• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ASPEK HUKUM PENGIRIMAN TEBU DARI KEBUN KE

A. Prosedur Pembentukan Perjanjian Pengiriman dan Pihak yang

Suatu perjanjian pada dasarnya haruslah dapat menciptakan rasa aman dan diharapkan dapat menguntungkan masing-masing pihak, agar hal tersebut dapat terlaksana maka perlu diperhatikan prosedur dalam pembuatan perjanjian tersebut. Dalam prosedur pembentukan suatu perjanjian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Memahami syarat pokok sahnya suatu perjanjian atau latar belakang 2. Memahami pihak yang sah menurut Undang-Undang

3. Memahami objek yang dijanjikan agar terciptanya asas kepastian hukum dalam perjanjian tersebut

4. Para pihak mampu menyusun garis besar sebuah perjanjian untuk menghasilkan sebuah kontrak yang baik

5. Para pihak mengikuti prosedur dan tahapan dalam menyusun suatu kontrak untuk kemudian mampu merumuskan dan melaksanakannya.

Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam membuat suatu perjanjian (kontrak), yaitu :

a) Tahap Pra-Contractual (Negosiasi), yaitu tahap saat para pihak belum terikat perjanjian, tetapi melakukan negosiasi untuk mencapai kata

40

sepakat. Negosiasi adalah suatu proses untuk mencapai kesepakatan dengan saling memberikan konsensus satu sama lain (give and take). Dalam sebuah negosiasi, yang dirundingkan adalah esensialia (pokok perjanjian), naturalia (hak dan kewajiban para pihak), dan wanprestasi (ingkar janji).

b) Tahap Contractual, yaitu para pihak sudah terikat kontrak melalui kesepakatan yang sudah tercapai sampai dengan akhir dari suatu perjanjian.

c) Post contractual, yaitu kewajiban para pihak setelah masa kontrak.59

Pembuatan suatu perjanjian harus diperhatikan unsur-unsur yang terdapat didalamnya, yaitu :

a) Adanya perbuatan hukum;

b) Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang; c) Persesuaian kehendak harus dinyatakan atau dipublikasikan;

d) Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih; e) Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai itu harus saling

bergantung satu sama lain;

f) Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;

g) Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik;

h) Persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan perundang-undangan.60

Terjadinya perjanjian pengangkutan selalu didahului oleh perbuatan negosiasi timbal balik antara pihak pengirim/penumpang dan pihak pengangkut. Perbuatan negosiasi tersebut tidak ada pengaturan terperinci dalam

undang-undang, yang ada hanya pernyataan “persetujuan kehendak” (toestemming) atau

“persepakatan” (consensus) sebagai salah satu unsur Pasal 1320 KUH Perdata. Perbuatan negosiasi untuk mencapai persetujuan kehendak atau persepakatan tersebut hanya dapat diketahui melalui teori-teori perjanjian yang dapat ditelusuri

59

Ardi Budhi, Tahapan Pembuatan Perjanjian Kontrak Kerja dan Anatominya,

https://bas28.wordpress.com/2012/04/07/tahapan-pembuatan-perjanjian-kontrak-kerja-dan-anatominya/, di akses pada tanggal 09 April 2015. 60

dalam literatur ilmu hukum dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat bisnis pengangkutan, ialah sebagai berikut:

1. Teori Kehendak

Teori kehendak (wilstheorie) dikemukakan oleh Hofmann. Teori ini bertujuan untuk menentukan secara pasti saat kapan telah terjadi suatu persetujuan kehendak (toestemming) atau persepakatan (consensus) yang menjadi dasar mengikatnya perjanjian. Menurut teori ini, perjanjian dinyatakan terjadi dan mengikat pada saat pihak-pihak sudah mencapai persetujuan kehendak atau persepakatan mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Persetujuan kehendak atau persepakatan tersebut dinyatakan dengan tegas dalam bentuk perkataan yang diucapkan atau dalam bentuk perbuatan nyata yang patut dihormati dan mengikat pihak-pihak. Jadi, persetujuan kehendak atau persepakatan itu timbul sebagai akibat proses negosiasi antara kedua belah pihak. Di negara-negara Anglo Saxon, teori kehendak ini dikenal dengan sebutan negotiation theory atau bargaining theory.61

Keunggulan teori kehendak adalah menciptakan kepastian hukum mengenai perincian kewajiban dan hak bagi pihak-pihak, dan dapat dipastikan juga sejak kapan kedua belah pihak terikat untuk memenuhi kewajiban dan memperoleh hak yang telah disepakati, serta akibat hukumnya apabila terjadi wanprestasi.

