• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Analisis regresi ganda merupakan metode statistika yang digunakan untuk memodelkan hubungan matematis antara peubah respon (Y) dengan p buah peubah bebas (X1, X2, ..., Xp). Metode pendugaan yang paling populer adalah kuadrat terkecil dan disebut regresi kuadrat terkecil (RKT), karena mudah dari aspek analitiknya. Kemudahan tersebut akibat dari serangkaian asumsi yang sangat ketat guna mendapatkan suatu penduga terbaik yang memenuhi syarat-syarat best linear

unbiased estimator (BLUE). Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan peubah respon

adalah : Y merupakan peubah acak yang menyebar normal dengan ragam konstan, serta di antara yi dengan yj saling bebas (ij=1,2,...,n). Sedangkan asumsi yang terkait dengan peubah bebas adalah : X merupakan matriks peubah tetap

(fixed variable), tidak ada korelasi yang tinggi di antara peubah bebas, serta

banyaknya peubah bebas lebih kecil dari pada banyaknya pengamatan (p<n). Apabila salah satu di antara asumsi-asumsi tersebut tidak dipenuhi, maka RKT tidak dapat digunakan.

Jika terjadi pelanggaran asumsi pada matriks peubah bebas X, yaitu terdapat kolerasi yang tinggi di antara peubah bebas (kolinearitas ganda), maka penggunaan RKT akan menyebabkan ill conditioned yang berakibat galat baku dugaan membesar (over estimate). Dengan kata lain, kolinearitas ganda dapat menyebabkan ketelitian (accuracy) dari dugaan parameter sangat rendah (Notodiputro 2003). Sedangkan bila banyaknya peubah bebas lebih besar dari pada banyaknya pengamatan, maka struktur matriks peubah bebas menjadi singular (masalah singularitas). Hal ini berakibat matriks XTX tidak mempunyai kebalikan unik (khas) yang merupakan syarat utama dalam RKT.

Beberapa metode statistika telah dikembangkan untuk mengatasi masalah

ill conditioned dan singularitas, antara lain : Regresi Komponen Utama (RKU),

Regresi Kuadrat Terkecil Parsial (RKTP), Regresi Ridge (RR), pendekatan Bayes, Regresi atas Koefisien Fourier (RKF), Jaringan Syaraf Tiruan (JST), serta Transformasi Wavelet. Metode lain yang diperkenalkan Stone dan Brooks (1990)

adalah Regresi Kontinum (RK) yang merupakan pengembangan dari RKT, RKU, serta RKTP.

Penyelesaian masalah ill conditioned dan singularitas dilakukan dengan cara mengurangi banyaknya peubah bebas yakni memampatkan data ke dalam peubah baru (peubah latent) yang saling bebas dan dimensinya jauh lebih kecil. Peubah baru pada RKU merupakan kombinasi linear dari matriks peubah bebas (X) yang mempunyai ragam maksimal. Notodiputro (2003) menjelaskan bahwa dalam prakteknya metode RKU, khususnya dalam kalibrasi, memiliki dua kelemahan, yaitu : (a) informasi tentang konstituen tertentu seringkali tidak dapat dicerminkan secara unik dalam satu komponen, (b) informasi yang terkandung dalam data spektra Fourier Transform Infrared (FTIR) tidak dapat direduksi ke dalam satu atau dua komponen walaupun kedua komponen tersebut menerangkan keragaman X sampai lebih dari 99 persen. Dengan demikian dalam model seringkali dibutuhkan komponen utama dalam jumlah yang besar yang berakibat terjadinya overfitting. Hasil kajian empirik Herwindiati (1997) menyimpulkan bahwa RKTP memberikan hasil yang lebih baik dari pada RKU.

