• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu organ yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh adalah limpa. Selain berfungsi sebagai pertahanan dalam melawan mikroorganisme, limpa juga merupakan tempat utama destruksi sel-sel eritrosit tua oleh makrofag dan dapat bereaksi terhadap antigen-antigen yang dibawa dan memfiltrasi darah secara imunologis. Limpa merupakan kelenjar tanpa saluran yang berhubungan erat dengan sistem sirkulasi. Limpa mempunyai dua fungsi yaitu membentuk respon imun melawan antigen yang berada di dalam darah dan membuang bahan partikel dan sel darah yang sudah tua atau rusak, terutama eritrosit dari sirkulasi (Burkittet al ., 1993).

Ukuran dan berat limpa normal tergantung pada kandungan darah di dalamnya. Limpa salah satu organ limfoid terbesar, menerima suplai darah dalam jumlah banyak melalui arteri dan mengalami drainase melalui vena lienalis, yang berlanjut ke dalam sistem portal hati (Burkitt et al ., 1993). Struktur limpa dibungkus oleh kapsula yang terdiri atas jaringan ikat padat yang terkadang membentuk trabekula untuk membagi parenkim atau pulpa limpa menjadi ruang- ruang bersekat, pada permukaan media limpa terdapat hillus (Junqueira dan Carneiro, 1982). Sistim sirkulasi darah pada limpa memiliki implikasi fungsional penting, terutama dengan memperlihatkan rangsangan antigen dan ekstraksi hemoglobin serta zat besi (Hartono, 1989). Limpa menghasilkan limfosit B dan T, serta makrofag yang sangat penting dalam pertahanan tubuh. Limfosit T yang

ditemukan dalam pulpa putih berpoliferasi dan masuk ke aliran darah. Limfosit T berperan dalam mekanisme kekebalan yang diperantarai sel (Binns, 1982).

Penentuan proliferasi limfosit pada organ limpa ini disebabkan organ limpa merupakan organ limfoid sekunder. Organ limfoid sekunder ini memiliki fungsi menangkap dan memperesentasikan antigen dengan efektif, sel B dan sel T sudah dalam keadaan matang sehingga sudah siap untuk berproliferasi dan berdiferensiasi dan merupakan tempat utama produksi antibodi. Organ limpa juga merupakan tempat untuk saringan darah atau mikroba darah dibersihkan dalam limpa dan tempat respon imun utama terhadap antigen asal darah. Oleh karena itu pengujian aktivitas komponen bioaktif secara in vitro dapat dilakukan untuk menguji sifat sitotoksik suatu komponen bioaktif terhadap sel limfosit. Hipotesis tentang pengaruh sitotoksik komponen uji terhadap sel limfosit dapat diberlakukan juga untuk sel normal, sehingga apabila komponen bioaktif yang diberikan ternyata tidak membunuh sel limfosit, dapat disimpulkan bahwa komponen tersebut juga tidak bersifat sitotoksik bagi sel normal. Jika hal ini tercapai, maka bahan bioaktif yang memiliki sifat tersebut merupakan bahan yang potensial untuk dikembangkan sebagai obat bagi penyakit kanker, karena selama ini obat kemoterapi biasanya tidak hanya membunuh sel kanker tetapi juga membunuh sel normal (Meiyanto,et al . 2003).

Hidrolisat enzimatik yang mengandung campuran enzim dan senyawa- senyawa oligomer yang akan digunakan untuk menguji aktivitas proliferasi terhadap sel limfosit dan sel kanker adalah hidrolisat FBS dan EM dengan konsentrasi 0,0085unit/mg kitin. Studi pendahuluan pada enzim yang dihasilkan, hidrolisat-hidrolisat tersebut pada tahap awal telah dilakukan skrining pada beberapa tingkat pengenceran, untuk melihat aktivitas proliferasi terhadap sel limfosit, hasil skrining terhadap hidrolisat tersebut menunjukkan hidrolisat dengan konsentrasi kitin pada 125 g/ml larutan atau 25 g/ml kultur (konsentrasi akhir di dalam tiap sumur microplate ) ternyata telah menunjukkan adanya aktivitas proliferasi yang cukup baik terhadap sel limfosit dibanding penggunaan hidrolisat berkonsentrasi lebih rendah (Wahyuni, 2010). Hal ini sesuai dengan penelitian

Agustine (2005), yang memiliki pengaruh positif terhadap proliferasi limfosit secarain vitro pada konsentrasi oligomer kitin sebesar 125 g/ml.

