• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR:

Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan

3.3. Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR:

Acuan dasar (1990) : 12,50 persen (KPU, 1990) Saat ini (2009) : 17,90 persen (KPU, 2009)

Sasaran (2015) : Meningkat

Status Saat ini

Salah satu tujuan pembangunan manusia di Indonesia adalah mencapai kesetaraan gender dengan membangun sumber daya manusia, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Berbagai upaya telah dilakukan, terutama dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan, agar setara dengan kaum laki-laki dalam pembangunan.

Di bidang pendidikan, kesetaraan gender telah mencapai kemajuan yang signifi kan. Diukur dengan indeks paritas gender/IPG (Gender Parity Index/GPI) angka parti sipasi murni (APM) atau rasio APM perempuan terhadap laki-laki, kesetaraan gender di bidang pendidikan telah menunjukkan kemajuan yang signifi kan. Dengan menggunakan indikator ini, terlihat bahwa sasaran MDG untuk mencapai kesetaraan gender di bidang pendidikan pada semua jenjang, diperkirakan akan tercapai. Berdasarkan data Susenas dari tahun 1993 sampai 2009, APM baik perempuan maupun laki-laki, pada SD/MI/Paket A sudah mencapai lebih dari 90 persen. Dalam periode yang sama, untuk SMP/MTs/Paket B dan SM/MA/Paket C, APM perempuan dan laki-laki meningkat tajam dengan laju yang hampir sama, dengan IPG berkisar pada angka 100, sementara IPG APM untuk pendidikan ti nggi berfl uktuasi dengan kecenderungan peningkatan yang signifi kan. Gambar 3.1 menunjukkan perkembangan IPG APM dalam kurun waktu tahun 1993-2009. Dalam kurun waktu tersebut IPG APM pada pendidikan dasar dan menengah berkisar pada angka 95-105. Pada tahun 2009, IPG pada SD/MI/Paket A telah mencapai 99,73, pada SMP/MTs/Paket B sebesar 101,99, pada SM/MA/Paket C sebesar 96,16, dan pada pendidikan ti nggi 102,95 (Susenas 2009).

Disparitas antarprovinsi masih merupakan masalah utama, terutama pada ngkat

pendidikan menengah. Data Susenas 2009 menunjukkan bahwa IPG APM pada SD/MI/Paket

A berkisar antara 96,39 (Papua Barat) dan 102,5 (Kepulauan Riau) yang menunjukkan bahwa rasio APM perempuan terhadap laki-laki hampir sama di semua provinsi. IPG pada SMP/MTs/ Paket B berkisar antara 89,54 (Papua) dan 116,17 (Gorontalo), sedangkan pada SM/MA/Paket C berkisar antara 68,60 (Papua Barat) dan 143,22 (Kepulauan Riau). Di beberapa provinsi, IPG melebihi angka 110, yang berarti APM perempuan lebih ti nggi dari APM laki-laki. Untuk ti ngkat SMP/MTs/Paket B, provinsi dengan IPG lebih dari 110 adalah DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Gorontalo (Gambar 3.2). Untuk SM/MA/Paket C, provinsi dengan IPG lebih dari 110 adalah Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Barat (7 provinsi), sedangkan provinsi dengan IPG kurang dari 90 adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, dan Papua Barat

(Gambar 3.3).

Gambar 3.1.

Perkembangan Indeks Paritas

Gender (IPG) Angka Parti sipasi

Murni SD/MI/Paket A, SMP/ MTs/Paket B, SM/MA/Paket C, dan PT, 1993—2009

Sumber:

BPS, Susenas berbagai tahun.

Gambar 3.2.

