• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Proses Pengomposan

Proses pengomposan pada penelitian ini dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan kotoran sapi, daun wortel, serbuk gergaji dan tanah terkontaminasi profenofos dengan komposisi campuran bahan seperti pada Lampiran 1.

Campuran tersebut dibedakan berdasarkan nilai C/N rasio. Hasil analisis C/N dan kadar air masing-masing bahan tersebut disajikan pada Tabel 9. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui nilai C/N yang palin g efektif berpengaruh pada penurunan residu profenofos.

Tabel 9. Rasio C/N dan Kadar Air Bahan -bahan Pengomposan

Bahan %C %N %Kadar Air

Daun Wortel 39.03 1.90 30 Kotoran sapi 34.66 1.40 85 Serbuk Gergaji 55.00 0.11 10

Tanah 2.44 0.20 25

Menurut CPIS (1992), C/N merupakan faktor utama pengomposan. Hal ini karena proses pengomposan dikendalikan oleh kegiatan bakteri yang memanfaatkan karbon sebagai sumber energi dan pembentukan sel bersamaan dengan nitrogen. Bakteri dalam pertumbuhan dan aktivitasnya dipengaruhi oleh suhu dan pH. Oleh karena itu suhu dan pH sangat penting diperhatikan selama proses pengomposan. Moser (2000) menyatakan suhu akan mencapai 20-65oC saat proses pencampuran bahan -bahan kompos. Jika suhu kurang dari 20oC maka proses akan berjalan lambat dan jika lebih dari 65oC menyebabkan banyak bakteri yang mati. Moser menambahkan suhu yang disarankan pada kisaran 35-55oC.

Gambar 8 menggambarkan perubahan suhu dan nilai pH selama proses pengomposan. Suhu kontrol 1(a) mengikuti suhu ruan g yaitu 19.6-23.4oC. Suhu kontrol 2 (b) meningkat sejak awal hanya sampai 29.1oC pada hari ke-10 selanjutnya menurun mendekati suhu ruang. Suhu pada perlakuan C/N 30 (c) meningkat sejak awal mencapai 40.6 oC pada hari ke-8 selanjutnya turun perlahan mendekati suhu ruang pada hari ke-35. Suhu pada perlakuan C/N 35 (d) meningkat sejak awal mencapai 31.7 pada hari ke-10 selanjutnya menurun mendekati suhu ruang. Suhu pada perlakuan C/N 40 (e) meningkat sejak awal mencapai 28.0 pada hari ke-10 selanjutnya menurun dan meningkat kembali 27.3 pada hari ke-21 dan selanjutnya menurun mendekati suhu ruang. Selama proses pengomposan pada semua perlakuan suhu cenderung meningkat sejak awal sampai minggu ke dua. Penurunan suhu secara umum terjadi pada hari ke 22.

a 5 15 25 35 45 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 hari ke- suhu ( 0C) 0 2 4 6 8 10 pH b 5 15 25 35 45 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 hari ke- suhu ( 0C) 0 2 4 6 8 10 pH c 5 15 25 35 45 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 hari ke- suhu ( 0C) 0 2 4 6 8 10 pH d 5 15 25 35 45 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 hari ke- suhu ( 0C) 0 2 4 6 8 10 pH e 5 15 25 35 45 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 hari ke- suhu ( 0C) 0 2 4 6 8 10 pH

suhu pH pengadukan sampling

Gambar 8 Perubahan suhu dan pH campuran selama proses pengomposan

Selama proses pengomposan dilakukan pembalikan setiap minggu sore (? ), namun hal ini tidak mempengaruhi suhu pengomposan. Hal ini disebabkan suhu campuran yang merata. Suhu pengomposan mendekati suhu kamar (suhu sekitar penelitian 19-23oC) pada hari ke 31-35 dengan kisaran suhu 21-22.9oC. Setelah mengalami peningkatan suhu (pada penelitian ini hanya tercapai fase mesofilik) campuran menjadi padat/kompak dan aerasi menjadi berkurang sehingga terjadi penurunan suhu yang mengakibatkan aktivitas enzim berkurang. Pada tahap ini campuran berada dalam tahap pematangan.

