• Tidak ada hasil yang ditemukan

GUGATAN SEDERHANA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI PENGADILAN NEGERI MEDAN (Studi Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GUGATAN SEDERHANA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI PENGADILAN NEGERI MEDAN (Studi Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn) SKRIPSI"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ADITYA NANDA PRATAMA NIM : 130200142

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

Penyelesaian dengan gugatan sederhana hanya bisa digunakan untuk perkara ingkar janji (wanprestasi) dan/atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Perkara ingkar janji (wanprestasi) merupakan perkara yang timbul akibat tidak dipenuhinya sebuah perjanjian, baik secara tertulis ataupun tidak tertulis. Berdasarkan hal tersebut diangkat dilakukan penelitian dengan judul: Gugatan Sederhana Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Pengadilan Negeri Medan (Studi Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah pengaturan tentang gugatan sederhana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, Mengapa dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Gugatan Sederhana Nomor 2 Tahun 2015, Bagaimanakah akibat hukum gugatan sederhana dalam penyelesaian sengketa hukum bisnis dalam Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN.Mdn.

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa Studi Kepustakaan atau Studi Dokumen (Documentary Study) dengan meneliti Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tata cara penyelesaian gugatan sederhana merupakan proses penyelesaian perkara yang masuk dalam kategori hukum acara perdata.

Hal ini ditegaskan dalam poin B konsideran PERMA Nomor 2 Tahun 2015, yaitu: "bahwa perkembangan hukum di bidang ekonomi dan keperdataan lainnya di masyarakat membutuhkan prosedur penyelesaian sengketa yang lebih sederhana, cepat, dan biaya ringan, terutama di dalam hukum yang bersifat sederhana". Perkembangan Hukum Acara Perdata di Indonesia yang awalnya hanya terdiri dari pemeriksaan secara biasa sekarang telah disederhanakan seiring dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Penyelesaian Gugatan Sederhana dikenal juga dengan istilah Small Claim Court. Small Claim Court Berdasarkan Black‟s Law Dictionary, Small Claim Court diartikan sebagai suatu pengadilan yang bersifat informal (di luar mekanisme peradilan pada umumnya) dengan pemeriksaan yang cepat untuk mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau utang piutang yang nilai gugatannya kecil. Akibat hukum yang timbul atas Putusan Nomor 11/Pdt.G-S/2017/PN Mdn adalah pemberigan ganti kerugian kepada penggugat atas wanprestasi yang dilakukan tergugat. Pemberian suatu ganti rugi sebagai akibat dari tindakan wanprestasi dari suatu perjanjian, dapat diberikan dengan berbagai kombinasi antara lain pemberian ganti rugi (berupa rugi, biaya dan bunga), pelaksanaan perjanjian tanpa ganti rugi, pelaksanaan perjanjian plus ganti rugi, pembatalan perjanjian timbal balik tanpa ganti rugi, pembatalan perjanjian timbal balik plus ganti rugi.

Selanjutnya dalam literature dan yurisprudensi dikenal pula beberapa model ganti rugi atas terjadinya wanprestasi.

Kata kunci: Gugatan Sederhana, Sengketa, Wanprestasi

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

(4)

Aditya Nanda Pratama * Sunarmi **

Tri Murti Lubis ***

Settlement with a simple lawsuit can only be used for breach of contract (breach of contract) and / or Unlawful Acts (PMH). Breach of contract (default) is a case that arises as a result of not fulfilling an agreement, either in writing or not in writing. Based on this matter a research was carried out with the title: Simple Lawsuit in Settling Business Disputes in Medan District Court (Study of Decision Number 11 / Pdt.G.S / 2017 / PN Mdn). The problem in this research is how is the regulation on simple lawsuits in Indonesian laws and regulations, Why was the Supreme Court Regulation issued on Simple Lawsuit Number 2 Year 2015, What are the legal consequences of a simple lawsuit in resolving business law disputes in Decision Number 11 / Pdt.GS /2017/PN.Mdn.

The research conducted is normative legal research. Researchers used a data collection tool in the form of a Literature Study or Documentary Study by examining Decision Number 11 / Pdt.G.S / 2017 / PN Mdn..

The results showed that the procedure for the settlement of a simple lawsuit is the process of resolving cases that fall into the category of civil procedural law. This is emphasized in point B of PERMA's consideration in Number 2 of 2015, namely: "that the development of law in the economic and other civil fields in the community requires a simpler, faster and less costly dispute resolution procedure, especially in simple laws". The development of Civil Procedure Law in Indonesia, which initially only consisted of regular examinations, has now been simplified in line with the issuance of the Supreme Court Regulation No. 2 of 2015 concerning Procedures for Settling a Simple Lawsuit. Simple Claims Settlement is also known as Small Claim Court. Small Claim Court Based on the Black‟s Law Dictionary, Small Claim Court is defined as an informal court (outside the judicial mechanism in general) with a quick examination to make decisions on claims for compensation or receivable debt with a small claim value. The legal consequence arising from Decision Number 11 / Pdt.G-S / 2017 / PN Mdn is the compensation claim to the plaintiff for breach of contract carried out by the defendant. Giving a compensation as a result of the default action of an agreement, can be given with various combinations including compensation (in the form of compensation, costs and interest), implementation of the agreement without compensation, implementation of the agreement plus compensation, cancellation of the mutual agreement without compensation loss, cancellation of a mutual agreement plus compensation. Furthermore, in literature and jurisprudence there are also several models of compensation for the occurrence of defaults.

Keywords: Simple Lawsuit, Dispute, Default

* University of North Sumatra Faculty of Law students

** 1st Thesis Adviser of Law University of North Sumatera

*** 2nd Thesis Adviser of Law University of North Sumatera

(5)

dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Yang diberi judul “Gugatan Sederhana Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Pengadilan Negeri Medan (Studi Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn).”

Tujuan dari penulisan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk bisa menempuh ujian sarjana pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Di dalam pengerjaan skripsi ini telah melibatkan banyak pihak yang sangat membantu dalam banyak hal. Oleh sebab itu, disini penulis sampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Prof. Dr. Bismar Nasution,SH.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Ibu Tri Murti,SH.,MH selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen

(6)

Pembimbing II penulis, yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

7. Prof. Dr. Sunarmi,SH,M.Hum Selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu dan membimbing saya hingga terselesaikannya skripsi ini tepat waktu

8. Terima Kasih untuk Keluarga Besar Saya: kedua orang tua saya yang telah membantu dan mendukung saya.

Dalam skripsi ini disadari bahwa penulisan masih jauh dari kata kesempurnaan, namun diharapkan semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terkhusus bagi para pihak yang membutuhkannya dan pembaca pada umumnya.

