• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Prosedur Sertifikasi Halal yang Dilakukan oleh LPPOM

LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat, dan Kosmetika) adalah suatu lembaga khusus yang dibentuk oleh MUI dengan tugas mengaudit perusahaan yang menghendaki mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Di wilayah Yogyakarta, MUI juga telah membentuk LPPOM MUI Yogyakarta yang memiliki lingkup kerja di seluruh wilayah Propinsi DIY dan sebagian wilayah Propinsi Jawa Tengah yang berdekatan dengan Propinsi DIY.

Sampai saat ini, belum ada kewajiban bagi para pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal. Sehingga pelaksanaan sertifikasi halal hanya dilakukan LPPOM MUI apabila ada pelaku usaha yang dengan sukarela menghendaki dilakukannya sertifikasi halal. Sertifikasi halal ini

commit to user

merupakan sebuah proses yang harus dilalui apabila pelaku usaha ingin mendapatkan sertifikat halal guna pencantuman label halal yang resmi dalam produk mereka.

Dari hasil penelitian dan keterangan dari bapak H. E. Zainal Abidin, selaku Wakil Direktur Bidang Bimbingan dan Penyuluhan LPPOM MUI Yogyakarta pada tanggal 8 Maret 2011 pukul 13.30 WIB, tahapan awal atau tahapan persiapan yang harus dilakukan pelaku usaha sebelum mengajukan sertifikasi halal bagi produknya, adalah terlebih dahulu

harus dipersiapkan, suatu Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance

System). Sistem jaminan halal (SJH) ini diuraikan dalam bentuk panduan halal (halal manual) yang harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijaksanaan manajemen perusahaan. Sistem jaminan halal (SJH) diantaranya memuat identitas perusahaan, alasan melakukan sertifikasi, susunan auditor halal internal, dan cara menjamin produksi halal per-tahap produksi. Tujuan pembuatan panduan halal ini adalah memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan pelaku usaha, serta berfungsi pula sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan produk di perusahaan yang bersangkutan. Pelaku usaha disamping menyiapkan sistem jaminan halal (SJH) juga wajib menyiapkan prosedur baku pelaksanaan (Standard Operating Procedur; SOP) untuk mengawasi setiap titik kritis dalam setiap proses produksi agar kehalalan produknya terjamin.

Baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan (SOP) merupakan panduan proses produksi secara halal yang harus disosialisasikan dan diterapkan di lingkungan perusahaan, sehingga seluruh jajaran (mulai direksi hingga karyawan) memahami betul bagaimana memproduksi produk yang halal dan baik. Panduan halal dan prosedur baku pelaksanaan (SOP) ini nantinya harus diserahkan ke LPPOM MUI dalam rangka pengajuan sertifikasi halal. Pelaku usaha diwajibkan pula melakukan audit internal serta mengevaluasi apakah sistem jaminan halal (SJH) yang menjamin kehalalan produk dilakukan

commit to user

sebagaimana mestinya. Untuk keperluan ini, perusahaan harus mengangkat minimal seorang auditor halal internal yang beragama Islam dan berasal dari bagian yang terkait dengan produksi halal.

Setelah pelaku usaha menyiapkan panduan halal dan prosedur baku pelaksanaan (SOP) maka pelaku usaha dapat mengajukan sertifikasi halal yang dalam hal ini dilakukan oleh LPPOM MUI bagi produk makanan, minuman dan kosmetika. Sertifikasi halal dapat diperoleh melalui prosedur baku sebagai berikut :

1. Pengajuan Permohonan

Setiap pelaku usaha yang mengajukan sertifikasi halal diharuskan mengisi dan melengkapi formulir pendaftaran sertifikasi halal yang telah disediakan di sekretaris LPPOM MUI. Formulir ini memuat antara lain identitas perusahaan, jenis dan nama produk, daftar produk olahan, daftar bahan baku produksi dan asalnya, alur proses produksi, lingkungan dalam perusahaan, pernyataan dan ikrar halal, serta denah lokasi perusahaan. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai formulir pengajuan sertifikasi halal dapat dilihat pada lampiran di bagian akhir penulisan hukum ini.