Dari peningkatan suhu, tertinggi pada pengomposan C/N 30 (Gambar 6c). Hal ini disebabkan oleh karena nilai C/N campuran mendukung untuk kegiatan bakteri. Pada C/N 30 komposisi campuran bahan teridiri dari: tanah + serbuk gergaji 628.27 Kg, kotoran sapi 317.04 Kg dan daun wortel 54.68 Kg. Komposisi ini jika dibandingkan dengan perlakuan lain mengandung biowaste lebih banyak (Lampiran 2). Suhu yang tinggi pada pengomposan menyebabkan perubahan C/N yang rasio juga tinggi jika dibandingkan dengan kontrol 1 dan 2 (Tabel 10)

Nilai pH tanah sebagai bahan utama pada pengomposan ini rendah. Nilai pH kontrol sampai akhir penelitian berkisar 5.27-5.79 (Gambar 6a (?)). Pada semua perlakuan menunjukkan nilai pH yang rendah di awal proses pengomposan. Rendahnya nilai pH pada awal pengomposan menunjukkan terbentuknya asam-asam organik hasil dari penguraian bahan organik (karbohidrat) menjadi asam laktat dan asam organik lainnya. Pada hari ke-7 nilai pH semua perlakuan meningkat mendekati nilai netral sampai akhir pengomposan. Nilai pH tersebut merupakan nilai optimal untuk pertumbuhan mikroorganisme. Pada saat nilai pH mendekati netral, NH3 yang terbentuk selama

degradasi protein akan berikatan dengan air membentuk NH4OH yang bersifat

basa, sehingga pH meningkat. Selain itu juga disebabkan oleh perubahan asam- asam organik menjadi CO2 dan sumbangan kation-kation basa hasil mineralisasi

bahan-bahan pengomposan.

Pada penelitian ini, suhu pengomposan pada perlakuan C/N 30 berbeda nyata terhadap semua perlakuan dan merupakaan suhu tertinggi mencapai suhu 40.3 (Tabel 10). Hal ini menunjukkan tingginya aktivitas bakteri pada perlakuan C/N 30. Sedangkan nilai pH tidak berbeda ny ata pada semua perlakuan. Jika

dibandingkan dengan nilai pH K1 yang asam (5.6) dan K2 (7.13), nilai pH perlakuan lebih tinggi (mendekati netral). Berdasarkan hasil analisis aktivitas bakteri (FDA) menggunakan spektrofotometri menunjukkan bahwa aktivitas bakteri pada C/N 30 meningkat lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Lampiran 10). Suhu dapat menggambarkan aktivitas bakteri pada campuran kompos. Meskipun nilai pH pada campuran mendukung untuk pertumbuhan bakteri namun jika suhu tidak sesuai maka akan menghambat bakteri untuk menghasilkan enzim yang berguna untuk mendegradasi bahan organik dan anorganik yang ada dalam campuran kompos. Peningkatan suhu dipengaruhi oleh C/N campuran karena berhubungan dengan aktivitas bakteri. Selama proses pengomposan, bakteri memanfaatkan C sebagai sumber energi dan N sebagai sumber protein dan pertumbuhan sel. Pada proses pengomposan, bakteri mengkonsumsi 30 bagian karbon untuk satu bagian nitrogen dan penurunan N hanya 0.5% sedangkan C mencapai 50%. Pada C/N terlalu rendah atau N melimpah, menyebabkan bakteri tidak mampu memanfaatkan semua N tersebut sehingga akan lepas dalam bentuk bau gas amonia. Menurut Indrasti dan Wilmot (2001) C/N yang rendah memberikan kontribusi terhadap bau sehingga perlu menambah bahan dengan C tinggi. Pada penelitian ini menggunakan serbuk gergaji sebagai bulking agent. Sedangkan pada C/N yang tinggi proses pengomposan akan berlangsung lama (Murbandono, 1983). Hal ini disebabkan jumlah nitrogen sedikit untuk pembentukan sel sehingga dibutuhkan beberapa kali siklus untuk mereduksi karbon. Nitrogen yang telah diimobilisasi akan didaur ulang dicirikan dengan matinya beberapa bakteri yang bertanggung jawab melaksanakan pengomposan.