Medan, November 2019

Hormat Penulis

(7)

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 13

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II : PENGATURAN TENTANG GUGATAN SEDERHANA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Fungsi MA dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana ... 22

B. Pengaturan Penyelesaian Gugatan Sederhana Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 ... 25

C. Penyelesaian Gugatan Sederhana dalam Perkara Hukum Bisnis ... 29

BAB III : LATAR BELAKANG DIKELUARKANNYA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG GUGATAN SEDERHANA NOMOR 2 TAHUN 2015 A. Pengertian dan Dasar Hukum Gugatan Sederhana ... 41

B. Perbedaan Gugatan Sederhana dengan Acara Pedata Biasa ... 48

C. Latar Belakang Diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 ... 53

D. Prosedur dalam Melakukan Gugatan Sederhana ... 56

(8)

vi

BAB IV : AKIBAT HUKUM GUGATAN SEDERHANA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM BISNIS DALAM PUTUSAN NOMOR 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn

A. Posisi Kasus ... 70 B. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Gugatan Sederhana ... 83 C. Akibat Hukum Gugatan Sederhana dalam Penyelesaian Sengketa

Hukum Bisnis dalam Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn .... 90 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 104 B. Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA ... 107 LAMPIRAN

(9)

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang memiliki naluri untuk hidup dengan orang lain, naluri manusia untuk hidup dengan orang lain yang dinamakan gregariousness, sehingga manusia juga disebut social animal (hewan sosial), karena sejak dilahirkan manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok yaitu:1

1. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya (yaitu masyarakat);

2. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.

Manusia mempunyai naluri untuk senantiasa berhubungan dengan sesamanya. Hubungan yang berkesinambungan tersebut menghasilkan pola pergaulan yang dinamakan pola interaksi sosial. Pergaulan tersebut menghasilkan pandangan-pandangan mengenai kebaikan dan keburukan. Pandangan-pandangan tersebut merupakan nilai-nilai manusia, yang kemudian sangat berpengaruh terhadap cara dan pola berpikirnya. Misalnya, apabila seseorang memberikan tekanan yang kuat kepada faktor kebendaan, pola berpikirnya cenderung bersifat materialistis.2

Interaksi antar manusia dalam lingkungan sosial tersebut menimbulkan hubungan antarmanusia, dimana hubungan tersebut dari sudut hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu hubungan yang tidak mempunyai akibat hukum (hubungan

1 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 23

2 Ibid, hal. 31

(10)

2

biasa) dan hubungan yang mempunyai akibat hukum yang mana menimbulkan hak dan kewajiban.

Manusia atau badan hukum dalam melakukan hubungan hukum atau untuk menunjukan adanya atau terciptanya suatu hubungan hukum dengan cara melakukan perjanjian diantaranya: jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, kuasa menjual, kuasa membeli, dan lain-lain. Perjanjian menurut. Pasal 1313 KUHPerdata ayat (1) “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.

Salah satu contoh hubungan interaksi antara manusia dengan manusia di sekitarnya adalah terjalinnya hubungan bisnis. Hubungan ini terjalin sebagai upaya untuk memenuhi hidupnya. Dalam pemenuhan kelangsungan hidup yang berkaitan dengan keinginan inilah yang cenderung menekan semakin banyaknya pengeluaran dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan yang justru lebih penting daripada sebuah keinginan. Banyaknya pengeluaran ini tentunya mendorong setiap individu untuk bekerja dengan motivasi memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Bekerja pun juga tak semuanya dengan ikut bersama orang tetapi ada juga dengan memilih berwirausaha. Hal inilah yang kemudian mendorong untuk meminjam uang baik dengan bank, koperasi atau dengan lembaga keuangan lainnya demi mendapatkan uang.3

Hubungan bisnis tentunya akan melahirkan hak dan kewajiban para pihak.

Namun pemenuhan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak seringkali

3 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 617

(11)

terabaikan sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi atau silang pendapat yang dapat menuju pada sengketa. Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, diantaranya perbedaan kepentingan ataupun perselisihan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sengketa dapat juga disebabkan oleh adanya aturan-aturan kaku yang dianggap sebagai penghalang dan penghambat untuk dapat mencapai tujuan masing-masing pihak. Karena, setiap pihak akan berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai tujuannya, sehingga potensi terjadinya sengketa menjadi semakin besar.4

Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak asing dengan isitilah sengketa.

Sengketa muncul sebagai akibat persinggungan manusia sebagai makhluk sosial.

Sengketa merupakan sebuah permasalahan atau perkara perselisihan antara satu pihak dengan pihak yang lainnya mengenai sesuatu hal. Sengketa sendiri bentuknya bermacam- macam, salah satunya adalah sengketa perdata. Sengketa perdata adalah perkara perdata dimana paling sedikit ada dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Jika dalam masyarakat terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah, maka pihak yang dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan. Pihak ini disebut penggugat. Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut.5

Demikian juga yang terjadi dalam sengketa di Pengadilan Negeri Medan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn. Dalam sengketa tersebut, terjadi sengketa bisnis antara Risma Br Sihombing yang selanjutnya akan disebut sebagai Penggugat dengan Murni Yati yang selanjutnya disebut sebagai Tergugat I dan

4 Jimmy Joses Sembiring, Cara menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase, (Jakarta: Visimedia, 2011), hal. 1

5 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 2002), hal. 84

(12)

4

selanjutnya disebut sebagai Tergugat II. Pada awalnya Penggugat dan Tergugat I menjalin kerjasama untuk menjual paket bahan kebutuhan pokok rumah tangga berupa beras, minyak goreng, gula, telur, deterjen, sariwangi, dan lain sebagainya dengan cara mendistribusikannya secara angsur/cicil kepada para konsumen yang ditunjuk sendiri oleh Tergugat I.

Dalam mendistribusikan paket bahan kebutuhan pokok tersebut, selain mendapatkan upah, Tergugat I juga diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari selisih harga pokok yang telah ditetapkan oleh Penggugat. Tergugat I juga dibebankan untuk bertanggungjawab penuh terhadap setiap kemungkinan yang terjadi apabia dikemudian hari para nasabah Tergugat I gagal/cidera janji dalam melakukan pembayaran atas pembelian paket bahan kebutuhan pokok tersebut, sebagaimana bukti Surat Perjanjian yang dibuat dan tandatangani diatas materai antara Penggugat dengan Tergugat I pada tanggal 11 Agustus 2015.

