• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Analisis Kadar Air, Kadar Abu, Nitrogen dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 14. Prosedur Analisis Kadar Air, Kadar Abu, Nitrogen dan

a. Kadar Air bahan (AOC, 1984)

Cawan porselen kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit pada suhu 100oC dan dinginkan dalam desikator selama 20 menit. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan porselen yang sebelumnya sudah ditimbang berat. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven lalu dikeringkan pada suhu 100-105oC hingga beratnta konstan selama 6 jam. Cawan dan isinya dimasukkan terlebih dahulu ke dalam desikator sebelum ditimbang kembali. Kadar air dapat diketahui dengan rumus:

b. Kadar Abu

Sampel sebanyak 5 g ditempatkan pada cawan porselen yang telah diketahui beratnya, kemudian angkat dan pijarkan pada suhu 600oC selama 5 jam

sehingga diketahui berat tetapnya, lau dinginkan dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus;

c. Kadar Nitrogen (AOAC, 1984)

Sampel sebanyak 0.25 g dimasukkan ke dalam labu Kjedahl dan ditambahkan 2.5 ml H2SO4 pekat dan 0.25 g selen. Laruran tersebut kemudian

didestruksi hingga jernih. Hasilnya dimasukkan ke dalam labu destilasi dan NaOH 40% sebanyak 15 ml. Selain itu siapkan penampung yang berisi 25 ml HCl 0.02 N dan tetes indicator nitrogen dalam Erlenmeyer 125 ml. Kemudian larutan sample dimasukkan ke dalam labu destilasi ditera sampai 50 ml. Hasil destilasi dititrasi dengan NaOH 0.02 N.

d. Kadar Karbon total

Kadar karbon total dapat doperoleh dengan mengurangi berat kering bahan dengan kadar nitrogen dan kadar abu dibagi 1.82. (1.82 adalah faktor OH-)

BIOREMEDIASI LAHAN TERCEMAR PROFENOFOS

SECARA EX-SITU DENGAN CARA PENGOMPOSAN

NUR INDRAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

ABSTRACT

NUR INDRAYANI. Ex-situ bioremediation of profenofos-contaminated soil with composting. Under the direction of NASTITI SISWI INDRASTI, MOH.YANI and M. AHKAM SUBROTO

Pesticide have significantly increased agricultural yields while impacting detrimentally on the food chain of wildlife and human. Composting bioremediation strategy relies on mixing the primary ingredients of composting with contaminated soil, wherein as the compost matures, the pollutant will be degraded by the active microorganisms within the mixture. Composting is a relatively new clean-up strategy and because of this, there are a limited number of studies.

This study was carried out to determine the concentration of profenofos decomposition rate of profenofos-contaminated soil composted with agricultural wastes (such as saw dust, carrot leaves, beef manure). The mixed of them was based on C/N ratio 40, 35 and 30. The degradation of profenofos was measured during the composting. The composting with C/N ratio 30 mineralized profenofos rapidly than the others after 28 days of composting (98% of profenofos). Bioremediation could be increased the crop yield compared to unbioremediated soil.

Some kinds of bacteria have been isolated from the compost mixture. Three of them were able to grow in solid medium containing 1500 ppm of profenofos. The ability to degradate the profenofos was tested in mineral salt peptone yeast (MSPY) medium by changing from opaque medium to clear medium. It’s ability was indicated by the formation of clear zones surrounding the bacteria.

Keywords: bioremediation, profenofos, contaminated soil, composting

RINGKASAN

NUR INDRAYANI. Bioremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ

dengan cara pengomposan. Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI, MOH. YANI DAN M. AHKAM SUBROTO

Pestisida secara signifikan mampu meningkatkan produksi pertanian meskipun di sisi lain mengakibatkan terganggunya rantai makanan hewan dan manusia. Teknik bioremediasi dengan cara pengomposan yaitu dengan mencampur bahan utama pengomposan dengan tanah tercemar, dimana saat kompos matang akan terjadi degradasi polutan oleh mikroorganisme yang aktif di dalam campuran kompos tersebut. Pengomposan merupakan teknik bioremediasi yang relatif masih baru sehingga penelitian mengenai hal tersebut masih terbatas.

