i
PATRIOTISME:
PRIMORDIALISME MASYARAKAT MARIND MENGHADAPI KOSMOPOLITANISME MIFEE-MP3EI DI MERAUKE KAJIAN IDEOLOGI MELALUI PERSPEKTIF SLAVOJ ŽIŽEK
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Oleh:
Zuhdi Siswanto NIM: 106322008
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Zuhdi Siswanto
NIM : 106322008
Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas : Sanata Dharma
Menyetakan dengan sesungguhnya bahwa tesis
Judul : Patriotisme: Primordialisme Masyarakat Marind
Menghadapi Kosmopolitanisme MIFEE-MP3EI di Merauke Ka₁ian )deologi Melalui Perspe₂tif Slavo₁ Žiže₂
Pembimbing : 1. Dr. St. Sunardi 2. Dr. Katrin Bandel Tanggal diuji : 4 Februari 2014
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam skripsi/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penuli aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Nama : Zuhdi Siswanto
NIM : 106322008
Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul:
PATRIOTISME:
PRIMORDIALISME MASYARAKAT MARIND MENGHADAPI KOSMOPOLITANISME MIFEE-MP3EI DI MERAUKE (KAJIAN IDEOLOGI MELALUI PERSPEKTIF SLAVOJ ŽIŽEK
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
vi
KATA PENGANTAR
Dalam kata pengantar ini saya hanya ingin menyampaikan rasa terima
kasih saya sebesa-besarnya kepada berbagai pihak yang tanpa mereka saya
yakin tesis ini belum akan selesai.
Untuk bapak dan ibu saya di Lamongan, terima kasih atas do a-doanya.
Untuk istri saya tercinta, terima kasih atas senyum dan kesabarannya.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada pak Dr. St. Sunardi dan mbak
Dr. Katrin Bandel atas bimbingan dan segala perhatiannya yang tak kenal
lelah, juga kepada romo Dr. Gregorius Budi Subanar S.J., pak Prof. Dr. A.
Supratiknya, romo Dr. Benny Hari Juliawan S.J. serta segenap dosen IRB,
terima kasih atas segala dukungan moral dan pemikirannya. Kepada mbak
Desy Cicik dan mas Mul atas segala dukungan semangatnya.
Saya sampaikan juga terima kasih sebesar-besarnya atas kerjasama dan
dukungan penuh dari Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian Keuskupan
Agung Merauke (SKP-KAME) dan seluruh tim sesama peneliti selama di
lapangan: Laksmi A. Savitri, om Yos, om Hari, Okto Waken, Kizito Heru,
Muntaza, Henky, Yufiq dan semua anggota yang tak bisa saya sebutkan
seluruhnya.
Hormat dan terima kasih yang tak terhingga juga saya sampaikan
kepada kepala adat di Zanegi, kepala adat di Makaling, kepala adat di
Ndumande, Pastor Minarto di Paroki Okaba, Paroki Muting, om Bon Gebze,
vii
Basik-Basik, Huber Kaize, pak Sitompul di Makaling, dan seluruh masyarakat
Marind, Yeinan dan Kanum di Merauke.
Dan terakhir buat teman-teman IRB: Inyiak RM, Alwi, Irfan, pak
Mardison, bung Benny, Armando, Nelly, Lisis, Gintani, Pongky, mas Windarto,
Amsa, terima kasih atas kesediaannya untuk saling berbagi beban hidup ini.
Aku rapopo. Piye perasaanmu?
viii ABSTRAK
Suku Marind adalah masyarakat yang mendiami kawasan yang secara teritorial kenegaraan berada dalam wilayah Kabupaten Merauke. Marind hidup dengan berpegang pada nilai-nilai adat yang bersumber dari ikatan primordial dengan tanah dan hutan. Ikatan ini terwujud ke dalam kehidupan masyarakat Marind dalam bentuk konsep identitas Anim-Ha (Manusia Sejati) yang menampung seluruh sistem pemaknaan atas kehidupan yang mereka jalani. Saat ini, Marind sedang berhadapan dengan program perekonomian Indonesia bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)
sebagai turunan dari mega proyek ekonomi Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan secara legal formal mengakuisisi hutan yang secara adat dimiliki oleh suku Marind.
