• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

D. Prosedur Pengumpulan Data

F. Pengecekan Keabsahan Data G.Tahap-tahap Penelitian BAB IV : Paparan Data dan Analisis

A.Paparan Data

1. Gambaran Umum Kecamatan Jambu

2. Hamil Pranikah di Kalangan Remaja Studi Kasus pada Remaja Putus Sekolah di Kecamatan Jambu.

B. Analisis Data

1. Jumlah Pernikahan Dini Akibat Hamil pranikah di Kecamatan Jambu.

2. Faktor Penyebab Terjadinya Hamil Pranikah di Kecamatan Jambu.

3. Kondisi Kehidupan Remaja Hamil Pranikah setelah Hamil, Menikah, dan Mempunyai Anak.

4. Alasan Remaja Hamil Pranikah Melakukan Hubungan Seksual Sebelum Menikah.

19

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Kata nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari

“nakaha” yang artinya menggabungkan, mengumpulkan, atau

menjodohkan. Selain itu, nikah juga berarti bersetubuh. Menurut

syara’adalah suatu aqad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki- laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Jadi, kata nikah dalam bahasa Arab, yaitu

“nakaha” artinya menggabungkan, mengumpulkan, atau menjodohkan. Selain itu, dapat berarti bersetubuh. Menurut syara’ nikah adalah aqad menghalalkan pergaulan antara perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim serta menimbulkan hak dan kewajiban bagi keduanya. Dalam suatu pengertian yang luas, pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunan yang dilaksanakan menurut ketentuan syariat Islam (Saifulloh, 2005: 473). Jadi, pernikahan dalam pengertian luas berarti ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan mempunyai keturunan.

Al-Farisi berpendapat bahwa orang Arab membedakan secara tipis antara nikah dengan jimak. Jika dikatakan bahwa si Fulan menikah dengan

20

Fulanah, yang dimaksud ialah akad nikah, namun jika dikatakan seseorang menikahi isterinya, maka yang dimaksud adalah jimak. Al-Qadhi Husain, misalnya, ia berpendapat bahwa makna asal dari kata nikah adalah jimak, sedangkan akad merupakan makna kiasan (Takariawan, 2008: 3). Jadi, menurut Al-Farisi orang Arab membedakan nikah dengan jimak secara tipis. Sedangkan menurut Al-Qadhi Husain asal dari kata nikah adalah jimak, dan akad merupakan kiasan.

Pernikahan adalah cara menyalurkan kebutuhan biologis yang pasti muncul pada laki-laki dan perempuan dewasa. Jalan yang menghantarkan setiap orang, apapun agama dan ideologinya, untuk bisa saling mencintai dan menyayangi pasangan hidupnya. Menumpahkan syahwat secara bertanggung jawab kepada pasangannya (Takariawan, 2008: 12). Jadi, kesimpulannya adalah lewat pernikahan, laki-laki dan perempuan dewasa bisa menyalurkan kebutuhan biologisnya. Serta dapat mengantarkan orang supaya bisa menumpahkan syahwatnya secara bertanggung jawab kepada pasangannya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan BAB I Dasar Perkawinan Pasal 1 mengatakan: “Perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Penjelasan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan BAB 1 Dasar Perkawinan Pasal 1 adalah: sebagai negara yang

21

berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. Hal ini berarti, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan BAB 1 Dasar Perkawinan Pasal 1, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut penjelasan Undang-Undang bahwa perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama, sehingga perkawinan mempunyai peranan yang penting.

2. Rukun dan Syarat Pernikahan

Dalam agama Islam, dalam hal pernikahan terdapat rukun dan syarat pernikahan, di antaranya sebagai berikut:

a. Rukun Nikah diantaranya yaitu: 1) Pengantin laki-laki.

2) Pengantin perempuan. 3) Wali.

4) Dua orang saksi. 5) Ijab dan qabul.

22 b. Syarat-Syarat Nikah diantaranya yaitu:

1) Tidak dipaksa/terpaksa.

2) Tidak dalam ihram haji atau umrah.

3) Islam (apabila kawin dengan perempuan Islam). 4) Jika (perempuan) bukan dalam masa iddah.

5) Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. 6) Antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan muhrim. 7) Bukan perempuan musyrik.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan BAB II Syarat-Syarat Perkawinan Pasal 6 ayat (1)

menyebutkan: “Perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. Keduanya harus rela dan sama-sama suka untuk melangsungkan perkawinan. Kerelaan dan persetujuan tersebut tentunya harus didahului dengan adanya saling kenal, melihat dalam batas-batas yang dibolehkan dalam agama (Saifulloh, 2005: 477).