Penelitian ini ber tujuan untuk menentukan laju penurunan konsentrasi profenofos selama proses pengomposan tanah tercemar profenofos dengan sisa- sisa pertanian (serbuk gergaji, daun wortel, kotoran sapi). Campuran bahan-bahan tersebut dibedakan berdasarkan C/N rasio 40, 35, 30. Pengomposan dengan C/N rasio 30 mampu mendegradasi profenofos lebih cepat selama 28 hari dibandingkan dengan campuran yang lain (98% dari konsentrasi awal). Bioremediasi dapat meningkatkan produksi tanaman dibandingkan dengan tanah yang belum dibioremediasi.

Beberapa bakteri berhasil diisolasi dari campuran kompos. Tiga jenis bakteri mampu tumbuh pada media NA yang mengandung profenofos 1500 ppm. Kemampuan bakteri-bakteri tersebut dalam mendegradasi profenofos diuji dengan menumbuhkannya pada media MSPY. Kemampuan mendegradasi ditunjukkan dengan terbentuknya zona jernih di sekitar bakteri tersebut.

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah -Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Bioremediasi Lahan Tercemar Pestisida Secara E x-Situ dengan Cara Pengomposan”. Penulis mengucapkan apresiasi dan terimakasih kepada:

1. Dr.Ir.Nastiti Siswi Indrasti selaku ketua komisi pembimbing 2. Dr.Ir.Mohamad Yani, M.Eng selaku anggota komisi pembimbing

3. Bapak Dr.Ir.Muhamad Ahkam Subroto, M.App.Sc.APU selaku anggota komisi pembimbing dan yang telah menfasilitasi dana penelitian dalam Proyek Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Lingkungan melalui Sistem Bioremediasi, Puslit Biotek LIPI-Cibinong.

4. Dr.Ir. Catur Herison, M.Sc. selaku dosen penguji luar komisi.

5. Dr.Ir.Surjono H. Sutjahjo, M.Si selaku ketua program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.

6. Dr.Ir.Etty Riani, MS selaku sekretris eksekutif program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.

7. Kedua orang tua tercinta dan keluarga yang selalu mengiringi penulis dengan do’a tulus. Terimakasih kepada teman-teman penulis semua.

8. Bapak Mulyadi selaku kepala Agropolitan Pacet, Kab. Cianjur dan keluarga serta terimaksih kepada rekan-rekan di Agropolitan Pacet.

9. Dr.Asep Nugraha Ardiwinata, M.Si sebagai kepala Laboratorium BB- BIOGEN

10.M’ Ririn, M’ Suli dan M’ Herlin yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi di PSL.

11.Jumbriah, M.Si selaku rekan penelitian. Staff Laboratorium Bioproses IV Bioteknologi LIPI-Cibinong, Bustanussalam, S.Si. Fauzi Rachman. S.Si. Yatri Hapsari, S.Si. Yoice Srikandace, S.Si, Mas Yadi, Indra dan Aril. Staff BB- BIOGEN Cimanggu Pak Eman, Pak Cahyadi dan Pak Mulyadi

Penulis menyadari, tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga masukan dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Agustus, 2006

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR ... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 2 1.3. Kerangka Pemikiran ... 4 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5 1.5. Hipotesis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pestisida dan Degradasi Pestisida ... 7 2.2. Profenofos dan Degradasi Profenofos... 11

2.2.1. Sifat Kimia Profenofos... 11 2.2.2. Degradasi Profenofos ... 12 a. Persisten... 14 b. Mobilitas ... 15 c. Akumulasi ... 16 2.3. Bioremediasi ... 16 2.4. Pengomposan ... 18

