• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEOR

5. Prosedur Konseling Kelompok

Prosedur konseling kelompok meliputi jumlah anggota kelompok, sifat kelompok, waktu pelaksanaan, setting pelaksanaan, peran konselor dan konseli. Adapun prosedur konseling kelompok yaitu:

a. Jumlah Anggota Kelompok

Menurut Pauline Harrison (M. Edi Kurnanto, 2013: 7) konseling kelompok adalah konseling yang terdiri dari 4-8 konseli yang bertemu dengan 1-2 konselor. Menurut Prayitno dan Erman Amti (1999: 314) jumlah anggota kelompok terbatas antara 5-10 orang sehingga dapat tercipta dinamika kelompok antar sesama anggota kelompok.

Menurut Latipun (2008: 185) jumlah anggota dalam konseling kelompok berkisar antara 4-12 orang. Berdasarkan hasil berbagai penelitian, jumlah anggota kelompok yang kurang dari 4 orang tidak efektif karena dinamika kelompok menjadi kurang hidup. Sebaliknya apabila konseli melebihi 12 orang termasuk jumlah yang terlalu besar untuk konseling karena terlalu berat dalam mengelola kelompok.

Jumlah anggota untuk konseling kelompok terdiri 8-10 orang sehingga terpenuhi syarat-syarat kelompok yang mampu secara aktif mengembangkan dinamika kelompok yaitu menjalin hubungan akrab dengan anggota yang lain, menumbuhkan tujuan bersama antar anggota dalam suasana keakraban, mencapai tujuan kelompok bersama, memandirikan setiap anggota kelompok sehingga masing- masing mampu berbicara mengemukakan pendapatnya, membina kemandirian kelompok sehingga kelompok berusaha dan mampu tampil beda dengan kelompok yang lainnya.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah anggota konseling kelompok harus dibatasi. Jumlah anggota dalam konseling kelompok antara 4-12 orang.

b. Sifat Kelompok

Winkel dan Sri Hastuti (2010: 604) mengungkapkan bahwa sifat kelompok dalam konseling ada 2 yaitu terbuka dan tertutup. Apabila kelompok bersifat terbuka maka seorang anggota yang mengundurkan diri dapat diganti oleh orang lain dan apabila kelompok bersifat tertutup jumlah anggota tidak ditambah seandainya ada anggota yang mengundurkan diri. Pada umumnya konseling kelompok bersifat tertutup sehingga dinamika akan terjalin pada anggota yang sama dan jumlah anggota yang tetap.

Latipun (2008: 186) mengungkapkan bahwa sifat kelompok ada terbuka dan tertutup. Terbuka jika suatu saat dapat menerima anggota baru dan dikatakan tertutup apabila keanggotaanya tidak memungkinkan adanya anggota baru. Pertimbangan penggunaan keanggotaan terbuka dan tertutup tergantung pada keperluan dan kesepakatan anggota kelompok.

Kelompok terbuka dan tertutup masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Sifat kelompok terbuka dapat menerima anggota baru sampai dianggap cukup. Namun, adanya anggota baru dalam kelompok akan menyulitkan untuk pembentukan kohesivitas kelompok.

Konseling yang menerapkan anggota tetap lebih mudah membentuk dan memelihara kohesivitasnya. Akan tetapi jika ada anggota kelompok yang keluar, sistem keanggotaan tidak dapat ditambah dan harus menjalankan konseling berapapun jumlah anggotanya.

Kohesivitas dalam kelompok menggambarkan ikatan bersama yang terjadi antar anggota dalam sebuah kelompok agar mereka dapat mempertahankan komitmen yang telah disepakati bersama. Menurut Sumadi Suryabrata (M. Edi Kurnanto, 2013: 99) kelompok yang kohesif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Setiap anggota kelompok mengenakan identitas yang sama.

2) Setiap anggota kelompok memiliki tujuan dan sasaran yang sama.

3) Setiap anggota kelompok merasakan keberhasilan dan kegagalan yang sama.

4) Setiap anggota kelompok saling bekerjasama dan berkolaborasi.