Pertemuan Marind dan MIFEE ini melahirkan suatu pertentangan terkait dengan bagaimana tanah dan hutan itu dimaknai. Marind dengan semangat Anim-Ha yang dipegangnya berjuang mempertahankan hutan sebagai bagian tak terpisahkan dari identitasnya, sementara pemerintah Indonesia menyikapi hutan tak lain sebagai aset ekonomi yang menyediakan peluang besar meraih keuntungan dan mengatasi ancaman krisis yang diwacanakannya. Pertentangan ini secara ideologis menghadapkan Marind dan Pemerintah Indonesia dalam wacana kecintaan kepada tanah air. Dengan MIFEE-MP3EI yang menjadi bagian dari arus besar kapitalisme neoliberal Asia, pemerintah Indonesia memposisikan nasionalisme sebagai nasionalisme pasar. Ideologi inilah yang ditentang oleh pergerakan masyarakat Marind yang secara primordial justru memperlihatkan patriotisme dan kecintaan kepada tanah kelahirannya (patria).
ix ABSTRACT
This thesis is a study about ideology that uses Lacanian-Žiže₂ perspective to explain about Marind people movement against neoliberalism that is represented by the existence of Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) project. The Marind is a community who lives in Merauke Regency. Their lives are based on customary values, which are rooted in primordial ties between the Marind, their land and forest. This connection is manifested in Marind s lives in a form of identity concept called as Anim-Ha
(The Real Man), which signify the whole system of meaning upon their lives. To date, an economic development program called MIFEE – as a program derivation from mega project of Indonesian Economic Acceleration and Expansion (MP3EI) – has been legally appropriating the forest that is claimed to be owned by the Marind under their customary law.
The interface between Marind and MIFEE produces a contestation in terms of how meanings were given to land and forest. The Marind within a spirit of Anim-Ha is struggling to defend their forest to be inseparable from their identity, whilst the government of Indonesia perceived the forest as merely an economic asset that is supposed to provide chances for profit and prevent the country from crises as reflected in their discourse about crises as threat. Ideologically, this contestation places the Marind in face to face with the Indonesia government within the discourse of love of country (patria). Through the MIFEE-MP3EI, which is part of the big wave of Asian neoliberal capitalism, Indonesia government has positioned nationalism merely as a market nationalism that is losing its patriotic spirit. On the other hand, primordial symptomatic movement of the Marind in relation to their forest demonstrated patriotism and love to their homeland.
x
BAB II : MIFEE-MP3EI: MENCARI KEUNTUNGAN MELALUI KRISIS ... 52
A. MERAUKE DAN KERENTANAN PANGAN DUNIA ………. 53
a. Doktrin Krisis dan Empati Kemanusiaan Global ………... 67
b. Liberalisasi Komoditi Pangan dalam KADIN Feed the World Seminar 2010 .. 74
c. Arah Kebijakan menuju MIFEE ……… 80
B. KONEKTIVITAS: DARI MERAUKE KE ASIA TIMUR ……… 86
1. Interkonektivitas Indonesia ……… 86
a. Koridor Papua dan Kepulauan Maluku: MIFEE dalam MP3EI ………... 87
b. Mengapa MP3EI? ……….. 89
2. Indonesia dalam Regionalisme Asia ………... 91
a. Indonesia sebagai Potensi dan Tantangan ………... 93
b. Indonesia dalam Comprehensive Asia Development Plan………...……….. 96
c. Kosmopolitanisme: Jalan ASEAN menu₁u Kebebasan Tunggal ………... 99
BAB III : TANAH DAN IDENTITAS PRIMORDIAL MARIND ……… 104
A. MANUSIA ADALAH TANAH DAN BAHASA ……… 106