Pelaku usaha diwajibkan pula membuat surat pengajuan sertifikasi yang disampaikan ke LPPOM MUI dengan melampirkan panduan halal dan prosedur baku pelaksanaan (SOP) yang telah disiapkan sebelumnya.

Pada saat pengajuan sertifikasi halal, pelaku usaha harus menandatangani pernyataan tentang kesediannya untuk menerima tim pemeriksa (audit) dari LPPOM MUI dan memberikan contoh produk termasuk bahan baku, bahan penolong, dan bahan tambahan produk untuk diperiksa LPPOM MUI. Disamping itu pelaku usaha juga dikenai biaya administrasi yang besarnya berbeda-beda tergantung dari jarak lokasi perusahaan dan besarnya skala usaha. Biaya ini nantinya akan digunakan untuk membiayai segala

commit to user

keperluan terkait dengan proses sertifikasi halal, termasuk pembuatan dokumen dan visitasi lapangan.

Semua dokumen yang dapat dijadikan jaminan atas kehalalan produk harus diperlihatkan aslinya, sedangkan foto copynya diserahkan kepada LPPOM MUI. Kemudian LPPOM MUI akan

memeriksa secara Desk Evaluation semua dokumen yang

dilampirkan bersama surat pengajuan sertifikasi halal. Jika tidak lengkap, LPPOM MUI akan mengembalikan seluruh berkas pengajuan untuk dapat dilengkapi oleh produsen pengusul.

2. Pemeriksaan Lokasi (Visitasi Lapangan)

Setelah semua dokumen pengajuan sertifikasi diterima LPPPOM MUI, maka kemudian tim auditor halal LPPOM MUI melakukan pemeriksaan (audit) ke lokasi perusahaan (visitasi lapangan) segera setelah surat pengajuan sertifikasi halal beserta lampiran-lampirannya dianggap sudah memenuhi syarat.

Sebelum visitasi lapangan dilaksanakan, LPPOM MUI akan memberikan informasi resmi mengenai jadwal pelaksanaan audit kepada perusahaan terkait. Kemudian setelah itu LPPOM MUI cq. Direktur akan menerbitkan surat tugas kepada auditor halal untuk melakukan pemeriksaan sistem dan proses halal yang memuat :

a. Nama ketua dan anggota tim auditor halal.

b. Jadwal (hari dan tanggal) audit halal.

c. Nama dan alamat (identitas) perusahaan yang diaudit.

Tim auditor halal LPPOM MUI yang telah dilengkapi dengan surat tugas dan identitas diri (ID card resmi berwarna hijau dengan

photo fullcolour), akan mengadakan pemeriksaan (auditing) ke

perusahaan yang mengajukan permohonan sertifikasi halal mencakup :

commit to user

Dalam hal ini auditor akan memeriksa apakah manajemen perusahaan dalam beroperasi sudah sesuai dengan prosedur baku pelaksanaan (SOP) dan panduan halal sebagaimana terlampir pada permohonan sertifikasi halal.

b. Observasi lapangan (pemeriksaan bahan dan proses)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat apakah bahan dan proses produksi mengandung atau terkontaminasi unsur haram atau tidak. Disamping itu pemeriksaan ini juga untuk memastikan bahwa manajeman perusahaan sudah beroperasi sesuai dengan sistem jaminan halal yang dibuat.

c. Pengambilan sample

Pengambilan contoh (sample) hanya dilakukan untuk bahan

yang dicurigai mengandung babi atau turunannya, atau mengandung alkohol, dan atau bahan lain yang dianggap perlu.

Apabila diperlukan, tim pemeriksa ( auditor) akan mengambil

beberapa contoh (sample) secara acak untuk kemudian diuji di

laboratorium. Sampai saat ini LPPOM MUI Yogyakarta belum memiliki laboratorium sendiri, sehingga untuk kepentingan pemeriksaan melalui laboratorium LPPOM MUI mengadakan kerjasama dengan laboratorium UGM khususnya laboratorium kimia, guna memastikan bahan-bahan yang terkandung dalam

suatu bahan. Apabila diperlukan, pemeriksaan (auditing) dapat

dilakukan sewaktu-waktu secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada pihak perusahaan (sidak).