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 22 3.2. Alat dan Bahan ... 22 3.2.1. Alat ... 22 3.2.2. Bahan... 22 3.3. Desain Penelitian ... 23 3.4. Pen golahan Data... 26 3.4.1. Rancangan Percobaan ... 26 3.4.2. Penurunan Profenofos Selama Pengomposan ... 27 3.4.3. Analisis Residu Profenofos... 28 3.4.4. Analisis Mikroba... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian ... 30 4.2. Proses Pengomposan ... 35 4.3. Uji Pertumbuhan Tanaman Bayam Jepang ... 52 4.4. Isolasi dan Uji Kemampuan Bakteri dalam Mendegradasi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan ... 59 5.2Saran... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Persistensi beberapa pestisida di tanah ... 8 Tabel 2. Ringkasan Degradasi Profenofos... 15 Tabel 3. Komposisi Sel Mikroba... 17 Tabel 4. Sampling dan Parameter yang diamati... 25 Tabel 5. Standar Mutu Kompos ... 27 Tabel 6. Residu Pestisida di Lahan Pertanian Hortikultura Kecamatan

Dramaga, Ciawi, Cisarua dan Pacet ... 31 Tabel 5. Komoditas Unggulan Kecamatan di Kabupaten Cianjur... 27 Tabel 7. Analisis Kimia Tanah Kawasan P ertanian Cipatat Cianjur ... 32 Tabel 8. Komoditas Unggulan Kecamatan di Kabupaten Cianjur... 34 Tabel 9. Rasio C/N dan Kadar Air Bahan-bahan Pengomposan... 35 Tabel 10. Hasil analisis Proses Pengomposan ... 40 Tabel 11. Perbandingan mutu kompos dengan Standar Mutu Kompos... 52 Tabel 12. Bobot Biomassa Tanaman Bayam Jepang (Horingso) ... 55

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Diagram Alir Kerangka B erfikir ... 5 Gambar 2. Peluang Perubahan Keberadaan Polutan Organik di Tanah ... 9 Gambar 3. Rumus Bangun Profenofos ... 11 Gambar 4. Pathway Metabolit Profenofos... 13 Gambar 5. Diagram Tahapan Penelitian ... 24 Gambar 6. Bak Proses Pengomposan ... 26 Gambar 7. Peta Lokasi dan Peta Tanah Lokasi Penelitian... 32 Gambar 8. Grafik Suhu dan pH Selama Proses Pengomposan... 36 Gambar 9. Penurunan Residu Profenofos Selama Proses Pengomposan .... 41 Gambar 10. Pertumbuhan B akteri dan Penurunan Residu Profenofos

Selama Pengomposan... 43 Gambar 11. Hubungan Laju Pertumbuhan dan Aktivitas Bakteri

Terhadap Laju Konsentrasi Residu Profenofos... 44 Gambar 12. Aktivitas Bakteri dan Penurunan Residu Profenofos Selama

Pengomposan ... 48 Gambar 13. Pertumbuhan Benih Bayam Jepang (Horingso) di Green

House Selama 17 hari ... 53 Gambar 14. Pertumbuhan Tanaman Bayam Jepang (Horingso) di

Lapangan ... 54 Gambar 15. Bobot Tanaman Uji Bayam Jepang (Horingso) di Green

House dan di L apangan ... 54 Gambar 16. Isolat Bakteri dari Campuran Pengomposan ... 56 Gambar 17. Pertumbuhan Isolat Pada Media Adaptasi pada 500, 750,

1000 dan 1500 ppm Profenofos ... 57 Gambar 18. Pengujian Kemampuan Degradasi Profenofos pada