Konsentrasi tersebut kemudian disesuaikan dengan hasil penentuan LC50 pada konsentrasi 125 g/ml. LC50 pada sampel N-asetilglukosamin, FBS 1% 6J, dan EM 1% 12J, masing-masing memiliki nilai 126 g/ml, 123 g/ml, dan 124 g/ml, contoh penentuan LC50 pada konsentrasi 125 g/ml dapat dilihat pada lampiran 5, hal ini menunjukkan bahwa senyawa tersebut bersifat aktif dan memiliki sifat bioaktifitas tinggi, yang artinya pada konsentrasi yang kecil sudah bersifat toksik dan mematikan terhadap larva udang.

Salah satu parameter untuk melihat aktivitas imunomodulator suatu komponen adalah kemampuan menstimulasi proliferasi sel limfosit. Proses proliferasi pada sel limfosit adalah proses pendewasaan dan perbanyakan sel melalui pembelahan sel atau mitosis. Pengaruh oligomer kitin terhadap proliferasi sel limfosit Limpa tikus pada 2 variasi konsentrasi, dapat dilihat pada Tabel 5. Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan setengah dari konsentrasi target dan kondisi hidrolisat yang diliofilisasi maupun tanpa liofilisasi, hal ini diuji cobakan bertujuan untuk melihat perbandingan dan besar kecilnya pengaruh oligomer hidrolisat kitin terhadap proliferasi limfosit limpa tikus secarain vitro d

Tabel 5. Pengaruh oligomer kitin terhadap proliferasi sel limfosit limpa tikus pada 2 variasi konsentrasi. No Sampel Konsentrasi (µg/ml) Indeks Proliferasi Sel Limfosit (%) 1 N-Asetil Glukosamin 125 73.12ef 2 N-Asetil Glukosamin 62,5 69.89f 3 FBS 1% 6 jam(l) 125 121.51a 4 FBS 1% 6 jam(tl) 125 106.45b 5 FBS 1% 6 jam(l) 62,5 103.23bcd 6 FBS 1% 6 jam(tl) 62,5 80.65d 7 EM 1% 12 jam(l) 125 81.72d 8 EM 1% 12 jam(tl) 125 80.65ed 9 EM 1% 12 jam(l) 62,5 74.55edf 10 EM 1% 12 jam(tl) 62,5 93.55 c

Keterangan :(tl): tanpa liofilisasi atau tanpa proses pemekatan

(l): dengan liofilisasi atau dengan proses pemekatan

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa pemberian oligomer hidrolisat kitin FBS 1% 6 jam dan EM 1% 12 menunjukkan peningkatan yang sangat nyata (P < 0,0001) hal ini berarti minimal ada satu data yang berbeda bermakna atau berbeda secara signifikan terhadap data yang lain. Sehingga dapat dilakukan uji lanjut dengan Uji Duncan untuk melihat perlakuan yang paling berpengaruh, hasil uji lanjut Duncan taraf 1% (Lampiran 6) dibandingkan dengan kontrol. Hasil uji lanjut Duncan taraf 1% menunjukkan bahwa sampel oligomer hidrolisat kitin yang paling berpengaruh adalah sampel FBS 1% dengan liofilisasi pada konsentrasi 125 g/ml, hal ini jelas terlihat pada hasil peningkatan indeks proliferasi limfosit yang diperoleh sebesar 121,51% dibandingkan dengan kontrol, selain sampel tersebut, sampel oligomer kitin yang justru bersifat toksik terhadap sel limfosit, berturut-turut, yaitu N- asetilglukosamin dengan konsentrasi 62,5 g/ml, EM 1%(tl) dengan konsentrasi 62,5 g/ml, FBS 1% 6 jam(tl)dengan konsentrasi 62,5 g/ml, dan EM 1% 12 jam(l)