Suhu optimum pengomposan pada penelitian ini berkisar 25-40.3 oC dengan kata lain suhu termofilik tidak tercapai. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan di tempat penelitian yang sangat dingin dengan suhu mencapai 19oC. Namun demikian, berdasarkan pengamatan selama proses pengomposan, kondisi campuran secara keseluruhan tetap hangat. Mikroorganisme yang tumbuh optimal diduga golongan mesofilik yaitu yang hidup pada kisaran suhu 10-45oC. Berdasarkan hasil isolasi diperoleh 7 jenis bakteri yang diberi inisial a, b, c, d, e, f dan g (Gambar 14). Selama proses pengomposan, bakteri-bakteri tersebut

mengkonsumsi bahan-bahan organik dan anorganik yang tersedia di dalam campuran. Bakteri tertentu mampu memproduksi enzim-emzim yang berperan dalam mendegradasi profenofos yang terdapat di dalam campuran. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui perlakuan mana yang mampu menurunkan residu profenofos dengan bantuan bakteri yang ada di dalam campuran bahan pengomposan tersebut. Bakteri yang berperan dalam mendegradasi profenofos dapat diketahui setelah menguji pertumbuhan bakteri tersebut pada media selektif (MSPY) yang mengandung profenofos dan dilakukan pada akhir penelitian ini. Bakteri-bakteri tersebut biasanya disebut sebagai bakteri pendegradasi pofenofos (pestisida).

Hasil analisis secara umum semua perlakuan menunjukkan residu profenofos mengalami penurunan. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa C/N rasio berpengaruh nyata terhadap penurunan residu profenofos (Tabel 10).

Perlakuan C/N 30 menunjukkan konsentrasi residu paling kecil yaitu 0.006 ppm dan berbeda nyata dengan semua perlakuan. Semua perlakuan menunjukkan residu yang lebih kecil dibandingkan kontrol 1 dan kontrol 2. Perlakuan C/N 30 memiliki kemampuan degradasi paling tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Gambar 9). Tingginya tingkat degradasi pada C/N 30 disebabkan karena kandungan C dan N pada campuran C/N 30 mendukung kegiatan mikroorganisme oleh karena suhu dan pH optimum bisa tercapai. Suhu optimum pada C/N 30 bisa tercapai oleh karena adanya aktivitas bakteri. Selama proses pengomposan, bakteri memanfaatkan Karbon (C) sebagai sumber energi dan Nitrogen (N) sebagai sumber protein dan untuk pertumbuhan sel.

Tabel 10. Hasil Analisis Proses Pengomposan

Nilai Suhu nilai Residu delta laju

penurunan Laju Pertumbuhan Kode C/N tertinggi C/N profenofos C/N residu Log.cfu/hr FDA/hr

awal (0C) pH akhir akhir (ppm) (35 hr) (ppm/ hr) K1 14.4 23.4 5.6 10 0.1360 4.40 0.0279 1.8465 0.8223 K2 20 29.1 7.13 17 0.0660 3.00 0.0371 2.1915 0.9185 C/N30 30.25 40.3 c 7.29 a 18 a 0.0060 a 12.25 0.0642 2.4575 1.5867 C/N35 37.55 31.3 b 7.38 ab 23 ab 0.0273 b 14.55 0.0560 2.2170 1.0735 C/N40 41.75 27 a 7.47 b 29 b 0.0331 c 12.75 0.0512 2.1535 1.0368

• K1 = tanah; K2 = tanah + kotoran sapi

• Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata menurut Uji Tukey a= 0,05

