• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bioremediasi Lahan Tercemar Profenofos Secara ex-situ dengan Cara Pengomposan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bioremediasi Lahan Tercemar Profenofos Secara ex-situ dengan Cara Pengomposan"

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)

BIOREMEDIASI LAHAN TERCEMAR PROFENOFOS

SECARA

EX-SITU

DENGAN CARA PENGOMPOSAN

NUR INDRAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

NUR INDRAYANI. Ex-situ bioremediation of profenofos-contaminated soil with composting. Under the direction of NASTITI SISWI INDRASTI, MOH.YANI and M. AHKAM SUBROTO

Pesticide have significantly increased agricultural yields while impacting detrimentally on the food chain of wildlife and human. Composting bioremediation strategy relies on mixing the primary ingredients of composting with contaminated soil, wherein as the compost matures, the pollutant will be degraded by the active microorganisms within the mixture. Composting is a relatively new clean-up strategy and because of this, there are a limited number of studies.

This study was carried out to determine the concentration of profenofos decomposition rate of profenofos-contaminated soil composted with agricultural wastes (such as saw dust, carrot leaves, beef manure). The mixed of them was based on C/N ratio 40, 35 and 30. The degradation of profenofos was measured during the composting. The composting with C/N ratio 30 mineralized profenofos rapidly than the others after 28 days of composting (98% of profenofos). Bioremediation could be increased the crop yield compared to unbioremediated soil.

Some kinds of bacteria have been isolated from the compost mixture. Three of them were able to grow in solid medium containing 1500 ppm of profenofos. The ability to degradate the profenofos was tested in mineral salt peptone yeast (MSPY) medium by changing from opaque medium to clear medium. It’s ability was indicated by the formation of clear zones surrounding the bacteria.

Keywords: bioremediation, profenofos, contaminated soil, composting

(3)

RINGKASAN

NUR INDRAYANI. Bioremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ

dengan cara pengomposan. Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI, MOH. YANI DAN M. AHKAM SUBROTO

Pestisida secara signifikan mampu meningkatkan produksi pertanian meskipun di sisi lain mengakibatkan terganggunya rantai makanan hewan dan manusia. Teknik bioremediasi dengan cara pengomposan yaitu dengan mencampur bahan utama pengomposan dengan tanah tercemar, dimana saat kompos matang akan terjadi degradasi polutan oleh mikroorganisme yang aktif di dalam campuran kompos tersebut. Pengomposan merupakan teknik bioremediasi yang relatif masih baru sehingga penelitian mengenai hal tersebut masih terbatas.

Penelitian ini ber tujuan untuk menentukan laju penurunan konsentrasi profenofos selama proses pengomposan tanah tercemar profenofos dengan sisa-sisa pertanian (serbuk gergaji, daun wortel, kotoran sapi). Campuran bahan-bahan tersebut dibedakan berdasarkan C/N rasio 40, 35, 30. Pengomposan dengan C/N rasio 30 mampu mendegradasi profenofos lebih cepat selama 28 hari dibandingkan dengan campuran yang lain (98% dari konsentrasi awal). Bioremediasi dapat meningkatkan produksi tanaman dibandingkan dengan tanah yang belum dibioremediasi.

(4)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah -Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Bioremediasi Lahan Tercemar Pestisida Secara E x-Situ dengan Cara Pengomposan”. Penulis mengucapkan apresiasi dan terimakasih kepada:

1. Dr.Ir.Nastiti Siswi Indrasti selaku ketua komisi pembimbing 2. Dr.Ir.Mohamad Yani, M.Eng selaku anggota komisi pembimbing

3. Bapak Dr.Ir.Muhamad Ahkam Subroto, M.App.Sc.APU selaku anggota komisi pembimbing dan yang telah menfasilitasi dana penelitian dalam Proyek Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Lingkungan melalui Sistem Bioremediasi, Puslit Biotek LIPI-Cibinong.

4. Dr.Ir. Catur Herison, M.Sc. selaku dosen penguji luar komisi.

5. Dr.Ir.Surjono H. Sutjahjo, M.Si selaku ketua program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.

6. Dr.Ir.Etty Riani, MS selaku sekretris eksekutif program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.

7. Kedua orang tua tercinta dan keluarga yang selalu mengiringi penulis dengan do’a tulus. Terimakasih kepada teman-teman penulis semua.

8. Bapak Mulyadi selaku kepala Agropolitan Pacet, Kab. Cianjur dan keluarga serta terimaksih kepada rekan-rekan di Agropolitan Pacet.

9. Dr.Asep Nugraha Ardiwinata, M.Si sebagai kepala Laboratorium BB-BIOGEN

10.M’ Ririn, M’ Suli dan M’ Herlin yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi di PSL.

11.Jumbriah, M.Si selaku rekan penelitian. Staff Laboratorium Bioproses IV Bioteknologi LIPI-Cibinong, Bustanussalam, S.Si. Fauzi Rachman. S.Si. Yatri Hapsari, S.Si. Yoice Srikandace, S.Si, Mas Yadi, Indra dan Aril. Staff BB-BIOGEN Cimanggu Pak Eman, Pak Cahyadi dan Pak Mulyadi

Penulis menyadari, tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga masukan dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Agustus, 2006

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Kerangka Pemikiran ... 4

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Hipotesis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pestisida dan Degradasi Pestisida ... 7

2.2. Profenofos dan Degradasi Profenofos... 11

2.2.1. Sifat Kimia Profenofos... 11

2.2.2. Degradasi Profenofos ... 12

a. Persisten... 14

b. Mobilitas ... 15

c. Akumulasi ... 16

2.3. Bioremediasi ... 16

2.4. Pengomposan ... 18

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 22

3.2. Alat dan Bahan ... 22

3.2.1. Alat ... 22

3.2.2. Bahan... 22

3.3. Desain Penelitian ... 23

3.4. Pen golahan Data... 26

3.4.1. Rancangan Percobaan ... 26

3.4.2. Penurunan Profenofos Selama Pengomposan ... 27

3.4.3. Analisis Residu Profenofos... 28

3.4.4. Analisis Mikroba... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penentuan Lokasi Penelitian ... 30

4.2. Proses Pengomposan ... 35

4.3. Uji Pertumbuhan Tanaman Bayam Jepang ... 52

(6)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan ... 59

5.2Saran... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Persistensi beberapa pestisida di tanah ... 8

Tabel 2. Ringkasan Degradasi Profenofos... 15

Tabel 3. Komposisi Sel Mikroba... 17

Tabel 4. Sampling dan Parameter yang diamati... 25

Tabel 5. Standar Mutu Kompos ... 27

Tabel 6. Residu Pestisida di Lahan Pertanian Hortikultura Kecamatan Dramaga, Ciawi, Cisarua dan Pacet ... 31

Tabel 5. Komoditas Unggulan Kecamatan di Kabupaten Cianjur... 27

Tabel 7. Analisis Kimia Tanah Kawasan P ertanian Cipatat Cianjur ... 32

Tabel 8. Komoditas Unggulan Kecamatan di Kabupaten Cianjur... 34

Tabel 9. Rasio C/N dan Kadar Air Bahan-bahan Pengomposan... 35

Tabel 10. Hasil analisis Proses Pengomposan ... 40

Tabel 11. Perbandingan mutu kompos dengan Standar Mutu Kompos... 52

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka B erfikir ... 5

Gambar 2. Peluang Perubahan Keberadaan Polutan Organik di Tanah ... 9

Gambar 3. Rumus Bangun Profenofos ... 11

Gambar 4. Pathway Metabolit Profenofos... 13

Gambar 5. Diagram Tahapan Penelitian ... 24

Gambar 6. Bak Proses Pengomposan ... 26

Gambar 7. Peta Lokasi dan Peta Tanah Lokasi Penelitian... 32

Gambar 8. Grafik Suhu dan pH Selama Proses Pengomposan... 36

Gambar 9. Penurunan Residu Profenofos Selama Proses Pengomposan .... 41

Gambar 10. Pertumbuhan B akteri dan Penurunan Residu Profenofos Selama Pengomposan... 43

Gambar 11. Hubungan Laju Pertumbuhan dan Aktivitas Bakteri Terhadap Laju Konsentrasi Residu Profenofos... 44

Gambar 12. Aktivitas Bakteri dan Penurunan Residu Profenofos Selama Pengomposan ... 48

Gambar 13. Pertumbuhan Benih Bayam Jepang (Horingso) di Green House Selama 17 hari ... 53

Gambar 14. Pertumbuhan Tanaman Bayam Jepang (Horingso) di Lapangan ... 54

Gambar 15. Bobot Tanaman Uji Bayam Jepang (Horingso) di Green House dan di L apangan ... 54

Gambar 16. Isolat Bakteri dari Campuran Pengomposan ... 56

Gambar 17. Pertumbuhan Isolat Pada Media Adaptasi pada 500, 750, 1000 dan 1500 ppm Profenofos ... 57

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Komposis i Bahan-bahan Pengomposan ... 63

Lampiran 2. Campuran bahan -bahan pengomposan ... 64

Lampiran 3. Analisis Residu Profenofos... 65

Lampiran 4. Analisis Biomassa Benih Tanaman Bayam Jepang... 66

Lampiran 5. Analisis biomassa Tanaman Bayam Jepang Hari ke-40... 67

Lampiran 6. Analisis Suhu Tertinggi Selama Pengomposan ... 68

Lampiran 7. Analisis pH akhir Pengomposan ... 69

Lampiran 8. Analisis C/N rasio Akhir Pengomposan ... 70

Lampiran 9. Kurva standar Analisis Mikroba dengan Spektrofotometri Pada panjang Gelombang (λ) 490 nm... 71

Lampiran 10. Analisis Aktivitas mikroba dengan spektrofotometri pada panjang gelombang (λ) 490 nm ... 72