dengan konsentrasi 125 g/ml, ternyata tidak memacu proliferasi sel limfosit melainkan bersifat sitotoksik atau membunuh sel limfosit. Hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa sampel oligomer hidrolisat kitin FBS yang diproduksi selama 6 jam nampaknya lebih baik menstimulasi proliferasi sel limfosit daripada sampel oligomer hidrolisat kitin EM yang diproduksi selama 12 jam, hal ini kemungkinan disebabkan tiap sampel yang diujikan masing-masing mempunyai aktivitas yang berbeda terhadap masing-masing jenis sel, dan juga kandungan komposisi senyawa oligomer mono dan tetramer pada FBS yang diproduksi selama 6 jam lebih banyak, dibandingkan dengan kandungan komposisi senyawa oligomer mono dan pentamer pada EM yang diproduksi selama 12 jam, selain itu juga pada sampel oligomer hidrolisat kitin EM tersebut tidak memiliki komposisi tetramer seperti pada FBS. Dari tabel 6 tersebut, juga menunjukkan bahwa pemberian sampel dengan setengah konsentrasi target, ternyata dapat pula mempengaruhi peningkatan proliferasi limfosit, hal ini diperkuat dari hasil yang diperoleh pada sampel oligomer FBS 1% 6 jam(l)

dengan konsentrasi 62,5 g/ml dengan indeks proliferasi limfosit sebesar 106,45 g/ml, walaupun peningkatannya tidak begitu signifikan. Tingginya proliferasi

limfosit yang dihasilkan merupakan indikasi kemampuan imunitas sel (Zakaria et a

l , 1997). Indeks stimulasi (IS) yaitu banyaknya garam formazan yang diserap oleh sel yang dikultur dengan stimulan dibandingkan dengan yang dikultur tanpa stimulan (kontrol). Indeks stimulasi yang lebih besar dari satu menunjukkan adanya stimulan yang meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit tikus. Untuk melihat besarnya perbandingan pengaruh oligomer hidrolisat kitin dengan mitogen LPS dan Con-A dapat dilihat pada Gambar 18 berikut.

Gambar 18. Indeks stimulasi proliferasi limfosit tikus secara in vitro e(N-AcG2: N-

asetilglukosamin dengan konsentrasi 125 g/ml, N-AcG1: N-

asetilglukosamin dengan konsentrasi 62,5 g/ml, FBS(l)2 : FBS 1%

liofilisasi dengan konsentrasi 125 g/ml, FBS(tl)2 : FBS 1 tanpa lofilisasi

dengan konsentrasi 125 g/ml, FBS(l)1: FBS 1% liofilisasi dengan

konsentrasi 62,5 g/ml, FBS(tl)1: FBS 1% tanpa liofilisasi dengan

konsentrasi 62,5 g/ml, EM(l)2 : EM 1% liofilisasi dengan konsentrasi

125 g/ml, EM(tl)2 : EM 1% tanpa liofilisasi dengan konsentrasi 125

g/ml, EM(l)1: EM 1% liofilisasi dengan konsentrasi 62,5 g/ml, EM(tl)1:

EM 1% tanpa liofilisasi dengan konsentrasi 62,5 g/ml, K(-) : Kontrol

negatif, LPS : Kontrol positif dengan mitogen LPS,Con A : Kontrol positif dengan mitogen Concavalin A

Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa preparat sampel oligomer hidrolisat kitin mempunyai sifat imunomodulator yang mampu menstimulasi sel limfosit. Peningkatan indeks stimulasi dari sampel oligomer kitin, sebesar 3-22%. Sampel oligomer FBS 1% 6 (enam) jam yang diliofilisasi pada konsentrasi sampel 125 µg/ml memiliki proliferasi limfosit yang tertinggi sebesar 121,51% atau mempunyai nilai indeks stimulasi (IS) 1,22 (peningkatan 22%) hampir setara dengan mitogen LPS yang mempunyai IS 1,28 (peningkatan 28%). Hasil ini

73.12 0,70 1,22 1,06 1,03 0,81 0,82 0,81 0,75 0,94 1,00 1,28 2,87 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 N -A cG 2 N -A cG 1 FB S( L) 2 FB S( tl )2 FB S( L) 1 FB S( tl )1 E M (L )2 E M (t l) 2 E M (L )1 E M (t l) 1 K (- ) (L P S) (Co n A ) In d e k s st im u la si ( % ) Preparat sampel

memberi implikasi bahwa telah terjadi peningkatan jumlah sel sebesar 1,22 kali dari jumlah sel awal 1 x 106 sel/ml. Terjadinya peningkatan kemampuan limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon menunjukkan bahwa sel limfosit mempunyai kemampuan merespon imunologik atau tingkat kekebalan. Senyawa- senyawa oligomer dalam hidrolisat FBS 1%(tl) dengan konsentrasi 125 µg/ml dan

FBS 1%(l) dengan konsentrasi 62,5 µg/ml, masing-masing juga menunjukkan

kemampuan stimulasi proliferasi yang cukup tinggi dibandingkan hidrolisat lainnya yaitu berturut-turut sebesar 106,45% dan 103,23%. Untuk memperjelas profil sel limfosit dari hasil aktivitas stimulasi proliferasi sel limfosit oleh senyawa oligomer dalam hidrolisat FBS 1% 6 jam(l)pada konsentrasi 125 µg/ml dibandingkan dengan aktivitas sitotoksik dari senyawa oligomer campuran dalam hidrolisat EM 1% 12 jam(l) pada konsentrasi 125 µg/ml serta kontrol proliferasi limfosit diperlihatkan pada gambar 19.