Pada proses pengomposan, bakteri mengkonsumsi 30 bagian karbon untuk satu bagian nitrogen dan penurunan N hanya 0.5% sedangkan C mencapai 50%. Pada C/N terlalu rendah atau N melimpah, menyebabkan bakteri tidak mampu memanfaatkan semua N tersebut sehingga akan lepas dalam bentuk bau gas amonia. Menurut Indrasti dan Wilmot (2001) C/N yang rendah memberikan kontribusi terhadap bau sehingga perlu menambah bahan dengan C tinggi. Pada penelitian ini menggunakan serbuk gergaji sebagai bulking agent. Sedangkan pada C/N yang tinggi proses pengomposan akan berlangsung lama (Murbandono, 1983). Hal ini disebabkan jumlah nitrogen sedikit untuk pembentukan sel sehingga dibutuhkan beberapa kali siklus untuk mereduksi karbon. Nitrogen yang telah diimobilisasi akan didaur ulang dicirikan dengan matinya beberapa bakteri yang bertanggung jawab melaksanakan pengomposan.

Profenofos merupakan insektisida golongan organofosfat yang memiliki sifat stabil di dalam tanah maupun di air (EPA, 1998). Waktu paruh profenofos pada pH 5 mencapai 108 hari, pada pH 7 mencapai 62 hari (Tabel 2). Pad a penelitian ini, pengomposan selama 35 hari mampu menurunkan residu konsentrasi profenofos sampai 98%. Konsentrasi residu profenofos mencapai

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0 7 14 21 28 35 hari ke- Residu profenofos (ppm) K1 K2 C/N 40 C/N 35 C/N 30

separuh dari konsentrasi awal pada hari ke 14 -21 pada perlakuan pengomposan. Sedangkan pada kontrol, konsentrasi residu profenofos mencapai separuh dari konsentrasi awal pada hari ke-35. Berdasarkan hal ini dapat diduga bahwa proses pengomposan mampu mempercepat degradasi profenofos.

Nilai pH pada K1 adalah 5.27-5.79 dan pada perlakuan K2, A30, B30,

A35, B35, A40 dan B40 mendekati netral. Penurunan residu profenofos pada hari ke-35 sudah mendekati nol kecuali K1 dan K2. Hal ini karena selama proses

pengomposan terjadi co-metabolisme oleh bakteri-bakteri. Struktur bahan organik yang beragam dan memiliki karakteristik tersendiri dalam kompos membantu terjadinya co-metabolisme sejumlah bahan yang menjadi objek degradasi dalam hal ini profenofos. Suhu yang hangat juga membantu mempercepat proses degradasi karena memungkinkan reaksi biokimia yang lebih cepat. Suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan pestisida menjadi lebih mudah terdegradasi karena pertumbuhan dan aktivitas bakteri pendegradasi pestisida meningkat. Pertumbuhan populasi bakteri dan degradasi profenofos setiap perlakuan disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 menunjukkan bahwa jumlah populasi bakteri cenderung mengikuti pola pertumbuhan bakteri yaitu kurva sigmoid. Secara umum pada hari ke-7 pertumbuhan populasi bakteri masih relatif kecil karena bakteri dari bahan - bahan pengomposan masih beradaptasi dengan lingkungan barunya yang mengandung profenofos. Proses pertumbuhan adaptasi ini berlangsung selama 2 minggu. Pada hari ke-21 populasi bakteri meningkat cepat, mengindikasikan bahwa bakteri yang sudah mampu beradaptasi telah memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai sumber energi dan protein. Namun pada perlakuan C/N 30 (Gambar 10e) populasi bakteri meningkat lebih cepat pada hari ke 14 dengan populasi lebih tinggi. Meningkatnya populasi bakteri (log cfu/l) dan aktivitas bakteri (FDA) diikuti oleh penurunan konsentrasi residu profenofos (Gambar 11). Hal ini bisa menggambarkan proses co metabolisme bakteri selama pengomposan. Pertumbuhan dan aktivitas bakteri dipengaruhi oleh pH dan suhu. Meskipun bakteri tersebut diisolasi dari kondisi yang ekstrim, namun pertumbuhan yang optimal hanya terjadi pada kisaran yang sempit. Oleh karena itu perlu memperoleh kondisi yang optimal yaitu pH 6.5-7.5 dan suhu 15-45oC.