Kemudian pada perjalanannya, terjadi keadaan dimana Tergugat mengambil barang yang dianggap terlalu banyak dibandingkan dengan uang yang disetorkan Tergugat I kepada Penggugat. Lalu Penggugat melakukan verifikasi terhadap jumlah utang Tergugat I yang berjumlah Rp 35.944.000,- (tiga puluh lima juta sembilan ratus empat puluh ribu rupiah). Tergugat I mengakui adanya utang tersebut dan berjanji akan membayar secara angsur setiap tanggal 20 setiap bulannya. Pada awalnya Penggugat merasa ragu dengan Tergugat I, namun Tergugat II yang merupakan ibu Tergugat I kemudian memberikan jaminan akan melunasi utangnya secara sekaligus apabila rumah Tergugat II yang terletak di Jalan Bromo Ujung No. 234 A, Medan telah terjual, sebagaimana isi Surat

(13)

pengakuan hutang tertanggal 20 Oktober 2015 yang dibuat dan tandatangani oleh Tergugat I dan turut ditandatangani sendiri oleh Tergugat II.

Ternyata Tergugat I hanya menjalankan kewajibannya senilai total Rp 7.944.000,- (tujuh juta sembilan ratus empat puluh empat ribu rupiah) dengan pembayaran cicilan terakhir dilakukan pada Bulan Desember 2016. Agar hal ini dapat cepat selesai, Penggugat telah berulang kali berupaya menghubungi Tergugat I dan Tergugat II secara kekeluargaan, namun tidak pernah ditanggapi serius oleh Para Tergugat, Para Tergugat telah lepas tangan dengan permasalahan ini, bahkan Tergugat II pernah menyampaikan pada Penggugat, bahwa Tergugat II tidak jadi memberikan ijin untuk menjual rumahnya karena anak-anak Tergugat II ada beberapa orang, sehingga tidak mungkin dia mau memberikannya pada Tergugat I, dan Tergugat I juga pernah mengirimkan pesan singkat kepada Penggugat yang isi pokoknya bahwa “seolah-olah Tergugat I merasa tidak mempunyai kewajiban lagi untuk menanggung hutang tersebut karena menurut Tergugat I ada orang lain yang harus bertanggung jawab atas permasalahan ini”, sehingga Tergugat I dan Tergugat II menantang Penggugat agar berjumpa di pengadilan saja untuk menyelesaikan masalah ini.

Karena tidak memberikan tanggapan atas peringatan tersebut, akhirnya Penggugat mengajukan gugatan sederhana ke Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Register Perkara 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn. Gugatan ini diajukan guna penyelesaian sengketa yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat I dan Tergugat II dalam hal sengketa bisnis yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat I.

(14)

6

Penyelesaian sengketa perdata memerlukan mekanisme yang panjang dan tidak sesederhana seperti yang diharapkan, hal ini dikarenakan proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan negeri dilakukan melalui beberapa tahapan dan prosedur, antara lain tahap persiapan, tahap pengajuan dan pendaftaran surat gugatan, dan tahap persidangan. Pada tahap persidangan pertama, Majelis Hakim yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri menawarkan adanya mediasi kepada para pihak yang bersengketa melalui mediator dengan jangka waktu yang diberikan selama 40 (empat puluh) hari dan dapat diperpanjang selama 14 (empat belas) hari atas permintaan para pihak. Apabila mediator tidak berhasil mendamaikan para pihak, dalam proses pemeriksaan perkara selanjutnya Majelis Hakim tetap memberikan kesempatan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya secara damai sesuai ketentuan Pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement).6

Dengan tidak tercapainya perdamaian melalui mediasi, persidangan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan dan tergugat ataupun turut tergugat mengajukan jawaban yang isinya dapat berupa tuntutan provisionil, eksepsi atau tangkisan, jawaban mengenai pokok perkara, gugatan balik (rekonpensi) dan permohonan petitum putusan. 7 Apabila dari serangkaian tahapan atau proses jawab-menjawab, replik, duplik dan pembuktian dari masing-masing pihak telah selesai, maka para pihak dapat mengajukan kesimpulan dan pada akhirnya permohon putusan.

6 Riduan Syaharani, Masalah Tertumpuknya Beribu-ribu Masalah di Mahkamah Agung, (Bandung: Alumni, 1980), hal. 19

7 Situs Resmi Pengadilan Negeri Kalabahi, “Prosedur dan Proses Beracara di Pengadilan Negeri dalam Perkara Perdata”, http://pn-kalabahi.go.id/2015 diakses pada tanggal 26 Oktober 2019

(15)

Selain tahapan dan prosedur yang panjang, penerapan sistem peradilan berjenjang mulai dari pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding dan berujung di Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi, membuat lamanya proses penyelesaian sengketa. Hal tersebut tidak menguntungkan bagi para pihak terutama pelaku bisnis terlebih lagi bagi sengketa-sengketa yang nilai gugatannya kecil. Gugatan dengan nilai yang kecil apabila menggunakan tahapan dan prosedur yang panjang serta sistem peradilan yang berjenjang, dikhawatirkan biaya yang diperlukan dalam menyelesaikan sengketa melebihi dari nilai gugatan itu sendiri. Dengan demikian asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan menjadi tidak terpenuhi.8

Mengatasi hal di atas dirasakan semakin penting untuk menyelesaikan sengketa perdata melalui prosedur penyelesaian sengketa yang cepat dan sederhana, tetapi mempunyai kekuatan mengikat. Prosedur penyelesaian sengketa tersebut dikenal dengan Penyelesaian Gugatan Sederhana (Small Claim Court) yaitu, prosedur penyelesaian sengketa dengan memberikan kewenangan pada pengadilan untuk menyelesaikan perkara didasarkan pada besar kecilnya nilai objek sengketa, sehingga dapat tercapai penyelesaian sengketa secara cepat, sederhana dan biaya ringan, tetapi tetap memberikan kekuatan hukum berupa putusan hakim yang mempunyai daya paksa untuk dilaksanakan (kekuatan mengikat).9

8 Netty Herawati, “Implikasi Mediasi Dalam Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Terhadap Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan”, (Jakarta, Jurnal Perspektif Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September, 2011), hal. 2

9 Munir Fuady, Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 4

(16)

8

Penyelesaian dengan gugatan sederhana hanya bisa digunakan untuk perkara ingkar janji (wanprestasi) dan/atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

Perkara ingkar janji (wanprestasi) merupakan perkara yang timbul akibat tidak dipenuhinya sebuah perjanjian, baik secara tertulis ataupun tidak tertulis. Perkara PMH adalah perkara yang timbul akibat dirugikannya satu pihak akibat tindakan pihak lain, dan tidak ada perjanjian sebelumnya. Namun demikian, tidak semua perkara ingkar janji dan PMH dapat diselesaikan melalui penyelesaian gugatan sederhana Perkara yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme ini antara lain, yakni Perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan, seperti persaingan usaha sengketa konsumen dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial serta perkara yang berkaitan dengan sengketa hak atas tanah.10

Small Claim Court telah lama berkembang baik di negara-negara yang berlaku sistem hukum Common Law maupun sistem hukum Civil Law. Tidak hanya di negara maju seperti Amerika, Inggris, Kanada, Jerman dan Belanda, tetapi Small Claim Court juga tumbuh dan berkembang pesat di negara-negara berkembang di Amerika Latin, Afrika dan Asia seperti Filipina. Di beberapa negara, seperti Jepang disebut dengan Summary Court. Small Claim Court dianggap efisien karena konsep pengadilan kecil yang ramah membuat sejumlah negara di atas mengadopsi sistem ini.11

10 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal.