3. Penentuan Kehalalan Produk

Setelah diperoleh hasil visitasi lapangan dan laboratorium, maka selanjutnya akan dilaporkan dan dievaluasi dalam rapat tenaga ahli yang dikenal dengan sidang internal auditor halal LPPOM MUI. Jika produsen telah dinyatakan memenuhi persyaratan baik secara administratif maupun tekhnis, maka hasil sidang ini akan diajukan

commit to user

(direkomendasikan) kepada sidang fatwa MUI untuk diputuskan status halalnya.

Sidang Komisi Fatwa dapat menolak hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan dalam SK02/Dir/LP POM MUI/IX/07 Tentang Pedoman Mendapat Sertifikat Halal. Hasil sidang ini akan dikomunikasikan lebih lanjut kepada pihak perusahaan. Setelah hasil pemeriksaan (audit) dievaluasi dan memenuhi syarat halal, maka selanjutnya akan diproses sertifikat halalnya. Sertifikat halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.

Jika setelah mendapatkan sertifikat halal dari LPPOM MUI, ada perubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan penolong, atau bahan tambahan dalam proses produksinya, produsen diwajibkan segera melapor ke LPPOM MUI untuk mendapatkan ”ketidakberatan menggunakanya”.

Bagan alur proses sertifikasi halal dapat dilihat pada halaman berikutnya.

commit to user

Sertifikat Halal

Berikut adalah bagan alur proses sertifikasi halal (wawancara dengan H. E. Zainal Abidin, selaku Wakil Direktur Bidang Bimbingan dan Penyuluhan LPPOM MUI Yogyakarta, 8 Maret 2011 pukul 14.00WIB):

Rencana Sistem Jaminan Halal

Penyusunan Manual Halal dan Prosedur Baku Pelaksanaanya

Sosialisasi dan Uji Coba Manual

Halal dan Prosedur Baku Pelaksanaanya

Audit Internal Revisi dan Evaluasi

Pelaku usaha Pengajuan Sertifikasi Halal

LPPOM-MUI

Cek Sistem Tidak Lengkap

Jaminan Halal

Audit di Lokasi Produksi

Revisi Evaluasi

Ditolak

Fatwa MUI

Gambar 3. Alur Sertifikasi Halal

Rencana Pengajuan Sertifikat Halal

commit to user

Sertifikat halal yang dimiliki produsen berlaku selama waktu dua tahun kecuali untuk daging yang diekspor, surat keterangan halal diberikan untuk setiap pengapalan. Setelah itu, apabila diinginkan sertifikat halal dapat diperpanjang kembali untuk masa yang sama yakni dua tahun berikutnya. Apabila pelaku usaha tidak memperbaharui sertifikat halalnya, maka pelaku usaha tidak diizinkan lagi menggunakan label halal berdasarkan sertifikat yang berlaku dan akan diumumkan di berita berkala LPPOM MUI.

LPPOM MUI akan mengirimkan surat pemberitahuan kepada pelaku usaha yang bersangkutan dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat. Hal ini dilakukan untuk mengingatkan pelaku usaha bahwa masa berlaku sertifikat halalnya akan segera berakir. Satu bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, pelaku usaha harus dafatar kembali untuk sertifikat halal tahun berikutnya. Pelaku usaha yang tidak memperbaharui sertifikat halalnya tidak diizinkan lagi menggunakan label halal berdasarkan sertifikat yang berlaku (untuk tahun yang bersangkutan) dan akan diumumkan di berita berkala LPPOM MUI.

Pelaku usaha harus segera mengembalikan sertifikat halal yang dipegangnya kepada LPPOM MUI apabila masa berlaku sertifikat telah berakir. Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI adalah milik MUI, oleh sebab itu jika karena sesuatu hal diminta kembali oleh MUI, maka pemegang sertifikat wajib menyerahkannya. Jika sertifikat halal hilang, pemegang harus segera melaporkannya ke LPPOM MUI untuk pengurusan sertifikat halal yang baru.