Peubah baru pada RKTP dikonstruksi dengan memaksimumkan koragam peubah bebas dengan peubah respon. Sejumlah kecil faktor dikonstruksi sebagai kombinasi linear dari matriks peubah bebas X. Selanjutnya regresi atas skor faktor tersebut digunakan untuk menurunkan persamaan prediksinya. Perbedaan pokok RKTP dengan RKU adalah pada RKTP mengkonstruksi faktor yang mampu menerangkan keragaman data spektra FTIR (X) dan pada saat yang sama faktor tersebut mempunyai hubungan dengan data Y. Konsekwensinya, RKTP cenderung menghasilkan faktor yang lebih sedikit dari pada RKU. Seperti halnya dalam RKU, RKTP juga akan menghadapi masalah overfitting jika untuk mendapatkan model kalibrasi yang baik diperlukan jumlah faktor yang besar. Hasil kajian secara empirik Notodiputro (2003) dengan menggunakan data simulasi dan data Naes tentang konsentrasi lemak diperoleh bahwa pendekatan Bayes dan JST lebih unggul dari pada RKTP.

Peubah baru pada RK dikonstruksi dengan memaksimumkan keragaman peubah bebas serta koragam antara peubah bebas dengan peubah respon. Dengan kata lain, RK merupakan kombinasi antara prinsip RKT, RKU serta RKTP

3 sehingga diharapkan metode ini lebih baik dari pada RKU maupun RKTP untuk mengatasi masalah ill conditioned.

Stone dan Brooks (1990) memperkenalkan regresi kontinum yang digunakan untuk penyelesaian model kalibrasi pada beberapa contoh kasus. Dengan menggunakan kriteria Indeks Validasi Silang (I), dibandingkan berbagai tingkat parameter penyesuaian δ , yang kesimpulannya adalah RK lebih unggul dibandingkan dengan RKT, RKU maupun RKTP. Namun dari aspek statistika, yang dihasilkan hanya dugaan parameter regresi, belum dilakukan pendekatan secara analitik. Sunberg (1993) membuktikan bahwa regresi ridge adalah bentuk khas dari RK jika banyaknya komponen utama dalam model hanya satu. Usaha secara analitik dilakukan De Jong et al. (2001) dengan menggunakan metode

Continuum Power Regressión (CPR), yakni matriks X didekomposisikan ke

matriks singular dengan menggunakan algoritma kanonik.

Serneels et al. (2005) memberikan alternatif dalam penyelesaian masalah pendugaan parameter RK. Ada dua metode yaitu Regresi Kontinum Klasik (RKK) atau RK, serta Regresi Kontinum dengan Pursuit Proyeksi (RK-PP). Lebih lanjut, jika ada data pencilan Serneels et al. (2005) mengusulkan suatu Regresi Kontinum Kekar dengan Pursuit Proyeksi (RKK-PP).

Dari aspek komputasi, seringkali RK maupun RK-PP mengalami kendala jika dimensi matriks data X sangat besar (p>>n) dan terdapat kolinearitas ganda. Oleh karena itu perlu dilakukan pemampatan (penyusutan) data dengan cara melakukan dekomposisi nilai singular pada matriks X secara penuh (Serneels et al. 2005). Terdapat beberapa metode pemampatan data di antaranya : analisis komponen utama, transformasi Fourier, transformasi wavelet serta pursuit

proyeksi. Pemampatan dimensi peubah yang semula berdimensi tinggi (nxp) menjadi peubah baru, misalkan berdimensi (nxp')sehingga p'<(n−1)<p, disebut metode prapemrosesan.

Keuntungan analisis komponen utama sebagai metode prapemrosesan adalah komponen utama yang dihasilkan dapat diinterpertasikan. Sedangkan kelemahannya adalah bila dimensi matriks peubah bebas sangat besar akan mengalami kendala dalam komputasi.