23

11 Muhammad Saleh, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata Perspektif Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 2012), hal. 7

(17)

Berdasarkan keadaan yang telah disebutkan di atas, mengenai gugatan sederhana dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan negeri dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Medan, maka dirasa perlu untuk meneliti lebih jauh mengenai hal tersebut. Adapun penelitian ini dituangkan dalam bentuk tulisan skripsi dengan judul: “Gugatan Sederhana Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Pengadilan Negeri Medan (Studi Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, kemudian diberikan rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan tentang gugatan sederhana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?

2. Mengapa dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Gugatan Sederhana Nomor 2 Tahun 2015?

3. Bagaimanakah akibat hukum gugatan sederhana dalam penyelesaian sengketa hukum bisnis dalam Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN.Mdn?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang gugatan sederhana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui latar belakang dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Gugatan Sederhana Nomor 2 Tahun 2015.

(18)

10

3. Untuk mengetahui akibat hukum gugatan sederhana dalam penyelesaian sengketa hukum bisnis dalam Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN.Mdn.

Sedangkan manfaat yang hendak diberikan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, yang terkhusus berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui gugatan sederhana.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat menjadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, maupun pihak lainnya dalam penulisan- penulisan ilmiah lainnya yang berhubungan.

b. Agar menambah pengetahuan kepada masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui gugatan sederhana.

c. Dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui gugatan sederhana yang lebih bermanfaat bagi masyarakat secara umum.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan beberapa Universitas yang ada di Indonesia baik secara fisik maupun online khususnya Fakultas Hukum, tidak didapati bahwa judul skripsi Gugatan Sederhana Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Pengadilan Negeri Medan

(19)

(Studi Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn). Namun ada beberapa judul penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian melalui gugatan sederhana, antara lain:

Wardah Humairah (2017) Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul penelitian Penyelesaian Sengketa Gugatan Sederhana Pasca Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 (Studi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Mekanisme jangka waktu gugatan sederhana menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015.

2. Faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan jangka waktu gugatan sederhana pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

3. Perbandingan mekanisme jangka waktu penyelesaian gugatan sederhana.

Rizkiyah Putri Zonia (2018) Fakultas Hukum Universitas Riau Pekanbaru dengan judul penelitian Analisis Yuridis Terhadap Penyelesaian Gugatan Sederhana Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru. Adapun permasalahan dalam penelitian ini antara lain:

1. Penyelesaian gugatan sederhana di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.

(20)

12

2. Akibat hukum terhadap gugatan sederhana pada Putusan Nomor.

01/PDT.G.S/2016/PN.Pbr di Pengadilan Negeri Pekanbaru.

Alni Pasere (2017) Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi dengan judul penelitian Penerapan Asas Peradilan Sederhana Pada Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Manado. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pengaturan peradilan sederhana dalam perkara perdata.

2. Penerapan asas peradilan sederhana di Pengadilan Negeri Manado.

Adapun perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian di atas membahas penyelesaian sengketa gugatan sederhana dengan putusan yang berbeda dengan peneltian yang dilakukan saat ini.

2. Waktu dan tempat yang berbeda antara penelitian sebelumnya dengan penelitian saat ini.

3. Penelitian sebelumnya tidak ada membahas tentang akibat hukum yang timbul dari putusan gugatan sederhana.

Penelitian yang dilakukan saat ini berjudul Gugatan Sederhana Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Pengadilan Negeri Medan (Studi Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn). Skripsi ini belum ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan tulisan yang telah dilakukan di Fakultas Hukum manapun. Maka

(21)

dari itu, keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun secara akademik.

E. Tinjauan Pustaka

Adapun judul yang dikemukakan oleh adalah “Gugatan Sederhana Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Pengadilan Negeri Medan (Studi Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn).” Dalam tinjauan dicoba untuk mengemukakan beberapa ketentuan dan batasan yang menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Hal ini akan berguna untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi agar tetap berada di dalam topik yang diangkat dari permasalahan di atas. Adapun yang menjadi pengertian secara etimologis daripada judul skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Gugatan Sederhana

Gugatan sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan cara dan pembuktian yang sederhana.12 Gugatan sederhana termasuk dalam kewenangan atau ruang lingkup dalam peradilan umum.

Banyak perkara yang sebenarnya dapat diselesaikan secara cepat dan sederhana, dengan biaya ringan, tapi prosedur penyelesainnya harus melalui jalan yang berliku-liku, bahkan bukan tidak mungkin kemenangan yang diperoleh setelah berjuang selama bertahun-tahun menjadi tidak ada artinya karena

12 Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2015

(22)

14

merosotnya nilai ekonomi. Hal ini bukan saja sangat mengusik rasa keadilan, tetapi juga menjadi faktor penghambat terhadap investor dari luar negeri menanamkan sahamnya di Indonesia. Atas dasar pertimbangan ini Mahkamah Agung (MA) mencari solusi bagaimana sebuah sengketa perdata dapat diselesaikan dengan cara sederhana, cepat, dan biaya ringan.

2. Penyelesaian Sengketa

Sengketa tidak lepas dari suatu konflik. Dimana ada sengketa pasti disitu ada konflik. Begitu banyak konflik dalam kehidupan sehari-hari. Entah konflik kecil ringan bahkan konflik yang besar dan berat. Hal ini dialami oleh semua kalangan, karena hidup ini tidak lepas dari permasalahan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Kenapa harus mempelajari tentang sengketa. Karena untuk mengetahui lebih dalam bagaimana suatu sengketa itu dan bagaimana penyelesaiannya.

Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu obyek permasalahan. Menurut Winardi, pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu obyek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain. 13

Proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui pengadilan atau yang sering disebut dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu penyelesaian sengketa

13 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 236

(23)

yang dilaksanakan dengan proses beracara di pengadilan di mana kewenangan untuk mengatur dan memutuskannya dilaksanakan oleh hakim.

Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution.

Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis, menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari alternatif lain yaitu penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal. Penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal inilah yang disebut dengan “Alternative Dispute Resolution” atau ADR.