Gambar 10. Pertumbuhan bakteri dan penurunan residu profenofos selama Pengomposan (a) K1 (b) K2 (c) C/N 40 (d) C/N 35 dan (e)C/N 30

(d) 6 7 8 9 10 11 12 0 7 14 21 28 35 Log cfu 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 Residu profenofos (ppm) (b) 6 7 8 9 10 11 12 0 7 14 21 28 35 Log cfu 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 Residu profenofos (ppm) (a) 6 7 8 9 10 11 12 0 7 14 21 28 35 Log cfu 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 Residu profenofos (ppm) (c) 6 7 8 9 10 11 12 0 7 14 21 28 35 Log cfu 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 Residu profenofos (e) 6 7 8 9 10 11 12 0 7 14 21 28 35 Log cfu 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 Residu profenofos (ppm)

Gambar 11. Hubungan laju penurunan konsentrasi profenofos terhadap (a) laju pertumbuhan dan (b) laju aktivitas bakteri selama pengomposan

(b) 0.0 0.3 0.6 0.9 1.2 1.5 1.8 K 1 K2 C/N30 C/N35 C/N40

slope residu 10E-1 ppm/hari (28 hari) slope FDA/hari (28 hari)

(a) 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 K1 K2 C/N30 C/N35 C/N40

slope residu 10E-1 ppm/hari (28 hari) slope log cfu/hari (28 hari)

Pada penelitian ini proses pengomposan terjadi pada suhu 25-40.6 oC dan

nilai pH 7.06-7.56. Suhu mesofilik hanya tercapai pada perlakuan C/N 30. Kondisi ini mendukung untuk pertumbuhan bakteri yang berperan dalam mendegradasi profenofos. Pada pH netral zat-zat organik mudah larut dalam air sehingga bisa dimanfaatkan oleh mikroorganisme sehingga produksi enzim-enzim untuk mendegradasi profenofos oleh bakteri menjadi lebih optimal.

Pada hari ke-21 pada perlakuan C/N rasio 30 dan hari ke-28 dan 35 pada perlakuan yang lain, terlihat residu profenofos tetap mengalami penurunan meskipun sangat kecil. Hal yang terpenting di sini adalah, penurunan tersebut bukan semata-mata karena degradasi tetapi bisa terjadi karena volatilisasi dan adsorbsi oleh bahan -bahan organik. Sedangkan untuk proses leaching profenofos kecil kemunginan terjadi. Pernyataan ini berdasarkan pada penelitian Ngan et al. (2005) bahwa pada tanah pertanian dengan pH 5 mengindikasikan profenofos tidak mengalami leaching lebih dari 10 cm di bawah tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa profenofos bersifat “limited mobiltiy”. Pada penelitian Tejada et al. (2000) mengenai pengaruh pemakaian profenofos secara terus menerus di perkebunan kapas, menyimpulkan bahwa profenofos ditemukan hanya sampai kedalaman 20 cm setelah 180 hari penyemprotan sebesar 0.02% dari ko nsentrasi awal.

Residu profenofos di akhir pengomposan pada K1 masih tinggi yaitu 0.136 ppm atau mengalami penurunan konsentrasi 48%. Residu profenofos pada K2 sebesar 0.066 ppm atau mengalami penurunan konsentrasi 74%. Residu profenofos pada C/N 40 sebesar 0.033 ppm atau mengalami penurunan konsentrasi 88%. Residu profenofos pada C/N 35 sebesar 0.027 ppm atau mengalami penurunan konsentrasi 89%. Residu pada perlakuan C/N 30 paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain yaitu 0.006 ppm atau mengalami penurunan konsentrasi 98%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan C/N rasio proses pengomposan sangat mempengaruhi proses degradasi profenofos. Pada C/N 30 mampu menurunkan residu profenofos lebih besar dibandingkan perlakuan yan g lain.