Indeks Paritas Gender (IPG)

Angka Parti sipasi Murni SD/MI/

Paket A dan SMP/MTs/Paket B, menurut provinsi, tahun 2009

Sumber: BPS,Susenas 2009. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

IPG SD, MI dan Paket A IPG SMP, MTs dan Paket B IPG SM, MA dan Paket C IPG PT

0 20 40 60 80 100 120 Pa p u a Bali Riau La mp u n g Banten Ac eh IND O NE S IA Maluku Jam b i Beng kulu Go ro n ta lo

IPG SD/MI/Paket A IPG SMP/MTs/Paket B

Kep. Bangka Belitung

Kalimantan Tengah Sulawesi Utara Kalimantan Selatan DI Yogyakarta Sumatera Selatan Jawa Tengah Kalimantan Timur

Kalimantan Barat Sulawesi Tengah

Jawa Barat

Sumatera Barat

Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tenggara

Maluku Utara Sulawesi Selatan Papua Barat Sulawesi Barat DKI Jakarta Kepulauan Riau Jawa Timur Sumatera Utara

Angka melek huruf perempuan dan laki-laki kelompok usia 15-24 tahun hampir mencapai sasaran MDG. Pada tahun 2009, IPG nasional untuk melek huruf kelompok usia 15-24 tahun hampir mendekati angka 100, dengan ti ngkat melek huruf pada kelompok perempuan sebesar 99,40 persen dan ti ngkat melek huruf pada laki-laki sebesar 99,55 persen. Namun, di 15 provinsi, ti ngkat melek huruf untuk perempuan dalam kelompok usia ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ti ngkat melek huruf pada laki-laki (Peta 3.1).

Gambar 3.3.

Indeks Paritas Gender (IPG)

Angka Parti sipasi Murni SM/MA/

Paket C, menurut provinsi, tahun 2009

Sumber: BPS, Susenas 2009.

Peta 3.1.

Persebaran angka melek huruf antara laki-laki dan perempuan, usia 15-24 tahun, menurut provinsi, tahun 2009

Sumber: BPS, Susenas 2009.

Di bidang ketenagakerjaan, ngkat par sipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan lebih rendah dibandingkan dengan TPAK laki-laki. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dari tahun 2004 sampai tahun 2009 menunjukkan bahwa TPAK perempuan ti dak menunjukkan peningkatan yang signifi kan, hanya berkisar sekitar 50 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan TPAK laki-laki yang rata-rata 84 persen selama periode yang sama (Gambar 3.4). Hal ini disebabkan oleh lebih banyaknya perempuan yang memilih untuk mengurus rumah tangga jika dibandingkan dengan laki-laki, sehingga perempuan lebih banyak berada di luar angkatan kerja. Sebagai gambaran, pada Agustus 2009, perempuan yang

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Pa p u a Bali Banten La mp u n g IND O NE S IA Ac eh Beng kulu Maluku Go ro n ta lo Jam b i Riau Bangka Belitung Kalimantan Tengah Sulawesi Utara

Kalimantan Selatan Sumatera Selatan

Jawa Tengah

Kalimantan Timur

Kalimantan Barat Sulawesi Tengah

Jawa Barat

Sumatera Barat

Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tenggara

Maluku Utara

Sulawesi Selatan

Papua Barat

Sulawesi Barat

DKI Jakarta Jawa Timur

Sumatera Utara

Nusa Tenggara Timur

DI Yogyakarta

mengurus rumah tangga mencapai sekitar 31,8 juta, sementara laki-laki hanya 1,5 juta orang. Oleh karena itu, TPAK perempuan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki ti dak berarti bahwa kondisi tersebut adalah kondisi yang buruk. Sementara itu, ti ngkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan menunjukkan penurunan yang signifi kan selama periode 2004-2009. TPT perempuan menurun lebih dari 6 persen, dari 14,71 persen pada tahun 2005, menjadi 8,47 persen pada tahun 2009, sementara TPT laki-laki menurun lebih lambat (1,6 persen), yaitu dari 9,29 persen menjadi 7,51 persen, dalam periode yang sama (Gambar 3.5).

Gambar 3.4.

Tingkat Parti sipasi Angkatan

Kerja (TPAK) laki-laki dan perempuan, tahun 2004-2009

Sumber:

BPS, Sakernas berbagai tahun.

Gambar 3.5.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) laki-laki dan perempuan, tahun 2004-2009

Sumber:

BPS, Sakernas berbagai tahun.

