• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEOR

B. Konseling Kelompok dengan Pendekatan Gestalt

8. Teknik-teknik Konseling Gestalt

Ada beberapa teknik dalam konseling Gestalt, diantaranya yaitu: a. Kursi Kosong (Empty Chair)

Empty chair adalah salah satu teknik terapi gestalt yang paling terkenal dan banyak digunakan. Teknik ini memperkuat apa yang yang ada dipinggir kesadaran konseli, mengeksplorasikan polaritas, proyeksi-proyeksi, dan introyeksi dalam diri konseli. Teknik ini akan menyuarakan pengalaman konseli dan sebagai cara untuk memahami dan memiliki kembali kualitas-kualitas diri konseli yang selama ini disangkalnya (Joyce & Sill dalam Triantoro Safaria: 115).

Empty chair digunakan untuk mengekplorasikan diri dan memperkuat konflik antara top-dog dan under-dog di dalam diri konseli. Top-dog dan under-dog ini merupakan sebuah kiasan untuk menggambarkan konflik internal dalam diri konseli atara introyeksi dan perlawanan terhadap intoyeksi tersebut. Top-dog menggambarkan apa yang wajib atau seharusnya dilakukan sedangkan under-dog menggambarkan penolakan atau pemberontakan terhadap introyeksi tersebut. Cara melakukan teknik adalah dengan bergantian menduduki bangku kosong yang telah ditandai sebagai dimensi top-dog dan under-dog (Joyce & Sill dalam Triantoro Safaria: 116). Pada kursi

top-dog konseli mengekspresikan apa-apa yang harus dan wajib dilakukannya oleh tuntutan lingkungannya, sedangkan kursi underdog mencoba untuk memberontak terhadap tuntutan tersebut.

Teknik ini digunakan untuk memahami urusan-urusan yang tak selesai dalam kehidupan konseli yang selama ini membebani dan menghambat kehidupan konseli secara sehat.

Menurut Greenberg dan Malcoln (dalam Gantina, dkk, 2011: 319) menjelaskan empat langkah dalam melaksanakan teknik kursi kosong, yaitu:

a. Konseli mengidentifikasi orang yang menjadi sumber unfinished business.

b. Konseli merespon seperti yang ia yakini orang tersebut akan merespon.

c. Konseli melakukan dialog sampai pada poin tercapainya resolusi untuk menyelesaikan unfinished business.

d. Konseli memahami unfinished business dari figure to ground dalam kesadaran konseli.

b. Topdog versus Underdog

Topdog adalah perasaan marah bila sesuatu tidak sesuai dengan nilai dan norma moral (righteous), autoritarian, dan mengetahui yang terbaik. Topdog adalah orang yang menggunakan kekuatannya untuk menekan dan menakuti orang lain dan bekerja dengan kata “kamu harus” dan “kamu tidak boleh”. Sementara

underdog adalah manipulatif dengan menjadi defensif, merengek, menangis, seperti bayi. Underdog bekerja dengan kata “saya mau” dan mencari alasan seperti “saya sudah bekerja keras”(Thompson, et.al., 2004:190).

Lebih lanjut menurut Thompson, et.al., teknik ini menggunakan dua kursi untuk membantu mengatasi konflik antara “yang saya inginkan” dan “yang seharusnya”. Satu kursi menjadi topdog, dan satu kursi menjadi underdog. Konseli diminta berargumen samapai mencapai poin di mana konseli mencapai integrasi dari apa yang seharusnya (topdog) dan apa yang diingikan (underdog).

c. Bermain Peran

Anggota kelompok diminta untuk mencoba untuk memerankan beberapa perilaku dan memperhatikan apa yang mereka alami. Proses yang dijalani masih berada dalam konteks yang aman bagi anggota untuk meningkatkan kesadaran mereka dan mencoba cara-cara baru dalam berpikir dan berperilaku. Tujuan bermain peran ini adalah untuk membantu anggota aktif eksplorasi diri (Melnick & Nevis dalam Corey, 2012: 304).

Seorang pemimpin kelompok Gestalt berorientasi untuk menjadi kreatif dalam merancang dan melaksanakan berbagai intervensi, selalu menggunakan pedoman kebutuhan peserta yang paling mendesak atau kepentingan. Hal ini juga berguna untuk membedakan antara latihan kelompok dan kelompok eksperimen. Pemimpin mempersiapkan

latihan kelompok sebelum pertemuan kelompok. Anggota mungkin diminta untuk berpasangan dan berbicara, atau katalis dapat diperkenalkan ke kelompok untuk memberikan fokus yang spesifik untuk bekerja selama sesi konseling berlangsung. Sebaliknya, kelompok eksperimen adalah kelompok kreatif yang tumbuh dari pengalaman kelompok, karena itu tidak dapat ditentukan, dan hasilnya tidak dapat diprediksi.

c. Konfrontasi

Menurut Sofyan S. Willis (2004: 169) konfrontasi adalah suatu teknik konseling yang menantang konseli untuk melihat adanya diskrepansi atau inkonsistensi antara perkataan dengan bahasa badan (perbuatan), ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan. Konfrontasi adalah suatu usaha untuk menunjukkan perbedaan atau kesenjangan antara sikap, pemikiran atau perilakunya (Rochman Natawidjaja, 1987: 115). Lebih lanjut pengertian konfrontasi yang dikemukakan oleh Egan (dalam Rochman Natawidjaja, 1987: 115) adalah sebagai undangan kepada seseorang untuk menguji perilakunya secara lebih jujur. Egan juga menegaskan bahwa konfrontasi harus dilakukan dengan menggunakan empati yang teliti dan hati-hati.