Berkaitan dengan proses sertifikasi halal diatas, menurut H. E. Zainal Abidin, selaku Wakil Direktur Bidang Bimbingan dan Penyuluhan LPPOM MUI Yogyakarta. terdapat beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dalam sertifikasi halal, diantaranya adalah :

1. Sertifika halal bagi pengembangan produk.

Pengembangan produk yang dilakukan oleh produsen pemegang sertifikat halal MUI harus dilaporkan kepada LPPOM MUI. Jika

commit to user

produk yang dikembangkan berbeda jenisnya dengan kelompok produk yang sudah bersertifikat halal MUI, maka produk tersebut didaftarkan sebagai produk baru dan diproses mengikuti prosedur sertifikat halal yang berlaku. Produk yang sejenis dengan kelompok

produk yang sudah mendapatkan sertifikat halal MUI,

diinformasikan kepada LPPOM MUI. Informasi tersebut berisi data tambahan dan nama produk dilengkapi dengan spesifikasi dan bukti pembelian bahan. Dari data tersebut akan dipelajari oleh LPPOM MUI untuk ditentukan tahapan proses selanjutnya.

Pendaftaran penambahan produk dengan jenis produk yang sama dengan produk yang telah mendapatkan sertifikat halal dan pernah diaudit sebelumnya tidak perlu melalui pengisian formulir baru. Pendaftaran dilakukan dengan cara mengajukan surat kepada

Direktur LPPOM MUI disertai lampiran bahan baku (ingrediet) dan

diagram alur proses produksinya. Apabila dianggap perlu, maka visitasi atau kunjungan dapat dilakukan untuk memeriksa kesesuaian informasi dalam surat dengan kondisi lapangan.

Hasil visitasi (auditing) dilaporkan dalam rapat auditor. Jika

tidak ditemukan permasalahan, maka hasil akan direkomendasikan kepada Rapat Komisi Fatwa. Apabila tidak ada masalah, maka Direktur LPPOM MUI akan mengeluarkan surat rekomendasi yang menyatakan bahwa produk tersebut dapat diproduksi karena menggunakan bahan-bahan yang pernah digunakan dari produk yang telah di fatwakan sebelumnya.

2. Produk kemasan ulang (Repacking Product)

Untuk produk kemasan ulang atau produk distributor maka

proses auditing dilakukan ke tempat produksi (produsen asalnya)

commit to user

3. Prosedur pemusnahan barang

Jika ditemukan suatu produk atau bahan baku yang harus dimusnahkan karena statusnya tidak halal, maka pemusnahan harus disaksikan oleh auditor halal disertai bukti berita acara pemusnahannya. Penentuan tentang pemusnahan dilakukan oleh Sidang Internal Auditor atau Rapat Pengurus LPPOM MUI.

4. Audit produk beragam

Apabila terdapat produk yang banyak dan beragam, maka tidak setiap produk harus diproduksi pada saat diaudit, cukup diwakili setiap kelompok produknya. Akan tetapi auditor harus memeriksa formula yang tidak hanya pada database tapi juga pada ruang

produksi. Bila pada saat auditing, perusahaan belum dapat

melaksanakan proses produksi sesungguhnya, maka dapat diaudit dalam proses skala laboratorium. Namun ketika sudah dapat melakukan proses produksi, auditor akan melihat kembali kesesuaian proses produksi sesungguhnya dengan proses produksi skala laboratorium yang pernah dilihatnya.

Apabila berdasarkan spesifikasinya beberapa produk sejenis namun beda nama produknya dan dapat dikelompokkan, maka dimungkinkan satu nomor sertifikat dapat dipakai untuk beberapa item produk sekaligus. Penentuan pengelompokan produk dan penomoran dilakukan dalam Sidang Internal Auditor Halal LPPOM MUI.

Fenomena sertifikasi halal saat ini memang tengah hangat dilakukan oleh para pelaku usaha sebagai salah satu upaya merebut pangsa pasar. Hal inipun dimanfaatkan pula oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memalsukan sertifikat halal demi mendapat keuntungan pribadi. Untuk itulah dalam mengantisipasi hal tersebut LPPOM MUI menerapkan sebuah sistem pengawasan. Dalam sistem pengawasan ini perusahaan wajib mengimplementasikan sistem jaminan halal sepanjang berlakunya sertifikat halal. Disamping itu perusahaan berkewajiban

commit to user

menyerahkan laporan audit internal setiap enam bulan setelah terbitnya sertifikat halal

Apabila ada perubahan bahan, proses produksi dan lainnya perusahaan wajib melaporkan dan mendapat izin dari LPPOM MUI. Laporan adanya penyimpangan dan atau penyalahgunaan sertifikat halal dapat diberikan oleh auditor halal LPPOM MUI, pengurus LPPOM, pemerintah dalam hal ini diwakili oleh BPOM, LSM/LPKSM, maupun oleh masyarakat luas. Setelah mendapatkan laporan dugaan adanya penyimpangan, LPPOM akan menunjuk tim yang akan melakukan

proses investigasi untuk melakukan cross check ke lokasi perusahaan.