Transformasi wavelet dan transformasi Fourier pada dasarnya adalah pereduksian dimensi data dengan cara mendekomposisi xi =(xi1,xi2,..., xip)T

ke dalam sekumpulan fungsi basis. Transformasi Fourier dikembangkan dari deret Fourier. Pada deret Fourier sebuah fungsi periodik dapat direpresentasikan dengan mengkombinasikan penjumlahan tak hingga dari fungsi sinus dan kosinus. Beberapa tahun setelah penemuan ini, deret Fourier dikembangkan menjadi bentuk yang lebih umum sehingga dapat diterapkan pada fungsi yang non-periodik dan dikenal sebagai transformasi Fourier. Sejak penemuan ini, transformasi Fourier menjadi metode yang sangat cocok untuk menganalisis fungsi, karena transformasi Fourier dapat memberikan informasi tentang frekuensi suatu sinyal.

Pada tahun 1909 seorang matematikawan Hungaria, Alfred Haar mengembangkan sebuah basis fungsi dan dikenal sebagai wavelet Haar. Transformasi wavelet dikenal sejak tahun 1980-an sebagai solusi yang dapat menangani kekurangan pada transformasi Fourier dalam menganalisis berbagai fungsi. Prinsip-prinsip yang ada pada metode wavelet merupakan perpaduan antara ide pada wavelet Haar dan ide baru yang muncul dengan adanya perkembangan perangkat lunak komputer, seperti penerapan Multi Resolution Analysis untuk menghitung koefisien-koefisien wavelet dengan algoritma piramid (Mallat 1989).

Transformasi wavelet dapat mengatasi kekurangan transformasi Fourier, karena metode ini dapat memberikan informasi tentang kombinasi skala dan frekuensi. Dengan transformasi wavelet, sebuah fungsi dapat digambarkan dalam sumbu x yang menunjukkan waktu (translasi) dan sumbu y menunjukkan frekuensi (skala), dan dapat juga ditambahkan dengan informasi amplitudo dalam sumbu z.

Transformasi wavelet merepresentasikan suatu kurva, misal spektrum, sebagai kombinasi linear kurva-kurva lain yang relatif lebih sederhana yang disebut fungsi basis atau fungsi wavelet (Fearn 1999). Fungsi basis tersebut diperoleh dengan dilatasi dan translasi dua jenis fungsi wavelet yang disebut father

wavelet dan mother wavelet (Nason dan Silverman 1994). Dalam analisis Fourier

fungsi basis yang digunakan adalah fungsi sinus dan kosinus, sehingga metode

wavelet dapat dipandang sebagai perluasan dari analisis Fourier. Wavelet berasal dari fungsi skala, dari fungsi ini dapat dibuat sebuah mother wavelet.

Wavelet-wavelet lainnya akan muncul dari hasil penskalaan, dilatasi dan translasi

5 Terdapat dua macam wavelet, jika suatu fungsi yang didekomposisi ke dalam fungsi-fungsi wavelet diambil bilangan dilatasi dan translasi yang kontinu maka akan termasuk dalam transformasi wavelet kontinu (TWK). Sedangkan jika bilangan dilatasi dan translasi berupa bilangan bulat positif, maka termasuk dalam transformasi wavelet diskret (TWD) (Nason dan Silverman 1994).

Pada penelitian ini metode prapemrosesan yang digunakan adalah transformasi wavelet diskret (TWD). Hal ini dikarenakan TWD merupakan metode yang paling unggul dibandingkan metode lain. Transformasi Fourier sangat baik digunakan pada fungsi yang stasioner dan gelombang besar, tetapi tidak efektif pada fungsi yang non-stasioner. TWD dapat menutupi kekurangan yang terdapat pada transformasi Fourier, yaitu efektif digunakan pada fungsi yang non-stasioner dan gelombang yang kecil.

Selain itu sifat-sifat matriks transformasi wavelet diskret mempunyai keunggulan dibandingkan dengan transformasi Fourier maupun analisis komponen utama, khususnya dalam hal besarnya proporsi keragaman peubah asal X yang dapat diterangkan oleh peubah baru hasil transformasi, sehingga hasil reduksi masih mendekati peubah asal. Sedangkan kelemahannya adalah secara matematis tidak ada jaminan bahwa korelasi di antara koefesien wavelet menjadi relatif kecil, sehingga masih dimungkinkan terjadi masalah kolinearitas ganda dalam pemodelan regresi. Akibatnya transformasi wavelet diskret sebaiknya digabung dengan metode lainnya dalam pemodelan regresi (Sunaryo 2005).