2. Teori Penerimaan

Teori penerimaan (ontvangst theorie) dikemukakan oleh Opzoomer. Teori ini untuk menentukan secara pasti saat kapan pihak yang satu menerima

61

42

penawaran dari pihak yang lain yang menjadi dasar mengikatnya perjanjian. Menurut teori ini, perjanjian dinyatakan terjadi dan mengikat pada saat penawaran pihak yang satu benar-benar diterima oleh pihak yang lain, yang secara konkret dibuktikan dengan perkataan atau perbuatan nyata (menerima); dengan dokumen hukum (bukti menerima), misalnya telegram balasan, surat persetujuan.

Saat penerimaan penawaran dapat diketahui secara pasti sejak perkataan diucapkan, perbuatan menerima itu sungguh-sungguh dilakukan, atau menurut tanggal yang ditulis penerima pada dokumen yang bersangkutan. Jadi, penerimaan itu merupakan pernyataan akhir dari pihak yang satu terhadap penawaran pihak yang lain, baik secara lisan maupun tertulis. Bukan lagi proses negosiasi, melainkan pernyataan yang bersifat tetap, tidak berubah lagi. Di negara-negara

Anglo Saxon, teori penerimaan ini dikenal dengan acceptance theory. 62 3. Teori Penawaran dan Penerimaan

Teori ini umumnya berkembang di negara-negara Anglo Saxon yang berbasis common law. Teori ini dikenal dengan sebutan offer and acceptance theory yang bertujuan untuk menetukan titik temu antara penawaran dan penerimaan sehingga dapat diketahui secara pasti saat perjanjian terjadi dan mengikat pihak-pihak. Menurut teori ini, proses penawaran (offer) dari pihak yang satu dihadapkan dengan proses penerimaan (acceptance) oleh pihak yang lain dan sebaliknya guna mencapai kecocokan/kesesuaian kehendak yang diharapkan oleh pihak-pihak secara timbal balik. Titik temu penawaran dan penerimaan secara

62

timbal balik menciptakan persepakatan sebagai perjanjian yang mengikat pihak-pihak.63

Keunggulan offer and acceptance theory, walaupun tidak dibuat secara tertulis, kesadaran hukum pihak-pihak yang terikat dengan perjanjian merupakan jaminan bahwa kewajiban pihak-pihak akan dipenuhi agar hak para pihak dapat diperoleh.

Perjanjian pengiriman tebu memuat beberapa prosedur pembentukan perjanjian yang harus dilakukan sesuai tahapannya. Prosedur pembentukan tersebut, ialah sebagai berikut:64

1. Didahului dengan adanya izin Direksi dalam Surat Instruksi Direksi tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa

2. Setelah adanya izin dari Direksi, maka Manajer SBU Tebu akan membentuk panitia lelang pengadaan barang dan jasa

3. Susunan panitia lelang tersebut disampaikan kepada Direksi dan dibalas dengan Surat Instruksi Direksi mengenai petunjuk pelaksanaan kultur teknis, ketentuan tarif pemeliharaan dan tebang/angkut.

4. Setelah adanya petunjuk pelaksanaan tersebut, panitia lelang akan membuat surat undangan penawaran kepada minimal tiga pihak dengan ketentuan yang telah ditetapkan

5. Setelah surat undangan penawaran tersebut diberikan, maka masing-masing pihak akan menjawab dengan memberikan Surat Jawaban penawaran kepada panitia lelang.

63

Ibid., hlm. 125. 64

Hasil wawancara dengan Anton Tambunan, S.E., legal staff PT. Perkebunan Nusantara II, tanggal 22 April 2015.