3. Pengadilan Negeri Medan

Kantor Pengadilan Negeri Medan adalah berada dibawah naungan Direktorat Jenderal Pengadilan. Pengadilan Negeri Medan didirikan pada tahun 1913 oleh Hindia Belanda dan dilanjutkan pada tahun 1918 yang dulunya bernama LANDRAD VAN YUSTITUSI. Dalam keputusan Menteri Kehakiman No. 4/24 tanggal 27 Januari 1996 dibentuk Direktorat Urusan Pengadilan. Dengan Keputusan Presiden Kabinet No. 15/p/kep/II/1996 di Departemen Kehakiman

(24)

16

dibentuk Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan dan Perundangan dan salah satu dinas adalah pembinaan peradilan.

Pengadilan Negeri Medan merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman di lingkungan peradilan umum. Tugas pokok Pengadilan Negeri Medan adalah sebagai berikut:

a. Mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan Undang-Undang No.84 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman Peradilan Umum.

b. Menyelenggarakan Administrasi Perkara dan Administrasi Umum lainnya Pengadilan Negeri Medan masuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dan daerah hukumnya meliputi wilayah dengan luas kurang lebih 26.510 km2 yang terdiri dari 21 kecamatan.

Pengadilan Negeri Medan tidak hanya berfungsi sebagai pengadilan umum yang menangani perkara perdata dan pidana, tetapi juga memiliki pengadilanpengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan umum. Hal tersebut dimungkinkan berdasarkan Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman: “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan”. Pada Pengadilan Negeri Medan terdapat empat pengadilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Tipikor, Pengadilan Hubungan Industrial. Setiap pengadilan khusus ini memiliki kompetensi absolut dan relatif untuk mengadili perkara berdasarkan UndangUndang yang menbentuknya.

(25)

F. Metode Penelitian

Pelaksanaan suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Fenomena yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai penyelesaian sengketa bisnis dengan gugatan sederhana pada Pengadilan Negeri Medan. Penelitian ini juga didasarkan pada upaya untuk membangun pandangan subjek penelitian yang rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan rumit agar dapat membantu memperjelas hasil penelitian14.

2. Metode penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis (Analitical Approach).

14 Moeleong, Lexy.J, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 6

(26)

18

Pendekatan Analitis (Analitical Approach) tujuannya adalah mengetahui makna yang dikandung dalam peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik.15 Penggunaan metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan Analitis disesuaikan dengan judul penelitian ini yaitu Gugatan Sederhana Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Pengadilan Negeri Medan (Studi Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn).

Metode ini digunakan untuk menyesuaikan peraturan yang ada dengan realita di lingkungan sekitar.

3. Data dan sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:16

a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat.

b. Bentuk maupun isinya data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti- peneliti terdahulu.

c. Data sekunder tanpa terikat/dibatasi oleh waktu dan tempat.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi : a. Bahan-bahan hukum primer, yang mencakup Putusan Nomor

11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.

15 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi), (Malang: Bayu Media Publishing, 2007), hal. 303

16 Anshari Siregar, Tampil, Metode Penelitian Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005), hal. 74

(27)

b. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer seperti Jurnal mengenai penyelesaian sengketa bisnis.

c. Bahan-bahan hukum tersier, meliputi kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Keseluruhan sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan tidak terpisahkan.

Sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar di dalamnya terurai mengenai latar belakang, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan, dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : PENGATURAN TENTANG GUGATAN SEDERHANA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Fungsi Mahkamah Agung dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang

(28)

20

Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, Pengaturan Penyelesaian Gugatan Sederhana Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 dan Sistem Penyelesaian Gugatan Sederhana dalam Perkara Hukum.

BAB III : LATAR BELAKANG DIKELUARKANNYA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

TENTANG GUGATAN SEDERHANA NOMOR 2 TAHUN 2015

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Pengertian dan Dasar Hukum Gugatan Sederhana, Perbedaan Gugatan Sederhana dengan Acara Pedata Biasa, Latar Belakang Diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 dan Prosedur dalam Melakukan Gugatan Sederhana.

BAB IV : AKIBAT HUKUM GUGATAN SEDERHANA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM BISNIS DALAM PUTUSAN NOMOR 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn

Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Posisi Kasus, Pertimbangan Hakim dalam Memutus Gugatan Sederhana dan Akibat Hukum Gugatan Sederhana dalam Penyelesaian Sengketa Hukum

(29)

Bisnis dalam Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn.

BAB V : PENUTUP

Berisikan tentang kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna bagi penyelesaian sengketa dengan gugatan sederhana.

(30)

PENGATURAN TENTANG GUGATAN SEDERHANA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Fungsi Mahkamah Agung dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana

Mahkamah Agung adalah sebuah lembaga Negara yang berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.33 Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden. Hakim Agung dipilih dari hakim karier dan Non karier, profesional atau akademisi. Mahkamah Agung memiliki hakim agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal dari sistem karier (hakim), atau tidak berdasarkan sistem karier dari kalangan profesi atau akademisi. Tugas Hakim Agung adalah Mengadili dan memutus perkara pada tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).34

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah: 35

33 Pasal 24A angka (1) Undang-undang Dasar 1945.

34 Nilla Nargis dan Marindowati, Sendi-Sendi Hukum Acara Perdata, (Bandarlampung:

Justice Publisher, 2014), hal. 2

35 Ibid, hal. 6

(31)

1. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.

2. Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi.

3. Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi.

Dalam konteks penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, hakim agung memiliki tugas mulia sebagai pengawas internal tugas hakim dalam pengadilan.

Hal ini mengingat hakim agung yang berada dalam institusi Mahkamah Agung adalah juga seorang hakim, maka menurut undang-undang, hakim agung berhak melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim dalam proses pengadilan, demi hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan hakim sering lalai dalam menjalankan kemandirian kekuasaannya. Kelalaian ini sering disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya adanya pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman seperti birokrat, TNI, maupun pengadilan atasan. Akibat dari kelalaian ini, hakim dapat saja bersikap subjektif dalam mengambil keputusan dan unsur keberpihakan pada salah satu pihak yang berperkara pasti tak terhindarkan. Hal ini bukan hanya sebuah hipotesa, namun merupakan fakta hukum yang terjadi. Banyak warga masyarakat sudah tidak begitu percaya dengan hakim dan penegakkan hukum yang selama ini dijalankan di pengadilan negeri.36

Menurut undang-undang yang berlaku, pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung

36 Amiroeddin Sjarif, Teori Perundang-Undangan dan Tata Pembuatan Perundang- Undangan di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 26

(32)

adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap hakim secara internal, sedangkan Komisi Yudisial memiliki wewenang pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24A dan pasal 24b.

Banyaknya masyarakat yang memilih jalur litigasi untuk penyelesaian sengketa, baik sengketa yang ringan maupun yang berat, menjadi sebab utama penumpukan perkara di peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding, apalagi di peradilan tingkat kasasi.

