• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : LATAR BELAKANG DIKELUARKANNYA PERATURAN

D. Prosedur dalam Melakukan Gugatan Sederhana

Kekuasaan kehakiman dalam operasinya, tidak bisa dipisahkan dari istilah badan peradilan. 100Selain itu ada istilah pengadilan, sehingga ada dua ungkapan yang hampir sama, tetapi mempunyai makna yang berbeda. Peradilan adalah fungsi mengadili atau proses yang ditempuh dalam mencari dan menemukan keadilan, sedangkan istilah pengadilan kontosinya adalah instansi resmi yang merupakan salah satu pelaksana fungsi mengadili tadi, yang dilengkapi oleh aparat resmi yang berprofesi hakim.101

Menurut Cik Hasan Bisri, peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan negara adalah kekuasaan kehakiman yang memiliki kebebasan dari campur tangan pihak kekuasan negara lainnya. Sedangkan pengadilan adalah penyelenggara peradilan, atau dengan kata lain, pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan.102

Di Indonesia secara umum dikenal dengan dua jenis badan peradilan, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Khusus. Peradilan Umum adalah peradilan yang diperuntukkan untuk rakyat pada umumnya, baik menyangkut perkara perdata maupun pidana. Adapun peradilan khusus mengadili perkara bagi golongan rakyat tertentu. Mengenai jenis peradilan diatur pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor

100 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 137

101 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2011), hal. 232

102 Ibid, hal. 237

48 Tahun 2009 tentang Kehakiman, disebutkan “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.103

Kewenangan peradilan dalam gugatan sederhana ini meliputi peradilan Umum dan Peradilan Agama tidak termasuk Peradilan Khusus, kewenangan absolut peradilan umum di atur pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, menyatakan ”Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama”. Jadi, pada dasarnya, semua perkara pidana dan perdata menjadi kewenangan peradilan umum (asas lex generalis).

Sedangkan kewenangan absolut Peradilan Agama dalam ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, dapat diketahui bahwa kekuasaan atau kewenangan Pengadilan Agama terbatas pada perkara-perkara perdata antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:104

a. Perkawinan yang diatur dalam atau berdadarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam

c. Wakaf dan shadaqah

103 Muhammad Nasir, Hukum Acara Padang, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 27

104 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 433

58

Sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, putusan peradilan agama harus dikeluarkan dan dieksekusi oleh peradilan umum. Sehingga ada anggapan bahwa peradilan agama masih dikategorikan sebagai peradilan semu, dengan diundangkannya Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang memuat kewenangan absolut peradilan agama, maka peradilan agama tidak lagi merupakan peradilan khusus dibandingkan peradilan umum, melainkan suatu lingkungan peradilan tersendiri seperti halnya peradilan umum.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pada 2006 telah mengalami perubahan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menandai lahirnya paradigma baru peradilan agama.

Paradigma baru tersebut antara lain menyangkut yuridiksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai „perkara tertentu‟ sebagimana dimaksud dalam undang-undang ini”.

Kata-kata „perkara tertentu‟ merupakan hasil perubahan terhadap kata-kata

„perkara perdata tertentu‟ sebagimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Atas dasar ini, maka Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, sehingga bunyinya menjadi “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara di tingkar pertama antara orang- orang yang beragama Islam di bidang:

a. Perkawinan

b. Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat c. Infaq dan Shadaqah

d. Ekonomi Syariah

Dalam perspektif common sense, peradilan agama selama ini dianggap sebagai peradilan Islam terutama dalam menyelesaikan perkara keluarga berdasarkan hukum keluarga berdasarkan asas personalitas keislaman, yakni mengikat antara orang-orang yang bergama Islam. Asas ini menjadi termodifikasi dengan secara objektif terfokus pada orang-orang yang mlakukan kegiatan atau mengikatkan diri dalam perikatan berdasarkan nilai-nilai syariat Islam. Pergeseran dari person kepada perilaku tampaknya bisa dijawab dengan asumsi bahwa setiap ornag yang melakukan tindakan atau akad ekonomi syariah, maka ia telah menundukkan diri secara sukarela kepada ketentuan syariah. Maka, asas penundukkan diri dan asas personalitas keislaman saling melengkapi.105