c. Janji-₁an₁i: Perusahaan sebagai Manusia ……… 137
d. Impian vs MoU ………... 141
2. Histeria Masyarakat Marind ……… 144
xi
b. Pembangunan: Antara Harapan dan Kecemasan ……….... 150
c. Perampasan Hutan dan Keterasingan ………... 153
d. Resistensi ………... 156
BAB IV : PRIMORDIALISME, PATRIOTISME DAN NASIONALISME: MARIND DAN MIFEE-MP3EI DALAM TAFSIR IDEOLOGI ZIZEKIAN ... 160
A. IDEOLOGI MARIND ……… 166
1. (In)Konsistensi Bahasa sebagai Simptom ……….. 166
a. Bahasa Penolakan ……… 168
b. Bahasa Penerimaan ………... 171
c. Cerita )dentitas Lagi, dan Lagi ………... 175
2. Fantasi Marind ……… 178
a. Keterasingan: Marind dalam Panggung Tragedi Kastrasi …………...……… 180
b. Membangun (asrat, Membangun Narasi Fantasi ……… 183
c. A₁a₂an Semu dari Kemung₂inan Lain ………... 186
3. Dorongan : Marind di Hadapan Nama Sang Ayah ... 189
a. Phallic Jouissance: Marind dalam Irasionalitas Totem ……….. 190
b. Prinsip Pemaknaan: Anim-Ha [in-itself] sebagai Penanda Utama ………. 193
c. Anim-Ha [for-itself] sebagai Jalan Sublimasi ……… 196
B. IDEOLOGI MIFEE/MP3EI ………..…… 199
1. Simptom Gagalnya Wacana Kemanusiaan ………..……. 200
a. Histeria Marind ………...…….. 200
b. Wacana Feed The World ………..………. 203
2. MIFEE-MP3EI sebagai Fantasi ………..………... 206
a. Panggung Kastrasi : Mengapa Simbol Antagonis adalah Krisis? ……..………….. 207
b. Hasrat SBY dalam Intersubjektivitas Lacanian ………..……… 210
c. Akumulasi Kapital sebagai Pelanggar Inheren ………..……… 213
3. MIFEE-MP3EI : Krisis dan Peluang Negara Liberal ……..……….. 217
a. Krisis dan Peluang sebagai Komoditas ... 218
b. Potensi dan Tantangan : dari Surplus Nilai ke Surplus Jouissance……….…….. 221
c. Neoliberalisme sebagai Penanda Utama .………..…………. 224
C. PRIMORDIALISME MELAWAN KOSMOPOLITANISME: MARIND DAN MIFEE-MP3EI DALAM ANALISIS WACANA LACANIAN ………..……….. 228
1. Lokasi Kebebasan dalam Perspektif Lacanian ………..……… 229
a. Kebebasan sebagai yang-Real ………..……… 231
b. Antara Pengetahuan dan Kebenaran ………..………. 235
c. Antara Nasionalisme dan Patriotisme ……… 240
2. Nasionalisme Indonesia Hari Ini ………..……… 250
a. Cinta Tanah Air dalam Globalisasi Pasar ………..………... 251
b. Nasionalisme [Pasar] Tanpa Lu₂a Primordial …..……….. 255
c. Membayangkan Negara-Bangsa: Membayangkan Keta₂terbayangan ……….. 259
3. Patriotisme Histeris Marind ………... 264
a. Mengapa Primordialisme Lacanian Bukanlah SARA? ... 268
b. Primordialisme sebagai Kategori Politi₂ Marind ……… 265
c. Dari Primordialisme ke Sublimasi: Dari Antagonisme ke Patriotisme ...……... 274
BAB V : KESIMPULAN ……….……….. 279
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak beredarnya wacana krisis finansial, energi dan pangan
internasional pada tahun 2007-2008, berbagai negara miskin dan
berkembang di seluruh dunia merasa berada dalam keterancaman atas
keberlanjutan hidup warga masyarakatnya. Pangan dan dan energi pun
selanjutnya menjadi komoditas yang tak bisa lagi ditolak muncul sebagai
peluang sempurna dalam dunia bisnis internasional. Fenomena inilah yang
direspon oleh pemerintah )ndonesia melalui semangat mengubah krisis
menjadi peluang . Maka dipilihlah Kabupaten Merauke sebagai kawasan
lumbung pangan dimana mega proyek perekonomian bernama Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) didirikan. MIFEE pun secara legal
formal telah dan akan mengakuisisi tanah serta hutan yang secara adat telah
dimiliki dan menjadi jaminan atas keberlangsungan hidup masyarakat suku
Marind. Inilah gambaran dasar yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini,
yaitu pergerakan masyarakat Marind di Merauke dalam menyikapi mega
proyek MIFEE.