Lampiran 11. Pengamatan Suhu Harian Selama Proses Pengomposan ... 73

Lampiran 12. Prosedur Analisis Residu Profenofos... 74

Lampiran 13. Prosedur Analisis Mikroba... 75

(10)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Polusi tanah merupakan permasalahan yang kini d ihadapi negara-negara agraris, termasuk Indonesia. Tanpa disadari sebenarnya agrokultur sendiri merupakan sumber terbesar penyebab tercemarnya tanah dan hilangnya produktivitas tanah. Pemakaian pupuk kimia dan pestisida dalam jumlah besar menimbulkan pencemaran, baik tanah maupun air tanah, dengan kadar racun yang beranekaragam. Degradasi tanah pertanian sudah makin parah dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia lainnya dalam waktu yang cukup lama. Padahal untuk mengembalikan kesuburan tanah, memerlukan waktu bertahun-tahun. Sementara itu, manusia hanya memerlukan beberapa tahun untuk merusaknya. Hal ini bisa dilihat dari tanah pertanian di Indonesia yang semakin lama semakin menurun produktivitasnya disebabkan mulai hilangnya kemampuan tanah untuk memproduksi nutrisi. Salah satu penyebab menurunnya produktivitas pertanian Indonesia berdasarkan kajian Bappenas adalah berkurangnya lahan pertanian di Indonesia akibat erosi, residu bahan kimia seperti herbisida dan pestisida. Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan tidak seimbangnya antara kebutuhan dan ketersediaan pangan nasional di masa yang akan datang.

(11)

BIOREMEDIASI LAHAN TERCEMAR PROFENOFOS

SECARA

EX-SITU

DENGAN CARA PENGOMPOSAN

NUR INDRAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRACT

NUR INDRAYANI. Ex-situ bioremediation of profenofos-contaminated soil with composting. Under the direction of NASTITI SISWI INDRASTI, MOH.YANI and M. AHKAM SUBROTO

Pesticide have significantly increased agricultural yields while impacting detrimentally on the food chain of wildlife and human. Composting bioremediation strategy relies on mixing the primary ingredients of composting with contaminated soil, wherein as the compost matures, the pollutant will be degraded by the active microorganisms within the mixture. Composting is a relatively new clean-up strategy and because of this, there are a limited number of studies.

This study was carried out to determine the concentration of profenofos decomposition rate of profenofos-contaminated soil composted with agricultural wastes (such as saw dust, carrot leaves, beef manure). The mixed of them was based on C/N ratio 40, 35 and 30. The degradation of profenofos was measured during the composting. The composting with C/N ratio 30 mineralized profenofos rapidly than the others after 28 days of composting (98% of profenofos). Bioremediation could be increased the crop yield compared to unbioremediated soil.

Some kinds of bacteria have been isolated from the compost mixture. Three of them were able to grow in solid medium containing 1500 ppm of profenofos. The ability to degradate the profenofos was tested in mineral salt peptone yeast (MSPY) medium by changing from opaque medium to clear medium. It’s ability was indicated by the formation of clear zones surrounding the bacteria.

Keywords: bioremediation, profenofos, contaminated soil, composting

(13)

RINGKASAN

NUR INDRAYANI. Bioremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ

dengan cara pengomposan. Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI, MOH. YANI DAN M. AHKAM SUBROTO

Pestisida secara signifikan mampu meningkatkan produksi pertanian meskipun di sisi lain mengakibatkan terganggunya rantai makanan hewan dan manusia. Teknik bioremediasi dengan cara pengomposan yaitu dengan mencampur bahan utama pengomposan dengan tanah tercemar, dimana saat kompos matang akan terjadi degradasi polutan oleh mikroorganisme yang aktif di dalam campuran kompos tersebut. Pengomposan merupakan teknik bioremediasi yang relatif masih baru sehingga penelitian mengenai hal tersebut masih terbatas.

Penelitian ini ber tujuan untuk menentukan laju penurunan konsentrasi profenofos selama proses pengomposan tanah tercemar profenofos dengan sisa-sisa pertanian (serbuk gergaji, daun wortel, kotoran sapi). Campuran bahan-bahan tersebut dibedakan berdasarkan C/N rasio 40, 35, 30. Pengomposan dengan C/N rasio 30 mampu mendegradasi profenofos lebih cepat selama 28 hari dibandingkan dengan campuran yang lain (98% dari konsentrasi awal). Bioremediasi dapat meningkatkan produksi tanaman dibandingkan dengan tanah yang belum dibioremediasi.

(14)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah -Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Bioremediasi Lahan Tercemar Pestisida Secara E x-Situ dengan Cara Pengomposan”. Penulis mengucapkan apresiasi dan terimakasih kepada:

1. Dr.Ir.Nastiti Siswi Indrasti selaku ketua komisi pembimbing 2. Dr.Ir.Mohamad Yani, M.Eng selaku anggota komisi pembimbing

3. Bapak Dr.Ir.Muhamad Ahkam Subroto, M.App.Sc.APU selaku anggota komisi pembimbing dan yang telah menfasilitasi dana penelitian dalam Proyek Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Lingkungan melalui Sistem Bioremediasi, Puslit Biotek LIPI-Cibinong.

4. Dr.Ir. Catur Herison, M.Sc. selaku dosen penguji luar komisi.

5. Dr.Ir.Surjono H. Sutjahjo, M.Si selaku ketua program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.

6. Dr.Ir.Etty Riani, MS selaku sekretris eksekutif program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.

7. Kedua orang tua tercinta dan keluarga yang selalu mengiringi penulis dengan do’a tulus. Terimakasih kepada teman-teman penulis semua.

8. Bapak Mulyadi selaku kepala Agropolitan Pacet, Kab. Cianjur dan keluarga serta terimaksih kepada rekan-rekan di Agropolitan Pacet.

9. Dr.Asep Nugraha Ardiwinata, M.Si sebagai kepala Laboratorium BB-BIOGEN

10.M’ Ririn, M’ Suli dan M’ Herlin yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi di PSL.

11.Jumbriah, M.Si selaku rekan penelitian. Staff Laboratorium Bioproses IV Bioteknologi LIPI-Cibinong, Bustanussalam, S.Si. Fauzi Rachman. S.Si. Yatri Hapsari, S.Si. Yoice Srikandace, S.Si, Mas Yadi, Indra dan Aril. Staff BB-BIOGEN Cimanggu Pak Eman, Pak Cahyadi dan Pak Mulyadi

Penulis menyadari, tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga masukan dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Agustus, 2006

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Kerangka Pemikiran ... 4

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Hipotesis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pestisida dan Degradasi Pestisida ... 7

2.2. Profenofos dan Degradasi Profenofos... 11

2.2.1. Sifat Kimia Profenofos... 11

2.2.2. Degradasi Profenofos ... 12

a. Persisten... 14

b. Mobilitas ... 15

c. Akumulasi ... 16

2.3. Bioremediasi ... 16

2.4. Pengomposan ... 18

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 22

3.2. Alat dan Bahan ... 22

3.2.1. Alat ... 22

3.2.2. Bahan... 22

3.3. Desain Penelitian ... 23

3.4. Pen golahan Data... 26

3.4.1. Rancangan Percobaan ... 26

3.4.2. Penurunan Profenofos Selama Pengomposan ... 27

3.4.3. Analisis Residu Profenofos... 28

3.4.4. Analisis Mikroba... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penentuan Lokasi Penelitian ... 30

4.2. Proses Pengomposan ... 35

4.3. Uji Pertumbuhan Tanaman Bayam Jepang ... 52

(16)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan ... 59

5.2Saran... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Persistensi beberapa pestisida di tanah ... 8

Tabel 2. Ringkasan Degradasi Profenofos... 15

Tabel 3. Komposisi Sel Mikroba... 17

Tabel 4. Sampling dan Parameter yang diamati... 25

Tabel 5. Standar Mutu Kompos ... 27

Tabel 6. Residu Pestisida di Lahan Pertanian Hortikultura Kecamatan Dramaga, Ciawi, Cisarua dan Pacet ... 31

Tabel 5. Komoditas Unggulan Kecamatan di Kabupaten Cianjur... 27

Tabel 7. Analisis Kimia Tanah Kawasan P ertanian Cipatat Cianjur ... 32

Tabel 8. Komoditas Unggulan Kecamatan di Kabupaten Cianjur... 34

Tabel 9. Rasio C/N dan Kadar Air Bahan-bahan Pengomposan... 35

Tabel 10. Hasil analisis Proses Pengomposan ... 40

Tabel 11. Perbandingan mutu kompos dengan Standar Mutu Kompos... 52

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka B erfikir ... 5

Gambar 2. Peluang Perubahan Keberadaan Polutan Organik di Tanah ... 9

Gambar 3. Rumus Bangun Profenofos ... 11

Gambar 4. Pathway Metabolit Profenofos... 13

Gambar 5. Diagram Tahapan Penelitian ... 24

Gambar 6. Bak Proses Pengomposan ... 26

Gambar 7. Peta Lokasi dan Peta Tanah Lokasi Penelitian... 32

Gambar 8. Grafik Suhu dan pH Selama Proses Pengomposan... 36

Gambar 9. Penurunan Residu Profenofos Selama Proses Pengomposan .... 41

Gambar 10. Pertumbuhan B akteri dan Penurunan Residu Profenofos Selama Pengomposan... 43

Gambar 11. Hubungan Laju Pertumbuhan dan Aktivitas Bakteri Terhadap Laju Konsentrasi Residu Profenofos... 44

Gambar 12. Aktivitas Bakteri dan Penurunan Residu Profenofos Selama Pengomposan ... 48

Gambar 13. Pertumbuhan Benih Bayam Jepang (Horingso) di Green House Selama 17 hari ... 53