Dengan asas personalitas keislaman, maka pola pengaturan kewenangan peradilan agama tidak bisa ditundukkan oleh lembaga lain di luar peradilan agama. Selain itu menunjukkan perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama tidak ada lagi pilihan hukum dan telah jelas bagi yang beragam Islam di pengadilan agama dan non Islam di Pengadilan Negeri, sehingga tidak lagi melihat mau tunduk terhadap hukum yang mana.

105 Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), hal. 180

60

Dengan demikian, Gugatan Sederhana dalam hal ini diperiksa, diputus, dan diselesaikan dalam ruang lingkup Pengadilan Negeri bagi rakyat yang non Islam dan Pengadilan Agama untuk rakyat yang bergama Islam.106

Penyelesaian gugatan dengan acara sederhana diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan, dengan rangkaian tahapan penyelesaiannya sebagai berikut:

a. Pendaftaran

Penggugat mendaftarkan gugatannya di kepaniteraan pengadilan dan dapat juga dengan cara mengisi gugatan berupa blanko yang sudah disiapkan oleh kepaniteraan, pada substansinya blanko tersebut berisi keterangan tentang:

1) Identitas penggugat dan tergugat

2) Penjelasan ringkas tentang duduknya perkara 3) Tuntutan penggugat

Selanjutnya, pada saat mendaftarkan perkara penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah dilegasikan ketika mendaftarkan gugatan sederhana.107

b. Pemeriksaan Kelengkapan Gugatan Sederhana

Panitera melakukan pemeriksaan syarat pendaftaran gugatan sederhana berdasarkan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian

106 Hosianna M. Sidabalok, Sengketa Kewenangan Mengadili Pengadilan Agama Limboto dan Pengadilan Negeri Limboto, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXXI No. 362, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2016), hal. 150

107 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah(teori dan praktik), (Jakarta:

Kencana, 2017), hal. 117

Gugatan Sederhana, kemudian mencatatnya dalam buku register khusus gugatan sederhana yang bentuknya memuat item sebagaimana tersebut pada lampiran buku ini.

Adapun yang tidak memenuhi syarat sebagai gugatan sederhana, maka panitera mengembalikan gugatan kepada penggugat dan disarankan untuk mengajukan perkara dengan acara biasa. Sehingga pada tahap ini, Kepaniteraan sudah melakukan seleksi awal tentang kriteria perkara dengan acara sederhana atau dengan acara biasa ini memberikan sinyal bahwa panitera juga sudah harus memiliki pengetahuan tentang hukum penyelesaian perkara dengan acara sederhana maupun dengan acara biasa.108

c. Ketua Menetapkan Panjar Biaya Perkara

Ketua Menetapkan panjar biaya perkara, dan memerintahkan kepada penggugat untuk membayar panjar biaya perkara sebesar yang tercantum dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) melalui bank. Kemudian kasir menerima bukti setoran bank dari penggugat lalu membukukannya dalam buku jurnal keuangan perkara.

Dengan demikian, prosedur pembayaran panjar biaya tetap sama dengan sistem pembayaran panjar biaya perkara lainnya. Bagi penggugat yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan secara Cuma-Cuma atau prodeo, tentunya kepaniteraan memeriksa terlebih dahulu persyaratan permohonan pembebasan biaya berperkara.