Pasal 6 ayat (2) menyebutkan: “Untuk melangsungkan perkawinan

seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Ayat (3) menyebutkan: “Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang

mampu menyatakan kehendaknya”. Ayat (4) menyebutkan: “Dalam hal

23

untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan

menyatakan kehendaknya”. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) yaitu: oleh karena

perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat- syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini. Sedangkan penjelasan Pasal 6 ayat (2), ayat (3) dan (4) cukup jelas.

Pasal 7 ayat (1) menyatakan: “Perkawinan hanya diizinkan jika

pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Ayat (2)

menyatakan: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk

oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”. Penjelasan Pasal 7

ayat (1) yaitu: untuk menjaga kesehatan suami-istri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan. Penjelasan ayat (2) yaitu: dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang

24

mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku. Sedangkan pada Pasal 8 menyatakan Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas.

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.

d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Undang-undang Perkawinan pada Pasal 6 dan Pasal 7 menjelaskan tentang Syarat-syarat Perkawinan yaitu, adanya kerelaan dalam perkawinan, tidak dipaksa, sama-sama rela, serta mendapat izin dari kedua orang tua. Jika orang tua tidak ada bisa meminta izin dari wali atau dari orang yang masih mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan.

25

Selain itu syarat perkawinan lainnya yaitu pria sudah berusia 19 (sembilan belas) tahun, dan wanita 16 (enam belas) tahun. Akan tetapi jika terjadi penyimpangan dalam hal ini, misal seperti hamil pranikah, maka dapat meminta dispensasi ke Pengadilan atau Pejabat yang ditunjuk kedua orang tua baik dari pihak pria ataupun dari pihak wanita. Pasal 8 menjelaskan perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan darah, berhubungan semenda, berhubungan susuan, berhubungan saudara, serta mempunyai hubungan dengan peraturan lain yang berlaku, maka dilarang kawin.

3. Persiapan Diri Menjelang Pernikahan yang ideal

Persiapan melakukan apapun adalah awal dari keberhasilan. Apalagi untuk sebuah pernikahan, momen besar dalam kehidupan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Momen besar bagi mempelai laki-laki karena ia akan bertambah amanah-dari tanggung jawab atas dirinya sendiri menjadi tanggung jawab terhadap sebuah keluarga. Bermula dari isteri dan nantinya anak-anak. Ia akan menerima limpahan perwalian seorang perempuan dari ayah atau wali yang lain. Bagi seorang perempuan momen besar itu lebih luar biasa lagi. Ia akan mempersilahkan seorang laki-laki yang tadinya bukan siapa-siapa, untuk memimpin dirinya. Kerelaan yang sungguh luar biasa. Untuk sebuah peristiwa bersejarah itulah laki-laki dan perempuan muslim hendaknya memiliki kesiapan diri secara moral spiritual, konsepsional, fisik, material dan sosial.

26

Kesiapan secara spiritual ditandai oleh mantapnya niat dan langkah menuju kehidupan rumah tangga. Tidak ada rasa gamang atau keraguan tatkala memutuskan untuk menikah, dengan segala konsekuensi atau resiko yang akan dihadapi paska pernikahan. Jika seorang laki-laki, ada kesiapan dalam diri untuk bertindak sebagai qawam dalam rumah tangga, untuk berfungsi sebagai bapak dari anak-anak yang akan lahir nantinya dari pernikahan. Ada kesiapan dalam diri untuk menanggung sgala beban- beban yang disebabkan posisi sebagai suami dan bapak. Jika seorang perempuan, harus ada kesiapan dalam diri untuk membuka ruang baru bagi intervensi seorang mitra yang bernama suami. Kesiapan untuk mengurangi sebagian otoritas atas dirinya sendiri lantaran tunduk pada prinsip syura dan ketaatan pada suami. Kesiapan untuk hamil, melahirkan dan menyusui. Kesiapan untuk menanggung beban-beban baru yang muncul akibat hadirnya anak (Takariawan, 2008: 20).

Persiapan konsepsional, kesiapan ini ditandai dengan dikuasainya berbagai hukum, etika, aturan dan pernak-pernik pernikahan serta kerumahtanggaan (Takariawan, 2008: 22). Persiapan fisik, ditandai dengan adanya kesehatan yang memadai sehingga kedua belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami isteri dengan optimal. Apabila ada

indikator “mampu” yang dituntut dalam pelaksanaan pernikahan adalah kemampuan melakukan jimak, maka kesehatan yang dituntut pada laki- laki dan perempuan salah satunya menyangkut kemampuan berhubungan suami isteri secara wajar (Takariawan, 2008: 26).