44

6. Panitia lelang akan memeriksa surat jawaban penawaran dari masing-masing pihak dan memilih jawaban penawaran yang mendekati ketentuan yang telah ditentukan. Kemudian panitia lelang akan menetapkan pemenangnya melalui Surat Penetapan Pemenang Pemilihan Langsung Pengadaan Barang dan Jasa Tanaman Pekerjaan Rutin dari Manajer SBU Tebu.

7. Setelah ditetapkan pemenangnya, maka panitia lelang dan Manajer SBU Tebu akan membuat Surat Penunjukan Pemenang Pemilihan Langsung Pengadaan Barang dan Jasa Bidang Tanaman Pekerjaan Rutin.

8. Setelah adanya surat penunjukan pemenang tersebut, maka Manajer SBU Tebu dan pihak pemenang tersebut akan menandatangani perjanjian yang telah disepakati dalam bentuk Surat Perjanjian Pekerjaan Pemborong (SPPP).

Perjanjian pengiriman tebu dari kebun ke pabrik yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Pekerjaan Pemborong (SPPP) Nomor SUTB/SPPP/X/45/SMT-I/2014 harus memperhatikan hal-hal yang mendasari pembuatan perjanjian tersebut. Adapun hal yang mendasari pembuatan surat perjanjian tersebut, adalah : 1) Surat Instruksi Direksi No. II.0/Kpts/01/XII/2008 tanggal 23-12-2008, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa PTPN II Tahun 2009

2) Surat Keputusan dari SBU Tebu No. SUTB/Kpts/R.01.XII/2013 tanggal 23-12-2013, tentang Susunan Panitia Pengadaan Barang dan Jasa di Kantor SBU Tebu PTP Nusantara II – Tahun 2014

3) Surat Instruksi Direksi No. 201/SI/20/I/2014 tanggal 24 Januari 2014, hal Petunjuk Pelaksanaan Kultur Teknis, Ketentuan Tarif Pemeliharaan TG. 2014/2015 dan Tebang/Angkut TG. 2013/2014 Tahun 2014

4) Surat undangan penawaran dari panitia pemilihan langsung pengadaan barang dan jasa borongan bidang tanaman pekerjaan rutin kepada mitra kerja No. PPBJ-Tan./Und.P/45.I/2014 tanggal 27 Januari 2014

5) Surat jawaban penawaran dari CV. Sari Persada No. CV.SP/03/P/2014 tanggal 01 Februari 2014

6) Surat penetapan pemenang pemilihan langsung pengadaan barang dan jasa tanaman yang bersifat rutin dari Manajer SBU Tebu No. SUTB/X/45/Pent. P/Smt-I/2014 tanggal 12 Februari 2014.

7) Surat penunjukan pemenang pemilihan langsung pengadaan barang dan jasa bidang tanaman pekerjaan rutin dari Manajer SBU Tebu No. SUTB/X/45/Penj. P/Smt-I/2014 tanggal 13 Februari 2014.

A.2 Pihak yang Terkait dalam Perjanjian

Subjek hukum adalah pendukung kewajiban dan hak. Subjek hukum pengangkutan adalah pendukung kewajiban dan hak dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan. Mereka terdiri atas:

1) Pihak pengangkut; 2) Pihak penumpang; 3) Pihak pengirim; dan 4) Pihak penerima kiriman.65

65

46

Subjek hukum pengangkutan dapat berstatus badan hukum, persekutuan bukan badan hukum, atau perseorangan. Pihak penumpang selalu berstatus perseorangan, sedangkan pihak penerima kiriman dapat berstatus perseorangan atau perusahaan.

Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah mereka yang secara langsung terikat memenuhi kewajiban dan memperoleh hak dalam perjanjian pengangkutan, yaitu:

A. Pengangkut (Carrier)

Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) dan/atau barang.