108 Ibid, hal. 118

62

Selepas kepaniteraan memeriksa, lalu Ketua Pengadilan menerbitkan penetapan pembebasan biaya perkara dikabulkan atau ditolak. Proses ini tidak dihitung termasuk dalam jangka waktu penyelesaian yang sudah ditentukan untuk perkara gugatan sederhana. Setelah itu Ketua Pengadilan menetapkan hakim dengan hakim tunggal untuk memeriksa gugatan sederha, dan panitera menunjuk panitera pengganti untuk membantu hakim dalam memeriksa gugatan sederhana tersebut. Perlu diingat, bahwa proses pendaftaran gugatan sederhana, penetapan hakim dan penunjukkan panitera dilaksanakan paling lambat 2 (dua) hari kerja.109

d. Pemeriksaan Pendahuluan

Sebelum memeriksa pokok gugatan, hakim yang ditunjuk untuk menyelesaikan perkara aquo, terlebih dahulu harus memeriksa apakah materi gugatan sederhana sudah benar berdasarkan syarat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015. Walaupun pada awalnya kepaniteraan sudah melakukan penilaian persyaratan sederhana tetapi hakim tetap juga memeriksa dan menilai sederhana atau tidaknya pembuktian yang kelak akan diajukan oleh para pihak. Apabila dalam pemeriksaan hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana, maka hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana.

109 Ibid, hal. 119

Berkaitan dengan penetapan dapat dibuat dengan formulir, maka panitera diperintah untuk mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara penggugat. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2015 dan tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun setelah itu.110

e. Penetapan Hari Sidang dan Pemanggilan Para Pihak

Dalam hal hakim berpendapat bahwa gugatan yang diajukan penggugat merupakan gugatan sederhana, maka hakim menetapkan hari sidang pertama. Kemudian memerintahkan juru sita untuk memanggil para pihak agar hadir pada persidangan yang sudah ditentukan dan jarak waktu pemangilan adalah 2 (dua) hari kerja dengan bunyi Pasal 20 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015.

Apabila penggugat tidak hadir pada sidang pertama tanpa alasan yang sah, maka gugatannya dinyatakan gugur. Adapun jika tergugat tidak hadir pada sidang pertama, maka dilakukan pemanggilan kedua secara patut. Dalam hal tergugat tdaik hadir pada hari sidang kedua, maka hakim memutus perkara tersebut.

Jika tergugat pada hari sidang pertama hadir kemudian pada hari sidang berikutnya tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka gugatan diperiksan dan diputus secara contradictoir. Terhadap gugatan sebagaimana dimaksud

110 Ibid.

64

pada Pasal 13 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tergugat dapat mengajukan keberatan.111

f. Pemeriksaan Sidang dan Perdamaian

Pada hari sidang pertama, hakim wajib mengupayakan perdamaian dengan tetap memperhatikan batas waktu, yaitu ketentuan bahwa penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak hari sidang pertama.

Upaya perdamaian dalam ketentuan Petaturan Mahkamah Agung ini mengecualikan ketentuan yang diatur dalam ketentuan Mahkamah Agung mengenai prosedur mediasi. Dalam hal tervapai perdamaian, maka hakim membuat putusan akta perdamaian yang mengikat para pihak. Terhadap penetapan akta perdamaian dimaksud tidak dapat diajukan upaya hukum apa pun.

Berkaitan dengan akta perdamaian, sebaiknya pihak pengadilan sudah mempersiapkan akta perdamaian yang bentuknya berupa blanko dengan isinya yang terdiri dari:

1) Hari dan tanggal perdamaian dilakukan 2) Identitas para pihak

3) Kesepakatan yang dicapai

4) Tanda tangan pihak yang berdamai

Jika terjadi perdamaian di luar persidangan, maka para pihak harus memberikan laporan kepada hakim, apabila para pihak tidak memberikan

111 Ibid, hal. 120

laporan kepada hakim, maka hakim tidak terikat dengan perdamaian tersebut. Hakim hanya dapat menguatkan kesepakatan perdamaian di luar persidangan yang dilaporkan atau di dalam persidangan dalam bentuk akta perdamaian. Kesepakatan perdamaian dimaksud dianggap sah, apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:

1) Sesuai kehendak para pihak 2) Tidak bertentangan dengan hukum 3) Tidak merugikan pihak ketiga 4) Dapat dieksekusi