Persentase perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian memperlihatkan kecenderungan meningkat. Yang termasuk pekerja upahan di sektor nonpertanian adalah buruh/karyawan/pegawai dan pekerja bebas yang bekerja di lapangan kerja di luar sektor pertanian. Data Sakernas menunjukkan bahwa kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan nonpertanian mengalami peningkatan, dari sebesar 29,02 persen pada tahun 2004 menjadi sebesar 33,45 persen pada tahun 2009. Hal yang sama juga terjadi pada kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan secara total, yang terdiri dari buruh/karyawan/pegawai,

84,94 84,22 83,72 83,47 48,41 48,08 50,25 51,08 83,65 86,03 50,99 49,23 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Laki-Laki Perempuan 9,29 8,52 8,11 7,59 14,71 13,35 10,77 9,69 7,51 8,11 8,47 12,89 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Laki-Laki Perempuan

pekerja bebas, baik di sektor pertanian maupun nonpertanian, yang mengalami peningkatan dari 29,55 persen pada tahun 2004 menjadi 33,35 persen pada tahun 2009. Antara kedua tahun tersebut jumlah buruh/karyawan/pegawai perempuan meningkat dari 7,8 juta menjadi 10,5 juta. Sementara itu, jumlah pekerja bebas perempuan di sektor pertanian meningkat, dari 1,6 juta menjadi 2,1 juta dan di sektor nonpertanian meningkat dari hanya 0,5 juta menjadi 0,9 juta.

Tingkat upah pekerja perempuan telah meningkat, namun diskriminasi upah masih terjadi.

Data Sakernas menunjukkan bahwa dalam periode 2004-2009, upah rata-rata pekerja perempuan yang dikategorikan sebagai buruh/ karyawan/pegawai, meningkat dari Rp 676.611 menjadi Rp 1.098.364. Sementara itu, upah pekerja bebas perempuan di sektor nonpertanian juga meningkat, dari Rp 277.183 menjadi Rp 396.115. Walaupun besaran upah nominal perempuan tersebut meningkat, namun data menunjukkan masih adanya kesenjangan upah yang besar antara perempuan dan laki-laki. Kesenjangan upah terbesar ditunjukkan oleh upah pekerja bebas di sektor nonpertanian, dengan upah rata-rata pekerja perempuan hanya sekitar 54 persen dari upah pekerja laki-laki (Gambar 3.6).

Gambar 3.6.

Upah rata-rata bulanan buruh/ karyawan/pegawai dan pekerja bebas nonpertanian laki-laki dan perempuan

Sumber: BPS, Sakernas berbagai tahun.

Di ngkat nasional, upah bulanan rata-rata pekerja perempuan pada tahun 2009 meningkat 61 persen dibandingkan dengan tahun 2004, namun upah tersebut hanya sebesar 78 persen dari upah pekerja laki-laki. Kesenjangan upah juga terjadi di ti ngkat provinsi, terutama di Nusa Tenggara Barat (Peta 3.2). Di provinsi tersebut upah rata-rata pekerja perempuan hanya 58 persen dari upah pekerja laki-laki. Sementara itu, di Provinsi Sulawesi Utara upah rata-rata pekerja perempuan lebih ti nggi daripada upah pekerja laki-laki.

Kemajuan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan juga diukur berdasarkan proporsi perempuan di lembaga-lembaga publik (legisla f, ekseku f, dan yudika f), yang menunjukkan adanya peningkatan yang cukup berar . Di bidang politi k, kemajuan yang

915 930 1.083 1.166 1.255 1.448 677 824 893 974 1.098 689 540 609 593 633 715 732 277 267 294 337 355 396 -200 400 600 800 1.000 1.200 1.400 1.600 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Upah Rata-rata per bulan (Rp.)

Buruh/karyawan/pegawai laki-laki Buruh/karyawan/pegawai perempuan Pekerja bebas non-pertanian laki-laki Pekerja bebas non-pertanian perempuan

dicapai antara lain adalah dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politi k, disusul dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang tersebut mengamanatkan dengan jelas 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politi k di ti ngkat pusat dan daerah dalam daft ar yang diajukan untuk calon anggota legislati f.

Kuota untuk calon anggota legisla f perempuan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang telah dipenuhi oleh seluruh partai poli k yang mengiku pemilihan umum 2009.