Menurut EPA (2000) batas maksimum konsumsi dalam makanan dan minuman yang dapat menimbulkan efek akut pada konsentrasi 0.005 ppm sedangkan efek kronik pada konsentrasi 0.00005 ppm. Konsentrasi residu akhir pengomposan C/N 30 adalah 0.006 ppm. Nilai ini masih dapat ditolelir dengan asumsi bahwa konsentrasi residu profenofos 0.3 ppm pada tanah asal akan terakumulasi di dalam sayuran 0.0068 (Fuad 2005) atau 2.2% dari residu di tanah. Residu akhir pengomposan 0.006 diperkirakan akan terakumulasi di dalam sayuran sebesar 0.000132 ppm. Nilai ini sangat jauh di bawah ambang batas akut atau kronik.

Bioremediasi dengan cara pengomposan yang sederhana ternyata dapat menghindarkan manusia dari hal yang berbahaya, yaitu akumulasi pestisida di dalam sayuran. BCPC (1997) menjelaskan bahwa profenofos secara biokimia merupakan inhibitor kolinesterase, merupakan insektisida dan akarisida non- sistemik tetapi bersifat kontak dengan pencernaan. Gejala yang ditimbulkan kepada manusia jika keracunan profenofos adalah sebagai berikut: produksi air liur berlebihan, berkeringat, keluar air mata, tegang otot, lemas, kejang -kejang, in- koordinasi, sakit kepala, pusing, mual, muntah, kram perut, diare, tekanan pernafasan, sesak dada, batuk parah, mengganggu kerja pupil kadang-kadang penglihatan kabur, tidak sadar/pingsan dan penghambat enzim kolinesterase (BCPC, 1997).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengomposan mampu mempercepat laju degradasi residu profenofos. Pada proses pengomposan banyak jenis bakteri yang berperan, sehingga memungkinkan untuk terjadinya co- metabolisme dalam mendegradasi residu profenofos. Semakin tinggi aktivitas bakteri maka akan menyebabkan semakin cepatnya laju penurunan residu profenofos.

Aktivitas bakteri dapat dilihat dari has il analisis dengan menggunakan Fluorescein Diecetate Assay (FDA). Peningkatan jumlah FDA yang dihasilkan diiringi oleh penigkatan aktivitas bakteri.

Hasil pengujian aktivitas bakteri (Lampiran 10) menunjukkan bahwa aktivitas bakteri cenderung mengikuti pola pertumbuhan bakteri yaitu melewati fase awal (lag phase), fase eksponesial (exponential phase) dan fase kematian (death phase) atau fase lambat, eksponensial dan stasionari.

Pengujian aktivitas bakteri pada penelitian ini (Lampiran 10) menunjukkan bahwa aktivitas bakteri fase awal pada K1 dan K2 terjadi sampai hari ke-7, fase eksponensial terjadi mulai hari ke-1 dan fase kematian terjadi setelah hari ke-28. Namun demikian, aktivitas bakteri pada perlakuan K2 lebih tinggi dibandingkan dengan K1. Perbedaan ini diduga karena aktivitas bakteri yang berasal dari kotoran sapi yang ditambahkan pada perlakuan K2. Pada perlakuan C/N 30, fase awal terjadi sampai hari ke-7, fase eksponensial terjadi setelah hari ke-7 dan fase kematian terjadi setelah hari ke-21. Pengomposan pada C/N 30 fase eksponensial lebih cepat tercapai disebabkan karena kandungan C dan N pada campuran C/N 30 mendukung kegiatan mikroorganisme oleh karena suhu dan pH optimum bisa tercapai. Suhu campuran C/N 30 mencapai 40.6 (Gambar 8). Tingginya aktivitas bakteri tersebut berpengaruh terhadap kemampuan bakteri menghasilkan enzim- enzim yang berperan dalam mendegradasi profenofos karena bakteri mulai memanfaatkan profenofos sebagai sumber karbon dan energi. Pada perlakuan C/N 35 dan C/N 40, fase awal terjadi sampai hari ke-7, fase eksponensial terjadi mulai hari ke-14 dan fase kematian terjadi setelah hari ke-28. Pada kedua campuran ini, aktivitas bakteri mengikuti kurva pertumbuhan sigmoid namun pertumbuhannya lambat, hal ini disebabkan karena C/N campuran tidak sesuai dengan kebutuhan

