• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA A Kitin

D. Limfosit Dalam Sistem Imun

1. Sel Limfosit

Semua sel darah (limfosit, granulosit, eritrosit dan megakariosit) berasal dari sejenis sel (stem cell ) dalam sumsum tulang. Sebagian dari sel-sel limfosit yang baru terbentuk dari "stem cells " akan mengalir menuju kelenjar timus.

Dalam timus sel-sel limfosit ini akan mengalami semacam proses pematangan menjadi sel limfosit yang nantinya akan berfungsi dalam reaksi imunitas seluler (cellular immunity ). Sel limfosit yang telah diproses dalam kelenjar timus ini dinamakan sel limfosit T. Sel limfosit yang tidak mengalami proses pematangan dalam kelenjar timus, mengalami proses pematangan dalam sumsum tulang dan mungkin dalam kelenjar getah bening. Sel-sel yang disebut terakhir ini setelah mengalami proses pematangan akan mempunyai kemampuan untuk membentuk antibodi dalam reaksi imunitas. Sel ini dinamakan sel limfosit B. Sel lomfosit T dan limfosit B yang baru terbentuk akan mengalir dalam pembuluh darah dan pembuluh limfe. Sebagian besar dari sel limfosit (T dan B) akan masuk ke dalam kelenjar getah bening dan menetap sementara di dalamnya, sedang sebagian lain akan meninggalkan kelenjar getah bening dan masuk kembali dalam sirkulasi. Begitu masuk ke dalam kelenjar getah bening sel limfosit ini akan langsung menempati tempat-tempat yang telah ditentukan untuk masing-masing sel T dan sel B. Limfosit B akan masuk ke dalam folikel sedang limfosit T menempati daerah para - cortex dan medulla. Jika ada antigen masuk ke dalam tubuh kita maka limfosit T juga akan bertransformasi menjadi imunoblast. Sedangkan pada limfosit B, rangsangan antigen menyebabkan transformasi sel yang akhirnya menghasilkan sel-sel plasma. Sel plasma inilah yang membentuk antibodi ("reaksi immunitas humoral"). Sel plasma yang merupakan produk akhir dari limfosit B tidak lagi memiliki imunoglobulin pada permukaan selnya. Sel-sel ini juga tidak memiliki reseptor terhadap komplemen, namun sebaliknya ia memiliki imunoglobulin intraseluler (tracytoplasmic iminglouonmbulin ).

Sel limfosit terdiri dari 2 tipe sel yang mampu membuat kekebalan yaitu sel limfosit T, yang berfungsi dalam imunitas seluler, dan sel limfosit B yang berfungsi dalam imunitas humoral (Bellanti, 1993). Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan berdiferensiasi dalam jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10-15%. Setiap sel B memiliki 105 cell ceptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua situs

pengikatan antigen yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein dengan struktur tiga dimensi. BCR dan antibody mengikat antigen dalam bentuk

aslinya. Hal ini membedakan sel B dengan sel T, yang mengikat antigen yang sudah terproses dalam sel (Kresno, 1996).

Sel B dan sel T sama-sama dihasilkan di sumsum tulang, tetapi pada kelanjutannya kedua sel ini berdiferensiasi dan memiliki mekanisme masing- masing dalam melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh. Sel B bereaksi terhadap antigen dengan cara berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi pada permukaan selnya, sehingga antigen terikat pada antibodi tersebut dan terjadi opsonisasi antigen pada permukaan sel B. Berbeda dengan sel B, beberapa sel T bereaksi terhadap antigen dengan berdiferensiasi menjadi sel Th aktif yang menstimulasi produksi antibodi bebas serta mengaktivasi makrofag. Antibodi yang dihasilkan sel T dapat bergerak bebas menghampiri antigen dan mengikatnya. Mekanisme ini digambarkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme perlawanan terhadap antigen oleh limfosit (Roitt dan Delves, 2001).