Gambar 19. Profil sel limfosit pada pembesaran denganinverted microscope200 kali. (a.

Profil sel LPS setelah inkubasi 3 hari, b. Profil sel tanpa sampel, c. Profil kultur sel limfosit yang mengalami stimulasi proliferasi dari sampel FBS 1%

6 jam(l) (125 µg/ml), d. Profil kultur sel limfosit yang mengalami pengaruh

sitotoksik dari hidrolisat EM 1% 12 jam(l)(125 µg/ml).

c

a

b

Aktivitas immunoenhancing yang tinggi dari sampel FBS 6 jam diduga disebabkan oleh komposisi oligomer tetramer lebih banyak di dalam sampel tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sampel tersebut mampu menstimulasi proliferasi limfosit lebih baik dibandingkan EM 12 jam yang mengandung oligomer pentamer dengan kadar yang lebih rendah.

Hasil penelitian sebelumnya oleh Agustine (2005) menggunakan oligomer kitin yang berasal dari isolatfghillus licheniformis MB-2 memperlihatkan indeks

proliferasi sel limfosit darah sebesar 136% yang setara dengan indeks stimulasi senyawa kontrol positif Con A. Perbedaan dengan hasil penelitian ini selain disebabkan perbedaan isolat sumber enzim kitinase, juga disebabkan oleh waktu reaksi produksi oligomer kitin yang lebih lama, walaupun menggunakan unit enzim yang sama. Penelitian sebelumnya menggunakan waktu reaksi enzim dan substrat selama 3 (tiga) jam sudah mampu menghasilkan komposisi oligomer heksamer yang lebih tinggi, sedangkan penelitian ini menggunakan waktu reaksi enzim dan substrat selama 6 (enam) dan 12 (dua belas) jam hanya mampu menghasilkan oligomer tetramer dan pentamer, waktu reaksi yang diperpendek dan diperpanjang sampai 24 jam tidak menghasilkan oligomer heksamer. Menurut Zhu dan Laine (1997), reaksi antara kitin dengan kitinase pada suhu 45 °C selama empat sampai enam jam akan menghasilkan monomer sampai trimer kitin. Jika laju reaksi degradasi kitin dapat diakselerasi oleh peningkatan suhu, maka dapat diasumsikan bahwa pada suhu yang lebih tinggi, akan lebih banyak dihasilkan produk dengan bobot molekul rendah dibandingkan oligomer. Suhu optimum untuk kitinase Bacillus cereus SW41 adalah 60°C. Oleh karena itu, untuk menghasilkan heksamer kitin secara maksimal, dilakukan inkubasi selama 6 dan 12 jam.

Penelitian-penelitian pada topik ini telah banyak membuktikan bahwa oligomer kitin yang memiliki aktivitas immunoenhancing atau antikanker terbaik adalah heksamer (Tokoro et al., 1986; Kobayashi et al., 1990; Suzuki et al., 1992). Sifat fungsional oligomer kitin dan kitosan membuktikan pengaruh yang sangat besar pada derajat polimerisasi oligomer dengan derajat polimerisasi tinggi dari pentamer sampai heptamer yang memiliki karakteristik yang lebih baik

dibandingkan oligomer dengan fungsionalitas derajat polimerisasi yang relatif rendah (Suzuki, 1996). Wu dan Tsai (2004) melaporkan hidrolisat kitin yang mengandung kitooligomer dengan derajat polimerisasi 1-6 mampu menginduksi proliferasi dan sekresi IgM dari sel hibridoma manusia HB4C5 secara in vi tijk

sedangkan secara in vivo hidrolisat ini mampu meningkatkan sekresi IgG dan IgM.