Gambar 14. Pertumbuhan Tanaman Bayam Jepang (Horingso) di Lapangan ... 54

Gambar 15. Bobot Tanaman Uji Bayam Jepang (Horingso) di Green House dan di L apangan ... 54

Gambar 16. Isolat Bakteri dari Campuran Pengomposan ... 56

Gambar 17. Pertumbuhan Isolat Pada Media Adaptasi pada 500, 750, 1000 dan 1500 ppm Profenofos ... 57

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Komposis i Bahan-bahan Pengomposan ... 63

Lampiran 2. Campuran bahan -bahan pengomposan ... 64

Lampiran 3. Analisis Residu Profenofos... 65

Lampiran 4. Analisis Biomassa Benih Tanaman Bayam Jepang... 66

Lampiran 5. Analisis biomassa Tanaman Bayam Jepang Hari ke-40... 67

Lampiran 6. Analisis Suhu Tertinggi Selama Pengomposan ... 68

Lampiran 7. Analisis pH akhir Pengomposan ... 69

Lampiran 8. Analisis C/N rasio Akhir Pengomposan ... 70

Lampiran 9. Kurva standar Analisis Mikroba dengan Spektrofotometri Pada panjang Gelombang (λ) 490 nm... 71

Lampiran 10. Analisis Aktivitas mikroba dengan spektrofotometri pada panjang gelombang (λ) 490 nm ... 72

Lampiran 11. Pengamatan Suhu Harian Selama Proses Pengomposan ... 73

Lampiran 12. Prosedur Analisis Residu Profenofos... 74

Lampiran 13. Prosedur Analisis Mikroba... 75

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Polusi tanah merupakan permasalahan yang kini d ihadapi negara-negara agraris, termasuk Indonesia. Tanpa disadari sebenarnya agrokultur sendiri merupakan sumber terbesar penyebab tercemarnya tanah dan hilangnya produktivitas tanah. Pemakaian pupuk kimia dan pestisida dalam jumlah besar menimbulkan pencemaran, baik tanah maupun air tanah, dengan kadar racun yang beranekaragam. Degradasi tanah pertanian sudah makin parah dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia lainnya dalam waktu yang cukup lama. Padahal untuk mengembalikan kesuburan tanah, memerlukan waktu bertahun-tahun. Sementara itu, manusia hanya memerlukan beberapa tahun untuk merusaknya. Hal ini bisa dilihat dari tanah pertanian di Indonesia yang semakin lama semakin menurun produktivitasnya disebabkan mulai hilangnya kemampuan tanah untuk memproduksi nutrisi. Salah satu penyebab menurunnya produktivitas pertanian Indonesia berdasarkan kajian Bappenas adalah berkurangnya lahan pertanian di Indonesia akibat erosi, residu bahan kimia seperti herbisida dan pestisida. Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan tidak seimbangnya antara kebutuhan dan ketersediaan pangan nasional di masa yang akan datang.

(21)

pertanian intensif sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi pertanian. Volume pemakaian pestisida oleh petani terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan produksi hasil pertanian.

Menurut data dari Komisi Pestisida Indonesia pada tahun 2003 terdapat 152 perusahaan produsen formula pestisida dengan 813 merek dagang terdiri dari 97% pestisida sintetis dan 3% pestisida alami. Sejak penemuan DDT pada tahun 1874 dan bubur bordeox pada tahun 1882 menawarkan alternatif solusi bagi pengusaha tani, pestisida sintetis telah diterima sebagai solusi pengendalian hama sehingga penggunaannya semakin meluas di kalangan petani.

Pencemaran lahan oleh pestisida tersebut harus segera diatasi. Alternatif penanganan yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk mendegradasi pestisida tersebut atau disebut bioremediasi. Kelebihan bioremediasi adalah lebih efek tif dan ekonomis untuk mendegradasi polutan -polutan organik, sehingga saat ini menjadi pilihan bagi banyak industri dan lembaga penelitian. Bioremediasi dengan cara pengomposan belum banyak dilakukan di Indonesia sehingga perlu dikembangkan. Hal ini sebag ai upaya mengurangi lahan tercemar pestisida yang sudah sangat meluas di Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Penggunaan pestisida secara terus -menerus dan berlebihan menimbulkan masalah lingkungan seperti tanah tercemar dan menjadi keras. Salah jenis pestisida yang familiar di kalangan petani hortikultur sebagai pemberantas hama insekta adalah curacron. Curacron merupakan pestisida golongan organofosfat berbahan aktif profenofos yang mempunyai spektrum luas dan bersifat toksik, jika masuk ke rantai makanan ak an meningkatkan toksisitasnya sehingga membahayakan bagi manusia.

(22)

tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Fuad 2005, residu profenofos pada sayuran di berbagai daerah pertanian di Jawa Barat sudah melewati ambang batas yang ditetapkan oleh WHO yaitu 0.005 ppm. Residu profenofos pada sayuran di mencapai 0.0068 ppm. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka diduga residu profenofos di tanah pertanian tersebut juga tinggi. Residu profenofos tersebut jika dibiarkan dalam waktu yang lama akan merusak tanah pertanian dan menyebabkan tanah menjadi kurang/tidak produktif lagi. Bioremediasi tanah tercemar pestisida perlu dilakukan sebagai upaya mencari solusi menangani dan mengurangi luas lahan yang tercemar pestisida.

Upaya yang sudah dilakukan petani untuk mengatasi pencemaran lahan pertanian mereka adalah mencampurkan kotoran sap i dan tanah sebelum lahan ditanami kembali, dan dibiarkan selama 6 minggu. Perlakuan ini lama dan diduga tidak efektif menurunkan cemaran pestisida.

Meskipun mekanisme degradasi sebagian besar pestisida oleh mikroba tanah telah diketahui, namun mekanisme degradasi selama proses pengomposan belum terungkap dengan jelas (Reddy dan Michel, 1999). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan studi degradasi pestisida selama proses pengomposan untuk mengetahui laju degradasi konsentrasi residu pestisida (pro fenofos) selama proses pengomposan. Bioremediasi dengan strategi pengomposan dapat dilakukan menggunakan bahan-bahan sisa pertanian, kotoran hewan (misal kotoran kuda, sapi, domba, ayam), lumpur aktif, jerami, serbuk gergaji, gambut (Bernier et al. 1997) dengan memperhatikan C/N rasio campuran. Jika bahan -bahan tersebut diinkubasi dengan tanah tercemar pestisida maka akan terjadi proses penguraian bahan organik secara eksotermik oleh sekelompok mikroba pada suhu tinggi (thermophilic phase) dan proses ini disebut pengomposan.

(23)

1.3Kerangka Pemikiran

Penggunaan pestisida yang meningkat dan intensif pada usaha pertanian di Indonesia merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Namun, pada akhirnya residu pestisida tersebut tidak saja terakumulasi pada produk pertanian tetapi juga akan terakumulasi di dalam tanah sehingga menyebabkan tanah menjadi tidak subur bahkan tidak produktif lagi untuk ditanami. Lahan pertanian tercemar pestisida tersebut harus segera ditangani agar pencemaran tidak semakin meluas dan lahan bisa kembali produktif.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi lah an tercemar pestisida. Salah satu penanganan lahan tercemar pestisida tersebut bisa dilakukan dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme yang mampu mendegradasi pestisida (bioremediasi). Bioremediasi dengan strategi pengomposan diperkirakan lebih efektif karena keanekaragaman bakteri yang mampu melakukan co-metabolisme terhadap pestisida tersebut. Selain itu pengomposan lebih mudah dilakukan dan murah. Diagram alir kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

Bioremediasi dapat dilakukan langsung pada lah an yang tercemar (in situ) atau dilakukan di luar lingkungan yang tercemar dengan membuat lingkungan baru berupa bioreaktor yang dikondisikan menggunakan inokulan yang mampu mendegradasi kontaminan organik (ex situ) (Vidali, 2001). Selanjutnya Vidali (2001) menjelaskan bahwa teknik bioremediasi meliputi: biostimulasi, bioaugmentasi, biofilter, bioreaktor, bioslurry, bioventing, pengomposan dan landfarming.

(24)

Penggunaan Pestisida Secara intensif

Lahan pertanian Tercemar

pestisida

Bioremediasai (Pengomposan)

Analisis Residu Pestisida

Analisis Kompos

Produksi Pertanian Meningkat

Produksi Pertanian Menurun

Pasca Bioremediasi

Uji Toksisitas Kompos

lebih mudah diaplikasikan dan bahan -bahan yang digunakan banyak tersedia di sekitar masyarakat.

Gambar 1. Diagram Kerangka Berfikir

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengukur laju degradasi profenofos pada perlakuan C/N rasio selama proses pengomposan.

2. Menguji pertumbuhan tanaman hortikultura pada tanah yang telah diremediasi.

(25)

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh C/N rasio terhadap laju degradasi profenofos selama proses pengomposan.

2. Mengetahui pertumbuhan tanaman pada lahan yang telah diremediasi. 3. Mengetahui bakteri yang berperan dalam degradasi profenofos.

4. Memberikan masukan kepada petani, Pemerintahan Daerah, Dinas Pertanian, LSM atau produsen pestisida dalam upaya mengatasi lahan tercemar pestisida.

1.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Rasio C/N campuran bahan -bahan pengomposan akan berpengaruh terhadap laju degradasi profenofos.

2. Bioremediasi lahan tercemar profenofos berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida dan Degradasi Pestisida

Pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama, berasal dari kata pest (hama) dan cide (pembunuh). Pestisida mencakup bahan -bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad hidup merugikan manusia, tumbuhan, dan ternak yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, agar gangguan dan kerugian dapat ditekan seminimal mungkin (Tarumingkeng, 1992). Menurut Peraturan Pemerintah RI No.7 tahun 1973 tentang pengawasan dan peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain yang digunakan untuk memberantas dan mencegah hama serta penyakit yang merusak tanaman, memberantas gulma, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.

