• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANAH DAN IDENTITAS PRIMORDIAL MARIND

B. BERTEMU MIFEE-MP3EI

1. Proses Awal Perjumpaan

Pada proses awal, jika hendak memulai kerjanya di kawasan hutan yang secara legal telah menjadi areal konsesinya, setiap perusahaan terlebih dulu mengutus timnya melakukan survey dan pemetaan potensi hutan. Dalam prakteknya tidak mungkin tim tersebut melakukannya sendiri tanpa meminta bantuan kepada masyarakat kampung. Sejak itulah masyarakat mulai mengenal orang asing yang tiba-tiba saja bersedia membayarnya untuk menemani menjelajah hutan dan melakukan pemetaan. Di beberapa kampung pertama, kedatangan tim perusahaan yang biasanya hanya berkisar dua sampai tiga orang itu tidak serta merta bisa diketahui siapa mereka, dari mana dan mau apa. Barulah sekitar beberapa minggu atau bahkan bulan kemudian masyarakat setelah tim sosialisasi pertama datang.

Secara umum terdapat beberapa hal yang menjadi persoalan penting untuk dicermati dalam proses awal perusahaan ini, yaitu bagaimana sosialisasi dilakukan dengan menghadirkan impian-impian besar, masalah komunikasi yang dipaksakan, bagaimana masyarakat memandang kehadiran

131

perusahaan, dan persoalan dalam proses kesepakatan antara kedua belah pihak. Keempat hal itulah yang akan mengisi penjelasan tentang proses awal MIFEE di kampung ini.

a. Sosialisasi Mimpi

Zanegi a₂an men₁adi ₂ota ₂ecil , itulah wacana yang digulir₂an oleh mantan bupati Merauke John Gluba Gebze pada saat sosialisasi kedatangan PT. Medco Group ke kampung Zanegi pada tahun 2008. Memang PT. Medco dan Arifin Panigoro tiba dan beroperasi di Merauke lebih dulu dari pada MIFEE, akan tetapi model atau pola yang dipilih dalam rangka melakukan pendekatan kepada masyarakat umumnya tidaklah jauh berbeda, yaitu dengan menghadirkan pejabat pemerintah dan memberikan janji-janji indah.

Seperti sosialisasi pada umumnya, pihak perusahaan selalu menyampaikan gambaran umum dari program dan rencana-rencana produksinya yang akan menghasilkan berbagai macam hal positif bagi kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Dari penyediaan fasilitas infrastruktur, sistem produksi yang ramah lingkungan, kerjasama yang saling menguntungkan, pelestarian cagar budaya, hingga pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan peningkatan kesejahteaan ekonomi keluarga masyarakat pertahun. Segala wacana semacam ini pastinya akan selalu bisa didapati dalam setiap proses sosialisasi perusahaan kepada masyarakat di kampung atau desa sebagai retorika formal pembangunan dalam kerangka modern.

132

Situasi yang umum lainnya adalah keterlibatan pejabat pemerintah dalam proses sosialisasi, yang dalam kasus MIFEE situasi tersebut menjadi berbeda. Keterlibatan pejabat pemerintah di sini menempati posisi penting atas keberhasilan proses sosialisasi yang dijalankan. Tak hanya bahwa oleh masyarakat ia dipandang sebagai perwakilan dari pemerintah kabupaten, melainkan juga bahwa status sebagai pejabat itu sendiri merupakan modal kultural yang strategis untuk dimainkan sebagai fasilitator. Tak hanya itu, status ini meningkat menjadi modal simbolik ketika pada umumnya pejabat pemerintah tersebut adalah Marind anim (orang Marind). Pada titik ini, hal yang menarik untuk diamati adalah bahwa dalam beberapa kasus, posisi tersebut ditempati oleh Marind anim yang notabenenya adalah Marind perana₂an157, sebagaimana yang terjadi di kampung Ndumande, Kaliki dan Sanggase.

Dalam proses negosiasi antara PT. Rajawali dan masyarakat di kampung Ndumande pada tanggal 23 Juli 2011, kehadiran bapak Jakobus Tunai adalah contoh dari posisi tersebut. )a adalah Marind perana₂an yang memfasilitasi hubungan PT. Rajawali dan masyarakat Ndumande dan kemudian Kaliki di tahun 2012, sekaligus pada waktu itu ia masih menjabat sebagai Kabag Pemerintahan Kabupaten Merauke dan yang. Apa yang selalu ditekankan oleh bapak Jakobus Tunai kepada masyarakat Ndumande adalah bahwa kehadirannya bukan sebagai siapa-siapa, bukan pemerintah, apalagi

157 Ya g pe ulis aksud se agai Mari d Pera aka adalah keturu a a pura dari

perkawinan antara warga Marind dengan warga dari luar suku Marind. Istilah ini penulis ambil dari hasil beberapa kali wawancara dengan masyarakat yang menggunakan istilah tersebut ketika mengidentifikasi individu-individu yang dimaksud.