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Komposis i Bahan-bahan Pengomposan ... 63 Lampiran 2. Campuran bahan -bahan pengomposan ... 64 Lampiran 3. Analisis Residu Profenofos... 65 Lampiran 4. Analisis Biomassa Benih Tanaman Bayam Jepang... 66 Lampiran 5. Analisis biomassa Tanaman Bayam Jepang Hari ke-40... 67 Lampiran 6. Analisis Suhu Tertinggi Selama Pengomposan ... 68 Lampiran 7. Analisis pH akhir Pengomposan ... 69 Lampiran 8. Analisis C/N rasio Akhir Pengomposan ... 70 Lampiran 9. Kurva standar Analisis Mikroba dengan Spektrofotometri

Pada panjang Gelombang (λ) 490 nm... 71 Lampiran 10. Analisis Aktivitas mikroba dengan spektrofotometri pada

panjang gelombang (λ) 490 nm ... 72 Lampiran 11. Pengamatan Suhu Harian Selama Proses Pengomposan ... 73 Lampiran 12. Prosedur Analisis Residu Profenofos... 74 Lampiran 13. Prosedur Analisis Mikroba... 75 Lampiran 14. Prosedur Analisis Kadar Air, Kadar Abu, Nitrogen dan

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Polusi tanah merupakan permasalahan yang kini d ihadapi negara-negara agraris, termasuk Indonesia. Tanpa disadari sebenarnya agrokultur sendiri merupakan sumber terbesar penyebab tercemarnya tanah dan hilangnya produktivitas tanah. Pemakaian pupuk kimia dan pestisida dalam jumlah besar menimbulkan pencemaran, baik tanah maupun air tanah, dengan kadar racun yang beranekaragam. Degradasi tanah pertanian sudah makin parah dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia lainnya dalam waktu yang cukup lama. Padahal untuk mengembalikan kesuburan tanah, memerlukan waktu bertahun-tahun. Sementara itu, manusia hanya memerlukan beberapa tahun untuk merusaknya. Hal ini bisa dilihat dari tanah pertanian di Indonesia yang semakin lama semakin menurun produktivitasnya disebabkan mulai hilangnya kemampuan tanah untuk memproduksi nutrisi. Salah satu penyebab menurunnya produktivitas pertanian Indonesia berdasarkan kajian Bappenas adalah berkurangnya lahan pertanian di Indonesia akibat erosi, residu bahan kimia seperti herbisida dan pestisida. Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan tidak seimbangnya antara kebutuhan dan ketersediaan pangan nasional di masa yang akan datang.

Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang diperkirakan pada tahun 2035 akan bertambah menjadi dua kali lipat dari jumlah saat ini atau menjadi 400 juta jiwa. Selain itu, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat terjadi pula peningkatan konsumsi perkapita untuk berbagai jenis pangan, akibatnya dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari 2 kali lipat jumlah kebutuhan saat ini. Hal ini telah memunculkan kerisauan akan terjadinya keadaan “rawan pangan” di masa yang akan datang (Djakapermana, 2003). Kenyataanya tercatat, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta (Yudohusodo dalam Djakapermana, 2003). Berdasarkan kenyataan tersebut pemerintah telah mengembangkan program

pertanian intensif sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi pertanian. Volume pemakaian pestisida oleh petani terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan produksi hasil pertanian.

Menurut data dari Komisi Pestisida Indonesia pada tahun 2003 terdapat 152 perusahaan produsen formula pestisida dengan 813 merek dagang terdiri dari 97% pestisida sintetis dan 3% pestisida alami. Sejak penemuan DDT pada tahun 1874 dan bubur bordeox pada tahun 1882 menawarkan alternatif solusi bagi pengusaha tani, pestisida sintetis telah diterima sebagai solusi pengendalian hama sehingga penggunaannya semakin meluas di kalangan petani.

