggal lainnya.

Adapun wujud dari kegiatan tersebut dituangkan dalam program ABRI Manunggal yaitu: ABRI Masuk Desa (AMD), Manunggal Aksara, Manunggal KB, Operasi Baskara Jaya, dan Operasi Bakti lainnya. Kegiatan ABRI Manunggal sampai tahun keempat Repelita VI telah dilakukan 78 kali dari rencana 96 kali atau 81,0%, dengan kegiatan antara lain berupa:

1) Pembangunan prasarana fisik berupa jalan-jalan kampung, saluran irigasi, gorong-gorong, dan jembatan;

2) Pembangunan sarana perdesaan berupa masjid, gedung sekolah dan kantor desa;

3) Pembinaan masyarakat tentang P-4 dan bela negara, pendampingan program IDT oleh personel Babinsa (Bintara Pembina Desa) dan pembinaan mental;

4) Penyuluhan dan pelayanan kesehatan/KB, pemberantasan buta aksara, dan kegiatan bakti sosial lainnya.

Untuk propinsi Timor Timur, sejak tahun anggaran 1994/95 telah dilaksanakan program Rehabilitasi Wilayah Terpadu (RWT) dan untuk propinsi Irian Jaya dimulai tahun 1996/97. Program RWT ini merupakan kegiatan bakti ABRI yang disesuaikan dengan karakteristik wilayah, terutama kekhususan wilayah. Program RWT antara lain adalah pembimbingan masyarakat mengenai cara-cara bertani, penangkapan ikan dan beternak di samping kegiatan fisik lainnya.

f. Penanganan Bencana Kekeringan di Irian Jaya

Di Propinsi Irian Jaya, khususnya di Kabupaten Jayawijaya, Puncak Jaya, dan Merauke, telah terjadi kekeringan panjang yang mengakibatkan korban jiwa karena penduduk tidak dapat menanam bahan makanan pokoknya, yaitu ubi jalar. Keadaan ini menyebabkan tingkat kemiskinan menjadi lebih parah. Berhubung dengan itu, upaya penanganan bencana kekeringan di Propinsi Irian Jaya ini sangat terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan.

Bakornas PB telah mengkoordinasikan berbagai instansi terkait di tingkat pusat dan telah menyalurkan bantuan dari Pemerintah maupun masyarakat sejak bulan Oktober 1997. Sedangkan di tingkat daerah, Satkorlak dan Satlak PB melaksanakan penyaluran bantuan tersebut sampai titik-titik distribusi. Di samping itu telah dilakukan upaya terpadu dari berbagai departemen dan instansi yang mencakup pelaksanaan crash program pengadaan pangan, obat-obatan, penyediaan air bersih, dan pengadaan pelayanan kesehatan.

Dalam rangka pengentasan kemiskinan di ketiga kabupaten yang dilanda bencana kekeringan tersebut dikembangkan program ketahanan pangan yang diarahkan agar dapat "mandiri" dalam

memenuhi kebutuhan pangan di daerah melalui penyediaan bibit tanaman pangan pokok maupun tanaman pangan tambahan. Di samping itu, dilakukan juga upaya penciptaan lapangan kerja untuk mendayagunakan tenaga kerja yang terkena bencana kelaparan yaitu melalui pembuatan sarana dan prasarana perdesaan dan pelatihan ketrampilan. Pada tahun terakhir Repelita VI, program ini akan dilanjutkan dengan memadukannya dengan program-program lain, baik sektoral maupun regional.

3. Program-program Penunjang

Dalam dokumen Penanggulangan kemiskinan dan id. doc (Halaman 26-35)

Dokumen terkait