5) Dengan itikad baik

Dalam hal perdamaian tidak tercapai pada hari sidang pertama, maka persidangan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan dan jawaban tergugat. Perlu dipahami, bahwa dalam proses pemeriksaan gugatan sederhana tidak dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekopensi, intervensi, replik, duplik atau kesimpulan. 112

g. Hakim wajib berperan aktif

Berbeda dengan penyelsaian sengketa perdata lainnya, dalam menyelesaikan gugatan sederhana, hakim wajib berperan aktif yang harus disampaikan dalam persidangan dengan dihadiri oleh para pihak. Dalam peran aktifnya, hakim dapat melakukan hal-hal sederhana sebagai berikut:

1) Memberikan penjelasan mengenai gugatan sederhan secara berimbang kepada para pihak

112 Ibid, hal. 121

66

2) Mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian diluar persidangan

3) Menuntun para pihak dalam pembuktian dan menjelaskan hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak.

Secara filosofis, hal tersebut dilakukan oleh majelis hakim semata-mata bertujuan untuk mempelancar pemeriksaan dan penyelesaian sengketa dengan acara sederhana.

h. Pembuktian

Di antara hal yang menarik dalam Penyelesaian sengketa dengan acara sederhana, adalah bahwa dalam Gugatan yang diakui dan / atau tidak dibantah tidka perlu dilakukan pembuktian. Terhadap gugatan yang dibantah maka hakim harus melakukan pemeriksaan pembuktian berdasarkan hukum acara yang berlaku. Untuk bukti- bukti elektronik dapat mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebab dalam transaksi zaman sekarang para pebisnis banyak memakai bantuan teknologi elektronik.

Juga tentang bukti elektronik walaupun belum diatur dalam hukum acara secara formal.

i. Putusan dan Berita Acara Persidangan

Berkaitan dengan putusan atau penetapan dalam penyelesaian sengketa dengan acara sederhana mesti memenuhi hal-hal yakni :Putusan atau penetapan dimulai dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA, di dalam putusan terdapat identitas para pihak, terdapat uraian singkat mengenai duduk perkara, di dalam nya terdapat pertimbangan hukum, dan yang terakhir adalah amar putusan.

Upaya hukum terhadap putusan gugatan sederhana adalah dengan mengajukan keberatan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung, dengan menandatangani akta pernyataan keberatan yang disediakan kepaniteraan di hadapan panitera disertai dengan alasan-alasan keberatan tersebut. Ketentuan permohonan keberatan harus diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan diucapkan, atau setelah pemberitahuan putusan. Apabila waktunya terlampui, maka Ketua Pengadilan membuat pernyataan keberatan tidak dapt diterima yang didasarkan pada surat keterangan panitera, bahwa batas waktu mengajukan keberatan lebih dari 7 (tujuh) hari kerja.

a. Pemeriksaan Berkas Permohonan Keberatan

Kepaniteraan menerima dna memeriksa kelengkapan berkas keberatan, yang disertai dengan memori keberatan yang bisa dalam bentuk alasan-alasan yang dituang dalam akta keberatan, yang memuat pemberitahuan keberatan beserta memori keberatan yang kemudian disampaikan kepada termohon keberatan dalam tenggang waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima oleh pengadilan.

Kontra memori keberatan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan dengan mengisi blanko yang memuuat keberatan dari para pihak.

Blanko tersebut disediakan kepaniteraan, dengan mempertimbangkan

68

jarak waktu penyampaian kebertan yaitu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah pemberitahuan keberatan.

b. Pemeriksaan Keberatan

Setelah permohonan keberatan dinyatakan lengkap dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari, maka Ketua Pengadilan sudah menetapkan majelis hukum untuk memeriksa dan memutus permohonan keberatan tersebut.

Kemudian, majelis hakim memeriksa permohonan tersebut yang di pimpin oleh hakim senior yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan.

Pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar pada putusan dan berkas keberatan disertai dengan memori dan kontra memori keberatan, serta tidak dilakukan pemeriksaan tambahan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa majelis hakim sudah harus memutus perkara keberatan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja.