Perusahaan yang secara jelas dan meyakinkan terbukti melakukan pelanggaran akan diberikan surat teguran pertama. Apabila surat teguran pertama tidak mendapatkan tanggapan dalam waktu 7x24 jam dari pihak perusahaan, maka LPPOM akan mengirim surat teguran kedua. Dan apabila surat teguran kedua, tidak mendapatkan tanggapan secara serius dari pihak perusahaan, maka dengan terpaksa sertifikat halal akan dicabut kembali. Bagi perusahaan yang bersangkutan tidak lagi diperkenakan untuk mempergunakan sertifikat halal untuk kepentingan-kepentingan perusahaan. Selanjutnya, nama produk yang bersangkutan akan dihapus dari daftar produk halal dalam majalah jurnal halal.

Dari data-data yang penulis peroleh dari penelitian di LPPOM MUI Yogyakarta yang telah diuraikan diatas, maka penulis menganalisis bahwa prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Yogyakarta telah sesuai dengan SK02/Dir/LPPOM MUI/IX/07 Tentang Pedoman Mendapat Sertifikat Halal. Pelaksanaan sertifikasi halal suatu produk dilakukan untuk memenuhi Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 924/Menkes/SK/VII/1996 Tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan No. 82 Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan yang disebutkan dalam Pasal 8 yang menyatakan bahwa produsen dan importir yang akan mengajukan

commit to user

permohonan pencantuman tulisan “halal” wajib siap diperiksa oleh petugas yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal.

Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 11 peraturan yang sama juga menerangkan bahwasanya pemeriksaan dan pengujian laboratorium dilakukan dan dievaluasi oleh Tim penilaiyang ditunjuk oleh Dirjend dan terdiri dari unsur Departemen Kesehatan dan Departemen Agama, yang kemudian disampaikan pada Komisi Fatwa untuk memperoleh fatwa. Fatwa yang dimaksud dapat berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI tersebut, tidak diatur mengenai prosedur sertifikasi halal, untuk itulah dalam malaksanakan sertifikasi halal langkah-langkah atau prosedur yang dilakukan mengacu pada SK02/Dir/LPPOM MUI/IX/07 Tentang Pedoman Mendapat Sertifikat Halal.

Pelaksanaan sertifikasi halal disamping untuk memenuhi Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 924/Menkes/SK/VII/1996 Tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan No. 82 Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, juga untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e, dan Pasal 58 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Pasaal 8 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 58 Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta Pasal 3 ayat (2), Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan.

LPPOM MUI ketika melakukan proses sertifikasi halal, tidak hanya melihat dari segi bahan baku yang digunakan tetapi juga dari proses produksinya, penyimpanan, penanganan, hingga sampai pengepakan bahkan ketika sudah menjadi sebuah produk, apakah terkontaminasi unsur haram yang dilarang syariat Islam atau tidak. Dalam hal ini kewenangan LPPOM MUI terbatas hanya memeriksa dan menetapkan status kehalalan dari suatu produk. Pelaksanaan sertifikasi halal yang

commit to user

dilakukan oleh LPPOM MUI, juga memiliki keterkaitan dengan instansi lain yakni Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Keterkaitan ini ditunjukkan dengan ikut sertanya BPOM dalam pengawasan label dan pangan halal sebagaimana dijelaskan dalam sistem pengawasan sertifikat halal. Disamping itu labelisasi halal oleh BPOM akan dilakukan jika produk yang hendak dilabelisasi telah tersertifikasi halal, sedangkan LPPOM MUI akan melakukan audit dan sertifikasi halal setelah produk yang dimintakan sertifikasi telah lolos dari ketentuan BPOM, yakni menyangkut aspek kadar bahan yang digunakan, tata cara produksi makanan yang baik, dan telah mendapat nomor registrasi MD dari BPOM. Adanya keterkaitan antara LPPOM MUI dengan BPOM ini tentunya membawa pengaruh yang baik bagi sertifikasi halal dimana berarti kehalalan suatu produk dapat terjamin 100%.