Kaplanet al (1998) menjelaskan mekanisme stimulasi proliferasi limfosit kemungkinan terjadi karena komponen bioaktif antioksidan yang merangsang sel memproduksi cytokine dan interleukin (IL-2) untuk menginduksi siklus sel dari fase G1(fase sintesis komponen seluler) ke S (fase sintesis DNA), karena proliferasi limfosit tergantung oleh adanya penerimaan sinyal untuk melengkapi transisi pembelahan sel dalam siklus sel. Aktivasi sel limfosit T memerlukan stimulasi cytokine untuk melanjutkan siklus sel dan perkembangan sel pada fase G1 ke S. Menurut Wu dan Meydani (2002) keutuhan membran sel sangat dipengaruhi oleh adanya oksidan dan antioksidan karena sifat makromolekul pada membran yang mudah teroksidasi, yaitu protein dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ). Komponen bioaktif antioksidan dapat melindungi membran sel limfosit dari peroksidasi lipid sehingga meningkatkan kemampuan sel limfosit dari peroksidasi lipid sehingga meningkatkan kemampuan sel limfosit untuk merespon perubahan pada sistem imun.

Perlakuan dengan penambahan mitogen Con-A dan LPS juga memberikan respon kenaikan proliferasi limfosit jika dibandingkan dengan kontrol. Con-A memberikan respon proliferasi lebih baik dibandingkan dengan LPS, dengan indeks proliferasi masing-masing sebesar 128,06% dan 286,69%. Menurut Kresno (1991), stimulasi limfosit oleh mitogen berakibat pada serangkaian reaksi biokimia seperti fosforilasi nukleoprotein, sintesis DNA dan RNA serta peningkatan metabolisme lemak. Perubahan yang terjadi adalah transformasi blast yang ditunjukkan dengan pembesaran limfosit karena nukleus juga membesar, retikulum endoplasmik menjadi kasar dan tubulus mikro jelas, serta kecepatan sintesis DNA meningkatkan menuju mitosis.

Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel baik sel T maupun sel B dalam persentase yang tinggi, aktivasi mitogen adalah tidak spesifik. Mitogen biasa dikenal sebagai aktivator poliklonal karena dapat mengaktivasi banyak klon sel T atau sel B tanpa tergantung pada spesifitas antigennya.

Menurut Herscowitz (1993) mitogen atau antigen tidak spesifik seperti Con-A mempunyai daya mengaktifkan sejumlah besar limfosit-limfosit tanpa memandang reaktifitas antigenik sel-sel yang bersangkutan. Hal ini terjadi karena adanya gangguan pada membran yang diransang oleh ikatan silang makromolekul permukaan tertentu yang meransang limfosit untuk membelah. Mitogen con-A dapat meransang terjadinya transformasi blast subpopulasi sel limfosit T.

Mekanisme umum terjadinya proses proliferasi dapat di duga berdasarkan terikatnya polimer kitin rantai pendek pada reseptor permukaan sel T dan sel B. Pengikatan antigen pada reseptor permukaan sel T bersama interleukin 1(IL-1) dari APC (lmnigenopqsentingrell ) dapat mengaktifasi G-protein yang kemudian

memproduksi fosfolipase C. Enzim ini menghidrolisis fosfatidil inositol bifosfat (PIP2) menjadi produk reaktif diasil gliserol (DAG) dan inositol trifosfat (IP3). Reaksi tersebut berlangsung dalam membran plasma. IP3 kemudian menstimulasi pelepasan Ca2+ke dalam sitoplasma sehingga Ca2+ meningkat. Peningkatan Ca2+ ini berperan penting dalam menstimulasi kerja enzim protein kinase C dan 5- lipoxygenase. Protein kinase C menstimulasi produksi interleukin-2 (IL-2), IL-2 ini kemudian mengaktifasi sel B maupun sel T untuk berproliferasi (Tejasari 2000). Perbandingan hasil penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian lain, dapat dilihat pada tabel 6 berikut:

Tabel 6. Beberapa hasil Penelitian Proliferasi sel Limfosit

No Sampel % proliferasi Referensi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Ekstrak air kayu secang (saesalpinia sappan Linn)

Teh daun cincau (syclea )

Serbuk gel cincau (syclae )

Bunga kumis kucing

(Orthosimphon stamineus benth)

Bungan knop (Gomphrena

globosaL.)