Delapan dari partai-partai tersebut mencalonkan perempuan lebih dari 40 persen untuk posisi calon anggota legislati f. Namun, hasil pemilihan umum 2009 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR hanya sebesar 17,9 persen. Walaupun demikian, persentase tersebut me-ngalami peningkatan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya (11,3 persen pada periode 2004 –2009). Kenaikan persentase keterwakilan perempuan di DPR tersebut merupakan hasil kompeti si tanpa perekayasaan politi k. Selain itu, keterwakilan perempuan di dalam komisi-komisi di DPR RI untuk periode 2009 – 2014 lebih merata. Keterwakilan terti nggi berada di komisi IX yang menangani tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, kesehatan, dan agensi makanan dan obat-obatan; sementara keterwakilan terendah berada di komisi III yang menangani legislasi dan hukum/undang-undang, HAM, dan keamanan. Demikian pula halnya dengan anggota DPD perempuan, yang meningkat dari 19,8 persen pada tahun 2004 menjadi 27,3 persen pada tahun 2009.

Dalam hal pengambilan keputusan, ngkat keikutsertaan perempuan dalam posisi manajemen senior di lembaga-lembaga ekseku f dan yudika f masih rendah. Pada tahun 2008, hanya 8,7 persen posisi senior (Eselon 1) dan 7,1 persen posisi Eselon 2 diisi oleh perempuan. Proporsi perempuan dari jumlah keseluruhan pegawai negeri adalah 44,5 persen. Di ti ngkat provinsi, hanya ada satu wakil gubernur perempuan, sementara di ti ngkat kabupaten, kurang dari 10 perempuan mengisi posisi sebagai walikota/bupati . Data dari kantor Kejaksaan

Peta 3.2.

Persebaran upah rata-rata pekerja perempuan sebagai persentase upah rata-rata pekerja laki-laki, menurut provinsi, Agustus 2009

Sumber:

Agung menunjukkan bahwa 5.490 jaksa penuntut adalah laki-laki, sedangkan perempuan hanya 2.208 orang (40,2 persen), sementara pada Pengadilan Agama terdapat 3.208 hakim laki-laki, dibandingkan dengan 559 hakim perempuan5. Dengan demikian, maka perwakilan perempuan dalam posisi-posisi ini penti ng untuk diti ngkatkan.

Tantangan

Di ti ngkat nasional, upaya peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah menunjukkan kemajuan yang signifi kan, terutama di bidang pendidikan. Namun demikian, tantangan yang masih dihadapi adalah masih ti ngginya kesenjangan gender di ti ngkat provinsi, terutama pada jenjang sekolah menengah, sebagaimana halnya di bidang ketenaga kerjaan, dan parti sipasi perempuan dalam ranah legislati f dan politi k.

Meningkatkan kesetaraan gender di semua jenjang pendidikan di semua provinsi merupakan

tantangan utama dalam pencapaian sasaran gender MDGs bidang pendidikan. Hampir

semua provinsi telah mencapai target IPG APM di semua jenjang pendidikan (SD/MI/Paket A, SMP/MTs/Paket B, dan SM/MA/Paket C), namun di beberapa provinsi masih terdapat kesenjangan IPG APM. Di beberapa provinsi, IPG APM melebihi angka 110, yang berarti APM perempuan lebih ti nggi daripada APM laki-laki. Sementara itu, di beberapa provinsi lainnya, IPG APM tersebut lebih rendah dari 90, yang berarti bahwa APM perempuan lebih rendah daripada APM laki-laki. Terjadinya disparitas IPG APM antarprovinsi dan rendahnya IPG APM di beberapa provinsi tersebut disebabkan oleh banyak faktor, terutama kemiskinan. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi adalah ti dak hanya meningkatkan APM perempuan namun juga laki-laki, tergantung keadaannya. Fokus utama diberikan pada kelompok anak yang berasal dari keluarga miskin, terutama yang berada di wilayah terti nggal dan terpencil, sementara perhati an khusus juga diperlukan untuk daerah yang secara geografi s berbeda dan memiliki karakteristi k serta nilai-nilai budaya yang berbeda.