MIFEE yang merupakan imperialisme baru, dilahirkan oleh wacana
krisis yang dilontarkan oleh World Bank (2010) dan direspon oleh
2
opportunity . Wacana krisis ini menjelaskan bahwa pada tahun 2007-2008,
ketika semakin berkurangnya cadangan minyak bumi menyebabkan
menurunnya produksi BBM, terjadilah krisis energi yang selanjutnya
berakibat pada melonjaknya harga pangan dunia. Kepanikan pun melanda
hampir seluruh Negara di dunia. Negara-negara kaya yang berkebutuhan
pangan tinggi namun tidak memiliki lagi tanah sebagai alat produksi
berbondong-bondong mencari tanah di Negara lain yang bertanah luas.
Akhirnya krisis dunia pun dipandang sebagai peluang oleh
pemerintah Indonesia. Dengan berskala luas dan berbasis korporasi, MIFEE
digulirkan dengan mengalokasian lebih dari dua juta hektar tanah Merauke
untuk dikelola sejumlah perusahaan menjadi perkebunan skala luas, baik itu
untuk perkebunan padi, tebu, sawit, maupun perkebunan kayu untuk
kebutuhan energi. Hasilnya, lahirlah Perda No.14/2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Merauke th.2010-2030 yang
mengalokasikan ±50% dari 4,5 juta hektar luas seluruh kabupaten Merauke
sebagai lahan produksi bagi sekitar 47 perusahaan asing dan domestik.
Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana dengan Marind sebagai
masyarakat suku asli, bukankah program tersebut akan berhadapan secara
langsung dengan mereka sebagai pemilik tanah/hutan di sana? Jawabnya
adalah Ya. Sedari awal disosialisasikan, MIFEE telah menuai banyak protes
dari masyarakat sipil di Merauke dan Papua melalui berbagai macam bentuk.
Mereka membentuk Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM) dan
3
mendesak pemerintah pusat dan daerah agar mencabut segala bentuk MoU
sehubungan dengan program tersebut. Sepanjang tahun 2011 masyarakat
kampung Sanggase dan Buepe menuntut puluhan milyar kepada PT. MEDCO
atas hutan di tanah ulayat yang sudah ditebang habis. Masyarakat kampung
Ndumande memblokir jalan yang dilewati PT. Rajawali dengan merobohkan
beberapa pohon kelapa serta menandainya dengan simbol-simbol adat.
Masyarakat kampung Zanegi berkali-kali mendatangi kantor PT. SIS dan
mengajukan 9 tuntutan, menjatuhkan kendaraan alat berat ke rawa, hingga
memaksa diri bertahan dengan mendirikan bevak1 dan bercocok tanam di
lahan yang dikuasai perusahaan, dengan alasan bahwa itu adalah tanah dari
moyang. Itulah fenomena yang ingin dikaji dalam tesis ini: kondisi dimana
suatu masyarakat yang sebagian besar pola hidupnya adalah berburu dan
meramu harus berhadapan dengan tekanan sekaligus pukauan dari suatu
kekuatan sistem produksi modern bermodal besar yang bergerak secara
formal dan politis.