133

perusahaan. Kehadirannya tak lain adalah kehadiran Marind anim. Atas nama

Marind anim-lah sumpah janjinya atas kebaikan PT. Rajawali dan kesejahteraan masyarakat di masa depan mampu mengambil hati sebagian masyarakat Ndumande.

Sementara Zanegi, tak bisa dipungkiri bahwa kampung ini menjadi ₂asus ₂husus dan berada diluar masalah Marind perana₂an . Masa depan yang dipromosikan oleh John Gluba Gebze selaku bupati pada masa itu menjadi poin yang paling diterima oleh masayarakat, bahkan merupakan poin terpenting dalam seluruh proses sosialisasi MIFEE di kampung-kampung di Merauke hingga saat ini. Kedatangan John Gluba Gebze dengan wacana ₂ota ₂ecil -nya telah menjadi semacam penghormatan yang tak terhingga dan tak terbayangkan sebelumnya bagi masyarakat Zanegi. Seorang Bupati yang Marind, putra Gebze sebagai marga tertinggi, sebuah representasi dari keberhasilan hidup Marind di masa kini, hadir ke kampung dengan membawa pencerahan. Kota ₂ecil pun selan₁utnya menjadi sebuah mimpi baru, bahkan mimpi yang belum pernah terimpikan oleh masyarakatnya. Terbayang Zanegi menjadi ramai dan terang benderang dengan ₁alan beraspal dan berbagai perto₂oan, seperti Merauke tapi lebih kecil ₂ata seorang warga Zanegi bapa₂ Leo Mahuse.158

Dengan demikian ada dua hal yang digunakan oleh perusahaan sebagai wacana penting dalam proses sosialisasi dan negosiasi dengan masyarakat, yaitu primordialitas yang bekerja untuk menggugah hati, serta

158 Leonardus Mahuze. Ibid.,

134

bayangan-bayangan modern dan kemajuan di masa depan. Kedua hal tersebut bertemu dan menjadi suatu gambaran ideal tentang kehidupan, bahwa dengan kerjasama yang terbangun ini pada saatnya nanti kehidupan masyarakat akan menjadi maju dan sejahtera, dimana adat dan kekerabatan sangat dijaga dan dijunjung tinggi. Primordialitas dan modernitas pun dalam konteks ini telah menjadi alat politik yang strategis dalam menyampaikan bahkan mendesakkan gambaran tentang makna kehadiran perusahaan ke dalam kehidupan berkampung dan berhutan masyarakat.

b. Komunikasi: Baku Lewat dalam Bahasa

Sejauhmana dua senjata politik tersebut mampu benar-benar mengambil hati masyarakat? Jawabannya pun menjadi sangat rumit dan bertumpang-tindihan di antara impian mere₂a untu₂ hidup seperti orang -orang di ₂ota Merau₂e serta mengenal dunia , dan ₂eteri₂atan mere₂a dengan apa yang mereka yakini sebagai Anim-Ha yang sebagian darinya adalah Dema. Akan tetapi setidaknya situasi ini bisa dipahami dari segala fenomena yang terjadi dalam proses interaksi dan komunikasi yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan.

Sedari awal, apa yang terjadi dalam sosialisasi dan negosiasi di tiga kampung pertama (Ndumande, Zanegi dan Buepe) adalah komunikasi yang terkesan dua arah namun pada dasarnya berbeda makna dan pemahaman. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam komunikasi antara masyarakat dan perusahaan adalah ketersambungan yang semu. Apakah itu mereka sadari?

135

Itulah yang menjadi persoalan: bahwa dalam sebuah bahasa (bahasa Indonesia) telah terbangun sistem kesadaran yang berbeda. Inilah titik pangkal dari segala permasalahan yang terjadi di lapangan, bahwa di tataran bahasa (baca: nalar), MIFEE dan Marind sudah tidak nyambung (baku lewat).