Pencemaran lahan oleh pestisida tersebut harus segera diatasi. Alternatif penanganan yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk mendegradasi pestisida tersebut atau disebut bioremediasi. Kelebihan bioremediasi adalah lebih efek tif dan ekonomis untuk mendegradasi polutan - polutan organik, sehingga saat ini menjadi pilihan bagi banyak industri dan lembaga penelitian. Bioremediasi dengan cara pengomposan belum banyak dilakukan di Indonesia sehingga perlu dikembangkan. Hal ini sebag ai upaya mengurangi lahan tercemar pestisida yang sudah sangat meluas di Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Penggunaan pestisida secara terus -menerus dan berlebihan menimbulkan masalah lingkungan seperti tanah tercemar dan menjadi keras. Salah jenis pestisida yang familiar di kalangan petani hortikultur sebagai pemberantas hama insekta adalah curacron. Curacron merupakan pestisida golongan organofosfat berbahan aktif profenofos yang mempunyai spektrum luas dan bersifat toksik, jika masuk ke rantai makanan ak an meningkatkan toksisitasnya sehingga membahayakan bagi manusia.

Salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan pertanian adalah cemaran bahan kimia di tanah. Cemaran tersebut akan terakumulasi di tanah dan diserap oleh tanaman. Berdasarkan data pertanian dan perkebunan Cianjur 2005, jenis pestisida yang umum digunakan petani diantaranya adalah curacron dan dursban. Kebiasaan petani yang senantiasa mengganti dursban dengan curacron karena alasan lebih murah dan ampuh, menyebabkan volume pemakaian curacron

tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Fuad 2005, residu profenofos pada sayuran di berbagai daerah pertanian di Jawa Barat sudah melewati ambang batas yang ditetapkan oleh WHO yaitu 0.005 ppm. Residu profenofos pada sayuran di mencapai 0.0068 ppm. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka diduga residu profenofos di tanah pertanian tersebut juga tinggi. Residu profenofos tersebut jika dibiarkan dalam waktu yang lama akan merusak tanah pertanian dan menyebabkan tanah menjadi kurang/tidak produktif lagi. Bioremediasi tanah tercemar pestisida perlu dilakukan sebagai upaya mencari solusi menangani dan mengurangi luas lahan yang tercemar pestisida.

Upaya yang sudah dilakukan petani untuk mengatasi pencemaran lahan pertanian mereka adalah mencampurkan kotoran sap i dan tanah sebelum lahan ditanami kembali, dan dibiarkan selama 6 minggu. Perlakuan ini lama dan diduga tidak efektif menurunkan cemaran pestisida.

Meskipun mekanisme degradasi sebagian besar pestisida oleh mikroba tanah telah diketahui, namun mekanisme degradasi selama proses pengomposan belum terungkap dengan jelas (Reddy dan Michel, 1999). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan studi degradasi pestisida selama proses pengomposan untuk mengetahui laju degradasi konsentrasi residu pestisida (pro fenofos) selama proses pengomposan. Bioremediasi dengan strategi pengomposan dapat dilakukan menggunakan bahan-bahan sisa pertanian, kotoran hewan (misal kotoran kuda, sapi, domba, ayam), lumpur aktif, jerami, serbuk gergaji, gambut (Bernier et al. 1997) dengan memperhatikan C/N rasio campuran. Jika bahan -bahan tersebut diinkubasi dengan tanah tercemar pestisida maka akan terjadi proses penguraian bahan organik secara eksotermik oleh sekelompok mikroba pada suhu tinggi (thermophilic phase) dan proses ini disebut pengomposan.

Selama proses pengomposan akan terjadi degradasi bahan -bahan organik oleh bakteri yang ada di dalam campuran kompos. Penelitian mengenai bioremediasi dengan teknologi pengomposan saat ini mulai berkembang di beberapa negara, termasuk Indonesia. Penelitian bioremediasi pengomposan perlu terus dilakukan dan hasilnya diaplikasikan pada lahan tercemar pestisida yang semakin meluas di Indonesia dan negara berkembang lainnya.