27

Persiapan material, Islam meletakkan kewajiban ekonomi akibat dari pernikahan ada ditangan suami. Para suami berkewajiban menyediakan kehidupan bagi isteri, sejak dari kebutuhan konsumsi, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dan juga pendidikan dan transportasi. Seluruh biaya kehidupan rumah tangga menjadi kewajiban suami untuk memikulnya (Takariawan, 2008: 27). Terakhir persiapan sosial, menikah menyebabkan pelakunya mendapatkan status sosial ditengah masyarakat. Jika sewaktu lajang dia masih menjadi bagian dari keluarga bapak ibunya, sehingga belum diperhitungkan dalam kegiatan kemasyarakatan, setelah menikah mulai dihitung sebagai keluarga tersendiri. Membiasakan diri terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan merupakan cara melakukan persiapan sosial. Apabila laki-laki dan perempuan muslim telah mencapai usia dewasa hendaknya mereka mengambil peran sosial di tengah masyarakat sebagai bagian utuh dari cara mereka belajar berinteraksi dalam kemajemukan masyarakat. Jika sebelum menikah tidak terbiasa melakukan interaksi sosial seperti ini, biasanya muncul kekagetan ketika telah berumah tangga dengan sejumlah tuntutan sosial yang ada (Takariawan, 2008: 31). Hal ini berarti, untuk mempersiapkan sebuah pernikahan yang ideal butuh proses dan waktu yang tidak sebentar, karena baik pihak calon pengantin laki-laki maupun calon pengantin perempuan hendaknya memiliki kesiapan diri, baik secara moral, spiritual, konsepsional, fisik, material dan sosial.

28

B. Hamil Pranikah

1. Pengertian Hamil Pranikah

Hamil menurut KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) berasal dari kata /ha-mil/ yang artinya mengandung janin dalam rahim karena sel telur dibuahi oleh spermatozoa. Tetapi, pada intinya kehamilan dapat terjadi jika sperma dan dan telur bertemu dan terjadi pembuahan (Masland, 1997: 91). Kehamilan sendiri ditandai dengan gejala mual hingga muntah. Gejala ini menunjukkan adanya perubahan kadar hormon, stres, dan kelelahan (Ana, 2010: 72). Sedangkan pranikah menurut KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) berasal dari kata /pra-ni-kah/ yang berarti sebelum menikah. Jadi, hamil pranikah artinya kehamilan yang terjadi sebelum pernikahan. Seorang remaja yang tidak mampu mengendalikan diri, sehingga terlibat dalam kehidupan seksual secara bebas (di luar aturan norma sosial), misalnya seks pranikah, kumpul kebo (sommonleven), prostitusi, akan

berakibat negatif seperti STD’s (seksually transmitted diseases), kehamilan (pregnancy) drop-out dari sekolah. Biasanya merekalah yang memiliki sifat ketidakkonsistenan (inconsistency) antara pengetahuan, sikap, dan perilakunya. Misalnya, walaupun seesorang mempunyai pengetahuan dan sikap bahwa seksual-pranikah itu tidak baik, namun karena situasi dan kesempatan itu memungkinkan, serta ditunjang oleh niat untuk melakukan hubungan seks pranikah, maka individu ternyata tetap saja melakukan hal itu. Akibatnya perilakunya tidak konsisten dengan pengetahuan dan sikapnya (Dariyo, 2004: 88).

29

2. Faktor Penyebab Hamil Pranikah

Faktor penyebab hamil pranikah di kalangan remaja salah satunya di akibatkan dari seks bebas atau seks pranikah atau seks yang dilakukan sebelum pernikahan. Dalam hal ini seorang remaja yang tidak mampu untuk mengendalikan dirinya, sehingga terlibat dalam kehidupan seksual secara bebas (di luar aturan norma sosial), seperti seks pranikah akan berakibat negatif terhadap dirinya sendiri, seperti kehamilan (pregnancy)

drop-out dari sekolah (Dariyo, 2004: 88).

Seks bebas atau seks pranikah atau seks yang dilakukan sebelum pernikahan sendiri berawal dari kenakalan remaja. Kenakalan remaja sendiri berawal dari gagalnya pendidikan dalam keluarga atau kehidupan keluarga yang tidak harmonis. Karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pertama kali untuk mendidik anak, Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak. Keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan anak, sedangkan keluarga yang jelek akan berpengaruh negatif. Karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga, maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya delinquency (kenakalan) itu sebagian besar juga berasal dari keluarga (Sujanto, 1981: 226).