MIFEE yang oleh pemerintah direncanakan untuk menjawab
persoalan keamanan stok pangan dan energi, pada prakteknya justru telah
mengancam tak hanya ketersediaan pangan masyarakat setempat, bahkan
juga siklus dan moda produksi kultural yang mereka miliki. MIFEE telah
melahirkan protes dan berbagai macam tuntutan dari masyarakat sejak awal
mula beroprasinya PT. Medco Industri Lestari di kampung Buepe dan Zanegi,
setahun sebelum program tersebut diresmikan pada 11 Agustus 2010 oleh
1
4
pemerintah Indonesia. Namun dengan berbekal surat izin lokasi dari Pemkab
Merauke, ditambah izin HTI dari Kementrian Kehutanan,
perusahaan-perusahaan itu pun tetap menjalankan operasinya.
Pun begitu, bukan berarti masalah telah selesai. Dalam perjalanan
selanjutnya, masyarakat kampung Ndumande distrik Malind yang telah
melakukan transaksi dengan PT. Rajawali dan menerima uang sebesar 6
milyar rupiah (yang oleh perusahaan disebut dengan uang Tali Asih, namun
bagi masyarakat adalah uang pinangan atau ketok pintu) menuntut ulang
perusahaan dengan alasan bahwa perusahaan telah melanggar janji
sehubungan dengan batas luasan yang telah disepakati. Masyarakat
menganggap bahwa perusahaan boleh menggarap tanah yang sudah
diizinkan saja, karena jika lebih maka akan merusak banyak wilayah sakral:
tempat dimana para leluhur (dema) mereka berdiam.
Pada tanggal 19-20 April 2012 masyarakat Marind menyelenggarakan
sidang adat di kampung Makaling distrik Okaba (selanjutnya disebut Sidang
Makaling) untuk membicarakan kondisi masuknya investasi terkait program
MIFEE yang akan menjadikan tanah mereka sebagai objek produksi. Dalam
pertemuan tersebut para Ketua Adat bersumpah di depan ka u2 dan
menghasilkan satu pernyataan bahwa: selain kepada anak cucu, masyarakat
Marind dari distrik Okaba dan Tubang tidak akan memberikan tanah dan
hutannya kepada siapapun. Tidak juga kepada MIFEE.
2
5
Fenomena masyarakat suku Marind tersebut perlu untuk dilihat
sebagai upaya untuk mempertahankan diri dan kehidupannya: ketika di
tengah kehidupan berhutan yang telah berjalan sebagaimana biasa, tiba-tiba
hadir gelombang besar perusahaan-perusahaan penggarap hutan yang
dikawal oleh undang-undang dan hukum Negara, dan secara teritori
membatasi ruang hidup mereka dan menjauhkan mereka dari tradisi
berhutan. Setelah Sidang Makaling, protes-protes terus berjalan walaupun
pada tingkatan kecil kehidupan sehari-hari. Misalnya, di kampung-kampung
yang sebagian tanahnya sudah dikuasai oleh perusahaan, masyarakat
akhirnya menolak untuk bekerja di perusahaan tersebut dan memilih
berkebun, menanam sagu (makanan pokok) sebanyak jumlah cucu-cucunya,
serta mendirikan bevak di hutan.
Membangun bevak dan berkebun di tanah yang dikuasai perusahaan,
sepintas itu adalah hal yang biasa. Namun itu harus dipahami sebagai sikap
untuk mempertahankan hak atas tanah yang mereka miliki. Sikap yang di
dalamnya terkandung suatu ikatan primordial terhadap tanah, sekaligus
bayangan tentang diri, keluarga, bahkan kehidupan anak cucu di masa depan.
Itu adalah resistensi yang tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa kekuatan
yang mendasarinya dan bersifat ideologis. Dengan demikian semangat untuk
mempertahankan tanah pun bukan hanya berlandaskan pada kepentingan
ekonomis dan material saja, namun juga eksistensial, mengandung nilai-nilai
6
Ini merupakan poin penting: program yang bernama MIFEE ternyata
telah menggores dan melukai masyarakat tak hanya di permukaan tanah,
melainkan hingga titik terdalam, yaitu identitas primordial mereka; bahwa
bagi masyarakat persoalan ini bukan sekedar persoalan tanah atau hutan
secara material dan ekonomis, namun lebih jauh persoalan ideologis terkait
nilai-nilai mitologis landasan kehidupan primordial mereka yang hendak
dikoyak.