Penanda permukaan membran atau antigen cluster of differentiation (CD) adalah molekul yang digunakan untuk membedakan sel fungsional yang tidak terdeteksi secara mikroskopis (Decker, 2001). CD ini dibedakan oleh kemampuannya untuk mengikat antibodi yang mengenalinya. Penanda permukaan ini terdapat pada sel limfosit yang sudah matang dan sudah mengalami diferensiasi.

Sel limfosit dapat mengenali suatu antigen secara spesifik dan menerima sinyal untuk berproliferasi. Setelah berikatan dengan antigen, limfosit B akan mengalami proses perkembangan melalui 2 jalur, yaitu (a) berdiferensiasi menjadi

Limfosit B

Antigen

sel plasma yang menghasilkan immunoglobulin, dan (b) membelah lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai sel limfosit B memori. Sel limfosit mampu berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sebuah klon yang terdiri dari sel-sel efektor dengan spesifisitas antigen yang sama (Decker, 2001).

Sel T merupakan bagian dari sel limfosit yang sebagian besar terdapat dalam sirkulasi darah, yaitu sebanyak 65-85%. Sel T terdiri dari tiga subset yaitu sel Tc atau sel sitotoksik, sel Th atau sel T helper dan sel Ts atau sel T

su p p resso

r (Roit dan Delves 2001). Sel Tc berfungsi untuk membunuh sel-sel yang terinfeksi patogen intraseluler, dan sel Th berperan dalam stimulasi sintesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mensekresikan molekul sinyal yang disebut sitokin. Sel Ts mampu menekan aktivitas sel imun. Sel T memiliki molekul T ell igen ceptor (TCR) yang dapat mengenali epitop suatu

antigen melalui kerjasama dengan molekul protein permukaan pada igen

sentingells (APC). Sel T teraktivasi oleh antigen spesifik sehingga

terstimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan berbagai sel T efektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin tersebut berpengaruh pada aktivasi sel B, Tc, dan sel-sel fagositik, sel NK dan sel lain yang terlibat dalam sistem imun (Roitt dan Delves 2001).

Sel natural killer (sel NK) adalah sel limfosit granular yang berukuran besar. Pada manusia normal, sel NK terdapat dalam jumlah 5-15% dari jumlah limfosit darah (Kresno, 1996). Sel ini merupakan garis depan pertahanan tubuh terhadap sel yang terinfeksi virus dan sel tumor. Sel NK memiliki reseptor yang menyerupai lektin, yaitu reseptor yang dapat berikatan dengan senyawa karbohidrat pada sel sasaran sehingga menghasilkan pengiriman sinyal pada sel NK untuk membunuh sel tersebut. Populasi sel (sel NK) dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa sensitisasi terlebih dahulu. Menurut Roitts dan Delves (2001), ketika sel terinfeksi virus atau berubah bentuk menjadi sel yang termutasi, molekul permukaanya berubah. Perubahan ini dikenali oleh sel NK, lalu sel NK membunuh sel tersebut. Sel NK secara fenotip berbeda dengan sel limfosit T maupun sel limfosit B, yaitu tidak memiliki CD3/TCR maupun ace

terinveksi virus menghasilkan interferon yang dapat member isyarat ke sel pada jaringan yang berdekatan. Sel NK diduga dapat mengenali sel tumor atau sel yang terinfeksi virus karena sel sasaran tersebut mengekspresikan molekul glikoprotein pada permukaan sel yang membedakannya dari sel normal. Glikoprotein tersebut kemudian bertindak sebagai lektin yang dapat mengikat sel NK melalui reseptor yang terdapat pada permukaan sel NK sehingga terjadi rangsangan (Kresno, 1996). Sitolisis terhadap sel tumor dapat terjadi karena dilepaskannya faktor sitotoksik, yaitu kondratin sulfat A, yang melindungi sel NK terhadap autolysis oleh substansinya sendiri (Kresno, 1996).