Tarumingkeng (1992) menyebutkan bahwa, berbagai pestisida yang dikenal terutama dalam bidang pertanian, kesehatan masyarakat dan kesehatan veteriner adalah: insektisida (racun serangga), fungisida (racun cendawan/jamur), herbisida (racun gulma), akarisida (racun tungau), rodentisida (racun binatang pengerat), nematisida (racun nematoda), helmintisida (racun pembunuh cacing) dan termitisida (insektisida pembunuh rayap).

(27)

bahwa sifat pestisida yang sukar larut dalam air dan sulit menguap merupakan faktor utama banyaknya terdapat deposit pestisida di tanah. Sebagian besar pestisida hidrokarbon berklor seperti DDT, BHC, klordan, dieldrin dan heptaklor pada umumnya stabil dan persisten di dalam tanah.

Mengapa pestisida cenderung menumpuk pada lapisan tanah bagian atas, belum jelas sekali. Namun ada asumsi yang dapat dipegang adalah bahwa terdapat dua lapisan tanah, bagian atas yang banyak mengandung bahan organik dan lapisan bawahnya yang banyak mengandung bahan anorganik. Cookson (1995) menyatakan jenis pestisida tertentu akan tetap terdeteksi di tanah pada waktu cukup lama (Tabel 1)

Tabel 1. Persistensi Beberapa Pestisida di Tanah

Bahan Lama Tinggal Waktu Paruh Chlordane 21 tahun 2-4 tahun DDT 24 tahun 3-10 tahun Dieldrin 21 tahun 1-7 tahun Heptachlor 16 tahun 7-12 tahun Toxophene 10 minggu 10 tahun

Dalapon - -

DDVP - 17 hari

Methyldemeton S - 26 hari

Thimet - 2 hari

Sumber: Alexander, 1977 dalam Cookson, 1995

Sebelum membahas tentang degradasi pestisida perlu diketahui bagaimana nasib dari polutant organik saat berhubungan dengan tanah secara umum (Gambar 2). Polutan organik yang masuk ke dalam tanah akan mengalami volatilisasi ke udara, biodegradasi, transfer ke dalam tubuh organisme, terikat ke dalam tanah dan mengalami leaching ke dalam air tanah. Nasib polutan organik di tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya karakteristik tanah, jenis bahan kimia, suhu dan presipitasi. Tingkat persisten polutan organik berhubungan dengan sifat hidrophobik bahan tersebut. Polutan organik di tanah umumnya berkurang secara cepat pada tahap awal yang singkat dan berlanjut secara lambat pada periode waktu yang sangat lama. Sifat volatilitas, hidropobisitas dan avinitas bahan mempengaruhi kedua fase tersebut (Semple et al. 2001)

(28)

Gambar 2. Peluang perubahan keberadaan polutan organik di tanah (Semple et.al. 2001)

Minieralisasi menjadi CO2

Volatilisasi

Leaching

Induk polutan organik

Proses biologi, kimia dan fisika

Produk degradasi Bioakumulasi

Proses di dalam tanah

termineralisasi pada suhu 60oC (Reddy dan Michel, 1999). Bernier et al. (1997) juga pernah melakukan penelitian mengenai pengomposan tanah tercemar pestisida khususnya DDT. Pada percobaan tersebut, tanah yang tercemar 600 ppm DDT dikomposkan melalui rangkaian pengomposan anaerobik (2 minggu) dilanjutkan dengan pengomposan aerobik (2 minggu) telah sukses mendegradasi DDT menjadi 140 ppm tanpa DDD dan DDE di akhir percobaan. Percobaan tersebut dilakukan pada kontainer pengomposan normal yang mampu menampung 1 ton tanah terkontaminasi. Selanjutnya Bernier et al. (1997) juga melakukan pengomposan skala laboratorium dengan komposisi pencampuran berbeda menghasilkan degradasi pestisida yang berbeda pula. Total campuran akhir 65 g dengan komposisi bahan pengomposan (% berat) terdiri dari tanah : gambut : kotoran hewan : serbuk gergaji = 10 : 1 : 45 : 45 berhasil mereduksi 89% DDT, komposisi 25 : 1 : 37 : 37 berhasil mereduksi 85% DDT dan komposisi 25 : 20 : 35 : 20 berhasil mereduksi 73% DDT.

(29)

Selama pengomposan pestisida akan mengalami degradasi. Degradasi tersebut terjadi karena mikroba-mikroba yang ada menghasilkan enzim-enzim yang akan mengkatalisis oksidasi, reduksi, hid rolisis, dehalogenisasi dan reaksi secara sintetik (Singer dan Chron 2002).

Pestisida yang bersifat persisten di lingkungan dapat diketahui dari struktur kimianya. Struktur kimia tersebut juga bisa membantu untuk mengetahui kelarutan pestisida tersebut. Pestisida yang mempunyai ikatan labil akan lebih mudah dan cepat didegradasi. Penambahan air bisa memecah ikatan yang labil tersebut dengan proses hidrolisis atau enzimatik. Malathion merupakan contoh insektisida yang mempunyai ikatan labil dan dapat terdegradasi dengan enzim hidrolitik (misalnya esterase dan phospatase). Pestisida lain yang mampu terdegradasi melalui reaksi hidrolisis adalah: karbamat, pyrethroid, diazinon, dicamba, asam dikloropikolinat, dimethoat, atrazin, linuron, propanil, kloropirifo s dan 2,4-D (Singer et al. 2002).

Enzim lainnya yang bekerja dalam degradasi pestisida yaitu mono-oksigenase dan di-mono-oksigenase. Enzim tersebut memasukan satu atau dua atom oksigen ke dalam struktur pestisida. Proses oksidasi ini menyebabkan pestisida men jadi lebih mudah untuk degradasi selanjutnya. Degradasi akan dimulai dari tingkat ekstraseluler dan akan dilanjutkan ke tingkat intraseluler (Singer et al. 2002).

(30)

2.2 Profenofos dan Degradasi Profenofos

2.2.1 Sifat Kimia Profenofos

[image:30.612.220.421.214.296.2]

Profenofos merupakan senyawa insektisisda dari golongan organofosfat. dengan spektrum luas dan terdaftar penggunaannya untuk tanaman kapas. Merk dagang dikenal dengan Curacron 8E dan diaplikasikan di lapangan sebagai larutan emulsi dengan dosis 1 pon/ha-6 pon/ ha/Tahun (BCPC, 1997).

Gambar 3. Rumus Bangun Profenofos

Profenofos mempunyai nama kimia O-(4-bromo -2-chlorophenyl)O-ethyl S-prophyl Phosporothioate dengan rumus empiris C11H15BrClO3PS dengan rumus

bangun seperti Gambar 3. Profenofos mempunyai bobot molekul 373.6, titik didih 100oC pada 1.80 Pa, tekanan uap sebesar 1.24 x 10-1mPa pada suhu 25oC,

kelarutan dalam air 28 mg/l 25oC dan mudah larut dalam pelarut organik. Profenofos berbentuk cairan kuning muda dengan bau seperti bawang putih. Relatif stabil pada kondisi netral–asam dan tidak stabil pada kondisi basa. Pada roses hidrolisis di laboratorium pada suhu 20oC mencapai 93 hari pada pH 5, 14.6

hari pada pH 7 dan 5.7 hari pada pH 9 (BCPC, 1997). Secara biokimia merupakan inhibitor kolinesterase. Merupakan insektisida dan akarisida non-sistemik tetapi bersifat kontak dengan pencernaan. Direkomondasikan untuk memberantas hama pada kapas, jagung, bit, kentang, aneka sayuran, tembakau dan beberapa tanaman lain.

Profenofos memiliki spektrum daya bunuh yang luas terhadap insekta dan akarisid. EPA, 1998 mendata toksisitas penggunaan profenofos terhadap hewan non-target sebagai berikut. Pada burung LD50 55.0 mg/kg bersifat akut, burung

puyuh LC50 57 ppm dan pada mallard duck LC50 1.646 ppm. Berdasarkan studi

(31)

µg/lebah. Profenofos bisa mengakibatkan toksisitas akut dan kronik terhadap biota air ikan dan vertebrata. Pada berbagai jenis ikan pada percobaan toksisitas akut selama 96 jam diperoleh data LC50 25-41 µg/l. Berdasarkan laporan ikan akan

mati pada kadar residu 0.6-1.5µg/l. pada invertebrata air seperti daphnia, profenofos bersifat sangat toksik dengan EC50 0.93µg/L dan dari percobaan yang

dilakukan, daphnia mampu hidup pada 0.2 µg (NOAEC) dan 0.26 µg/L (LOAEC). Hal ini sangat membahayakan ekosistem perairan. Toksistas Profenofos pada ikan laut berkisar LC50 2.4 -7.7 µg/l.

Gejala yang ditimbulkan kepada manusia jika keracunan Profenofos adalah sebagai berikut: produksi air liur berlebihan, berkeringat, keluar air mata, tegang otot, lemas, kejang-kejang, in-koordinasi, sakit kepala, pusing, mual, muntah, kram perut, diare, tekanan pernafasan, sesak dada, batuk parah, mengganggu kerja pupil kadang-kadang penglihatan kabur, tidak sadar/pingsan dan penghalang enzim kolinesterase (BCPC, 1997). EPA (2000) menyatakan bahwa konsentrasi akut profenofos 0.005 ppm/hari dan konsentrasi kronik 0.00005 ppm/hari untuk makanan dan minuman. Sedangkan tipe exposure inhalasi 0.068 ppm bisa menghambat aktivitas otak dan kolinesterase.