Berangkat dari kondisi tersebut penulis berpikir cukuplah kiranya itu
dijadikan sebagai dasar untuk memposisikan segala bentuk protes
masyarakat bukan hanya sebagai suatu gerakan perlawanan atau penyikapan
terhadap MIFEE, lebih dari itu, adalah perjuangan patriotik atas nama cinta
terhadap tanah dan hutannya. Walaupun tidak nampak semasif dan sesolid
gerakan-gerakan lain, misalnya gerakan buruh di Jakarta atau gerakan petani
di Pasundan, namun gerakan masyarakat Marind ini memiliki basis yang jelas
yaitu ikatan primordial mereka terhadap tanah dan hutan, sebuah ikatan
yang membesarkan dan membuat mereka merasa ada. Selebihnya, dua hal
yang ingin digali dalam penelitian ini adalah apa makna tanah bagi
masyarakat Marind, serta bagaimana pergerakan mereka menghadirkan
dirinya di hadapan MIFEE. Oleh karena itu perlu untuk juga menelusuri
MIFEE secara lebih jauh dengan memposisikannya sebagai hasil dari suatu
konstelasi perekonomian dalam skala yang lebih besar.
Jika MIFEE ini dilihat dalam skala yang lebih luas, akan tampak bahwa
7
pemerintah terkait dengan pengembangan perekonomian nasional Indonesia
yang disebut dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang disahkan oleh Perpres
no.32/2011. MIFEE direncanakan akan menjadi salah satu motor penghasil
laba pada koridor ekonomi Maluku-Papua, yakni salah satu dari enam
koridor yang menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di setiap
region.
Tidak berhenti di sini, MP3EI pun masih merupakan keturunan dari
suatu kesepakatan pengembangan ekonomi di level yang lebih besar, yaitu
ASEAN dan Negara-negara Aisa Timur (Jepang, Korea dan Cina). Di sini
MP3EI adalah perwujudan dari Indonesia Economic Development Corridors
(IEDC), yaitu suatu kajian ekonomi yang dihasilkan dari kerjasama antara
Kementrian Koordinator Perekonomian Indonesia dengan Menteri Ekonomi,
Perdagangan dan Industri Jepang. Kajian yang selanjutnya melahirkan
kebijakan yang mengatur masa depan perekonomian Indonesia ini
merupakan upaya untuk secara spasial mengkoneksikan Indonesia dalam
Comprehensive Asia Development Plan (CADP), yaitu suatu agenda untuk
mengintegrasikan Negara-negara ASEAN+3 dalam satu rencana
pertumbuhan ekonomi, yang digagas oleh Asian Development Bank (ADB)
demi mewujudkan ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) yang dilaksanakan
di Singapura pada 28 Januari 1992.3
3
8
Dengan demikian, kehadiran MIFEE-MP3EI membuktikan keterikatan
sistem pembangunan nasional Indonesia pada moda produksi pangan global
yang berlandaskan pada akumulasi kapital atau disebut sebagai rejim pangan
global. Apa yang dihadapi oleh para tuan tanah4 di Merauke adalah suatu
gelombang sangat besar yang bisa jadi berada di luar bayangan mereka,
walaupun saat ini mereka sedang menghadapinya. Sehingga pertanyaan
besar yang terbersit seketika adalah inikah pembangunan yang berkeadilan?
Pembangunan seperti inikah wajah dari apa yang selama ini disebut dengan
membangun negara-bangsa? Mengapa?
Dari kegelisahan semacam itulah tesis ini berawal. Marind sebagai
salah satu tuan tanah di Merauke, ketika kekuatan produksi kapitalis datang
dalam bentuk MIFEE-MP3EI memisahkan mereka dari tanah, ketika mereka
menyatakan kemarahannya atas hutan dan tanah moyang yang hilang,
sesunguhnya kekuatan ideologis semacam apa yang ada dalam diri mereka?