Kondisi keluarga yang berantakan merupakan cerminan adanya ketidakharmonisan antarindividu (suami-istri, atau orang tua-anak) dalam lembaga rumah tangga. Hubungan suami istri yang tidak sejalan/seirama

30

yakni ditandai dengan pertengkaran, percekcokan maupun konfliks terus- menerus, sehingga menyebabkan ketidakbahagiaan perkawinan. Tidak terselesaikan masalah ini, akan berdampak buruk, seperti perceraian suami istri. Selama terjadi pertengkaran,anak-anak akan melihat, mengamati, dan memahami tidak adanya kedamaian, ketentraman, kerukunan hubungan antara kedua orang tua mereka. Kondisi ini membuat anak tidak merasakan perhatian, kehangatan kasih sayang, ketentraman, maupun kenyamanan dalam lingkungan keluarganya. Akibatnya mereka melarikan diri untuk mencari kasih-sayang dan perhatian dari pihak lain, dengan cara melakukan kenakalan-kenakalan di luar rumah (Dariyo, 2004: 110).

Broken home sendiri pada prinsipnya struktur keluarga tersebut sudah tidak lengkap lagi, misalnya: salah satu/kedua orang tuanya meninggal dunia, perceraian orang tua, salah satu kedua orang tua atau

keduanya “tidak hadir” secara kontinyu dalam tenggang waktu yang cukup

lama, anak yang tidak jelas asal-usul keturunannya (anak lahir bukan karena perkawinan yang sah), dan sering ditinggalkan kedua orang tuanya karena mencari nafkah (diluar kota/jauh) (Sudarsono, 2004: 125). Selain broken home, penyebab lain kenakalan remaja adalah kurangnya perhatian dan kasih-sayang dari orang tua. Kebutuhan hidup seorang anak tidak hanya bersifat materi saja, tetapi lebih dari itu. Ia juga memerlukan kebutuhan psikologis untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. Memasuki zaman industrialisasi ini, ditandai dengan banyaknya keluarga modern yang suami-isteri bekerja di luar rumah.

31

Orang tua bekerja tanpa kenal lelah demi untuk mengejar kehidupan materi yang berkecukupan agar ekonomi keluarga tidak berkekurangan. Semakin lama ada kecenderungan tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua dalam memelihara, mendidik, dan membimbing anak. Apalagi kalau hubungan suami-isteri tersebut, sebagai orang tua selalu bertengkar dan tidak menemukan kedamaian rumah tangga, maka anak-anak cenderung tidak betah tinggal di rumah. Akibatnya, mereka pun dapat melarikan diri dengan cara melakukan pergaulan bebas. Anak yang sering memperoleh perlakuan kasar dan keras dari orang tua, mungkin anak akan taat dan patuh di hadapan orang tua. Akan tetapi, sifat kepatuhan itu semu dan sementara. Mereka cenderung akan melakukan tindakan-tindakan yang negative, sebagai pelarian maupun protes terhadap orang tuanya. Misalnya, dengan melakukan tindakan anarkis, melawan hukum, terlibat kenakalan, antisocial, dan sebagainya (Dariyo, 2004: 112). Selain kenakalan remaja disebabkan oleh gagalnya pendidikan dalam keluarga seperti broken home, perceraian, dan kurangnya perhatian orang tua, seks pranikah atau hubungan seksual di luar nikah (sex pre-marital) juga bisa disebabkan karena seringnya menonton video porno.

Perkembangan teknologi sekarang yang semakin canggih, terutama internet, bisa untuk mengakses segala hal, termasuk video porno. Dengan kematangan biologis, seorang remaja sudah dapat melakukan fungsi reproduksi sebagaimana layaknya orang dewasa lainnya, sebab fungsi organ seksualnya telah bekerja secara normal. Masa remaja sendiri