2.2.2 Degradasi Profenofos

Data mengenai keberadaan profenofos di lingkungan relatif lengkap tetapi tidak demikian halnya dengan degradasinya. Informasi yang diperoleh lebih kepada degradasi profenofos dalam lingkungan netral-basa.

(32)
[image:32.612.169.478.137.516.2]

lingkungan (Gambar 4). Sedangkan produk lainnya yaitu O-ethyl-S-propyl Phosporthioate tidak diketahui dengan jelas sifatnya.

Gambar 4. ‘Pathway’ Metabolit Profenofos

(33)

pengaruh pemakaian profenofos secara terus menerus di perkebunan kapas, menyimpulkan bahwa profenofos ditemukan hanya sampai kedalaman 20 cm setelah 180 hari penyemprotan sebesar 0.02% dari konsentrasi awal.

a. Persisten

Proses hilangnya profenofos di lingkungan umumnya terjadi secara hidrolisis. Hidrolisis profenofos pada larutan netral dan basa mempunyai t1/2

104-108 hari pada pH 5, 24-62 hari pada pH 7 dan 7-8 jam pada pH 9. Produk degradasi utamanya adalah 4-bromo -2-chlorophenol dan O-ethyl-S-propyl Phosporthioate. Photolisis bukan merupakan ‘pathway’ utama pada degradasi profenofos. Profenofos dapat dianailisis pada UV spektrum panjang gelombang 290-490 nm (EPA, 2000)

Metabolisme profenofos terjadi dengan dengan cepat pada tanah netral dan basa. Pada kondisi aerobik profenofos terdegradasi dengan t1/2 2 hari dan 3 hari

pada kondisi anaerob dengan aplikasi radioaktif. Laju metabolisme profenofos dipengaruhi oleh proses hidrolisis dan metabolisme aerobik dan anaerobik pada kondisi netral dan asam disimpulkan lebih lambat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tanah aerobik dan anaerobik terhadap konsentrasi 4-Bromo-2-chlorophenol, tidak menunjukkan penurunan setelah 60-120 hari setelah aplikasi profenofos. Keberadaan profenofos di lingkungan dapat di lihat pada Tabel 2. (EPA, 2000)

(34)

Tabel 2. Ringkasan Degradasi Profenofos

Sumber: EPA, 1998

b. Mobilitas

Mobilitas profenofos dinyatakan dengan koefisien Freundlich (Kads)

sebagai Adsorbsi dan Koc sebagai Desorbsi dimana Kads 4.6 untuk pasir, 7.5

untuk tanah liat berpasir, 17.0 untuk tanah liat dan 89.3 untuk tanah debu. Koefisien desorbsi berada pada selang 6.2 (pasir) – 128.1 (debu). Adsorbsi akan meningkat seiring dengan meningkatnya bahan organik tanah dan debu. Data yang lebih lengkap dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana mobilitas dari produk utama degradasi profenofos yaitu 4-bromo-2-chlorophenol dan O-ethyl-S-propyl Phosporthioate (EPA, 2000)

Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa sebagian profenofos bisa hilang ke atmosfer melalui penguapan. Lebih dari 30 hari, rata-rata volatilitas profenofos 6.13 x 10-3 ug/cm2/jam dan tekanan uap rata-rata 3.46 x 10-6 mm Hg. Residu utama pada penguapan adalah 4-bromo -2-chlorophenol (EPA, 2000)

c. Akumulasi

Berdasarkan penelitian, profenofos dan produk degradasinya yaitu 4-bromo -2-chlorophenol masih ditemukan sejauh 6 inchi dari permukaan pada plot

Parameter Nilai

Persisten

Hidrolisis pH 5 t1/2 = 104-108 hari

pH 7 t1/2 = 24-62 hari

pH 9 t1/2 = 0.33 hari

Fotolisis di air stabil

Fotolisis di tanah stabil

Metabolisme aerob di tanah t1/2 = 2 hari pH 7.8

Metabolisme anaerob di tanah t1/2 = 3 hari pH 7.8

Metabolisme anaerob di perairan t1/2 = 3 hari pH 7.3 (air)

pH 5.1 (sediment) Mobilitas/Adsorbsi – Desorbsi

Koefisien stabilitas (4 jenis tanah) Kd = 4.6-89.3

Koc = 869-3162

Penguapan di Laboratorium 6.13 x 10-3 ug/cm2/jam

Bioakumulasi

Akumulasi pada ikan 29x pada daging; 45x pada kepala;

(35)

yang ditanami kapas dan plot kontrol di California dan Texas. Sedangkan pada penelitian Ngan et al. (2005) bahwa pada tanah pertanian dengan pH 5 mengindikasikan profenofos tidak mengalami leaching lebih dari 10 cm di bawah tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa profenofos bersifat “limited mobiltiy”. Pada penelitian Tejada et al. (2000) mengenai pengaruh pemakaian profenofos secara terus menerus di perkebunan kapas, menyimpulkan bahwa profenofos ditemukan hanya sampai kedalaman 20 cm setelah 180 hari penyemprotan sebesar 0.02% dari konsentrasi awal di permukaan hari ke nol.

Akumulasi residu profenofos pada biota ikan lebih banyak terjadi pada organ dalam/pencernaan. Maksimun faktor biokonsentrasi mencapai 29x pada daging, 45x pada kepala dan 682x pada organ dalam. Residu profenofos dapat didepurasi secara cepat dengan konsentras i hanya 1 ppb pada daging, 2 ppb pada kepala dan 7 ppb pada organ dalam. Bahan kimia yang dominan ditemukan di organ dalam ikan yaitu 4-bromo-2-chlorophenol (EPA, 2000)

2.3 Bioremediasi

Bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan aktivitas mikroba untuk mendegradasi kontaminan berbahaya menjadi bahan yang tidak toksik atau toksisitasnya berkurang (Vidali, 2001). Bioremediasi dapat digunakan sebagai teknik untuk pengolahan limbah bahan kimia termasuk pestisida (Cookson, 1995). Bioremediasi akan efektif jika kondisi lingkungan mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba.

Faktor yang mempengaruhi bioremediasi adalah: keberadaan populasi mikroba yang mampu mendegradasi polutan, faktor lingkungan seperti tipe lahan, suhu, pH, keberadaan oksigen atau electron acceptor lainnya dan nutrien.

(36)

Methylomonas (EPTC), Pseudomonas (Alachlor, Isopenfhos, carbofuran, 2,4-D), dan Rhodococcus (EPTC).

Jenis mikroba juga mempengaruhi proses bioremediasi apakah secara aerobik atau anaerobik. Umumnya proses bioremediasi berlangsung secara aerobik namun untuk kond isi tertentu tergantung jenis kontaminan dan mikroba pendegradasi, bisa berlangsung secara anaerobik. Pestisida (atrazin, carbaryl, carbofuran, coumphos, diazinon, glicofosfat, parathion, propham dan 2.4-D) dapat diremediasi secara aerobik maupun anaerobik (Vidali, 2001).

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa, faktor lingkungan yang berpengaruh yaitu nutrien. Keberadaan mikroba di tanah terkontaminasi harus distimulasi pertumbuhan dan aktivitasnya. Biostimulasi biasanya dilakukan dengan penambahan nutrien dan oksigen untuk membantu mikroba indigen untuk menghasilkan enzim yang dibutuhkan guna mendegradasi kontaminan. Mikroba tersebut membutuhkan nitrogen, karbon dan fosfor (Tabel 3). Karbon merupakan kebutuhan nutrien dasar yang dibutuhkan dalam jumlah besar dibandingkan unsur lain. Kebutuhan nutrien C/N rasio 10:1 dan C/P rasio 30:1.

Tabel 3 Komposisi Sel Mikroba

Unsur Persentase Unsur Persentase

Karbon 50 Natrium 1

Nitrogen 14 Kalsium 0.5

Oksigen 20 Magnesium 0.5

Hidrogen 8 Klorida 0.5

Phospor 3 Besi 0.2

Sulfur 1 lain-lain 0.3

Kalium 1

R.Y Stainer et.al. The Microbial Word 5th ed. Prentice-Hall, NJ (1986) dalam Vidali (2001)

Pertumbuhan dan aktivitas mikroba dipengaruhi oleh pH, suhu dan kelembaban. Meskipun mikroba ters ebut diisolasi dari kondisi yang ekstrim, namun pertumbuhan yang optimal hanya terjadi pada kisaran yang sempit. Oleh karena itu perlu memperoleh kondisi yang optimal. Mikroba dapat tumbuh dan berkembang pada pH 6.5-7.5. Sedangkan suhu yang disarankan adalah 15-45oC.

(37)

Gula, selulosa, hemiselulosa (CH2O)x + xO2 xCO2 + xH2O

Protein (N organik) + O2 NH4 + NO2- + NO3- + Energi

Organik sulfur + O2 SO4 + SO2- + SO3- + Energi

Organik fosfor (lesitin, phitin) + O2 H3PO4 + Ca(HPO4)2

Pengomposan merupakan dekomposisi dan mineralisasi bahan-bahan organik secara biologi pada kondisi termofilik untuk menghasilkan produk akhir yang stabil dan tidak berbahaya sehingga dapat menguntungkan saat diaplikasikan ke tanah (Bertoldi et al. 1998). Selanjutnya dijelaskan bahwa kunci dari definisi tersebut adalah untuk memproduksi hasil akhir yang stabil, bermanfaat dan menyuburkan yang disebut kompos.

Murbandono (2005) mendefinisikan pengomposan adalah proses fermentasi/dekomposisi/degradasi bahan-bahan organik karena adanya interaksi antara mokroba (bakteri pembusuk). Bahan-bahan organik tersebut seperti dedaunan, rumput, jerami, kotoran hewan, sekam padi dan lain-lain.