bakteri dimana jumlah nitrogen sedikit untuk pembentukan sel sehingga dibutuhkan beberapa kali siklus untuk mereduksi karbon. Pada hari ke-28 kemungkinan masih terjadi peningkatan aktivitas bakteri.

Pada saat aktivitas bakteri mulai menurun maka akan mempengaruhi laju degradasi profenofos, hal ini disebabkan oleh sumber bahan organik yang tersedia telah habis selama proses pengomposan.

Pada fase awal aktivitas bakteri lambat karena bakteri berada pada tahap adaptasi terhadap keberadaan senyawa profenofos. Pada fase adaptasi ini bakteri akan mensintesis enzim untuk mendetoksifikasi senyawa profenofos. Pada tahap eksponensial bakteri mulai mampu mengasilkan enzim yang mampu mendegradasi senyawa profenofos sehingga laju penurunan profenofos juga meningkat. Bakteri jarang mampu mempertahankan fase eksponensial dalam waktu yang lama karena keterbatasan jumlah sumber energi. Pada tahap stasionari atau kematian, sumber energi mulai habis sehingga bakteri tidak aktif lagi dalam mensintesa enzim-enzim yang diperlukan untuk mendegradasi profenofos sehingga penurunan konsentrasi residu profenofos sangat kecil.

Gambar 12 menunjukkan hubungan antara aktivitas bakteri dan penurunan residu profenofos selama proses pengomposan. Pada perlakuan K1 yang terdiri dari tanah tercemar profenofos, penurunan residu profenofos lambat karena aktivitas bakteri selama pengomposan juga lambat. Nilai FDA yang menggambarkan aktivitas bakteri hanya 4.3 dan Log cfu yang menggambarkan pertumbuhan bakteri hanya 8.1. Peningkatan pertumbuhan dan aktivitas bakteri diikuti oleh penurunan residu profenofos. Penurunan residu profenofos pada K1 (48%) ini sebagian besar disebabkan oleh proses fisika-kimia. Sedangkan penurunan yang disebabkan oleh proses biologi d iduga sangat kecil karena bakteri yang beraktivitas hanya bakteri indigen yang berasal dari tanah. Peningkatan aktivitas bakteri pada kontrol terjadi akibat pengadukan setiap minggu, namun peningkatan aktivitas tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

(e) 0 2 4 6 8 0 7 14 21 28 35 hari ke- Volume FDA (ml) 0.0 0.1 0.2 0.3 Residu profenofos FDA profenofos (a) 0 2 4 6 8 0 7 14 21 28 35 Volume FDA (ml) 0.0 0.1 0.2 0.3 Residu profenofos (c) 0 2 4 6 8 0 7 14 21 28 35 Volume FDA (ml) 0.0 0.1 0.2 0.3 Residu profenofos (d) 0 2 4 6 8 0 7 14 21 28 35 Volume FDA (ml) 0.0 0.1 0.2 0.3 Residu profenofos (b) 0 2 4 6 8 0 7 14 21 28 3 5 Volume FDA (ml) 0.0 0.1 0.2 0.3 Residu profenofos

Gambar 12. Aktivitas bakteri dan penurunan residu profenofos selama pengomposan(a) K1 (b) K2 (c) C/N 40 (d) C/N 35 (e) C/N 30

Pada perlakuan K2 yang terdiri dari tanah dan kotoran sapi, penurunan residu profenofos lebih tinggi dibandingkan K1. Nilai FDA yang menggambarkan aktivitas bakteri mencapai 5.3 dan Log cfu yang menggambarkan pertumbuhan bakteri mencapai 9.9. Peningkatan pertumbuhan dan aktivitas bakteri diikuti oleh penuruanan residu profenofos. Penurunan residu profenofos pada K2 (74%) ini selain diduga disebabkan oleh proses fisika-kimia dan biologi oleh bakteri yang berasal dari kotoran sapi dan bakteri indigen.