Bagaimana kekuatan ideologis itu menuntun mereka hingga menyatakan
sikap dan membahasakan subjektifitasnya? Bagaimana juga ideologi yang
dianut oleh sistem pembangunan nasional? Bagaimana keduanya bisa
dianggap sebagai bentuk atau sikap atas kecintaan terhadap tanah air? Itulah
kegelisahan mendasar yang ingin dijawab dalam tesis ini.
4 Istilah Tuan Tanah disini bukanlah sebagaimana yang banyak dipahami dalam wacana dan
9 B. TEMA
Penelitian ini selanjutnya akan mengambil tema Ideologi-Politik
Subjek Menghadapi Kapitalisme Neoliberal.
C. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut saya mencoba untuk menarik suatu
pemahaman bahwa setiap protes atau resistensi masyarakat suku Marind di
Merauke kepada MIFEE adalah suatu sikap ideologis dalam mempertahankan
hidup, karena mempertahankan tanah adalah mempertahankan identitas
primordial mereka yang terbentuk secara mitologis, juga sekaligus
mempertahankan keberlangsungan hidup generasi di masa depan. Maka
berangkat dari sini, selanjutnya terdapat tiga pertanyaan besar yang harus
dijawab dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apa makna tanah bagi identitas primordial masyarakat suku Marind di
Merauke?
2. Ideologi macam apa yang terlahir dari ikatan primordial tersebut untuk
menghadapi kekuatan modal?
3. Bagaimana ideologi Marind berhadapan dengan ideologi kapitalisme
sebagaimana dibawakan lewat MIFEE-MP3EI, dan bagaimana kaitannya
10 D. TUJUAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah berkeinginan untuk :
1. Memahami makna tanah bagi identitas primordial masyarakat suku
Marind di Merauke.
2. Menganalisa jenis ideologi semacam apa yang terlahir dari ikatan
primordial tersebut untuk menghadapi kekuatan modal.
3. Menganalisa bagaimana ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi
kapitalisme sebagaimana dibawakan lewat MIFEE-MP3EI, dan mencari
suatu pelajaran yang berharga bagi situasi kebangsaan Indonesia saat ini.
E. MANFAAT
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dalam dua
level, yaitu akademis dan praksis. Secara akademis penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi setiap pembahasan teoritis atas kehidupan masyarakat
Marind dan Papua pada umumnya, khususnya terkait bagaimana seharusnya
secara politis mereka dinilai dan diposisikan. Sementara secara praksis
penelitian ini diharapkan bisa memberi submbangan reflektif bagi
masyarakat secara umum dan pemerintah secara khusus agar pertentangan
antara Marind dan MIFEE ini dilihat sebagai permasalahan ideologis terkait
dengan bagaimana masyarakat memposisikan dirinya sebagai subjek yang
berdaulat, sebagai masyarakat yang memegang teguh kecintaannya pada
11 F. KAJIAN PUSTAKA
Sebelum penelitian ini dilakukan, dibutuhkan untuk menilik berbagai
hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan tema yang sama. Hal ini
dimaksudkan agar secara kritis penelitian ini bisa berkorelasi dengan hasil
kajian yang sudah ada. Adapun beberapa pustaka yang akan penulis kaji
antara lain adalah bu₂u ber₁udul MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind
karya Yando Zakaria, Emilianus Ola Kleden dan Y.L. Franky (2011); buku
ber₁udul Adat Dalam Politik Indonesia yang diedit oleh Jamie S. Davidson,
David Henley dan Sandra Moniaga (2010), dan; artikel Tania Li (2000) yang
berjudul Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politic and
the Tribal Slot .
1. MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind 5
Sejak dijalankannya program MIFEE di Merauke, buku MIFEE Tak
Terjangkau Angan Malind ini adalah buku pertama yang diterbitkan dan
membahas dinamika permasalahan MIFEE dari hasil kajian lapangan.