5) Setiap anggota kelompok memiliki peran keanggotaan. 6) Kelompok mengambil keputusan secara efektif.

Berdasarkan pemaparan di atas bahwa permasalahan dalam konseling kelompok adalah bersifat rahasia. Sifat kelompok dalam konseling kelompok bersifat tertutup sehingga permasalahan pribadi yang dibahas hanya anggota kelompok saja yang tahu.

c. Waktu pelaksanaan

Menurut Yalom (Latipun, 2008: 187) durasi konseling kelompok yang melebihi 2 jam menjadi tidak kondusif karena beberpa

alasan yaitu anggota telah mencapai tingkat kelelahan dan pembicaraan cenderung diulang-ulang. Oleh karena itu, aspek durasi perlu diperhitungkan bagi konsleor. Konseling tidak dapat diselesaikan dengan memperpanjang durasi pertemuan tetapi pada proses pembelajaran selama proses konseling.

Menurut Dewa Ketut Sukardi (2008: 72) mengungkapkan bahwa penyelenggaran konseling kelompok untuk satu masalah memakan waktu tertentu misalnya 30 menit atau 1 jam bahkan 2 jam atau lebih. Kelompok tetap yang membahas sejumlah masalah anggota berkesinambungan, kegiatan kelompok perlu menjadwalkan sedemikian rupa sehingga semua masalah dapat dibahas dan diselesaikan dengan baik.

Menurut Latipun (2008: 187) mengemukakan bahwa lama waktu penyelenggaraan konseling kelompok sangat bergantung pada kompleksitas permasalahan yang dihadapi kelompok. Secara umum konseling kelompok yang bersifat jangka pendek membutuhkan waktu pertemuan antara 8 sampai 20 pertemuan dengan frekuensi pertemuan antara satu sampai tiga kali dalam seminggunya dan durasi antara 60 sampai 90 menit setiap pertemuan. Durasi pertemuan konseling kelompok sangat ditentukan situasi dan kondisi anggota kelompok.

Menurut Winkel dan Sri Hastuti (2010: 604) mengungkapkan bahwa konseling kelompok umumnya diselenggarakan satu hingga dua kali dalam seminggu. Penyelenggaraan dengan interval lebih

sering akan mengurangi penyerapan dari informasi dan umpan balik yang didapatkan selama konseling. Apabila konseling kelompok jarang dilakukan, misalnya saja satu kali dalam dua minggu maka banyak informasi dan umpan balik yang dilupakan.

Konseling kelompok biasanya berjalan selama 4-5 bulan dengan frekusensi pertemuan sekali seminggu sehingga total pertemuan 15 kali pertemuan. Lamanya pertemuan berkisar antara satu setengah sampai dua jam. Besarnya kelompok harus sedemikian rupa sehingga terdapat variasi dalam sudut pandang dan semua anggota dapat berpartisipasi, maka pada umumnya jumlah anggota 5-7 orang.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas menjelaskan bahwa penyelenggaraan konseling kelompok harus diperhatikan sehingga menimbulkan perasaan nyaman pada anggota kelompok. Alokasi waktu yang digunakan dalam pelaksanaan konseling kelompok sekitar 60 menit sampai 90 menit dengan satu atau dua kali dalam seminggu.

d. Setting Pelaksanaan Konseling Kelompok

Penataan formasi tempat duduk sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan sebuah konseling kelompok. Seorang konselor dituntut mampu membuat formasi tempat duduk untuk anggota kelompoknya, agar anggota kelompok dapat berinteraksi secara multi- arah. Ada dua formasi umum yang biasa digunakan dalam konseling

kelompok, yaitu formasi lingkaran dan kotak, atau kreasi dari kedua formasi tersebut (M. Edi Kurnanto, 2013: 95-96).

Tohirin (2007: 180) mengungkapkan secara rinci bahwa layanan konseling kelompok membahas masalah-masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok. Secara bergiliran anggota kelompok menceritakan masalah yang sedang dihadapinya, langkah selanjutnya adalah memilih permasalahan mana yang akan dibahas terlebih dahulu dan seterusnya.