Melaksanakan penegakan hukum untuk memas kan perlakuan tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pekerjaan dan dalam pekerjaannya merupakan

tantangan utama yang dihadapi di bidang ketenagakerjaan. Indonesia telah memiliki

berbagai perangkat peraturan perundang-undangan untuk memasti kan perlakuan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan. Indonesia telah meratifi kasi Konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan Sama Bagi Buruh Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama melalui Undang-Undang (UU) Nomor 80 Tahun 1957. Konvensi lainnya yang berkaitan dengan ini, yaitu Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, telah diratifi kasi dengan UU Nomor 21 Tahun 1999 dan diti ndaklanjuti dengan dikeluarkannya Panduan Kesempatan dan Perlakuan yang Sama Dalam Pekerjaan di Indonesia

(Equal Employment Opportunity atau EEO) pada tahun 2005. Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga telah menegaskan bahwa seti ap tenaga kerja memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi, baik untuk memperoleh pekerjaan maupun dalam pekerjaannya. Oleh karena itu, diperlukan penegakan hukum dan koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, untuk memasti kan sinergitas peraturan ketenaga kerjaan nasional dengan daerah, serta terlaksananya koordinasi dan pemantauan yang komprehensif untuk menjamin penegakan hukum dan peraturan ketenagakerjaan di ti ngkat provinsi dan kabupaten/kota.

Memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan di tempat kerjanya untuk memas kan hak-haknya terpenuhi. Dalam hal ini perlu diperhati kan bahwa perlindungan kepada pekerja perempuan ini ti dak berujung pada pemberian perlindungan yang berlebihan, sehingga dapat menimbulkan keengganan bagi pemberi kerja untuk mempekerjakan tenaga kerja perempuan. Selain itu, perluasan jaminan sosial bagi pekerja perempuan di sektor informal juga harus menjadi perhati an.

Meningkatkan par sipasi perempuan pada lembaga legisla f dan lembaga-lembaga poli k. Walaupun jumlah calon legislati f perempuan di partai-partai politi k meningkat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 2/2008, namun sebagian besar perempuan kurang memiliki pengetahuan yang memadai dalam bidang politi k dan pengambilan keputusan. Pendidikan politi k yang sensiti f gender, baik untuk calon anggota legislati f laki-laki maupun perempuan, sangat diperlukan. Perlu diperhati kan pula peningkatan parti sipasi perempuan dalam pembuatan keputusan di ti ngkat nasional, provinsi, dan kabupaten. Di samping itu, kurangnya pelati han yang berkualitas dalam bidang hukum dan melek politi k (poli cal literacy) berkontribusi terhadap rendahnya parti sipasi perempuan dalam lembaga-lembaga politi k. Hal ini disebabkan oleh lemahnya perencanaan yang berkaitan dengan masalah-masalah pokok gender yang diselaraskan dengan kebutuhan perempuan di bidang politi k. Perempuan (pemilih dan calon legislati f) hendaknya diberi peluang untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan di bidang politi k, ekonomi, dan sosial.

Kebijakan dan Strategi

Berdasarkan tantangan sebagaimana tersebut di atas, maka kebijakan peningkatan kesetaraan

gender dan pemberdayaan perempuan diarahkan pada: (1) peningkatan kualitas hidup

dan peran perempuan dalam pembangunan, melalui harmonisasi peraturan perundangan dan pelaksanaannya di semua ti ngkat pemerintahan, dengan melibatkan seluruh pemangku kepenti ngan; (2) perlindungan perempuan terhadap berbagai ti ndak kekerasan, melalui upaya-upaya pencegahan, pelayanan, dan pemberdayaan; dan (3) peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan melalui penerapan strategi PUG, termasuk mengintegrasikan perspekti f gender ke dalam siklus perencanaan dan penganggaran di seluruh kementerian dan lembaga. Selain itu, upaya peningkatan kesetaraan gender di semua bidang juga harus sudah mulai mengintegrasikan isu gender ke dalam seluruh strategi bantuan dari masing-masing mitra pembangunan.

Dalam rangka mencapai arah kebijakan tersebut, maka prioritas yang perlu dipilih untuk meningkatkan kesetaraan gender dikelompokkan dalam empat bidang yaitu: (i) pendidikan; (ii) ketenagakerjaan; (iii) poli k, dan (iv) penyelenggaraan pemerintah daerah.