Salah satu contoh adalah kampung Ndumande. Dalam proses negosiasi rumit mereka dengan PT. Rajawali yang berjalan selama kurang lebih 5 jam tanpa menuai hasil apa pun, warga Ndumande menjelaskan bahwa perusahaan hanya boleh menggarap kawasan sabana (dari Kalambe

ke Elanwaid). Sedangkan kawasan hutan yang tidak mereka izinkan untuk dimasukkan ke dalam areal produksi perusahaan adalah wilayah sakral dimana para moyang bertempat tinggal. Sementara pihak perusahaan menganggap bahwa warga telah salah paham, karena dalam negosiasi sebelumnya pihak perusahaan menganggap bahwa masyarakat telah sepakat dengan luasan yang diajukan oleh perusahaan, yaitu sabana dan hutan secara keseluruhan. Namun warga tetap tidak menyepakati dan menjelaskan berulang kali bahwa alasan mereka tidak memberikan wilayah hutan adalah karena disanalah tempat segala marga satwa hidup. Kemudian seorang perwakilan perusahaan yang dipanggil dengan nama bapak Wahab menjelaskan bahwa:

Tidak semua hutan akan ditebang, tempat-tempat sakral [dalam seluruh kawasan hutan Ndumande] yang tidak dikehendaki oleh masyarakat untuk masuk ke dalam areal perusahaan maka akan dienklave. Kami juga akan tetap memperhatikan area-area yang perlu untuk dikonservasi.159

159

Wahab, PT. Rajawali Group. 03/07/2011. Negosiasi antara Warga Kampung Ndumande dan PT. Rajawali Group. Merauke: Ndumande.

136

Sepintas, yang menjadi permasalahan dalam situasi yang tergambarkan tersebut adalah kepastian tapal batas, bahwa masyarakat bersedia melepaskan hanya sebagian dari tanahnya (sabana), sedangkan perusahaan menginginkannya secara keseluruhan (sabana dan hutan). Akan tetapi apakah benar itu sekedar permasalahan tapal batas? Jika alasan masyarakat hanyalah tentang kehidupan marga-satwa, bukankan apa yang diajukan oleh bapak Wahab dari PT. Rajawali tersebut memang sangat relevan? Jawabnya adalah tida₂ , ₂arena pada titi₂ inilah apa yang telah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya akan menempati posisinya.

Keti₂a ₂ata ₂asuari itu diucap₂an, yang a₂an muncul dalam benak orang selain Marind, atau orang yang tidak terlahir dalam budaya totemisme, adalah seekor burung yang cantik tapi tidak punya ekor, yang pernah dilihat di kebun binatang, atau di buku-buku Ilmu Pengetahuan Alam. Dengan begitu rasa yang muncul biasanya adalah eksotisme, bahwa kasuari adalah bagian dari ekosistem dan keindahan alam, yang tidak sepenuhnya diinginkan tapi selalu dirindukan oleh masyarakat di kota-kota besar, oleh karena itu harus dilindungi. Sementara itu, apa yang terjadi ji₂a ₂ata ₂asuari itu didengar oleh masyarakat Marind? Apa yang mereka tangkap adalah sesuatu yang jauh berada di luar nalar modern, karena segala benda, kehidupan dan peristiwa alam adalah totem. Sebagaimana perkataan bapak Matias Mahuze dalam bagian sebelumnya, bu₂an₂ah dengan ₂ata ₂asuari itu secara otomatis yang terepresentasi dalam benak orang Marind adalah marga Kaize. Dan jika yang mendengar adalah marga Kaize, bukankah kata tersebut menunjuk pada dirinya sendiri, identitasnya, totemnya, Demanya.

137

Dengan demikian, apakah masih bisa dibayangkan cara untuk mengenklave

Dema?

Sampai di sini, tidak lagi dapat dipungkiri bahwa fenomena komunikasi yang terjadi antara masyarakat Marind dan perusahaan tersebut merupakan komunikasi yang naïf. Atas nama kemajuan dan kesejahteraan, Marind dipaksa untuk mengikuti apa yang tak pernah ada dalam, atau bahkan bertentangan dengan, sistem nalar mereka. Situasi ini menjadi sema₂in peli₂ ₂eti₂a di dalam ₂omuni₂asi yang ba₂u lewat tesebut, di dalam kenaifan tersebut, harapan dan impian Marind disandarkan.