Pada konseling kelompok masalah pribadi setiap anggota kelompok dibicarakan melalui dinamika kelompok (Dewa Ketut Sukardi, 2008: 70). Semua anggota aktif membicarakan masalah anggota lain dengan tujuan agar anggota yang bermasalah terbantu dan masalahnya terselesaikan.

Konselor mengembangkan suasana kelompok sehingga seluruh anggota kelompok dengan sukarela membuka diri dengan menceritakan masalah pribadi yang sedang dihadapi, dengan begitu konseli dapat berpartisipasi aktif dalam membantu anggota kelompok lain untuk menyelesaikan masalahnya. Setiap anggota kelompok mempunyai permasalahan pribadi yang akan dibahas. Pembahasan masalah dilakukan yaitu dengan satu persatu mengungkapkan masalahnya. Urutan pembahasan permasalahan dimusyawarahkan dalam kelompok sehingga mencapai kesepakatan bersama masalah siapa yang pertama dibahas, kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa setting dalam pelaksanaan konseling kelompok harus diperhatikan. Setting pelaksanaan konseling kelompok adalah duduk melingkar atau duduk formasi kotak antara anggota kelompok, pemimpin kelompok dan asisten pemimpin kelompok. Secara bergantian anggota kelompok mengemukakan masalah pribadi yang dihadapinya secara jujur dan terbuka dan langkah selanjutnya adalah memilih masalah mana yang akan dibahas dan diselesaikan terlebih dahulu dan seterusnya.

e. Peran Konselor dan Konseli

Peran konselor menurut Tohirin (2007: 601) adalah sebagai fasilitator mendorong konseli untuk berinteraksi secara penuh dengan seluruh anggota kelompok dan menanggapi masalah yang disampaikan anggota kelompok lain. Konselor juga mendorong seluruh anggota kelompok untuk aktif mengemukakan pendapat atau pengalaman hidupnya. Konselor mengatur lalu lintas jalannya konseling kelompok melalui dinamika kelompok dengan penguatan dan meluruskan hal-hal yang kurang sesuai. Winkel dan Sri Hastuti (2010: 601) mengemukakan bahwa peran konselor dalam konseling kelompok adalah memimpin konseling kelompok, bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi dalam kelompok, memberi umpan balik terhadap apa yang terjadi dalam kelompok, dan menangani saat-saat diam atau saat tidak ada konseli yang berbicara.

Menurut Prayitno (1995: 50) peran konseli dalam konseling kelompok adalah aktif membahas permasalahan tertentu dalam membantu menyelesaikan masalah anggota lain, berpastisipasi aktif dalam membangun dinamika interaksi sosial, memberikan saran, tanggapan, pendapat bagi pemeacahan masalah pribadi anggota kelompok, menyerap berbagai informasi, saran, berbagi pengalaman, dan berbagai alternatif untuk memecahkan masalahnya sendiri.

Peran konseli menurut Winkel dan Sri Hastuti (2010: 606) adalah berpartisipasi dalam kegiatan konseling kelompok, menerima tantangan untuk membina kebersamaan dan mencari penyelesaian atas masalah yang dihadapi bersama. Konseli harus memberikan sumbangan dan memegang peranan-peranan tertentu seperti mendorong seseorang untuk berbicara, menerima gagasan orang lain, meringkankan ketegangan dengan mengajak tertawa, memberikan sanjungan kepada anggota yang lain, dan menyatakan rasa senang ketika berpartisipasi dalam kelompok.

Konselor sebagai pemimpin kegiatan konseling kelompok dan fasilitator berperan untuk mendorong konseli agar aktif berpartisipasi dalam kelompok dan mampu membangun dinamika kelompok demi tercapainya tujuan bersama.

Berdasarkan pendapat di atas menjelaskan bahwa konselor dan konseli mempunyai peran masing-masing. Konselor sebagai pemimpin dan fasilitator berperan mendorong konseli untuk

berpartisipasi dan membangun dinamika kelompok. Konseli berperan untuk berpartisipasi aktif secara penuh dalam kegiatan konseling kelompok.

Dokumen terkait