Kacang jogo

Hidrolisat oligomer kitin Hidrolisat kitoligomer kitosan Hidrolisat oligomer kitin (FBS 1% 0,00856 jam) 150 141 122 240 107 137 136 288 122 Puspaningrum 2003 Setiawati 2003 Setiawati 2003 Aquarini 2005 Aquarini 2005 Sirait 2000 Hertriani 2005 Wahyuni 2006 (penelitian ini)

Berdasarkan besarnya % indeks stimulasi dari berbagai bahan alami tersebut, dapat dikatakan bahwa oligomer kitin tidak bersifat toksik terhadap sel. Struktur molekul juga mempengaruhi efektivitas bahan dalam stimulasi proliferasi limfosit. Hal ini dapat terlihat jelas jika oligomer kitosan dibandingkan dengan oligomer kitin. Pada molekul kitosan, selain terdapat monomer glukosamin, juga terdapat gugus amina bebas akibat proses deasetilasi. Keberadaan gugus amina bebas yang bermuatan positif ini membuat kitosan mampu membentuk ikatan ion dengan molekul ion yang bermuatan negatif, misalnya dengan residu protein. Akibatnya, terbentuk kompleks berukuran besar yang sangat mudah dikenal oleh sistem imun. Oleh karena itu, oligomer kitosan memiliki nilai indeks stimulasi yang lebih besar dari oligomer kitin. Bila didasarkan pada komponen aktif di dalam ekstrak air kayu secang, teh daun cincau, serbuk gel cincau, kumis kucing, dan bunga knop, maka pengaruh komponen aktif tersebut terhadap efektivitas stimulasi tidak dapat dibandingkan dengan oligomer kitin, lain halnya dengan

kacang jogo yang komponen aktifnya berasal dari lektin yang terbukti mampu menstimulasi proliferasi limfosit sebesar 137% (Sirait, 2000). Lektin tersebut merupakan protein yang mengikat karbohidrat (glikoprotein), dengan gugus karbohidratnya antara lain manosa, galaktosa, N-asetilglukosamin, N- asetilgalaktosamin, L-fruktosa, dan asam N-asetilneraminat. Terdapat kesamaan antara gugus karbohidrat terikat pada lektin dengan monomer kitin, sehingga aktivitas stimulasi proliferasi limfosit dari oligomer kitin kemungkinan disebabkan oleh unit N-asetil-D-glukosamin di dalamnya.

Berdasarkan hasil-hasil yang telah dilaporkan tersebut, nampak aktivitas proliferasi sel limfosit dari senyawa-senyawa oligomer dalam hidrolisat tertentu cukup baik, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa senyawa-senyawa oligomer dalam hidrolisat yang berasal dari hasil reaksi enzimatik yang menggunakan enzim kitinase dari tucillus cereus SW41 dengan menggunakkan substrat kitin

ternyata tidak bersifat toksik bagi sel limfosit, bahkan mampu memacu proliferasi sel limfosit. Tingginya proliferasi limfosit yang dihasilkan merupakan indikasi kemampuan imunitas sel (Zakaria et al . 1997). Aktifitas senyawa-senyawa oligomer terutama senyawa-senyawa oligomer murni yang ditemukan toksik pada sel limfosit dapat diaplikasikan untuk menghambat proliferasi sel kanker, walaupun model ideal untuk menemukan obat kanker potensial adalah senyawa yang tidak membunuh sel normal tetapi dapat membunuh sel kanker. Dengan dasar hasil tersebut, penelitian ini dilanjutkan untuk mengevaluasi kemungkinan senyawa-senyawa oligomer dalam hidrolisat dan hasil fraksinasi memiliki aktivitas sebagai bahan anti kanker dengan melakukan pengujian pada beberapa galur sel kanker.

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, diajukan beberapa saran berkaitan dengan hasil yang telah diperoleh dari hasil pengujian senyawa-senyawa oligomer dari hidrolisat enzimatik dan hasil fraksinansi terhadap aktifitas proliferasi sel limfosit, yaitu perlu adanya pengujian aktifitas proliferasi sub sel limfosit, misalnya terhadap aktifitas proliferasi sel B, sel TH, sel TC, dan sel NK. Diperlukan juga adanya pengujian aktivitas proliferasi pada sel/sistem imun lain, misalnya terhadap makrofag. Selanjutnya diperlukan klarifikasi sifat sitotoksik

dari senyawa-senyawa oligomer terutama yang telah terfraksinasi dengan menggunakan parameter molekuler seluler, misalnya dengan menganalisis jenis- jenis protein yang terekspresi setelah pemberian senyawa-senyawa oligomer pada sel, sehingga diperoleh kesimpulan pengaruh oligomer terhadap sel limfosit yang cukup akurat.

E. AKTIVITAS SENYAWA-SENYAWA OLIGOMER TERHADAP