c. Janji-janji: Perusahaan sebagai Manusia

Terlepas dari seperti apapun komunikasi (ke-bakulewat-an) yang terjadi antara kedua belah pihak, sesuatu yang dinilai oleh masyarakat Zanegi dan Ndumande tetaplah bahwa para perwakilan perusahaan tersebut tak lain adalah saudara-saudara dari luar yang datang dengan membawa ₂ebai₂an . Bagi penulis, penilaian seperti ini tidak hanya berlaku bagi para perwakilan perusahan, melainkan juga bagi siapa saja yang datang kepada mereka dengan pemahaman baru dalam konteks sosial-ekonomi: termasuk di dalamnya adalah peneliti. Jika para perwakilan perusahaan hadir dengan wacana pembangunan dan kemajuan, peneliti atau LSM hadir dengan wacana keadilan hak dan kesetaraan. Keduanya tidaklah berbeda bagi masyarakat Zanegi, Buepe dan Ndumande. Apa yang muncul dari penerimaan masyarakat adalah hal yang pada dasarnya selalu sama terhadap siapapun. Senyum dan

138

lambaian tangan yang sama, sapaan dan pelu₂an yang sama, hidangan dan keguyuban yang sama, bahkan keluhan ekonomi dan cerita identitas totemik yang sama. Tidak ada pembedaan, karena semua datang dipandang sebagai

₂ebai₂an .

Dalam ₂onte₂s hubungannya dengan perusahaan, ₂ebai₂an itu ditangkap oleh masyarakat dalam bentuk janji-janji tentang pendidikan dan penyediaan fasilitas umum, dan janji-janji itu bukan dilihat sebagai janji perusahaan, melain₂an ₁an₁i manusia. Di Zanegi, ₁an₁i ₂ota ₂ecil dipegang oleh masyarakat bukan hanya sebagai hasil dari suatu proses pembangunan, melainkan sebagai sesuatu yang dibawa oleh orang-orang yang menyatakannya, yaitu Gluba Gebze dan Arifin Panigoro. Itulah yang ingin ditagih oleh masyarakat Zanegi hingga menyebabkan kekisruhan pada tanggal 20 Juli 2011 di pondok karyawan PT. Selaras Inti Semesta (SIS) yang merupakan anak perusahaan Medco. Masyarakat hanya ingin bertemu dengan Arifin Panigoro sebagai yang berjanji dan yang dikabarkan datang pada hari itu.

Ketika bersama PT. LG, Medco Group mulai menerapkan sistem yang lebih professional dan mengakibatkan berbagai kekecewaan masyarakat Zanegi yang bekerja sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) PT. SIS, hal yang paling dikeluhkan oleh para ketua-muda marga bukanlah mengapa sistemnya berubah, melainkan mengapa janji-janji yang sudah diucapkan sebelumnya tidak ditepati. Salah seorang ketua-muda marga di Zanegi, Jakobus Basik-basik mengatakan:

139

Jadi dulu macam ada perjanjian to, ₂ita [perusahaan] bu₂an hanya mengolah pasirnya sa₁a, tapi se₂aligus mengolah manusianya . Ternyata sekarang tidak. Menurut pengakuan kami, sekarang dorang mengolah pasirnya saja, sedangkan manusianya su tidak ingat lagi. Macam dulu ada bahasa bahwa ₂ami [perusahaan] a₂an memper₁uang₂an masyara₂at ₂ampung, dari tida₂ tahu, harus tahu . Seperti contoh macam di alat-alat berat itu. Sekarang kita beberapa karyawan yang bekerja tidak pernah dilibatkan ke alat-alat berat situ.160

Sementara di Buepe juga didapati cerita yang sama dari seorang warga Arnold Bagatu yang baru saja menerima PHK dari PT. Medco mengatakan:

Kita akan dibina dalam jangka tiga bulan, dikasih latih alat-alat berat. Kalau sudah kuasai, orang Jawa ditarik pulang kembali. Anak lokal sendiri yang kerja. Itu janji mereka tahun 2007 waktu mereka datang survei. Dorang sudah ber₁an₁i bahwa saya [perusahaan] harus bina [masyarakat Buepe] sampai tahu . )tu ₂ami pu mau begitu. Sementara kita kerja juga hanya satu macam itu saja, tidak pernah dorangbilang ah coba ₂au tes [alat] ini dulu ₂ah tes [alat] itu dulu! , tida₂ pernah. (anya pe₂er₁aan itu-itu terus sampai hari ini, sampai selesai. Sedangkan kami masuk kami punya niat, supaya saya harus belajar barang ini, alat ini alat itu. Ternyata tidak ada sampai di lapangan.161

