• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH PERTANIAN D

2. Prosedur Pelaksanaan Jual Beli Tanah menurut UUPA

Sebelum membeli sebidang tanah, maka kiranya perlu dilakukan secara hati- hati, dikarenakan banyaknya terjadi hal-hal yang bersifat kurang menguntungkan dikemudian harinya bagi pembeli, misalnya tanah dalam keadaan sengketa ataupun tanah terletak dalam lokasi daerah yang terkena penertiban dan sebagainya.

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam jual beli tanah, yaitu Subjek (penjual dan pembeli) dan Objek (hak atas tanah). Untuk penjual terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan jual beli tanah yaitu86:

Hal pertama yang harus dilakukan dalam jual beli tanah adalah calon penjual harus berhak menjual tanah tersebut, atau dengan kata lain si penjual adalah pemegang hak yang sah dari hak atas tanah itu.

Apabila pemegang hak hanya satu, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu, tapi jika pemegang hak atas tanah tersebut terdiri dari dua orang atau lebih, maka yang berhak menjual tanah itu adalah semua pemegang hak itu secara bersama-sama tidak boleh hanya seorang saja yang bertindak sebagai penjual jual beli tanah yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak adalah batal demi hukum, artinya semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli, Dalam hal demikian maka kepentingan pembeli sangat dirugikan.

Hal kedua bahwa si penjual adalah orang yang berwenang untuk menjual. mungkin terjadi bahwa seseorang berhak atas suatu hak atas tanah akan tetapi orang itu tidak berwenang menjualnya kalau tidak dipenuhi syarat tertentu, misalnya tanah tersebut milik anak di bawah umur atau milik seseorang yang berada di bawah pengampuan.

Jika suatu jual beli tanah dilakukan tetapi ternyata yang menjual tidak berwenang menjual atau sipembeli tidak berwenang membeli, walaupun di penjual adalah berhak atas tanah itu atau si pembeli berhak membeli, maka akibatnya jual beli itu dapat dibatalkan oleb pihak-pihak yang berkepentingan, lagi pula Kantor Pendaftaran Tanah akan menolak pendaftaran jual bell itu.

Hal ketiga yang perlu diperhatikan bahwa, si penjual adalah orang yang sudah bisa menjual tanah yang akan dijadikan obyek jual beli. Seseorang mungkin berhak menjual sebidang tanah juga orang tersebut berwenang melakukan penjualan tetapi dia tidak atau belum boleh menjual tanah itu. Misalnya seseorang mempunyai tanah bekas Hak Barat atau tanah bekas Hak Indonesia yang pernah didaftar atau Hak Milik menurut UUPA, tetapi belum terdaftar pada kantor pertanahan atau sertipikatnya hilang, maka orang tersebut belum boleh menjual tanah itu, ia harus mengurus dan memperoleh sertipikatnya terlebih dahulu setelah itu baru boleh dijual.

Hal keempat bahwa identitas Penjual/Pembeli harus jelas, apakah bertindak sendiri atau sebagai kuasa Penjual/Pembeli. Kalau penjual/pembeli adalah orang

(manusia), maka identitas itu adalah nama, umur (tanggal lahir),

kewarganegaraan, pekerjaan, tempat tinggal. Semua itu dapat dibaca dalam Kartu Tanda Penduduk atau Passpor.

Apabila penjual/ pembeli adalah badan hukum, maka identitasnya adalah nama, bentuk badan hukumnya, kedudukan badan hukum, pengurus-pengurusnya. Semua itu dapat diketahui dari akta pendirian/anggaran dasar/peraturan perundangan pembentukkannya. Dalam hal penjual/pembeli bertindak melalui kuasa, maka surat kuasa khusus untuk menjual harus ada. Kuasa umum yang menurut lazimnya hanya untuk melakukan pengurusan tidak berlaku untuk menjual. Kuasa itu harus tegas untuk menjual tanah yang akan dijual itu.