Menurut Murbandono (2005) dan Indriani (2004 ), selama proses pengomposan terjadi perubahan-perubahan bahan antara lain:

1. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak, lilin menjadi CO2 dan air.

2. Protein menjadi amida-amida dan asam amino menjadi amoniak, CO2 dan air.

3. Pengikatan unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama N disamping P,K dan lain-lain yang terlepas kembali bila mikroorganisme mati.

4. Penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman Pengomposan dapat dilakukan secara aerob dan anaerob. Pengomposan aerob secara umum mengasilkan unsur C dalam bentuk CO2 dengan keberadaan

oksigen. Hasil akhir lainnya yaitu NH3, H2O dan panas. Reaksi penguraian bahan

(38)

Pengomposan secara anaerob terjadi saat tumpukan campuran kurang suplai oksigen sehingga menghasilkan senyawa merkaptan (CH2O)x dan H2S

yang berbau tak sedap melalui reaksi berikut:

Composting atau pengomposan dapat dilakukan dengan mencampur bahan bahan yang terkontaminasi dengan bahan-bahan sisa organik yang tidak berbahaya seperti limbah pertanian atau kotoran hewan. Keberadaan bahan-bahan organik tersebut akan mendukung perkembangan populasi mikroba dan kondisi temperatur untuk pengomposan (Vidali, 2001). Pengomposan untuk lahan tercemar bahan organik merupakan alternatif strategi baru yang secara umum sudah mulai berkembang tetapi masih terbatas penelitiannya (Semple et.al. 2001). Jika biowaste (jerami, kotoran hewan, sekam padi, tanaman, sayuran, potongan kayu/serbuk gergaji, kotoran hewan, tandan sawit) diinkubasi dengan tanah tercemar akan terjadi proses penguraian pada suhu tinggi (thermophilic phase) dan proses ini disebut pengomposan (composting) ( Gestel et al. 2003). Selama proses pengomposan berlangsung akan terjadi degradasi kontaminan bahan organik.

Pestisida merupakan senyawa persisten di lingkungan pada konsentrasi tertentu, lebih cocok dilakukan bioremediasi dengan strategi pengomposan karena:

♦ Suhu yang tinggi atau suhu termofilik selama pengomposan memungkinkan reaksi biokimia yang lebih cepat. Suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan pestisida menjadi lebih mudah terdegradasi dan meningkatkan pertumbuhan mikroba pendegradasi pestisida.

♦ Jenis mikroba yang beragam menyebabkan terjadinya co-metabolisme terhadap pestisida. Struktur bah an organik yang beragam dalam kompos Gula, selulosa, hemiselulosa (CH2O)x xCH3COOH

xCH3COOH CH4 +CO2

N – Organik NH3

2H2S + xCO2 (CH2O)x + S + H2O

Bakteri penghasil asam

(39)

membantu terjadinya co-metabolisme sejumlah bahan yang menjadi obyek degradasi, bahkan xenobiotik yang rekalsitran seperti DDT, dan PCB.

♦ Bahan-bahan organik yang digunakan untuk pengomposan terdiri dari banyak dan beragam mikro organisme yang aktif, dengan karakteristik dan kemampuan masing-masing. Keanekaragaman ini mengindikasikan kemampuan degradasi pestisida yang lebih tinggi dimiliki oleh mikroorganisme

Bahan pengomposan biasanya menggunakan sisa-sisa pertanian, kotoran hewan (misal kotoran kuda, sapi, domba, ayam), lumpur aktif, jerami, serbuk gergaji, gambut (Bernier et al. 1997). Penelitian ini akan menggunakan bahan -bahan daun-daun dari tanaman asal yaitu daun wortel, kotoran sapi dan tanah terkontaminasi pestisida dan serbuk gergaji untuk pengomposan. Bahan-bahan tersebut berbeda dalam hal kandungan C/N dan kadar air (Tabel 5). Bahan yang mempunyai nilai C/N rasio yang terlalu tinggi tidak baik digunakan sebagai bahan utama pengomposan tetapi hanya sebagai bulking agent untuk mengimbangi bahan yang C/N rasionya rendah.

Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik menjadi kurang dari 20 atau sama dengan C/N rasio tanah. Jika C/N rasio tinggi, bahan organik tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman.

(40)

organik. Indrasti dan Wilmot (2001) menyatakan kadar air harus dikontrol 45-60%.

Faktor penting pengomposan lainnya adalah suhu. Moser (2000) menyatakan suhu akan mencapai 20-65oC saat proses pencampuran bahan-bahan kompos. Jika suhu kurang dari 20oC maka proses akan berjalan lambat dan jika lebih dari 65oC menyebabkan banyak mikroba yang mati. Moser menambahkan suhu yang disarankan pada kisaran 35-55oC. Sedangkan menurut Indrasti dan Wilmot (2001) suhu dipertahankan pada 40-50oC. Nilai pH optimum untuk perkembangan mikroba adalah 6-8 (Indriani, 2004). Cookson (1995), menyatakan bahwa untuk jenis degradasi pestisida seperti DDT, aldrin, heptachlor, endrin dan lindane akan terdegradasi lebih cepat dalam kondisi anaerob. Pengomposan dapat berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Pengomposan aerobik menghasilkan CO2, air dan panas. Pengomposan anaerobik menghasilkan metana

(alkohol), CO2 dan senyawa antara seperti asam organik (Indriani, 2004). Indrasti

dan Wilmot (2001) menjelaskan pada pengomposan sistem windrow, pathogen akan tereduksi jika suhu dipertahankan di atas 50oC selama 3 hari.

(41)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Desa Sindang Jaya, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Analisis mikroba dan penyemaian benih di Laboratorium Bioproses IV dan Greenhouse, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong. Analisis residu profenofos dilakukan di Laboratorium Residu Pestisida Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian (BALITBIOGEN). Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2005 -Maret 2006.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

3.2.1 Alat

Penelitian ini menggunak an alat-alat sebagai berikut: cawan petri, labu Erlenmeyer, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, autopipet, labu ukur, botol Schott, corong, jarum ose, lampu spritus, kertas saring, neraca analitik, pH meter, autoklaf, sentrifuse, mikropipet Eppendorf 100 dan 1000µl, kertas milipore

0.45µm, termometer, bak pengomposan, pH meter dan Kromatografi gas (GC)

dan Spektrofotometer.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah tercemar pestisida yang diperoleh dari Kawasan Agropolitan Des a Sindang Jaya, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Jawa Barat Bahan -bahan pengomposan dalam hal ini kotoran sapi dan daun wortel diperoleh dari tempat asal tanah yang terkontaminasi pestisida. Bahan lain yang digunakan adalah media selektif MSPY (Mineral Salt Peptone Yeast), alkohol teknis 70% (v/v), metanol, larutan garam steril, arang aktif, spirtus, larutan NaOH 5% Na2SO4 anhidrat, larutan asam asetat

(42)

3.3Desain Penelitian

Penelitian diawali dengan survei lahan pertanian yang tercemar pestisida di kecamatan Darmaga, Ciawi, Cisarua dan Kecamatan Pacet. Lahan pertanian yang mengindikasikan residu pestisida tinggi dianalisis sampel tanahnya. Hasil analisis residu yang melewati ambang batas ditetapkan sebagai lokasi pengomposan.

Tahap penelitian selanjutnya menganalisis C/N dan kadar air bahan-bahan yang digunakan untuk pengomposan yaitu; tanah, serbuk gergaji kotoran sapi dan daun wortel. Berdasarkan data tersebut diperoleh komposisi masing-masing bahan dalam campuran untuk C/N 30, 35 dan 40 menggunakan Software Moisture and Carbon/Nitrogen Ratio Calculation Spread Sheet (Richard 2005 ).

Selanjutnya dilakukan pengomposan tanah tercemar profenofos dengan tanah, serbuk gergaji kotoran sapi dan daun wortel. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui laju degradasi profenofos selama pengomposan.

Tanah yang sudah diremediasi dengan cara pengomposan diuji pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman. Pada penelitian ini menggunakan tanaman bayam Jepang, karena mudah di dapat dan cepat panen. Tahap ini dilakukan di 2 tempat yaitu: penyemaian benih di green house dan penanaman di lapangan.

Selanjutnya menghitung jumlah populasi bakteri dengan TPC (Total Plate Count), mengisolasi bakteri yang mampu mendegradasi profenofos selama pengomposan, menguji aktivitas bakteri dengan FDA (Fluorescent Diacetate

Assay) dan menguji kemampuan degradasi profenofos oleh bakteri yang telah diisolasi tersebut dengan media adaptasi. Bagan alir tahapan penelitian disajikan pada Gambar 5.

1. Analisis residu profenofos pada tanah yang diduga tercemar profenofos. Analisis C/N dan kadar air tanah, kotoran sapi dan daun wortel.

(43)

Sampling perminggu untuk analisis: residu profenofos, C/N, pH, TPC dan aktivitas mikroba Minggu ke-5: Analisis kualitas kompos meliputi C/N, KTK, unsur hara, kadar air, kadar abu, pH dan populasi mikro ba

Tanah tercemar pestisida

Pencampuran tanah tercemar

dengan biowaste pada Analisis residu pestisida,

C/N dan kadar air

Inkubasi Kotoran sapi dan

daun wortel

Analisis C/N dan kadar air

Kompos/Tanah bebas profenofos

Isolasi Bakteri

Uji Toksisitas Penanaman di lapang Penanaman di

rumah kaca

Pertumbuhan dan biomass

Uji aktivitas dan uji kemampuan degradasi profenofos Survei penggunaan

pestisida

Analisis residu pestisida

[image:43.612.128.528.71.613.2]

Penentuan lokasi pengomposan

Gambar 5 Diagram Tahapan Penelitian

(44)

4. Menguji toksisitas tanah yang sudah dikomposkan dengan menyemai benih bayam Jepang di green house Bioteknologi LIPI Cibinong tanpa pemupukan selama 14 hari dan menanam bayam Jepang di lapangan selama 40 hari (panen). Biomass tanaman ditimbang berdasarkan akar, batang dan daun. Sedangkan hasil panen di lapangan dibandingkan dengan hasil panen petani di lahan sumber tanah yang digunakan untuk penelitian.