Pada tahun 2015, perkara yang masuk ke Mahkamah Agung adalah sebanyak 17.569 perkara dan berhasil diputus sebesar 13.172 perkara atau sekitar 74.9% dari keseluruhan perkara yang masuk dan menyisakan sekitar 4.397 perkara untuk diputus pada tahun 2016.37

Akibat dari penumpukan perkara yang telah diuraikan diatas merupakan salah satu masalah terbesar di lingkungan peradilan yang juga menyebabkan tidak efektifnya pelaksanaan peradilan sesuai dengan asas trilogi peradilan yang meliputi peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Pada akhirnya, Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan strategis untuk mengantisipasi masalah tersebut, yaitu dengan cara menerapkan Gugatan Sederhana yang diadopsi dari penerapan Small Claim Court di beberapa Negara, salah satunya Amerika Serikat. Mahkamah Agung meregulasinya dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.

37 Yahya Oktozi, “Ini Capaian Mahkamah Agung Sepanjang 2015”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5683bdbc95b57/ini-capaianmahkamah-agung-

sepanjang-2015 diakses pada tanggal 23 Oktober 2019

(33)

Secara teoritis, Small Claim Court merupakan langkah yang tepat untuk membenahi permasalahan penumpukan perkara di peradilan karena Small Claim Court merupakan jenis penyelesaian sengketa secara litigasi yang dikhususkan untuk menyelesaikan perkara-perkara ringan sehingga penerapan asas trilogi peradilan bisa diterapkan dengan lebih baik dan terutama biaya untuk penyelesaian perkara bisa ditekan.38

Namun, pada kenyataannya, Penerapan Small Claim Court belumlah menjadi pilihan yang populer bagi pihak yang mengajukan perkara di Pengadilan Negeri, karena masih banyak masyarakat yang tetap memilih menggunakan jalur litigasi konvensional, sehingga diperlukan langkah-langkah pengenalan untuk mengarahkan pihakpihak yang sebenarnya bisa menempuh penyelesaian sengketa dengan Gugatan Sederhana (Small Claim Court).39

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi Mahkamah Agung selain sebagai pengawas hakim, juga berperan dalam mengatasi fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat bahwa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah sebagai akibat banyaknya sengketa pengadilan yang sebenarnya kategori gugatan sederhana, namun karena belum adanya pengaturan mengenai hal tersebut, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung mengenai gugatan sederhana tersebut.40

38 R. Soerparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 146

39 Ibid, hal. 150

40 R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 2004), hal. 6

(34)

B. Pengaturan Penyelesaian Gugatan Sederhana Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015

Kedudukan Pengadilan Negeri Medan berada di bawah lembaga Mahkamah Agung Republik Indonesia/Badan Peradilan Umum/Pengadilan Tinggi Medan, sebagai penyelenggara Kekuasaan Kehakiman yang bertugas menyelenggarakan peradilan guna menegakkan Hukum dan Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tugas pokok Pengadilan Negeri Medan adalah menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara. Dengan demikian, Pengadilan Negeri Medan berfungsi memberikan pelayanan bagi masyarakat pencari keadilan di bidang Peradilan Umum, mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan orang, dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. 41

Tata cara penyelesaian gugatan sederhana merupakan proses penyelesaian perkara yang masuk dalam kategori hukum acara perdata. Hal ini ditegaskan dalam poin B konsideran PERMA Nomor 2 Tahun 2015, yaitu: "bahwa perkembangan hukum di bidang ekonomi dan keperdataan lainnya di masyarakat membutuhkan prosedur penyelesaian sengketa yang lebih sederhana, cepat, dan biaya ringan, terutama di dalam hukum yang bersifat sederhana". Sehingga penyelesaian perkara gugatan sederhana menggunakan asas-asas hukum acara perdata. Hukum acara perdata di Indonesia memiliki asas-asas yang merupakan landasan bagi para pihak yang berkepentingan untuk beracara dan merupakan

41 Ibid.

(35)

dasar dari terbentuknya undangundang dan peraturan-peraturan khusus yang mengatur jalannya proses persidangan.

Prosedur penyelesaian gugatan sederhana berarti tahapan-tahapan yang harus dilalui para pihak yang berperkara di Pengadilan dengan materi obyek gugatan sederhana. Penyelesaian gugatan sederhana memerlukan jangka waktu pemeriksaan paling lama 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak hari sidang pertama hingga dijatuhkannya putusan. Proses pendaftaran gugatan sederhana, sehingga tidak meliputi proses acara Replik-Duplik melainkan langsung dilanjutkan dengan Pembuktian guna meringkas waktu pemeriksaan.

Sesuai dengan ketentuan PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, 42 Penggugat pertama-tama mendaftarkan gugatan pada kepaniteraan pengadilan bidang perdata. Penggugat juga dapat mendaftarkan gugatannya dengan mengisi blangko gugatan yang disediakan di kepaniteraan, yang berisi keterangan mengenai identitas penggugat dan tergugat, penjelasan ringkas duduk perkara, dan tuntutan penggugat. Penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah dilegalisasi pada saat mendaftarkan gugatan sederhana.

Panitera muda perdata kemudian akan melakukan pemeriksaan syarat pendaftaran gugatan sederhana, dan mengembalikan gugatan bila gugatan tersebut tidak memenuhi syarat sebagai gugatan sederhana. Jika lolos, maka gugatan sederhana dicatat dalam buku register khusus gugatan sederhana. Ketua Pengadilan menetapkan panjar biaya perkara yang wajar, penetapan hakim dan

42 Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana

(36)

penunjukkan panitera pengganti dilaksanakan paling lambat 2 (dua) hari kerja.

Hakim kemudian memeriksa materi gugatan sederhana, guna menilai sederhana atau tidaknya proses acara pembuktian yang perlu dilangsungkan nantinya di persidangan. Jika tidak termasuk kategori gugatan sederhana, maka hakim menerbitkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara kepada penggugat sehingga tidak otomatis dialihkan sebagai register perkara perdata biasa.43

Pertama apabila berkas-berkas perkara telah selesai. Penggugat yang tidak hadir pada hari sidang pertama, tanpa alasan yang sah dan patut, maka gugatan dinyatakan gugur. Dalam hal Tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama, maka dilakukan pemanggilan kedua secara patut. Tergugat yang tetap tidak hadir pada hari sidang kedua, maka hakim memutus perkara tersebut secara verstek. 44

Terhadap putusan verstek, pihak Tergugat dapat mengajukan upaya hukum Keberatan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara gugatan sederhana tersebut. Dalam hal Tergugat pada hari sidang pertama hadir dan pada hari sidang berikutnya tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka gugatan diperiksa dan diputus secara contradictoir.