Menurut Harun Al Rashid ada 3 (tiga) tahapan dalam pelaksaan jual beli tanah yaitu87:

a. Meminta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) bila tanah bersertipikat; b. Pelaksanaan pemindahan hak atas tanah dengan akte jual beli tanah;

c. Melakukan pendaftaran hak untuk memperoleh sertipikat tanah dari pejabat yang berwenang.

Menurut Adrian Sutedi syarat jual beli tanah ada dua yaitu syarat materiil dan syarat formil, antara lain :88

a. Syarat materiil (sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut) antara lain :

1) Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Menurut UUPA Pasal 21 yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan Indonesia atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh pada negara (Pasal 26 ayat (2) UUPA).

2) Pejual berhak menjual tanah yang bersangkutan. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu.

Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak

menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.89

87Harun Al Rashid,Op.Cit,Halaman 53. 88Adrian Sutedi,Op.Cit.,Halaman 77-78. 89Effendi Perangin Op.Cit, Halaman 2.

3) Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjual belikan dan tidak dalam sengketa.

b. Syarat formal (untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam suatu peralihan hak atas tanah). Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah menentukan setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT.90

Sebelum akta jual beli dibuat PPAT maka disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT yaitu :91

a. Jika tanahnya sudah bersertipikat : sertipikat tanahnya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya.

b. Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersertipikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh kepala Desa dan Camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertipikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.

Dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah menyebutkan bahwa setelah akta dibuat, selambat-lambatanya 7 (tujuh) hari kerja sejak akta tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada Kantor Pendaftaran Tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya.

Prosedur pelaksanaan peralihan hak atas tanah karena jual beli menurut

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2007 jo. Permen Agraria/Kepala BPN No. 3

90Bactiar EffendiOp.Cit,Halaman 70 dan 74. 91Adrian Sutedi,Op.Cit., Halaman 78-79.

Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, antara lain :

a. Peralihan hak atas tanah karena jual beli harus dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah (Pasal 37 PP No. 24 tahun 2007);

b. PPAT sebelum jual beli dilakukan, harus mengecek terlebih dahulu sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan di kantor pertanahan kabupaten/kota setempat. Setelah diadakan pengecekan oleh kantor pertanahan, apabila datanya sesuai dengan yang ada di kantor pertanahan kemudian kantor pertanahan membuat catatan dalam lembar halaman peralihan bahwa telah diadakan pengecekan, bahwa datanya sesuai dengan yang ada di kantor pertanahan (Pasal 97 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997).

c. Pembuatan Akta dilakukan oleh PPAT apabila telah menerima surat pernyataan dari pihak pembeli yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah, tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) dan hak atas tanah tersebut tidak sedang sengketa serta menanggung akibat hukumnya, apabila pernyataan tersebut tidak benar (Pasal 100 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997)

d. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak atau kuasanya dan harus disaksikano leh 2 orang saksi serta akta tersebut wajib dibacakan oleh PPAT kepada para pihak yang bersangkutan (Pasal 101 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997).

e. Kemudian PPAT mendaftarkan peralihan hak yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak akta tersebut ditandatangani dengan melampirkan :

(1) Dalam hal pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah bersertifikat yaitu surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh pembeli atau kuasanya, surat kuasa tertulis dari pembeli apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan pembeli, akta tentang pembuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan yang dibuat oleh PPAT, bukti identitas penjual dan pembeli, sertipikat hak atas tanah, bukti pelunasan BPHTB atas nama pembeli, bukti pelunasan PPh atas nama penjual.

(2) Dalam hal pemindahan hak atas tanah yang belum terdaftaran yaitu kuasa permohonan pendaftaran hak atas tanah ditandatangani oleh si penjual, surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh pembeli atau kuasanya dengan surat kuasa tertulis, akta PPAT, bukti identitas penjual dan pembeli, bukti alas hak atas tanah, bukti pelunasan pembayaran BPHTB atas nama pembeli dan bukti pelunasan pembayaran PPh atas nama penjual (Pasal 103 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997).

f. Penerbitan sertipikat oleh kantor pertanahan atas nama pemegang hak yang

terakhir (Pasal 106 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997).

Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dahulu. Pada beberapa lingkungan hukum, kesadaran mengenai adanya hubungan masyarakat dengan tanah terbukti dengan adanya acara selamatan pada waktu yang tetap di tempat-tempat selamatan desa tersebut di bawah pimpinan masyarakat pada waktu akan memulai pengerjaan tanah, pesta pembersihan desa pascapanen dan acara-acara semacam itu.

Menurut R. Van Dijk bahwa :

Perkataan “adat” adalah suatu istilah yang dikutip dari bahasa Arab, tetapi dapat dikatakan telah diterima dalam suatu bahasa di Indonesia. Mulanya istilah itu berarti : “kebiasaan”. Nama ini sekarang dimaksudkan; semua kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia disemua lapangan hidup, jadi juga semua peraturan tentang tingkah laku macam apapun juga, menurut mana orang Indonesia bisa bertingkah.92

Dalam hal tersebut, termasuk di dalamnya kebiasaan dan tingkah laku orang Indonesia terhadap tanah yaitu hak membuka tanah, transaksi-transaksi tanah dan

transaksi yang berhubungan dengan tanah.93 Selanjutnya menurut Adrian Sutedi

bahwa Hukum Tanah Adat adalah hak kepemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini, ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis, yaitu hanya didasarkan atas pengakuan serta pula yang mempunyai bukti autentik.94

Setelah berlakunya UUPA, tanah adat di Indonesia mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi pada hukum adat sebelum dan sesudah berlakunya UUPA, 92R.Van Dijk, diterjemahkan oleh Mr. A. Sorhardi, 1982,Pengantar Hukum Adat Indonesia,

Sumur Bandung, Cetakan Kedelapan Bandung, Halaman 9.

93Supriadi, 2006,Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 16. 94Adrian Sutedi,Op.Cit., Halaman 40.

dapat dilihat misalnya dalam hal jual beli tanah. Sebelum berlakunya UUPA, jual beli tanah sering dilakukan secara lisan saja. Kemudian berkembang dengan pembuatan surat jual beli antara dua pihak. Jual beli tanah adalah perbuatan hukum menyerahkan tanah hak oleh penjual kepada pembeli.95

Menurut Soerjono Soekanto bahwa :

Jual beli tanah menurut hukum adat adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan Kepala Adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindaahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.96

Dalam hukum adat, jual beli tanah dimaksukkan dalam hukum benda, khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum perikatan khusunya hukum perjanjian, hal ini karena :97

a. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan suatu perjanjian sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut. b. Jual beli tanah menurut hukum adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban,

yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi apabila pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah tersebut.

Transaksi tanah dalam sistem hukum adat ada 3 muatan, yakni98:

95Ibid., Halaman 58.

96Soerjono Soekanto,Op.Cit. 97Ibid., Halaman 211.

a. Pemindahan hak atas tanah dasar pembayaran tunai sedemikian rupa dengan hak untuk mendapatkan tanahnya kembali setelah membayar sejumlah uang yang pernah dibayarnya.

b. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk membeli kembali, jadi menjual lepas jadi menjual lepas untuk selama- lamanya.

c. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan perjanjian bahwa setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan hukum tertentu tanah akan kembali.

Bentuk-bentuk jual beli tanah dalam hukum adat antara lain yaitu:

a. Jual Lepas

Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai, dimana semua ikatan antara bekas penjual dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali.99 Biasanya dalam jual lepas, calon pembeli memberikan sesuatu tanda sebagai pengikat yang disebut panjer. Fungsi panjer hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli.