[image:44.612.206.436.255.526.2]

Parameter yang diamati selama penelitian secara detail di sajikan pada Tabel 4

Tabel 4 Sampling dan parameter yang diamati

Sampling Parameter Metode/Alat

Harian Suhu Termometer

Minggu ke-0 pH pH meter

1, 2, 3, 4 C/N Gravimetri & Kjeldal Kadar air AOAC, 1984 Residu profenofos GC

Populasi mikroba TPC

Aktivitas mikroba FDA

Minggu ke-5 pH pH meter

C/N Gravimetri & Kjeldal Kadar air Gravimetri

Residu profenofos GC Populasi mikroba TPC Aktivitas mikroba FDA Kualitas kompos:

Kadar Abu Gravimetri Total N Kjeldal P2O5

K2O

(45)

Gambar 6. Bak Proses Pengomposan

3.4Pengolahan Data

3.4.1 Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap satu faktor yaitu komposisi campuran pengomposan (tanah, serbuk gergaji, daun wortel dan kotoran sapi) dengan 3 taraf yaitu C/N 30, C/N 35, C/N 40 dua kali ulangan.

Respon utama yang diamati adalah parameter laju degradasi pestisida. Sebagai kontrol digunakan tanah tercemar pestisida tanpa perlakuan untuk mengetahui laju degradasi pestisida secara alami di lahan tercemar tersebut.

Model Statistik untuk rancan gan ini adalah (Matjik dan Sumertajaya, 2002):

Yij = µ + ti + eij

dimana; i = 1,2,...,t dan j = 1,2,...,r

Yij =Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ =Rataan umum

ti =Pengaruh perlakuan ke-i

eij =Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:

H0 : t1 = t2

=

t3 = 0 (Perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang

diamati/semua perlakuan memberikan respon yang sama)

(46)

Analisa yang dilakukan meliputi kadar residu pestisida, C/N, KTK, unsur hara, pH, kadar air, kadar abu dan populasi mikroba dalam kompos.

3.4.2 Penurunan Profenofos Selama Pengomposan

Pengomposan dilakukan dengan mencampurkan tanah yang tercemar profenofos dengan serbuk gergaji, kotoran sapi dan daun wortel. Komposisi masing-masing bahan berdasarkan C/N yaitu 30, 35 dan 40 masing-masing 2 ulangan. Selama pengomposan (35 hari) dilakukan 6 kali sampling campuran untuk analisis residu profenofos dan analisis mikroba. Sampling tersebut dilakukan pada 5 titik dan dikompositkan. Pengukuran suhu dilakukan setiap hari dan jika suhu meningkat ditandai dengan campuran menjadi panas atau kelembaban berkurang dilakukan pembalikan sambil disiram. Pada akhir proses pengomposan ditandai dengan suhu menurun dan stabil mendekati suhu ruang, dilakukan analisis kualitas kompos meliputi: C/N, kadar air, kadar abu, KTK, unsur hara, pH, residu profenofos dan populasi mikroba. Selanjutnya dilakukan analisa kualitas kompos mengacu kepada standar mutu kompos menurut Indrasti dan Wilmot (2001), Japan Bark Compost Association (Harada et al. 1993), SNI 19-7030-2004 Kompos (2004) dan Depatemen Pertanian (2004) seperti Tabel 5.

Tabel 5 Standar Mutu Kompos

Paremeter Mutu Satuan A B C D

Total N % 2.5-3.5 0.2 0.4

Rasio C/N - 20-25 <35 10-25

P2O5 % >0.021 >0.5 0.1

K2O % >0.021 >0.3 0.2

pH 7-8 5.5-7.5 6.8-7.5 7-8

KTK Meq/100g 100 >70 - = 80

Kadar air % 35-45 55-65 = 50 = 35

Keterangan: A: Indrasti dan Wilmot (2001)

B: Japan Bark Compost Association (Harada et.al., 1993) C: SNI Kompos (19-7030-2004)

D: Depatemen Pertanian (2004)

(47)

kehitaman, bau humus dan reaksi agak masam sampai netral. Nisbah C/N berkisar 5-20 dan kompos yang stabil mengandung N dalam bentuk senyawa nitrat dan tidak ada N dalam bentuk amonia (Murbandono, 2005).

3.4.3 Analisis Residu Profenofos

Analsis residu profenofos menggunakan Gas Chromatography (GC) dilakukan dengan metode shaker. Spesifikasi GC yang digunakan adalah adalah: tipe GC Shimadzu Model GC-4CM, kolom OV 17, Dimensi kolom panjang 2m dan diameter 3 mm, detektor 63Ni ECD, phase gerak N2, sensitivitas 102, laju alir

30 ml/menit, kecepatan kertas 5mm/menit, attunation 4, suhu kolom 210oC, suhu detektor dan injektor 250oC. Metode kerja analisis residu profenofos secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 12.

3.4.4 Analisis Mikroba

Analisis mikroba meliputi: jumlah populasi bakteri, isolasi jenis bakteri, analisis aktivitas bakteri dan uji kemampuan bakteri mendegradasi profenofos. Analisis jumlah populasi bakteri dilakukan dengan metode TPC pada media agar PCA/Plate Count Agar.

Mikroba yang terdapat di dalam campuran pengo mposan masih merupakan koloni beberapa jenis bakteri sehingga perlu dilakukan isolasi untuk mendapatkan isolat/biakan murni (koloni tunggal). Isolasi bakteri dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: metode cawan tuang/taburan (Pour Plate Method) dan metode cawan gores (Streak Plate Method) seperti yang dilakukan pada penelitian ini. Metode awan tuang dilakukan dengan cara menginokulasi medium agar yang sedang mencair pada temperatur 50oC dengan suspensi bahan yang

mengandung bakteri dan menuangkannya ke dalam cawan petri, setelah diinkubasi akan terlihat koloni-koloni yang tersebar di pemukaan agar.

(48)

Sebelum melakukan pengujian kemampuan bakteri dalam mendegradasi profenofos, bakteri diadaptasikan dahulu pada media padat NA adaptasi yang mengadung profenofos. Bakteri yang mampu tumbuh diuji kemapuannya mendegradasi profenofos dengan uji pembentukan zona jernih pada media MSPY (Mineral Salt Pepton Yeast) yang mengandung profenofos. Bakteri tersebut diinkolasi selama 4 hari.

Pembuatan media padat NA adaptasi sama dengan media padat NA yang mengadung nistayn. Perbedaanya pada media padat NA adaptasi tidak ditambahkan nistatyn tetapi ditambahkan profenofos dengan konsentrasi yang berbeda.

(49)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai bioremediasi lahan tercemar pestisida ini dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah survei lahan pertanian yang terkontaminasi pestisida dengan menganalisis residu pestisida. Tahap ke dua, di lahan tersebut dilakukan pengomposan pada C/N rasio yang berbeda dengan campuran bahan -bahan yang berasal dari lahan itu sendiri yaitu: daun wortel, kotoran sapi dan serbuk gergaji sebagai bulking agent. Tahap ke tiga adalah melakukan uji toksisitas tanah yang sudah diremediasi menggunakan bayam Jepang. Tahap selanjutnya adalah mengisolasi bakteri yang ada di dalam campuran pengomposan dan meguji bakteri apa saja yang berperan dalam mendegradasi pestisida selama proses pengomposan dengan menganalisis aktivitas serta kemampuan degradasinya.

(50)

Keterangan: hasil survei di Darmaga tidak mengindikasikan pemakaian pes tisida secara intesif sehingga tidak dianalisis (tda)

Tabel 6. Residu Pestisida di Lahan Pertanian Hortikultura Kecamatan Dramaga, Ciawi, Cisarua dan Pacet

Lokasi Parameter Konsentrasi (ppm) Waktu Dramaga (Petir) Tda tda 29 Agustus 2005

Ciawi Malation 0.0144 06 September 2005 Profenofos 0.0044

Cisarua Heptaklor 0.0078 01 September 2005 Aldrin 0.0367

Pacet Endosulfan 0.0889 30 September 2005 Klorpirifos 0.0821

Profenofos 0.3210

Semua petani di kawasan Agropolitan menggunakan pestisida dalam usaha pertanian mereka. Tanaman yang mendominasi adalah bawang daun dan wortel. Tanah pertanian yang di analisis juga berasal dari lahan yang ditanami wortel. Jenis pestisida yang digunakan terutama dursban dan curacron untuk membasmi insekta pada tanaman wortel. Tingginya volume penggunaan pestisida berpotensi mencemari lahan pertanian itu.

Menurut peta rupa bumi Bakosurtanal (1998), Kawasan Agropolitan terletak di Desa Sindang Jaya, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Berdasarkan data satelit, tanah lokasi penelitian termasuk tanah Regosol (Gambar 7).