Kekecewaan masyarakat tersebut memperlihatkan bahwa kondisi yang mereka alami saat ini sama sekali berada di luar bayangan, bahwa pihak perusahaan akan tidak menepati janjinya. Sementara kekecewaan tesebut hanyalah merupakan tanda bahwa masyarakat menerima perusahaan dengan sangat terbu₂a. Kebai₂an yang dianggap datang malalui ₁an₁i-janji itulah yang lebih mendorong penerimaan dan kepercayaan masyarakat Zanegi dan Buepe terhadap PT. Medco dan PT. SIS. Dan memang tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat di tiga kampung pertama (Zanegi, Buepe dan Ndumande) sama sekali tulus dan mempercayainya sebagai sebuah ikatan persaudaraan. Terlebih lagi di Ndumande, dimana kesepakatan yang

160

Jakobus Basik-Basik. 03/03/2012. Wawancara. Merauke: Zanegi.

140

mengandung janji-janji PT. Rajawali terhadap masyarakat itu diukir pada sebuah tugu kecil yang dibangun di tengah kampung.

Ketika pertama kalinya penulis datang ke Ndumande pada tanggal 2 Juli 2011, dalam perbincangan pertama masyarakat langsung menunjukkan keberadaan tugu tersebut. Ketua LMA Ndumande mengatakan bahwa tugu tersebut merupakan simbol ikatan persaudaraan mereka dengan PT. Rajawali.162 Sementara ketua pemuda Huber Kaize menganggap bahwa tugu tersebut tak lain adalah prasasti dari janji-janji perusahaan yang harus segera direalisasikan.163 Namun, ketika penulis bertanya kepada masyarakat tentang berkas surat kesepakatan (MoU), mereka semua kebingungan. Masyarakat Ndumande lebih mempercayai tugu tersebut dibandingkan dengan MoU yang bahkan hampir dilupakan.

Mere₂a telah ber₁an₁i , telah men₁adi ung₂apan yang ₂erap ₂ali dilontarkan oleh anggota masyarakat ketika berbicara prihal hubungan mereka dengan perusahaan, baik di Zanegi, Buepe, maupun Ndumande. Janji-janji telah menjadi suatu metode yang strategis dan banyak dilakukan di fase-fase awal perusahaan masuk ke kampung. Dan oleh masyarakat, perusahaan telah diterima dengan sangat tulus dan terbuka sebagai manusia (bukan korporasi) yang datang untuk membantu (bukan mengeksploitasi). Terlebih lagi ketika janji-janji kemajuan dan kesejahteraan itu diperkuat dengan diberikannya ratusan juta bahkan milyaran uang oleh perusahaan kepada masyarakat di kampung. Piha₂ perusahaan menyebutnya sebagai Tali Asih .

162

Ketua LMA Ndumande. 02/07/2011. Wawancara. Merauke: Ndumande.

141 d. Impian vs MoU

Terkait dengan kehadiran perusahaan, proses sosialisasi dan negosiasi yang dipenuhi dengan ₂omuni₂asi ba₂u lewat , ₁an₁i-janji dan Tali Asih itulah semua yang menggiring masyarakat di Zanegi, Sanggase-Buepe, Ndumande, Wayau dan selanjutnya Kaliki ke dalam sebuah kesepakatan (land dealing) yang pada dasarnya tidak mereka pahami, kecuali bahwa semua tanda tangan yang telah mereka torehkan pada secarik kertas yang disodorkan oleh pihak perusahaan adalah demi terbangunnya kehidupan mereka menjadi lebih maju. Sementara apa yang sebenarnya tertulis dalam lembaran-lembaran kertas tersebut, apa yang sudah mereka iyakan dan sepakati, tak lain adalah sesuatu yang asing bagi mereka. Sedangkan di luar kehadiran perusahaan dengan segala strateginya, sesuatu yang menjadi alasan masyarakat untuk menerimanya adalah kegelisahan atas kondisi ekonomi dan perkampungan yang mereka diami: sebuah alasan yang tentunya tidak bisa terlepas dari pengaruh kehadiran imej kota Merauke.