Jual lepas ini di lokasi penelitian yaitu Desa Marom, Desa Sibuntuon, Desa Partoruan Janji Matogu, dan Desa Lumban Holbung dikenal dengan istilah JualPate. Namun sistem panjer tidak dikenal, penyerahan hak atas tanah oleh si penjual bersamaan dengan pembayaran harga berupa uang kontan dari si pembeli.

b. Jual Gadai

Jual Gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara sementara atas tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa, sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian maka pemindahan hak atas tanah pada jual

gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat sementara waktu tersebut.100

Ada kecenderungan untuk membedakan antara gadai biasa dengan gadai jangka waktu, di mana yang terakhir cenderung memberikan semacam patokan pada sifat sementara dan perpindahan hak atas tanah tersebut. Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap saat. Pembatasnya adalah satu tahun panen atau apabila di atas tanah masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasil- hasilnya. Dalam hal ini maka penerima gadai tidak berhak untuk menuntut agar penggadai menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu.

Jual gadai inipun dikenal di lokasi penelitian yaitu Desa Marom, Desa Sibuntuon, Desa Partoruan Janji Matogu, Desa Dolok Nagodang dan Desa Lumban Holbung dengan istilahSindor.

Dalam Pasal 7 Perpu No. 56 tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, ditetapkan bahwa tanah yang sudah digadaikan selama 7 (tujuh) tahun, atau lebih harus dikembalikan kepada pemilik tanah/penjual gadai, tanpa ada kewajiban baginya untuk membayar uang tebusan. Sedangkan Gadai yang berlangsung kurang dari 7 Tahun, si pemilik tanah dapat memintanya kembali setiapa waktu setelah selesai pemetikan hasil tanaman tersebut dengan membayar uang tebusan yang besar yang besarnya dihitung menurut rumusan :

( 7 +1/2) dikurang (-) waktu berlangsungnya gadai x uang gadai 7

c. Jual tahunan

Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan hak atas sebidang tanah tertentu kepada subyek hukum lain, dengan menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa setelah jangka waktu tertentu, maka tanah tersebut akan kembali dengan sendirinya tanpa melalui hukum tertentu. Dalam hal ini terjadi peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu.101

d. Jual Gangsur.

Pada jual gangsur ini walaupun telah terjadi pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah tetap berada ditangan penjual, artinya bekas penjual masih tetap mempunyai hak pakai yang bersumber pada ketentuan yang disepakati oleh penjual dengan pembeli (jadi hak pakai tersebut bukan bersumber pada hak peserta warga negara hukum adat).

e. Jual beli dengan cicilan

Yang dimaksud dengan Jual beli dengan cicilan, dalam praktek sehari-hari sering timbul walaupun tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Menurut M. Yahya Harahap bahwa :

“Jual beli cicilan, merupakan salah satu bentuk penjualan kredit, pembeli wajib membayar barang secara termein atau berkala. Sebaliknya penjual biasanya masih tetap berhak menarik barang yang dijual dari tangan si pembeli, apabila pembeli tidak tepat waktu, membayar harga cicilan, menurut termein yang dijadwalkan”.102

101

Ibid.,Halaman 216 102

Adanya hak penjual menarik kembali barang yang telah dijual, karena akibat keterlambatan membayar cicilan, adalah merupakan syarat yang disebut klausula yang menggugurkan (Vervalclausule).

Salah satu bentuk jual-beli angsuran atau cicilan adalah sewa beli. Jadi dalam jual beli dengan cicilan barang yang dijual diserahkan dalam miliknya si pembeli, namun pembayarannya dengan cicilan.

Dengan demikian si pembeli seketika menjadi pemilik mutlak dari barang yang dibelinya dan tinggallah mempunyai utang kepada di penjual berupa harga atau sebagian dari harga yang belum dibayarnya. Dengan begitu pembeli menerima barangnya begitu pula ia bebas untuk menjualnya lagi karena sudah menjadi miliknya.

B. Pelaksanaan Jual Beli Tanah di Kalangan Masyarakat Adat Batak Toba

Dokumen terkait