32

merupakan masa dimana timbulnya dorongan-dorongan seksual yang semakin hidup dan bergelora, dan minat terhadap jenis kelamin lain mulai berkembang (Basri, 2004: 5). Pergaulan bebas yang tidak terkendali secara normatif dan etika-moral antar remaja yang berlainan jenis, akan berakibat adanya hubungan seksual di luar nikah (sex pre-marital). Hal ini membawa konsekuensi bahwa seorang remaja akan mudah terpengaruh oleh stimulasi yang merangsang gairah seksualnya, misalnya dengan melihat film porno, cerita cabul. Kematangan biologis yang tidak disertai dengan kemampuan mengendalikan diri, cenderung berakibat negatif, yaitu terjadinya hubungan seksual pranikah di masa pacaran remaja. Sebaliknya, kematangan biologis yang disertai dengan kemampuan pengendalian diri akan membawa kebahagiaan remaja di masa depannya, sebab ia tidak akan melakukan hubungan seksual pranikah (Dariyo, 2004: 88). Pengawasan pornografi di Indonesia tidak terlalu ketat dan kuat, sehingga banyak anak-anak dengan mudah membuka situs pornografi. Dari gambar dan video porno, anak-anak mulai tingkat SD, SMP, SMA sampai dengan mahasiswa, terutama remaja akan menjadi cepat terdewasakan. Gejala yang memprihatinkan moralitas anak-anak ini sesuai dengan data yang diungkap Yayasan Kita dan Buah Hati. Data dari Yayasan Kita dan Buah Hati menjelaskan bahwa 67 % dari 2.818 siswa kelas IV (empat) sampai kelas VI (enam) pernah mengakses pornografi melalui berbagai media. Media yang banyak diakses adalah komik dan internet (Jawa Pos, 14/06/10). Data yang lain diungkapkan oleh Komisi

33

Nasional Perlindungan Anak. Data itu menunjukkan 97 persen anak remaja pernah mengakses situs pornografi. Bahkan 62,7 persen pernah melakukan hubungan seksual. Data ini diambil dari survei yang dilakukan pada 4.500 remaja di 12 kota seluruh Indonesia (Kompas.com, 10/05/2010) (Fathurrofiq, 2014: 30).

Kenakalan remaja yang sudah tidak terkontrol dan tidak mampu untuk mengendalikan dirinya, sehingga terlibat dalam kehidupan seksual secara bebas (di luar aturan norma sosial), adalah awal dari seks pranikah atau seks sebelum menikah yang dilakukan oleh remaja. Masalah seks pada remaja sebenarnya tidaklah perlu dirisaukan dan digelisahkan. Dengan memperhatikan nilai-nilai sosial yang berlaku dan mentaati tuntunan agama yang diyakininya akan mampu mengeliminasi permasalahan tersebut hingga memasuki usia dewasa (Basri, 2004: 21). Istilah seks lebih tepat untuk menunjukkan alat kelamin. Namun, seringkali masyarakat umum (awam) memiliki pengertian bahwa istilah seks lebih mengarah pada bagaimana masalah hubungan seksual antara dua orang yang berlainan jenis kelamin (Dariyo, 2004: 87). Hal-hal yang mendorong remaja melakukan hubungan seks di luar pernikahan, menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Keluarga Kaiser (Kaiser Family Foundation, dalam Santrock, 1998) adalah pertama, faktor mispersepsi terhadap pacaran: bentuk penyaluran kasih sayang yang salah di masa pacaran, faktor religiuitas: kehidupan iman yang tidak baik, dan faktor kematangan biologis. Dalam hubungan seks: bentuk penyaluran

34

kasih sayang yang salah dalam masa pacaran. Dalam pandangan ini, seringkali remaja berpandangan bahwa masa pacaran merupakan masa di mana seseorang boleh mencintai maupun dicintai oleh kekasihnya. Dalam hal ini, bentuk ungkapan rasa cinta (kasih sayang) dapat dinyatakan dengan berbagai cara, misalnya: pemberian hadiah bunga, berpelukan, berciuman, dan bahkan melakukan hubungan seksual. Dengan anggapan yang salah ini, maka juga akan menyebabkan tindakan yang salah. Karena itu, sebelum pacaran, sebaiknya orang tua wajib memberi pengertian yang benar kepada anak remajanya agar mereka tidak terjerumus pada tindakan yang salah.

Kedua, pandangan kehidupan iman yang rapuh yaitu, kehidupan beragama yang baik dan benar ditandai dengan pengertian, pemahaman dan ketaatan dalam menjalankan ajaran-ajaran agama dengan baik, tanpa dipengaruhi oleh situasi kondisi apapun. Dalam keadaan apa saja, orang yang taat beragama, selalu dapat menempatkan diri dan mengendalikan diri agar tidak berbuat hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Dalam hatinya, selalu ingat terhadap Tuhan, sebab mata Tuhan selalu mengawasi setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, ia tidak akan melakukan hubungan seksual dengan pacarnya, sebelum menikah secara resmi. Ia akan menjaga kehormatan pacarnya, agar terhindar dari tindakan

Dokumen terkait