Dilihat dari sisi statusnya sebagai badan yang bergerak di bidang jasa pengangkutan, pengangkut dapat dikelompokkan dalam empat jenis, yaitu :

a) Perusahaan pengangkutan kereta api; b) Perusahaan pengangkutan jalan; c) Perusahaan pengangkutan perairan; d) Perusahaan pengangkutan udara.66

Dilihat dari sisi kepemilikan badan usaha, pengangkut dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu :

a) Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Ada yang berbentuk perusahaan perseroan (Persero) dan ada juga yang berbentuk Perusahaan Umum (Perum).

b) Badan Usaha Milik Swasta (BUMS)

Umumnya berbentuk badan hukum perseroan terbatas dan berbentuk persekutuan bukan badan hukum (CV).

c) Badan Usaha Milik Perseorangan67 B. Penumpang (Passanger) 66 Ibid., hlm. 55. 67 Ibid.

Penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini ia berhak untuk memperoleh jasa pengangkutan. Menurut perjanjian pengangkutan, penumpang mempunyai dua status, yaitu sebagai subjek karena dia adalah pihak dalam perjanjian dan sebagai objek karena dia adalah muatan yang diangkut.68

C. Pengirim

Pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan barang dan atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan barang dari pengangkut.

Dapat disimpulkan pengirim adalah :

a) Pihak dalam perjanjian yang berstatus sebagai pemilik barang, atau orang yang bertindak atas nama pemilik barang, atau sebagai pihak penjual; b) Membayar biaya pengangkutan;

c) Pemegang dokumen pengangkutan barang.69

Pengirim dapat berstatus sebagai pemilik barang itu sendiri atau orang lain yang bertindak atas nama pemilik barang, contohnya ekspeditur. Pengirim dapat juga berstatus sebagai penjual dalam perjanjian jual beli atau ekspor impor yang berkewajiban menyerahkan barang melalui jasa pengangkutan, pengirim dapat juga berstatus sebagai perusahaan perseorangan atau sebagai perusahaan badan hukum atau bukan badan hukum.70

D. Penerima (Consignee)

Penerima mungkin pengirim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal penerima adalah pengirim, maka penerima adalah

68

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 65. 69

Ibid., hlm. 67. 70

48

pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam hal penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan, penerima bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan, melainkan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan atas barang kiriman.71

Demikan juga halnya dengan perjanjian antara PTPN II Kebun Sei Semayang dengan CV. Sari Persada. Perjanjian pengiriman tebu tersebut dilakukan oleh dua pihak, yaitu :

1. PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II)

Perusahaan Perseroan PT Perkebunan II bergerak dibidang usaha Pertanian dan Perkebunan didirikan dengan Akte Notaris GHS Loemban Tobing, SH No. 12 tanggal 5 April 1976 yang diperbaiki dengan Akte Notaris No. 54 tanggal 21 Desember 1976 dan pengesahan Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. Y.A. 5/43/8 tanggal 28 Januari 1977 dan telah diumumkan dalam Lembaran Negara No. 52 tahun 1978 yang telah didaftarkan kepada Pengadilan Negeri Tingkat I Medan tanggal 19 Pebruari 1977 No. 10/1977/PT. Perseroan Terbatas ini bernama Perusahaan Perseroan (Perseroan) PT Perkebunan II

disingkat “PT Perkebunan II" merupakan perubahan bentuk dan gabungan dari PN Perkebunan II dengan PN Perkebunan Sawit Seberang.

Pendirian perusahaan ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1969, Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan dan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1975.

Pada tahun 1984 menurut Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham, Akte Pendirian tersebut diatas telah dirubah dan diterangkan dalam Akte

71

Notaris Imas Fatimah Nomor 94 tanggal 13 Agustus 1984 yang kemudian diperbaiki dengan Akte Nomor 26 tanggal 8 Maret 1985 dengan persetujuan Menteri Kehakiman Nomor C2-5013-HT.0104 tahun 1985 tanggal 14 Agustus 1985. Sesuai dengan Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham tanggal 20 Desember 1990 Akte tersebut mengalami perubahan kembali dengan Akte Notaris Imas Fatimah Nomor 2 tanggal 1 April 1991 dengan persetujuan Menteri Kehakiman Nomor C2-4939-HT.01.04TH-91 tanggal 20 September 1991.