Dengan demikian masih ada dua masalah penting dalam RK yang belum diungkap dalam penelitian-penelitian terdahulu, yaitu : (a) bagaimana sifat-sifat statistik dari regresi kontinum, (b) bagaimana mengatasi masalah jika dimensi dari peubah bebas sangat besar (p>>n). Dua masalah inilah yang menjadi pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini.

Masalah ill conditioned dan singularitas sering dijumpai pada model kalibrasi. Model kalibrasi pada umumnya menggunakan model matematik dengan data empirik dan pengetahuan untuk menduga Y yang tidak diketahui berdasarkan informasi pada X yang tersedia (Martens dan Naes 1989). Model kalibrasi banyak digunakan di bidang kimia, khususnya Chemometrics, yaitu suatu bidang ilmu yang merupakan gabungan antara matematika, statistika, dan kimia.

Salah satu penerapan model kalibrasi di bidang kimia adalah untuk menduga senyawa aktif suatu contoh yang diukur melalui Fourier Transform

Infrared (FTIR) atau Near Infrared (NIR). Model kalibrasi yang mempunyai

tingkat akurasi tinggi dapat digunakan untuk menentukan kandungan senyawa aktif suatu bahan (tanaman obat) hanya dengan melakukan analisis spektroskopi FTIR suatu contoh bahan. Selain itu penentuan ini dapat dilakukan berdasarkan serbuk kasar atau ekstrak kasar sehingga tidak diperlukan proses yang panjang. Dengan demikian ada penghematan waktu, proses, serta biaya yang cukup berarti. Hal ini akan menunjang industri yang menggunakan bahan baku tanaman obat. Penelitian ini mengkaji model kalibrasi untuk dua jenis tanaman obat yaitu jahe dan temulawak.

Dewasa ini penggunaan tanaman obat tidak terbatas pada pembuatan jamu, tetapi juga pada perusahaan farmasi, produk makanan suplemen (nutraceuticals), ekstrak herbal dan lain-lain. Agar produk-produk yang dihasilkan perusahaan jamu maupun farmasi terjamin kualitasnya, maka kualitas dari bahan baku (tanaman obat) juga harus memenuhi standar yang dibutuhkan (Danutirto 2001). Informasi tentang kegunaan dan penggunaan tanaman obat dapat dilihat dari kandungan senyawa aktif. Oleh karena itu kajian mengenai kandungan senyawa aktif atau senyawa penciri sangat diperlukan.

Proses penentuan konsentrasi senyawa aktif atau senyawa penciri yang dikandung oleh suatu tanaman obat perlu dilakukan secara cepat dan akurat. Untuk itu sangat diperlukan metode yang handal tetapi relatif mudah untuk dioperasikan. Secara kualitatif dan kuantitatif suatu senyawa aktif dapat diketahui antara lain melalui metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dengan mengetahui pola kromatogram dan memperbandingkan luas area terhadap suatu standar senyawa yang diketahui. Metode kualitatif lain yang juga sering digunakan adalah spektroskopi FTIR

(Fourier Transform Infrared) yang pada dasarnya memberikan informasi mengenai

keragaan gugus fungsi, yang dapat menjadi penanda stabilitas suatu proses untuk melihat pola tapak (finger print) yang dapat berulang (reproducable). Setiap jenis senyawa aktif atau senyawa identitas (marker compound) secara kimiawi akan memberikan pola tapak FTIR dan juga pola kromatogram yang tertentu tergantung responnya. Kedua peubah ini dapat dimanfaatkan untuk melihat konsistensi respons suatu proses kalibrasi atau standarisasi mutu bahan baku maupun stabilitas proses.