Tanah regosol terdapat di daerah yang terbentuk dari bahan endapan volkan dan tersebar di kaki Gunung Gede-Pangrango. Tanah ini belum mengalami perkembangan profil yang jelas. Bahan induk tanah ini merupakan bagian dari endapan lahar dari Gunung Gede dengan warna coklat tua kekuningan. Bertekstur kasar (lempung, berpasir, berkerikil, konsistensi gembur/lembab dan agak plastis/basah). Struktur lemah, reaksi sedang di semua lapisan, bahan organik tinggi di lapisan atas, rendah di lapisan bawah. Nitrogen tinggi di lapisan atas, rendah di lapisan bawah. C/N sedang di lapisan atas, rendah di lapisan bawah. P2O5 tinggi di semua lapisan, K2O rendah di seluruh lapisan. Hasil analisis

(51)

[

700000 700000 720000 720000 740000 740000 760000 760000 780000 780000 9 18 00

00 918000

0

92

0

00

00 920

00 0 0 9 2 20 00

0 92

20 00 0 92 40 0

00 924

00 00 9 2 60 00

0 9260

0

00

PETA JENIS TAN AH LOKASI PENELITIAN

Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat Kompleks R egosol Kelabu dan Litosol Latosol Coklat

JENIS TANAH

Kecamatan Pacet

[

Desa Sindangjaya

Sumber :

1. P eta Rupa Bumi, Ba kosurtanal, 19 98 2. Data V ektor Jen is Tanah Jawa Bar at, 200 2

6000 0 6000 12000 Km

U

INDEKS PETA KETERANGAN

Pulau Jawa Kabupaten Cianju r

[image:51.612.131.512.94.388.2]

Gambar 7 Peta Lokasi dan Peta Tanah Lokasi Penelitian

Tabel 7. Analisis Kimia Tanah Kawasan Pertanian Cipatat Cianjur

Parameter Nilai

`pH 5.53

Corganik 2.29%

N-total 0.20%

P 6.58ppm

Ca 7.75me/100g

Mg 1.00me/100g

K 0.50me/100g

Na 0.44me/100g

KTK 32.13me/100g

(52)

lahan sebelum dicangkul, selanjutnya dibuat parit dan meratakan tanah dengan campuran pupuk kandang sekitar 1:3 selanjutnya benih langsung disemai dan ditutup dengan lapisan tanah tipis. Setelah 15 hari tumbuh kecambah dilakukan penyemprotan pestisida (curacron, victori dan burman masing -masing 10 ml dalam 17 l air). Penyemprotan dilakukan setiap minggu untuk tanaman berumur 40 hari dan 2 minggu untuk tanaman berumur 3-4 bulan. Jika terjadi hujan petani melakukan penyempotan lagi meskipun baru dilakukan penyemprotan insektisida. Jika tanaman diserang oleh hama maka segera dilakukan penyemprotan insektisida curacron dengan konsentrasi 2 kali lipat dibandingkan dengan konsentrasi awal. Wortel merupakan tanaman hortikultura berumur 3.5-4 bulan. Petani melakukan penyemprotan 7-8 kali mulai dari awal sampai panen. Kebiasaan petani yang tidak memperhatikan jarak waktu antar penyemprotan dan jarak antara waktu panen dengan penyemprotan terakhir ini menimbulkan masalah residu pestisida pada produk sayuran dan tanah.

Hasil survei awal penelitian di Kabupaten Bogor (Kecamatan Dramaga, Ciawi dan Cisarua) dan kabupaten Cianjur (Pacet) menunjukkan bahwa wortel dan bawang daun paling tinggi di daerah Cianjur. Menurut data pertanian dan perkebunan Cianjur, wortel termasuk komoditas unggulan dengan volume produksi tertinggi mencapai 87 115 ton/tahun (Tabel 8).

(53)
[image:53.612.136.521.106.467.2]

Tabel 8. Komoditas Unggulan Kecamatan di Kabupaten Cianjur

Jumlah produksi/ Pestisida yang No Komoditas Kecamatan sentra tahun (ton) digunakan

1 Padi Seluruh Kecamatan di Kab. 599 732 benlate, regent 50EC, sawah Cianjur Kecuali Kec.Pacet petrofur 3G, larvin 75 WP dan Kec.Sukanagara furadan, dll

2 Jagung Cibeber,Mande,Cugenang, 27 595 decis 2.5 EC, dursban 20 Ec, Takokak,Tanggeung, larvin 75 WP, matador 25 EC Cikalongkulon dan Ciadaun dll

3 Kedele Ciranjang, Sukaluyu dan 7 224 belate, Confidor, decis 2.5 EC,

Bojongpicung dll

4 Kacang Sindangbarang, Cidaun, 10 513 dursban 20 EC, diazinon Tanah Agarbinta dan Naringgul 60 EC, decis, basban dll 5 Cabe Pacet, Cugenang, Sukaresmi 27 285 bion-M, benlate, dursban

20 EC, curacron 500 Ec dll 6 Kubis Pacet, Cugenang 32 390 basamid G, curacron 500 EC,

dan Campaka diazinon 60 EC dll 7 Tomat Pacet, Cugenang, Campaka 22 743 bion-M, curacron 500 EC,

dan Warungkondang dursban 20 EC, diazinon 60 EC dll 8 Petsai/ Pacet, Cugenang, Sukaresmi 46 426 sidazinon 600EC, sidametrin 50EC 9 Sawi dan Warungkondang diazinon 60EC

10 Wortel Pacet dan Cugenang 87 115 dursban 20 EC, curacron 500 EC 11 Bawang Pacet dan Cugenang 81 651 antracol 70WP, dursban 20EC dll

daun

12 Durian Cilaku, Cikalongkulon 6 552 _

13 Rambutan Cilaku, Cikalongkulon, 2 686 beta 15 EC Mande dan Cibeber

14 Pisang Cikalongkulon, Sukaresmi 422 472 rugby 10G, basamid G, anvil 50 SC

dan Cibinong

Data pertanian dan perkebunan Cianjur 2005

Para petani sebenarnya telah melakukan upaya untuk memperbaiki kualitas tanah dengan mencampurkan kotoran sapi dan tanah sebelum lahan ditanami kembali. Berdasarkan penelitian ini, perlakuan tersebut memang mampu manaikkan pH tanah mendekati netral tetapi tidak efektif menurunkan cemaran pestisida. Selain itu, berdasarkan bio massa hasil panen juga berbeda nyata dengan perlakuan pengomposan.

4.2 Proses Pengomposan

(54)

Campuran tersebut dibedakan berdasarkan nilai C/N rasio. Hasil analisis C/N dan kadar air masing-masing bahan tersebut disajikan pada Tabel 9. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui nilai C/N yang palin g efektif berpengaruh pada penurunan residu profenofos.

Tabel 9. Rasio C/N dan Kadar Air Bahan -bahan Pengomposan

Bahan %C %N %Kadar Air

Daun Wortel 39.03 1.90 30

Kotoran sapi 34.66 1.40 85

Serbuk Gergaji 55.00 0.11 10

Tanah 2.44 0.20 25

Menurut CPIS (1992), C/N merupakan faktor utama pengomposan. Hal ini karena proses pengomposan dikendalikan oleh kegiatan bakteri yang memanfaatkan karbon sebagai sumber energi dan pembentukan sel bersamaan dengan nitrogen. Bakteri dalam pertumbuhan dan aktivitasnya dipengaruhi oleh suhu dan pH. Oleh karena itu suhu dan pH sangat penting diperhatikan selama proses pengomposan. Moser (2000) menyatakan suhu akan mencapai 20-65oC saat proses pencampuran bahan -bahan kompos. Jika suhu kurang dari 20oC maka proses akan berjalan lambat dan jika lebih dari 65oC menyebabkan banyak bakteri yang mati. Moser menambahkan suhu yang disarankan pada kisaran 35-55oC.

(55)

a 5 15 25 35 45

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

hari ke-suhu ( 0C) 0 2 4 6 8 10 pH b 5 15 25 35 45

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

hari ke-suhu ( 0C) 0 2 4 6 8 10 pH c 5 15 25 35 45

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

hari ke-suhu ( 0C) 0 2 4 6 8 10 pH d 5 15 25 35 45

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

hari ke-suhu ( 0C) 0 2 4 6 8 10 pH e 5 15 25 35 45

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

hari ke-suhu ( 0C) 0 2 4 6 8 10 pH

[image:55.612.140.485.79.674.2]

suhu pH pengadukan sampling

Gambar 8 Perubahan suhu dan pH campuran selama proses pengomposan

(56)

Selama proses pengomposan dilakukan pembalikan setiap minggu sore (? ), namun hal ini tidak mempengaruhi suhu pengomposan. Hal

Gambar

Gambar 3.   Rumus Bangun Profenofos
Gambar 4. ‘Pathway’ Metabolit Profenofos
Gambar 5  Diagram Tahapan Penelitian
Tabel 4   Sampling dan parameter yang diamati
+7

Referensi

Dokumen terkait

Studi ini memberikan gambaran imple- mentasi model pembelajaran Integrasi Atribut Asesmen Formatif (IAAF) dalam pembelajaran Biologi Sel. Dalam pelaksanaan pembelajaran,

ln s urans merupakan sistem di mana para pemegang polisi perlu mengeluarkan wang (premium) yang dikenakan bagi sesuatu polisi insurans untuk tempoh tertentu (maturity

undang Siber. Laman ini merupakan laman web yang pertama yang akan membentangkan secara terperinci mengenai Undang-undang Siber. Projek yang dibangunkan ini adalah untuk

India, salah satu negara dengan bahasa yang paling beragam di dunia, memiliki sejarah panjang mendukung hak anak untuk belajar dalam bahasa ibu mereka. Pada tahun 1960,

Berdasarkan kesalahan yang dialami S1, S2, dan S3, diperoleh kesimpulan bahwa siswa yang mengalami kesalahan membaca soal maka akan mengalami empat kesalahan yang lainnya,

Amalgamasi merupakan salah satu operasi matematika yang terbentuk dengan merekatkan semua

Nilai pengeluaran bahan pangan yang dicatat adalah nilai bahan makanan yang benar-benar dikonsumsi oleh rumah tangga ini dalam seminggu terakhir yang terdiri dari bahan pangan

Sedangkan dalam penerapannya, penelitan ini menggunakan metode diskriptif kuantitatif untuk mengetahui pengaruh pembelajaran peta konsep melalui pendekatan analogi