Pada tanggal 11 Maret 1996 kembali diadakan reorganisasi berdasarkan nilai kerja dimana PT Perkebunan II dan PT Perkebunan IX yang didirikan dengan Akte Notaris GHS. Loemban Tobing, SH Nomor 6 tanggal 1 April 1974 dan sesuai dengan Akte Notaris Ahmad Bajumi, SH Nomor 100 tanggal 18 September 1983 dilebur dan digabungkan menjadi satu dengan nama PT Perkebunan Nusantara II yang dibentuk dengan Akte Notaris Harun Kamil, SH Nomor 35 tertanggal 11 Maret 1996. Akte pendirian ini kemudian disyahkan oleh Menteri Kehakiman RI dengan Surat Keputusan No. C2.8330.HT.01.01.TH.96 dan diumumkan dalam Berita Negera RI Nomor 81. Pendirian Perusahaan yang merupakan hasil peleburan PTP-II dan PTP-IX berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 tahun 1996. Kemudian pada tanggal 8 Oktober 2002 terjadi perubahan modal dasar perseroan sesuai Akte Notaris Sri Rahayu H. Prastyo, SH.1:34 PM 7/21/2008.72

Adapun yang menjadi visi dan misi PT. Perkebunan Nusantara II adalah sebagai berikut :

72

Profil Perusahaan, http://ptpn2.com/main/index.php/tentangkami/profilperusahaan, diakses pada tanggal 13 April 2015.

50

Visi : Dari perusahaan perkebunan menjadi perusahaan multi usaha berdaya saing tinggi.

Misi : Mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya dan usaha, memberikan kontribusi optimal, menjaga kelestarian dan pertambahan nilai

Nilai Budaya : Profesional, kesetaraan, kemakmuran, kejujuran, integritas, dan kerjasama.

Wilayah perkebunan tersebar di Sumatera Utara dan Papua, terdiri dari perkebunan kelapa sawit, perkebunan tebu, perkebunan tembakau, perkebunan karet dan perkebunan bibit kakao.

Untuk menghadapi tantangan bisnis global, maka PTPN II akan fokus terhadap pengelolaan bisnis perkebunan dan bisnis non perkebunan dengan memanfaatkan aset-aset non produktif serta ekstensifikasi usaha perkebunan melalui Agro Wisata, Agro Bisnis, dan Agro Industri. Seluruh unit usaha diintegrasikan dalam beberapa Strategic Business Unit, yaitu 5 Distrik Perkebunan, 1 Distrik Rumah Sakit, 2 Unit Penelitian, dan 1 Unit Bengkel.

Areal yang dimiliki oleh PTPN II tersebar di wilayah Sumatera Utara dan Papua, dengan total luas areal 112.625,11 Ha, pada sebaran wilayah, sebagai berikut :

- Wilayah Sumatera Utara = 107.104,59 Ha - Wilayah Irian Jaya = 5.520,52 Ha

PT. Perkebunan Nusantara II berkantor pusat di Jalan Raya Medan - Tanjung Morawa Km. 16, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.

Salah satu perkebunan yang ada di wilayah Sumatera Utara adalah Kebun Sei Semayang. Kebun Sei Semayang berada dibawah pengawasan salah satu unit

distrik perkebunan yaitu Distrik SBU Tebu yang beralamat di Jalan Perintis Kemerdekaan Jalan Medan Binjai Km. 13,5 Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.

Sesuai dengan perjanjian pekerjaan pemborong, khususnya dalam pengiriman tebu yang dilakukan maka dalam hal ini Kebun Sei Semayang bertindak sebagai pihak pertama, yaitu pihak pengirim dalam pengiriman tebu dari kebun ke pabrik gula.

2. CV. Sari Persada

CV. Sari Persada adalah salah satu badan usaha yang bergerak di bidang pekerjaan pemborong, beralamat di Desa Kwala Mencirim Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat.

CV. Sari Persada bertindak sebagai pihak kedua dalam perjanjian pekerjaan pemborong, yaitu pihak pengangkut dalam pengiriman tebu dari kebun ke pabrik gula.

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pengiriman Tebu

Dokumen terkait