7 Penggunaan HPLC untuk mengetahui kandungan senyawa aktif secara kualitatif dan kuantitatif membutuhkan persiapan yang lama meliputi penghancuran bahan, pelarutan serta biaya yang mahal. Pengukuran lain yang lebih sederhana dan murah adalah spektroskopi FTIR. Kandungan senyawa aktif dalam suatu bahan memiliki pola hubungan dengan panjang gelombang bila senyawa aktif tersebut diamati dengan alat ukur tertentu, misalnya spektroskopi FTIR.

Hasil pengukuran FTIR berupa spektrum yang merupakan sederetan ukuran persen transmitans yang diamati pada p buah titik bilangan gelombang dari spektrum yang sama. Hal ini menyebabkan jumlah p cukup banyak, sehingga dalam model kalibrasi selalu timbul permasalahan yang khas yaitu banyaknya pengamatan jauh lebih kecil dari pada banyaknya peubah penjelas (n<<p) serta terjadinya kolinearitas ganda (Naes 1985).

Jenis senyawa aktif dalam rimpang jahe disebut gingerol, sedangkan pada rimpang temulawak disebut kurkuminoid. Contoh rimpang jahe dan temulawak yang digunakan dalam penelitian ini diambil secara acak dari tiga sumber, yaitu : (a) petani di sentra produksi tanaman obat di daerah Kulonprogo Jawa Tengah dan Karanganyar DIY, (b) hasil percobaan di kebun percobaan Biofarmaka IPB Bogor, serta (c) pembelian dari BALITRO, Bogor, Majalengka dan Sukabumi. Selanjutnya rimpang jahe dan temulawak tersebut dilakukan analisis kimia di Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia IPB, Laboratorium Terpadu IPB, dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB.

Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian Hibah Pascasarjana 2003-2005 yang merupakan kerjasama antara Departemen Statistika dan Biofarmaka IPB. Dengan data dan masalah yang sama telah dilakukan penelitian oleh dua peneliti (dalam rangka penulisan disertasi program Doktor Statistika IPB) untuk mengembangkan model kalibrasi dengan menggunakan pendekatan Bayes (Erfiani 2005) dan transformasi wavelet diskret (Sunaryo 2005). Dari hasil kajian Sunaryo (2005) transformasi wavelet diskret ternyata mempunyai potensi yang lebih unggul dibandingkan dengan metode transformasi yang lain dalam upaya untuk mereduksi dimensi peubah. Oleh karena itu penulis memanfaatkan hasil kajian tersebut, sehingga transformasi wavelet diskret digunakan sebagai langkah awal (prapemrosesan) dalam regresi kontinum.

Disertasi ini terdiri dari tujuh bab, beberapa bab di antaranya (bab 3 sampai bab 5) merupakan topik-topik penelitian yang dapat berdiri sendiri tetapi membentuk suatu kesatuan. Topik-topik tersebut telah disajikan pada forum seminar nasional dan diterbitkan pada jurnal ilmiah nasional terakreditasi. Dengan demikian, disertasi ini merupakan rangkaian penelitian yang telah penulis lakukan selama menempuh studi program Doktor Statistika di Sekolah Pascasarjana IPB.

Pada bab 3 dilakukan kajian eksplorasi (empirik) terhadap kinerja dan permasalahan yang ada pada RK. Kajian tentang kinerja RK dimaksudkan untuk melihat potensi RK dalam mengatasi masalah kolinearitas ganda pada berbagai struktur korelasi matriks peubah bebas X pada kasus n> p. Setelah diperoleh kesimpulan bahwa kinerja RK sangat bagus, kajian berikutnya adalah bagaimana mengatasi masalah pada RK jika n<<p. Selain itu juga dikaji bagaimana menentukan optimasi pada fungsi kriteria umum pada RK. Harapan dari kajian ini adalah menemukan suatu metode yang dapat mengatasi masalah ill conditioned

dan singularitas.