Pada perlakuan C/N 40 yang terdiri dari tanah, kotoran sapi, daun wortel dan serbuk gergaji, penurunan residu profenofos (88%) lebih tinggi dibandingkan K1 dan K2. Nilai FDA yang menggambarkan aktivitas bak teri mencapai 5.4 dan Log cfu yang menggambarkan pertumbuhan bakteri mencapai 9.9. Peningkatan pertumbuhan dan aktivitas bakteri diikuti oleh penuruanan residu profenofos. Penurunan residu profenofos pada C/N 40 ini selain sebagian besar disebabkan oleh aktivitas bakteri yang berasal dari kotoran sapi, daun wortel, serbuk gergaji dan bakteri indigen. Penurunan secara fisika-kimia diduga sangat kecil dibandingkan biologis (biodegradasinya)

Pada perlakuan C/N 35 yang terdiri dari tanah, kotoran sapi, daun wortel dan serbuk gergaji, penurunan residu profenofos lebih tinggi dibandingkan K1 dan K2 dan C/N 40. Nilai FDA yang menggambarkan aktivitas bakteri mencapai 6.3 dan pertumbuhan bakteri cfu sebesar 9.9. Peningkatan pertumbuhan dan aktivitas bakteri diik uti oleh penuruanan residu profenofos. Penurunan residu profenofos pada C/N 35 ini selain sebagian besar disebabkan oleh aktivitas bakteri yang berasal dari kotoran sapi, daun wortel, serbuk gergaji dan bakteri indigen.

Pada perlakuan C/N 30 yang terdiri dari tanah, kotoran sapi, daun wortel dan serbuk gergaji, penurunan residu profenofos (98%) lebih tinggi dibandingkan K1 dan K2, C/N 40 dan C/N 35. Nilai FDA yang menggambarkan aktivitas bakteri mencapai 7.2 dan pertumbuhan bakteri mencapai 11.1. Peningkatan pertumbuhan dan aktivitas bakteri tidak langsung diikuti oleh penuruanan residu profenofos. Penurunan residu profenofos pada C/N 30 ini sebagian besar disebabkan oleh aktivitas bakteri yang berasal dari kotoran sapi, daun wortel, serbuk gergaji dan bakteri indigen sendiri. Penurunan yang disebabkan oleh

proses fisika-kimia sangat kecil dibandingkan dengan penurunan secara biologi (biodegradasi).

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa, semakin rendah nilai C/N dalam penelitian ini atau semakin tinggi nilai N, maka diduga produksi enzim oleh bakteri juga akan tinggi. Bakteri memanfaatkan N sebagai sumber protein dan untuk pembentukan sel. Meningkatnya produksi enzim tersebut menyebabkan penuruan residu profenofos juga meningkat. Selain itu juga akan meningkatkan kegiatan co-metabolisme bakteri yang ada di dalam campuran pengomposan.

Alexander (1999) menjelaskan bahwa, saat terjadi co-metabolisme bakteri akan bekerjasama (jointly) yaitu salah satu bakteri akan membantu bakteri yang lain atau bersama-sama (together) merombak bahan/substrat dengan menghasilkan enzim yang mampu mendegradasi bahan tersebut. Beberapa penelitian menggambarkan bahwa pada proses bioremediasi, spesies bakteri yang kedua merombak metabolit yang diekskresikan oleh spesies bakteri jenis pertama.

Dokumen terkait