Sofyan S. Willis (2004: 169) mengemukakan tujuan konfrontasi adalah sebagai berikut:

2) Meningkatkan potensi konseli.

3) Membawa konseli menuju kesadaran adanya diskrepansi, konflik, atau kontradiksi dalam dirinya.

Sofyan S. Willis (2004: 169) konfrontasi dilakukan harus dengan teliti yaitu:

1) Memberi komentar khusus terhadap konseli yang tidak konsisten dengan tepat waktu.

2) Tidak menilai apa lagi menyalahkan.

3) Dilakukan dengan perilaku attending dan empati.

Konselor dapat menggunakan konfrontasi agar konseli memperoleh kesadaran lebih besar mengenai konflik-konflik yang terjadi di dalam diri mereka. Konselor memperhatikan adanya ketidakselarasan dalam diri konseli yang dapat menghambat dan mengurangi kekutan diri mereka. Dengan konfrontasi diharapkan konseli mampu memahami kekuatan dan kelemahannya sendiri.

d. Membuat Lingkaran (Making the Round)

Membuat lingkaran bisa menjadi teknik yang berguna untuk membantu anggota kelompok mengenali ketakutan yang tersembunyi. Anggota ini didorong untuk pergi berkeliling ke masing-masing anggota kelompok dan mengatakan sesuatu yang dia biasanya tidak berkomunikasi verbal (Corey, 2012: 304). Tujuan teknik ini dilakukan adalah untuk melakukan konfrontasi, mengambil resiko, untuk

membuka diri, melatih tingkah laku baru, dan untuk melakukan perubahan (Corey dalam Gantina, dkk., 2011: 320).

Contoh: Adriana khawatir tentang orang-orang yang membosankan dalam kelompok. Dia mungkin akan diminta untuk membuat lingkaran dan untuk setiap orang melengkapi kalimat, "Salah satu cara saya bisa membuat Anda bosan adalah dengan "atau", Anda akan bosan jika saya".

e. Pendekatan Fantasi

Bereksperimen dengan keragaman situasi fantasi dalam kelompok dapat menyebabkan signifikan tidak bisa tumbuh. Fantasi dapat meningkatkan kesadaran pribadi dalam berbagai cara. Fantasi dapat digunakan ketika anggota terlalu mengancam untuk menangani masalah secara konkret. Sebagai contoh, anggota yang takut untuk bersikap tegas dapat membayangkan diri mereka dalam situasi di mana mereka tegas. Kemudian mereka dapat membandingkan apa yang mereka rasakan ketika mereka pasif dengan apa yang mereka rasakan ketika mereka dapat meminta apa yang mereka inginkan.

Fantasi pendekatan mengenai harapan negatif, yang sering mengakibatkan rasa kelumpuhan. Anggota yang takut untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan takut mengungkapkan perasaan terhadap seseorang yang mereka cintai dapat dipandu melalui fantasi. Situasi di mana mereka mengatakan segala sesuatu yang ingin mereka katakan, tetapi takut untuk mengekspresikan.

Fantasi adalah cara yang berguna dan aman untuk mengeksplorasi kekhawatiran anggota tentang keterlibatan diri dalam kelompok. Sebagai contoh, anggota dapat diminta untuk membayangkan hal yang paling mereka takut terjadi dalam kelompok. Jika, misalnya, beberapa anggota takut ditolak oleh kelompok, mereka dapat diarahkan untuk membayangkan bahwa setiap orang secara sistematis menolak mereka dan kemudian bekerja dengan perasaan terkait dengan fantasi ini. f. Latihan Gladiresik (The Rehearsal Experiment)

Teknik ini dapat sangat berguna ketika dengan jelas bahwa anggota melakukan banyak pemblokiran dan penyensoran dan ketika apa yang mereka katakan tampaknya hati-hati untuk diungkapkan karena takut terjadi sesuatu kepada dirinya. Teknik latihan secara berulang-ulang harus diatur dengan baik, dan itu harus muncul dari situasi di mana anggota sedang berjuang dalam beberapa cara. Latihan tidak dirancang untuk membangkitkan emosi tetapi untuk membawa ke kesadaran yang lebih tajam sebuah proses yang biasanya dilakukan tanpa kesadaran.

Dalam kelompok Gestalt para peserta berbagi latihan mereka dengan satu sama lain untuk menjadi lebih sadar akan banyak persiapan mereka pergi melalui dalam melakukan peran sosial mereka. Dengan demikian, mereka menjadi lebih sadar tentang bagaimana mereka berusaha untuk menyenangkan orang lain, dari sejauh mana mereka ingin diterima dan disetujui, dan sejauh mana

upaya mereka untuk menghindari orang lain dan mengasingkan diri dari orang lain. Kemudian mereka bisa memutuskan bahwa permainan peran adalah sepadan dengan usaha.

g. Mimpi Bekerja di Kelompok

Pendekatan Gestalt tidak menafsirkan dan menganalisis mimpi. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk membawa mimpi kembali ke kehidupan, untuk menciptakan kembali, dan menghidupkan kembali itu seolah-olah itu terjadi sekarang.

Anggota kelompok tidak melaporkan mimpi mereka atau berbicara tentang mereka di masa lalu dengan tegang. Sebaliknya, mereka diminta untuk menceritakan mimpi seolah-olah itu terjadi dan hadir dalam saat sekarang. Dreamers menjadi tenggelam dalam mimpi mereka dengan vitalitas lebih ketika mereka menceritakan mimpi seolah-olah mereka sedang terjadi sekarang. Anggota dapat diminta untuk mengidentifikasi dengan segmen mimpi dan menceritakan impian mereka dari perspektif subjektif.

Dokumen terkait