Setelah tanggal penetapan majelis hakim, maka ditetapkan pula penetapan hari sidang oleh majelis hakim yang telah ditunjuk untuk menangani permohonan keberatan ini, majelis hakim tidak perlu lagi memeriksa para pihak yang berperkara. Akan tetapi, majelis hakim cukup mempelajari berkas yang ada seperti layaknya pemeriksaan hakim pada tingkat banding atau kasasi.

Masih berhubungan dengan proses tersebut, maka selanjutnya tahap pemeriksaan keberatan, majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut dapat menyusun formulasi putusan, sebagai berikut: terdapat

kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan hukumnya, dan terakhir amar putusan.

Setelah diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, pemberitahuan putusan keberatan disampaikan kepada para pihak paling lambat 2 (tiga) hari kerja sejak diucapkan. Putusan keberatan tersebut telah berkekuatan hukum tetap terhitung sejak di sampaikannya pemberitahan.113

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat dilihat mengenai alasan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung yang dikhusukan untuk mengatur gugatan sederhana. Alasan pertama adalah solusi bagi para pencari keadilan yang hendak mengajukan gugatan dengan penyelesaian secara cepat. Pengaturan guguatan sederhana oleh Mahkamah Agung merupakan implementasi dari asas peradilan sederhana, cepat, biaya ringan bagi para pencari keadilan dengan sistem pembuktian sedehana. Alasan kedua adalah merupakan salah satu cara mengurangi volume perkara di Mahkamah Agung. 114

113 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Buku Saku Gugatan Sederhana, (Jakarta:

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi Peradilan (LeIP), 2015) hal. 31

114 Clara Panggabean, “Gugatan Sederhana Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa”, Universitas Indonesia, https://law.ui.ac.id/v3/gugatan-sederhana-sebagai-salah-satu-cara-menyelesaikan-sengketa/ diakses pada 19 November 2019

AKIBAT HUKUM GUGATAN SEDERHANA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM BISNIS DALAM PUTUSAN

NOMOR 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn E. Posisi Kasus

Transaki dalam pelaksanaan bisnis merupakan akibat adanya interaksi antar individu. Adanya kebutuhan atau kepentingan masing-masing pihak menjadikan invidu tersebut membutuhkan individu lainnya agar dapat melangsungkan kegiatan bisnisnya dengan baik. Namun pada pelaksanaannya ternyata sering ditemui sengketa antara satu pihak dengan pihak lain. Sengketa ini sebagai akibat adanya pihak yang merasa dirugikan atau dilanggar haknya sehingga ia merasa perlu untuk memperjuangkan haknya tersebut. 147

Dalam sengketa penelitian ini, terjadi sengketa bisnis antara Risma Br Sihombing yang selanjutnya akan disebut sebagai Penggugat dengan Murni Yati yang selanjutnya disebut sebagai Tergugat I dan selanjutnya disebut sebagai Tergugat II. Pada awalnya Penggugat dan Tergugat I menjalin kerjasama untuk menjual paket bahan kebutuhan pokok rumah tangga berupa beras, minyak goreng, gula, telur, deterjen, sariwangi, dan lain sebagainya dengan cara mendistribusikannya secara angsur/cicil kepada para konsumen yang ditunjuk sendiri oleh Tergugat I.

Dalam mendistribusikan paket bahan kebutuhan pokok tersebut, selain mendapatkan upah, Tergugat I juga diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari selisih harga pokok yang telah ditetapkan oleh Penggugat. Tergugat I juga

147 Muhammad Saleh, Op.Cit, hal. 16

dibebankan untuk bertanggungjawab penuh terhadap setiap kemungkinan yang terjadi apabia dikemudian hari para nasabah Tergugat I gagal/cidera janji dalam melakukan pembayaran atas pembelian paket bahan kebutuhan pokok tersebut, sebagaimana bukti Surat Perjanjian yang dibuat dan tandatangani diatas materai antara Penggugat dengan Tergugat I pada tanggal 11 Agustus 2015.