1.3Kerangka Pemikiran

Penggunaan pestisida yang meningkat dan intensif pada usaha pertanian di Indonesia merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Namun, pada akhirnya residu pestisida tersebut tidak saja terakumulasi pada produk pertanian tetapi juga akan terakumulasi di dalam tanah sehingga menyebabkan tanah menjadi tidak subur bahkan tidak produktif lagi untuk ditanami. Lahan pertanian tercemar pestisida tersebut harus segera ditangani agar pencemaran tidak semakin meluas dan lahan bisa kembali produktif.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi lah an tercemar pestisida. Salah satu penanganan lahan tercemar pestisida tersebut bisa dilakukan dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme yang mampu mendegradasi pestisida (bioremediasi). Bioremediasi dengan strategi pengomposan diperkirakan lebih efektif karena keanekaragaman bakteri yang mampu melakukan co-metabolisme terhadap pestisida tersebut. Selain itu pengomposan lebih mudah dilakukan dan murah. Diagram alir kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

Bioremediasi dapat dilakukan langsung pada lah an yang tercemar (in situ) atau dilakukan di luar lingkungan yang tercemar dengan membuat lingkungan baru berupa bioreaktor yang dikondisikan menggunakan inokulan yang mampu mendegradasi kontaminan organik (ex situ) (Vidali, 2001). Selanjutnya Vidali (2001) menjelaskan bahwa teknik bioremediasi meliputi: biostimulasi, bioaugmentasi, biofilter, bioreaktor, bioslurry, bioventing, pengomposan dan landfarming.

Bioremediasi ini dapat dilakukan jika tanah terkontaminasi pestisida tersebut mengandung mikroba-mikroba indigen yang mampu hidup dan telah beradaptasi dengan kontaminan pestisida yang ada di lahan tersebut. Bioremediasi menggunakan mikroba indigen memerlukan waktu yang lama, sehingga bisa menjadi kendala dalam upaya pemulihan lahan. Sebagai alternatif, bioremediasi dengan teknologi pengomposan dapat digunakan karena memiliki keunggulan-keunggulan: keanekaragaman mikroba yang tinggi sehingga kemampuan mendegradasi polutan juga tinggi karena terjadi co-metabolisme, suhu yang tinggi saat pengomposan memungkinkan reaksi biokimia yang lebih cepat dan pestisida menjadi lebih mudah terdegradasi. Selain itu pengomposan

Penggunaan Pestisida Secara intensif Lahan pertanian Tercemar pestisida Bioremediasai (Pengomposan) Analisis Residu Pestisida Analisis Kompos Produksi Pertanian Meningkat Produksi Pertanian Menurun Pasca Bioremediasi

Uji Toksisitas Kompos

lebih mudah diaplikasikan dan bahan -bahan yang digunakan banyak tersedia di sekitar masyarakat.

Gambar 1. Diagram Kerangka Berfikir

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengukur laju degradasi profenofos pada perlakuan C/N rasio selama proses pengomposan.

2. Menguji pertumbuhan tanaman hortikultura pada tanah yang telah diremediasi.

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh C/N rasio terhadap laju degradasi profenofos selama proses pengomposan.

2. Mengetahui pertumbuhan tanaman pada lahan yang telah diremediasi. 3. Mengetahui bakteri yang berperan dalam degradasi profenofos.

4. Memberikan masukan kepada petani, Pemerintahan Daerah, Dinas Pertanian, LSM atau produsen pestisida dalam upaya mengatasi lahan tercemar pestisida.

1.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Rasio C/N campuran bahan -bahan pengomposan akan berpengaruh terhadap laju degradasi profenofos.

2. Bioremediasi lahan tercemar profenofos berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

3. Campuran pengomposan mengandung bakteri yang berperan dalam degradasi residu profenofos.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida dan Degradasi Pestisida

Pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama, berasal dari kata pest (hama) dan cide (pembunuh). Pestisida mencakup bahan -bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad hidup merugikan manusia, tumbuhan, dan ternak yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, agar gangguan dan kerugian dapat ditekan seminimal mungkin (Tarumingkeng, 1992). Menurut Peraturan Pemerintah RI No.7 tahun 1973 tentang pengawasan dan peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain yang digunakan untuk memberantas dan mencegah hama serta penyakit yang merusak tanaman, memberantas gulma, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.