Upaya pengawasan yang telah dilakukan oleh LPPOM MUI, adalah untuk mengantisipasi adanya sertifikat halal yang ilegal dan untuk melakukan kontrol terhadap proses produksi. Dengan melakukan sistem pengawasan baik melalui auditor halal internal, sidak lokasi, maupun melalui laporan rutin setiap enam bulan sekali dirasa efektif untuk mencegah adanya pelanggaran baik saat proses produksi yang tidak sesuai dengan sistem jaminan halal maupun pemalsuan sertifikat halal. Pada dasarnya perbuatan curang ini jelas telah melanggar ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dimana pelaku usaha dilarang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal dalam label. Maka menurut ketentuan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa setiap perusahaan yang memberikan janji dan mencantumkan label halal pada kemasannya tetapi tidak dapat membuktikannya, diancam pidana penjara lima tahun atau denda maksimal Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

Secara sederhana konsumen dapat melihat sertifikat halal yang resmi dari LPPOM MUI dengan mengidentifikasi label halal yang tertera

commit to user

dalam kemasan. Apabila terdapat tanda logo halal berwarna hijau berbentuk bulat dengan nama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan diikuti angka nomer sertifikat berarti produk tersebut dapat dijamin kehalalannya. Misalnya LPPOM : 00100037831205 untuk produk makanan ringan Chitato, potato chips, LPPOM : 00090000300799 untuk produk mi instan, Indomie mi goreng ayam panggang.

Pelaksanaan sertifikasi halal yang didasari dengan kemauan secara sukarela dari pelaku usaha, tentunya memiliki faktor-faktor baik penghambat maupun pendukung. Hal ini diperkuat lagi dengan tidak adanya kewajiban dari pemerintah agar pelaku usaha melakukan sertifikasi halal bagi produknya. Menurut H. E. Zainal Abidin, terdapat beberapa faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan sertifikasi halal adalah :

1. Faktor penghambat pelaksanaan sertifikasi halal :

a. Regulasi

Belum adanya regulasi yang jelas mengenai lembaga mana yang berhak melakukan sertifikasi halal serta kewajiban bagi pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal membuat pelaku usaha enggan melakukan sertifikasi halal. Pelaku usaha hanya sekedar memenuhi kewajibannya mencantumkan label halal dalam produk.

b. Biaya

Adanya isu mahalnya biaya sertifikasi halal yang dihembuskan oleh makelar penjual jasa pengurusan sertifikasi halal, membuat pelaku usaha terlebih pelaku usaha bersakala kecil maupun sedang berfikir dua kali untuk melakukan sertifikasi halal. Padahal biaya sertifikasi halal berbeda-beda menurut jarak dan skala usahanya. Dengan adanya sertifikasi halal manfaat yang diperoleh akan lebih besar dari biaya yang telah dikeluarkan.

commit to user

c. Sosialisasi

Kurangnya sosialisasi pentingnya sertifikasi halal pada pelaku usaha di daerah-daerah dan dengan skala usaha kecil menyebabkan hanya pelaku usaha di kota dan dengan skala usaha menengah ke atas yang melakukan sertifikasi halal.

2. Faktor pendukung pelaksanaan sertifikasi halal, diantaranya :

a. Kesadaran Diri

Adanya kesadaran pelaku usaha untuk lebih meningkatkan perlindungan dan kenyamanan terhadap konsumen, serta adanya kepentingan untuk memenangkan persaingan pasar, terlebih lagi persaingan pasar di negara-negara muslim dimana saat ini produk halal telah menjadi tuntutan pasar membuat banyak pelaku usaha melakukan sertifikasi halal.

b. Waktu

Lama proses pengajuan sertifikasi yang relatif cepat dan simpel membuat para pelaku usaha tidak khawatir dalam melakukan sertifikasi halal. Dalam waktu tujuh hari saja proses sertifikasi halal dapat dilaksanakan. Lama waktu yang diperlukan dalam proses sertifikasi halal ini sebenarnya ditentukan oleh kemauan pelaku usaha sendiri. Apabila pelaku usaha dapat segera memenuhi syarat baik administrasi maupun tekhnis yang

Dokumen terkait