Kemudian pada perjalanannya, terjadi keadaan dimana Tergugat mengambil barang yang dianggap terlalu banyak dibandingkan dengan uang yang disetorkan Tergugat I kepada Penggugat. Lalu Penggugat melakukan verifikasi terhadap jumlah utang Tergugat I yang berjumlah Rp 35.944.000,- (tiga puluh lima juta sembilan ratus empat puluh ribu rupiah). Tergugat I mengakui adanya utang tersebut dan berjanji akan membayar secara angsur setiap tanggal 20 setiap bulannya. Pada awalnya Penggugat merasa ragu dengan Tergugat I, namun Tergugat II yang merupakan ibu Tergugat I kemudian memberikan jaminan akan melunasi utangnya secara sekaligus apabila rumah Tergugat II yang terletak di Jalan Bromo Ujung No. 234 A, Medan telah terjual, sebagaimana isi Surat pengakuan hutang tertanggal 20 Oktober 2015 yang dibuat dan tandatangani oleh Tergugat I dan turut ditandatangani sendiri oleh Tergugat II.

Ternyata Tergugat I hanya menjalankan kewajibannya senilai total Rp 7.944.000,- (tujuh juta sembilan ratus empat puluh empat ribu rupiah) dengan pembayaran cicilan terakhir dilakukan pada Bulan Desember 2016. Agar hal ini dapat cepat selesai, Penggugat telah berulang kali berupaya menghubungi Tergugat I dan Tergugat II secara kekeluargaan, namun tidak pernah ditanggapi serius oleh Para Tergugat, Para Tergugat telah lepas tangan dengan permasalahan

72

ini, bahkan Tergugat II pernah menyampaikan pada Penggugat, bahwa Tergugat II tidak jadi memberikan ijin untuk menjual rumahnya karena anak-anak Tergugat II ada beberapa orang, sehingga tidak mungkin dia mau memberikannya pada Tergugat I, dan Tergugat I juga pernah mengirimkan pesan singkat kepada Penggugat yang isi pokoknya bahwa “seolah-olah Tergugat I merasa tidak mempunyai kewajiban lagi untuk menanggung hutang tersebut karena menurut Tergugat I ada orang lain yang harus bertanggung jawab atas permasalahan ini”, sehingga Tergugat I dan Tergugat II menantang Penggugat agar berjumpa di pengadilan saja untuk menyelesaikan masalah ini.

Karena tidak memberikan tanggapan atas peringatan tersebut, akhirnya Penggugat mengajukan gugatan sederhana ke Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Register Perkara 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn. Gugatan ini diajukan guna penyelesaian sengketa yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II dalam hal sengketa bisnis yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat I.

Adapun gugatan yang diajukan penggugat adalah sebagai berikut ini:

Tergugat I yang merupakan pekerja Penggugat dan Tergugat II yang merupakan ibu Tergugat I telah menyetujui dan memberikan jaminan bahwa jika rumahnya di Jalan Bromo Ujung No. 234 A Medan, boleh dijual dan uangnya boleh dipakai oleh Tergugat I untuk membayar hutang kepada Penggugat.

Tergugat I mulai bekerja pada Penggugat sekitar Bulan April 2015 untuk menjual paket bahan kebutuhan pokok rumah tangga berupa beras, minyak goreng, gula, telur, deterjen, sariwangi, dan lain sebagainya dengan cara mendistribusikannya

secara angsur/cicil kepada para Konsumen yang ditunjuk sendiri oleh Tergugat I (Penggugat sama sekali tidak mengenal siapa-siapa saja yang terpilih menjadi konsumen Tergugat I). didalam mendistribusikan paket bahan kebutuhan pokok

secara angsur/cicil kepada para Konsumen yang ditunjuk sendiri oleh Tergugat I (Penggugat sama sekali tidak mengenal siapa-siapa saja yang terpilih menjadi konsumen Tergugat I). didalam mendistribusikan paket bahan kebutuhan pokok

Dokumen terkait