Tarumingkeng (1992) menyebutkan bahwa, berbagai pestisida yang dikenal terutama dalam bidang pertanian, kesehatan masyarakat dan kesehatan veteriner adalah: insektisida (racun serangga), fungisida (racun cendawan/jamur), herbisida (racun gulma), akarisida (racun tungau), rodentisida (racun binatang pengerat), nematisida (racun nematoda), helmintisida (racun pembunuh cacing) dan termitisida (insektisida pembunuh rayap).

Pestisida yang digunakan pada awalnya ditargetkan pada objek seperti populasi serangga dan tanaman tertentu, tetapi pada aplikasinya sebagian besar pestisida akan jatuh ke tanah. Banyak faktor yang mempengaruhi deposit pestisida dalam tanah yaitu: kemampuan absorbsi pestisida oleh partikel-partikel tanah dan bahan organik, pencucian oleh air hujan, penguapan, degradasi atau aktivasi oleh jasad renik dalam tanah, dekomposisi fisikokimia maupun aktivasi yang terjadi akibat kondisi komponen -komponen tanah yang bersifat katalisator, dekomposisi oleh cahaya matahari (photo decomposition) dan translokasi melalui sistem hayati baik tanaman maupun hewan ke lingkungan yang lain. Namun yang terpenting adalah sifat dari pestisida itu sendiri. Sifat-sifat seperti daya larut dalam air, polaritas (yang menentukan sifat lipofilik pestisida), daya menguap serta sifat reaktivitas dan stabilitas kimia pestisida merupakan sifat yang penting dalam menentukan persistensi pestisida. Selanjutnya Tarumingkeng (1992) menjelaskan

bahwa sifat pestisida yang sukar larut dalam air dan sulit menguap merupakan faktor utama banyaknya terdapat deposit pestisida di tanah. Sebagian besar pestisida hidrokarbon berklor seperti DDT, BHC, klordan, dieldrin dan heptaklor pada umumnya stabil dan persisten di dalam tanah.

Mengapa pestisida cenderung menumpuk pada lapisan tanah bagian atas, belum jelas sekali. Namun ada asumsi yang dapat dipegang adalah bahwa terdapat dua lapisan tanah, bagian atas yang banyak mengandung bahan organik dan lapisan bawahnya yang banyak mengandung bahan anorganik. Cookson (1995) menyatakan jenis pestisida tertentu akan tetap terdeteksi di tanah pada waktu cukup lama (Tabel 1)

Tabel 1. Persistensi Beberapa Pestisida di Tanah

Bahan Lama Tinggal Waktu Paruh Chlordane 21 tahun 2-4 tahun DDT 24 tahun 3-10 tahun Dieldrin 21 tahun 1-7 tahun Heptachlor 16 tahun 7-12 tahun Toxophene 10 minggu 10 tahun

Dalapon - -

DDVP - 17 hari

Methyldemeton S - 26 hari

Thimet - 2 hari

Sumber: Alexander, 1977 dalam Cookson, 1995

Sebelum membahas tentang degradasi pestisida perlu diketahui bagaimana nasib dari polutant organik saat berhubungan dengan tanah secara umum (Gambar 2). Polutan organik yang masuk ke dalam tanah akan mengalami volatilisasi ke udara, biodegradasi, transfer ke dalam tubuh organisme, terikat ke dalam tanah dan mengalami leaching ke dalam air tanah. Nasib polutan organik di tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya karakteristik tanah, jenis bahan kimia, suhu dan presipitasi. Tingkat persisten polutan organik berhubungan dengan sifat hidrophobik bahan tersebut. Polutan organik di tanah umumnya berkurang secara cepat pada tahap awal yang singkat dan berlanjut secara lambat

Dokumen terkait