Kajian teoritis pada RK dibahas pada bab 4, khususnya mengkaji sifat-sifat statistik dari regresi kontinum terutama sifat-sifat dari yˆ. Hal ini untuk melihat apakah model yang dihasilkan metode RK atau RK-TWD mempunyai tingkat akurasi yang tinggi. Setelah diperoleh kesimpulan bahwa RK-TWD merupakan metode yang potensial dalam mengatasi masalah ill conditioned dan singularitas serta mempunyai tingkat akurasi yang tinggi, penelitian dilanjutkan dengan menerapkan metode tersebut pada model kalibrasi pada kasus data real, yaitu data senyawa aktif temulawak dan jahe yang disajikan pada bab 5. Pada bab 6 dilakukan pembahasan secara umum, selanjutnya bab 7 membuat simpulan dan saran yang dihasilkan dari penelitian ini.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Mengkaji sifat-sifat statistik dari regresi kontinum.

b. Mempelajari perilaku regresi kontinum pada berbagai macam struktur korelasi matriks peubah bebas (X).

9 c. Menerapkan regresi kontinum pada model kalibrasi untuk menentukan

kadar senyawa aktif kurkuminoid pada rimpang temulawak dan senyawa aktif gingerol pada rimpang jahe.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan :

a. Memberikan alternatif untuk mengatasi masalah ill conditioned dan singularitas pada pemodelan regresi.

b. Mendapatkan model kalibrasi yang dapat digunakan untuk menduga kadar senyawa aktif dalam rimpang tanaman obat (jahe dan temulawak) yang relatif murah tetapi mempunyai tingkat ketelitian yang tinggi.

2.1 Temulawak dan Jahe

Sekitar 25 obat-obatan yang diresepkan negara industri maju mengandung bahan senyawa aktif hasil ekstraksi tanaman obat. Di antara tanaman obat yang banyak digunakan untuk bahan obat-obatan adalah temulawak dan jahe. Kedua jenis tanaman tersebut banyak tumbuh di Indonesia, karena keduanya dapat berkembang subur di daerah tropis.

Temulawak

Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dan termasuk dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, suku Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb. Temulawak dapat tumbuh pada dataran dengan ketinggian 5-1000 meter di atas permukaan laut, dengan ketinggian tempat optimum adalah 750 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini umumnya ditanam secara konvensional dalam skala kecil tanpa memanfaatkan teknik budidaya yang standar. Di Indonesia hampir setiap daerah pedesaan terutama di dataran sedang dan tinggi ditemukan temulawak.

Umbi batang berbentuk bulat telur sebesar telur ayam tetapi terkadang bisa lebih besar, umbi batang ini dinamakan rimpang yang penampang pinggirnya berwarna kuning muda, sedangkan bagian tengahnya berwarna kuning tua, aromanya tajam dan rasanya pahit (Darwis et al. 1991). Panen rimpang dilakukan pada umur 9-10 bulan dan diusahakan pada musim kemarau. Karena bila panen dilakukan pada musim hujan menyebabkan rusaknya rimpang dan menurunkan kualitas rimpang akibat rendahnya bahan aktif karena kadar air yang banyak. Tanaman yang siap panen memiliki daun-daun dan bagian tanaman yang telah menguning dan mengering, memiliki rimpang besar dan berwarna kuning kecoklatan.

Dua kelompok utama pada komposisi rimpang temulawak, yang dari hasil penelitian kedokteran modern diketahui berkhasiat, yaitu zat warna kurkuminoid dan minyak atsiri (Sinambela 1985). Selain itu juga mengandung lemak, protein, selulosa, pati, serta mineral. Kurkuminoid merupakan salah satu senyawa yang

11 mempunyai peran penting terhadap respon biologis pada rimpang temulawak. Terdapat tiga senyawa penting dalam kurkuminoid, yaitu kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bis-desmetoksikurkumin. Senyawa-senyawa lain yang terdapat pada kurkuminoid adalah monometoksikurkumin, oktahidrokurkumin, dihidrokurkumin, heksahidrokurkumin dan senyawa turunan kurkumin. Gambar 1 menunjukkan struktur kurkuminoid.