Gugatan yang diakui dan/atau tidak dibantah oleh Tergugat, tidak mewajibkan hakim melakukan acara pembuktian surat, saksi, dan sebagainya, namun terhadap gugatan yang dibantah, Hakim tunggal tersebut akan melakukan

43 Ibid.

44 Ibid.

(37)

pemeriksaan pembuktian berdasarkan hukum acara perdata biasa yang berlaku pada umumnya.45

Pengadilan Negeri Medan merupakan salah satu pengadilan yang ada di Indonesia yang telah menjalankan gugatan sederhana ini sejak aturan ini berlaku tapi efektif diterapkan tahun 2016 sampai sekarang. Biasanya gugatan sederhana ini hanya berlaku pada kasus wanprestasi (ingkar janji) dan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap penggugat.

Pada skripsi ini, sengketa yang terjadi adalah sengketa wanpretasi dimana para pihak pada awalnya melakukan kerjasama penjualan kebutuhan pokok.

Kemudian Tergugat I telah memiliki utang dalam jumlah besar dan berjanji akan melunasi dengan cara angsur. Namun perjanjian tersebut tidak dijalankan oleh Tergugat I sehingga Penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri Medan.

C. Sistem Penyelesaian Gugatan Sederhana dalam Perkara Hukum Bisnis Ketika berbicara tentang sengketa bisnis di pengadilan, kita tidak akan berkaitan dengan Hukum Acara Perdata. 46Hukum acara perdata merupakan hukum perdata formil yang mengatur bagaimana ditegakkannya hukum perdata materiil apabila terjadi suatu pelanggaran-pelanggaran tertentu. Tidak ada keseragaman pendapat tentang batasan dari para ahli maupun doktrina dalam mendefinisikan Hukum Acara Perdata itu sendiri. Pendapat ahli yang satu memiliki beberapa intisari yang mendekati sama tentang definisi dari Hukum Acara Perdata. Dengan ini akan dikutip beberapa pendapat para ahli terkait

45 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 296

46 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 3

(38)

penjabaran definisi Hukum Acara Perdata. Secara umum, Hukum Acara Perdata yaitu peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim (di Pengadilan) sejak diajukannya gugatan, pelaksanaan gugatan hingga turunnya putusan dari Majelis Hakim.47 Hukum Acara Perdata menurut Sudikno Mertokusumo adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.

Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.

Lebih konkret lagi dapatlah dikatakan, bahwa Hukum Acara Perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutus dan pelaksanaan daripada putusannya.48

Salah satu ahli hukum acara perdata yaitu Abdulkadir Muhammad memberikan definisi tentang Hukum Acara Perdata yaitu:49

“Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata sebagaimana mestinya.

Karena penyelesaian perkara dimintakan melalui pengadilan (hakim), hukum acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan, sejak diajukannya gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim”.

Berdasarkan batasan-batasan yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya hukum acara perdata adalah sekumpulan peraturan hukum perdata formil yang berfungsi melindungi dan menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim di Pengadilan.

47 Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata Perspektif Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 2012), hal. 2

48 Ibid, hal. 6

49 Ibid, hal. 4

(39)

Dalam penerapan Hukum Acara Perdata dasar pegangan dalam praktik yaitu asas dan teori. Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip, dan jiwa atau cita-cita. Asas hukum (Rechtbeginsellen) merupakan salah satu bagian dari kaidah hukum. Asas hukum bersifat umum dan abstrak, sehingga menjadi suatu roh atau spirit dalam suatu undang-undang. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati menyebutkan asas-asas hukum merupakan disiplin yang mula-mula membentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer). Roeslan Saleh menyebutkan bahwa tiap kali aparat membentuk hukum, asas ini selalu terus menerus mendesak ke dalam kesadaran hukum dari pembentuk.50

Terdapat empat elemen substantif dalam asas Hukum Acara Perdata yaitu nilai yang mendasari sistem hukum (philosophic), adanya asas-asas hukum (legal principle), adanya norma atau peraturan perundang-undangan (legal rules) dan yang terakhir adalah masyarakat hukum pendukung sistem tersebut (legal society). Paton menyebutkan sebagai suatu sarana membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang ia menunjukkan, bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan dari peraturan-peraturan belaka. Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan merupakan sekedar kumpulan peraturan- peraturan maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai tuntutan etis, apabila suatu peraturan hukum dipahami, mungkin tidak akan ditemukan pertimbangan etis di dalamnya dan dapat dirasa adanya petunjuk kearah yang diharapkan selama ini. 51

50 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia edisi keenam, (Yogyakarta:

Liberty, 2006), hal. 36

51 Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Semarang, Skripsi Faklutas Hukum Universitas Diponegoro, 2016), hal. 21-24

(40)

Dalam penyelesaian perkara Gugatan Sederhana, terdapat beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui selama persidangan. Prosedur dan tata cara dari pelaksanaan hukum acara tersebut telah diatur secara rinci dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2015.

Pemeriksaan diawali dengan pendaftaran Gugatan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berkewenangan mengadili perkara dan diakhiri dengan pembacaan putusan oleh hakim tunggal. Panitera menentukan kualifikasi perkaranya terlebih dahulu dengan menganalisa apakah perkara yang diajukan gugatan dapat diperiksa dengan penyelesaian gugatan sederhana atau akan diperiksa dengan acara perdata biasa. Apabila ternyata perkara ternasuk dalam obyek gugatan sederhana maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan pendahuluan, namun apabila perkara bukan termasuk dalam obyek gugatan sederhana perkara akan diperiksa dengan acara biasa.

Adapun skema alur dan tahapan-tahapan hukum acara dalam penyelesaian Gugatan sederhana yang telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) PERMA Nomor 2 Tahun 2015.

Penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak hari sidang pertama, sehingga tidak meliputi proses acara Replik-Duplik, Provisi maupun surat kesimpulan yang membutuhkan waktu yang lama.

Dengan tidak adanya proses replik dan duplik inilah letak ciri khas dari pemeriksaan gugatan sederhana. Beberapa pihak ada yang mendukung karena cara ini dinilai dapat memangkas durasi waktu pemeriksaan tapi di sisi lain ada juga yang kurang setuju karena cara tersebut tidak efektif dengan tidak adanya

(41)

kesempatan masing-masing pihak untuk mengajukan replik dan duplik. Gugatan sederhana termasuk dalam kewenangan atau ruang lingkup Peradilan Umum.

Tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan cara mengajukan gugatan sederhana. Pembatasan materi gugatan sederhana telah diatur oleh PERMA Nomor 2 Tahun 2015 khususnya Pasal 3 dan Pasal 4 yang jika diringkas sebagai berikut:52

a. Klaim diajukan terhadap perkara cidera janji (wanprestasi) dan/atau perbuatan melawan hukum dengan tuntutan tidak boleh lebih besar dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);

b. Kasus yang bersangkutan tidak berada di bawah yurisdiksi pengadilan khusus seperti pengadilan niaga, pengadilan industrial, dan lain-lain, c. Bukan termasuk sengketa hak atas tanah;

d. Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat yang masing- masing tidak boleh lebih dari satu kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama;

e. Tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana;

f. Kedua belah pihak baik penggugat dan tergugat harus berada dalam yurisdiksi pengadilan yang sama; dan

g. Kedua belah pihak baik penggugat dan tergugat wajib menghadiri semua proses persidangan dengan dan atau tanpa kehadiran kuasa hukumnya.

52 Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015, Op.Cit, Pasal 3-4

(42)

Namun dalam prakteknya tidak mudah untuk menentukan perkara tersebut adalah murni perkara dengan obyek materi sederhana, contoh dalam sengketa hutang piutang ada jaminan tanah atau gadai tanah. Karena dalam menentukan posisi perkara tiap pihak pasti beda, bisa jadi pihak penggugat menyatakan ini wanprestasi, tetapi tergugat menyatakan sengketa tanah.53

Hal ini perlu ditinjau lebih lanjut pada saat masa registrasi perkara agar tidak terjadi kesalahan dalam penentuan materi gugatan apakah nanti akan bisa diselesaikan melalui penyelesaian gugatan sederhana ataukah melalui proses acara pemeriksaan biasa karena terdapat beberapa kualifikasi agar perkara tersebut masuk dalam kategori gugatan sederhana sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) PERMA Nomor 2 Tahun 2015.

Dalam penyelesaian sengketa gugatan sederhana juga dikenal upaya perdamaian dengan mediasi. Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata Inggris yaitu mediation. Mediasi ialah suatu perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh seorang atau lebih mediator yang netral dalam rangka untuk mencapai kata mufakat dalam penyelesaian sengketa, yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Pendekatan konsensus atau mufakat dalam proses mediasi mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dalam proses mediasi harus merupakan hasil kesepakatan atau persetujuan para pihak. Mediasi dapat

53 Wasis Priyanto, Pemeriksaan gugatan sederhana,( Lampung: Sukadana, 2015), hal. 1- 2

(43)

ditempuh oleh para pihak yang terdiri atas dua pihak yang bersengketa maupun lebih dari dua pihak (multiparties).54

Penyelesaian dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Namun, ada kalanya karena berbagai faktor, para pihak tidak mampu mencapai penyelesaian sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu (deadlock, stalemate). Situasi ini yang membedakan mediasi dari litigasi. Litigasi pasti berakhir dengan sebuah penyelesaian hukum, berupa putusan hakim, meskipun penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah sengketa karena ketegangan diantara para pihak masih berlangsung dan pihak yang kalah selalu tidak puas. 55

Mediator yang netral mengandung pengertian bahwa mediator tidak berpihak (impartial), tidak memiliki kepentingan dengan perselisihan yang sedang terjadi, serta tidak diuntungkan atau dirugikan jika sengketa dapat diselesaikan atau jika mediasi menemui jalan buntu. Bantuan mediator yang bersifat prosedural antara lain mencakup tugastugas memimpin, memandu, dan merancang sesi-sesi pertemuan atau perundingan, sedangkan bantuan substansial berupa pemberian saransaran kepada pihak yang bersengketa tentang penyelesaian pokok sengketa.

Peran mediator dapat bersifat aktif maupun pasif dalam membantu para pihak. Peran aktif harus dilakukan bila para pihak yang bersengketa tidak mampu melaksanakan perundingan yang konstruktif. Sebaliknya mediator memainkan peran pasif jika para pihak sendiri mampu melaksanakan perundingan yang konstruktif dalam arti para pihak sendiri mampu mengusulkan kemungkinan-

54 Nailul Sukri, Kedudukan Mediasi dan Tahkim di Indonesia, (Skripsi, Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah, 2002), hal. 30

55 Ibid, hal. 35

(44)

kemungkinan pemecahan masalah dan membahas usulan pemecahan masalah itu guna mengakhiri sengketa. Dengan demikian, tingkatan peran mediator dalam membantu para pihak menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka sangat situasional, yaitu tergantung pada kemampuan para pihak dalam melaksanakan perundingan.56

Pilihan penyelesaian sengketa dalam sengketa pada gugatan ini adalah melalui jalur mediasi. Mediasi menjadi langkah pertama yang dianjurkan dalam gugatan perceraian ini. Hal ini sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016.

Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi banyak dipilih karena lebih memberikan solusi bagi kedua belah pihak.

Keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi antara lain:

a. Penyelesaian bersifat informal

b. Penyelesaian sengketa dilakukan para pihak sendiri c. Jangka waktu penyelesaian pendek

d. Biaya ringan

e. Aturan pembuktian tidak perlu

f. Proses penyelesaian bersifat konfidensial g. Hubungan para pihak bersifat kooperatif h. Komunikasi dan fokus penyelesaian i. Hasil yang dituju sama menang j. Bebas emosi dan dendam

56 Sietra, “Akta Perdamaian di Pengadilan”, https://www.hukum- hukum.com/2014/07/akta-perdamaian-acta-van-dading.html diakses pada 28 November 2019

Gambar

Tabel 1: Perbedaan Gugatan Sederhana dan Gugatan Perdata Biasa  PENGERTIAN

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa dari penelitian yang dilakukan telah dapat menjawab segala pertanyaan yang ada, yang pertama adalah pada proses penyelesaian perkara gugatan pembatalan pengangkatan anak

1. Untuk Mengetahui bagaimanakah proses penyelesaian dalam perkara gugatan pembatalan pengangkatan anak yang sudah mendapatkan penetapan dari Pengadilan Negeri. Untuk mengetahui

Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang tata cara penyelesaian. gugatan sederhana di Pengadilan

Dalam pelaksanaannya sesuai dengan isi perjanjian dan tindakan pihak Tergugat melakukan tindakan ingkar janji (wanprestasi) sesuai dengan Putusan Perdata Pengadilan

Dalam pelaksanaannya sesuai dengan isi perjanjian dan tindakan pihak Tergugat melakukan tindakan ingkar janji (wanprestasi) sesuai dengan Putusan Perdata Pengadilan

Menaksir jumlah panjar biaya perkara gugatan sederhana yang diperiksa oleh Hakim Tunggal dan diperiksa di tingkat keberatan dan menyerahkan Blanko Formulir Gugatan Sederhana

Sebagaimana pada persidangan gugatan perdata lainnya, dalam pembacaan putusan Gugatan Sederhana dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum dan hakim menyampaikan upaya

Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 15 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Gugatan Sederhana bahwa penyelesaian gugatan sederhana