Dalam sebuah seminar tentang MIFEE yang diselenggarakan di LIPI oleh Yayasan Pusaka, seorang anggota DPR dari Merauke mengatakan bahwa

Kita ini sudah capek jadi miskin. Mulai dari ekonomi burung kuning sampai yang terakhir ekonomi gaharu dan kulit gambir. Tidak ada jalan lain. Oh mungkin MIFEE inikah nanti dia bisa antar kita untuk kemudian kita bisa merubah kita punya hidup. Kita punya para petinggi, mentri-mentri dan jajarannya, itu dorang tidak tahu tentang Indonesia ini. Jadi dalam benak mereka, urus Indonesia ini ibarat urus Banten atau DKI atau lebih luas sedikit pulau Jawa.164

164

Anggota DPR Merauke. 01/06/2011. Diskusi da Pelu u a Buku MIFEE Tak Te ja gkau A ga Mali d . Jakarta: LIPI.

142

Sementara itu kehadiran perusahaan dengan wacana kemajuan dan modernisasinya tak bisa dipungkiri telah memberikan sepercik harapan, setelah sekian lama masyarakat hampir tak pernah tersentuh pembangunan. Pada pesta upacara bunuh babi dalam rang₂a mensyah₂an MoU antara PT. Rajawali dan para kepala marga di kampung Kaliki, bapak Agustinus Balagaize sebagai perwakilan dari masyarakat mengatakan :

Kami mohom maaf karena jalan yang bapak semua lalui tadi adalah jalan yang biasa kami lalui setiap hari. Itulah kami yang ada di kampung Kaliki ini. Selama kami hidup di kampung Kaliki ini, kami tidak pernah mendapatkan kunjungan dari kabupaten, juga dari distrik, karena kami punya jalan seperti itu. Kepada pimpinan PT. Rajawali Group, kami membilang terima kasih yang tak terhingga. Apa yang bapak buat untuk perubahan kami di kampung ini. Harapan kami, kami tidak merugikan perusahaan dan perusahaan juga tidak merugikan kami.165

Dengan tanda tangan, mereka menaruhkan impian dan harapan atas kehidupan yang lebih maju dan modern, baik bagi dirinya secara pribadi maupun bagi segenap marganya. Dalam beberapa kasus, mimpi tersebut seolah nampak di depan mata bagi beberapa tokoh marga, ketika oleh pihak perusahaan mereka dibawa ke kota Merauke atau Jayapura, menginap di hotel dan diberi segala fasilitas yang dirasa hampir mustahil bisa didapat dalam kehidupan sehari-hari mereka di kampug. Dalam bentuknya yang lain, mimpi-mimpi itu juga dihadirkan oleh list pembangunan fasilitas umum kampung yang disodorkan oleh perusahaan, seperti gereja, tempat penampungan air, sekolah, dan lain sebagainya. Dalam hal ini ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Ndumande yang mengatakan kegelisahannya tentang pudarnya nilai-nilai keadatan seiring dengan perkembangan masyarakat. Bapak LMA membayangkan harus didirikan sekolah budaya

143

demi mentransformasikan pengetahuan adat-istiadat dan budaya lokal. Selama ini pemerintah sama sekali tidak memperhatikan atau tidak mampu menangkap kegelisahan tersebut, semntara PT. Rajawali telah menjanjikan akan membangun sekolah budaya yang dibayangkan itu.

Yang menjadi permasalahan adalah ketika penerimaan masyarakat dengan segala impian dan harapannya tersebut harus bertemu dengan nalar korporasi yang bisa dipastikan selalu bekerja demi akumulasi kapitalnya. Dengan demikian telah dibukalah lembar pertama dari permasalahan besar menyangkut tanah, ketika MoU yang harusnya hadir secara terbuka telah ditutupi atau tidak dimengerti. Para kepala marga di Zanegi – hingga penelitian ini dilakukan – tak pernah memegang atau mengetahui bentuk dan rupa barang bernama MoU yang sudah mere₂a tandatangani. Masyarakat Ndumande tidak terlampau memperhatikan apa isi MoU yang mereka pegang karena merasa tida₂ mampu pahami betul dia punya bahasa . Sementara di Wayau, beberapa tua-tua marga menerima uang sebesar seratus ribu rupiah setelah menandatangani sebuah kertas kosong bermaterai Rp. 6000.

Akan tetapi masyarakat tidak menganggap MoU itu sebagai barang yang penting, karena yang lebih mereka pegang adalah kata-kata. Itulah sebabnya pada beberapa pertemuan awal penulis dengan masyarakat dalam membicarakan masalah perusahaan, MoU ini tidak banyak dibahas. Yang

Dokumen terkait