Gambar 1 Struktur kurkuminoid dari temulawak Keterangan:

R1 R2

-OCH3 -OCH3 = kurkumin

-OCH3 -H = desmetoksikurkumin -H -H = bis-desmetoksikurkumin

Kurkuminoid temulawak mempunyai khasiat sebagai antibakteri dan dapat merangsang dinding kantong empedu untuk mengeluarkan cairan empedu supaya pencernaan lebih sempurna (Darwis et al. 1991). Selain itu temulawak digunakan juga sebagai pengobatan gangguan pada hati atau penyakit kuning, batu empedu, memperlancar aliran air empedu, obat demam dan sembelit, memperlancar keluarnya air susu ibu, obat diare, imflamasi pada anus, gangguan perut karena dingin, dan radang dalam perut atau kulit.

Metode penentuan kandungan kurkuminoid yang biasa digunakan adalah HPLC, tetapi melalui proses yang panjang meliputi penghancuran bahan, pelarutan dan membutuhkan waktu yang lama serta biaya yang mahal. Oleh karena itu diperlukan metode yang dapat digunakan untuk memprediksi kadar kurkuminoid secara cepat dengan biaya yang relatif murah.

Indonesia dengan kondisi iklim dan tanahnya dapat menjadi produsen dan sekaligus pengekspor utama rimpang temulawak dengan syarat produk dan kualitas rimpang memenuhi standar (baik). Kuantitas dan kualitas ini dapat ditingkatkan

OH O R2 OH HO R1

dengan mengubah pola tanam dari tradisional ke modern yang mengikuti cara budidaya temulawak yang benar dalam skala besar.

Jahe

Jahe (Zingiber officinale Roscoe) termasuk dalam suku temu-temuan, sefamili dengan temu-temuan lainnya seperti temulawak, temu hitam, kunyit, kencur, lengkuas dan lain-lain. Jahe dibedakan tiga jenis berdasarkan bentuk, ukuran dan warna rimpang, yaitu : jahe putih kecil (jahe emprit), jahe putih besar (jahe badak), serta jahe merah. Jahe emprit dan jahe merah sering digunakan sebagai bahan obat-obatan karena kandungan minyak atsiri dan oleoresin kedua jenis jahe ini tinggi, sehingga rasanya lebih pedas.

Tanaman jahe diperbanyak dengan rizoma, yaitu batang yang tumbuh dalam tanah. Akar rimpang jahe memiliki dua warna, yaitu pada bagian tengah (hati) berwarna ketuaan dan bagian tepi berwarna agak muda. Pemanenan dilakukan tergantung dari penggunaan jahe. Bila kebutuhan untuk bumbu penyedap masakan, maka tanaman jahe sudah dapat dipanen pada umur kurang lebih 4 bulan dengan cara mematahkan sebagian rimpang dan sisanya dibiarkan sampai tua. Apabila jahe untuk dipasarkan maka jahe dipanen setelah cukup tua antara umur 10-12 bulan, dengan ciri-ciri daun berubah dari hijau menjadi kuning dan batang mengering.

Rimpang jahe mengandung dua bagian utama yaitu minyak volatil dan gingerol. Komponen volatil jahe adalah minyak atsiri yang merupakan senyawa yang memberikan aroma yang khas. Sedangkan gingerol merupakan senyawa yang memberikan rasa pedas. Pembawa rasa pedas pada jahe gingerol merupakan grup alkohol dari oleoresin, sedangkan oleoresin merupakan asosiasi antara resin dengan minyak volatil. Kandungan oleoresin pada jahe berkisar antara 0.4-3.1% tergantung umur panen. Oleoresin banyak terkandung pada jahe berumur 10-12 bulan.

Secara tradisional jahe berfungsi sebagai obat rematik, diare, demam, serta radang. Senyawa aktif jahe adalah gingerol yang merupakan metabolit sekunder

Dokumen terkait