Penelitian iniadalah program dari sebuah LSM bernama Pusaka dari Jakarta.
Buku yang ditulis oleh Yando Zakaria dkk. itu menjelaskan bahwa MIFEE
lahir melalui serangkaian proses kebijakan nasional yang didukung oleh ide
dan ambisi Bupati Gebze untuk menjadikan MIFEE sebagai lumbung pangan
nasional. Melebihi ide itu bahkan Presiden Yudhoyono menjadikan MIFEE
5
12
sebagai pusat produksi pangan dan energi berskala besar dan modern yang
berorientasi mencukupi pangan domestik dan meningkatkan devisa melalui
ekspor.
Apakah MIFEE layak sebagai justifikasi kesejahteraan rakyat?
Menurut Zakaria dkk., secara komponensial MIFEE diperkirakan akan
menimbulkan sejumlah dampak negatif di berbagai aspek kehidupan.
Pertama, dibutuhkan evolusi berabad-abad dari moda produksi berburu
meramu menjadi moda produksi bertani. Dengan pola kehidupan berburu
meramu bagaimana orang Malind bisa memasuki moda produksi baru yang
akan dibawa oleh MIFEE, justru yang akan terjadi adalah ketersingkiran
orang Papua asli (OPA) yang akan semakin mempertegas jarak antara
mereka dan pendatang. Selain itu, penghancuran situs-situs penting yang
menjadi pelabuhan spiritualitas orang Malind akan menyebabkan mereka
semakin terperosok pada mentalitas negatif sehingga terus menerima stigma
sebagai pemalas dan pemabuk.
Beragam reaksi menolak bermunculan setelah MIFEE dikenal publik.
Di Merauke berdiri SORPATOM (Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE). Di
Jakarta juga terjalin suatu forum komunikasi yang mengkritik MIFEE.
Sementara, masyarakat di 7 kampung di Merauke juga telah bermusyawarah
dan menyatakan akan menolak MIFEE, juga belasan kampung lain
menyatakan hal yang sama.
Di bagian penutup Zakaria dkk. menyampaikan bahwa pihak luar
13
Papua pada umumnya. Kelemahan itu terletak pada pola hidup berburu dan
meramu yang bersifat ekstraktif atau cepat dapat dan mudah, karena masih
melimpahnya kekayaan alam. Akibatnya kemudahan baru ditawarkan untuk
mendapat kemewahan seperti motor, handphone, dll. Kehidupan kota yang
disimbolisasi oleh fasilitas material ini menjadi pukauan yang dipermudah
ketika mereka mau melepaskan tanah: mau motor, lepaskan tanah.
Kelemahan lain adalah soal keabsahan transaksi. Tanda tangan
mereka didapat dengan mudah oleh perusahaan karena tanda tangan ditukar
uang. Mereka tidak memerlukan keabsahan, tapi perusahaan yang
membutuhkannya. Akibatnya, menuntut ulang bisa terjadi. Untuk mencegah
itu, maka perusahaan menemukan keabsahan ala Malind, yakni dengan
upacara potong babi. Dengan demikian, yang diuntungkan dari semua proses
itu lagi-lagi adalah perusahaan. Zakaria dkk. menutup dengan satu saran
bahwa yang dibutuhkan oleh orang Papua di pedesaan adalah suatu
affirmative action yang melindungi mereka, bukan menggiring mereka untuk
ikut pada budaya modern.
Dari ringkasan tersebut terlihat bahwa Zakaria dkk. cenderung lebih
menfokuskan perhatian mereka pada sistem kerja MIFEE beserta berbagai
konsep dan prakteknya, sehingga pembahasan mengenai masyarakat Marind.
Hal itu tidak bisa dihindari karena merupakan konsekuensi dari judul yang
dipakai, sehingga yang menjadi fokus kajian adalah MIFEE sebagai sebuah
program, dan tidak begitu banyak membicarakan resistensi masyarakat
14
telah terkandung secara paradigmatik sedari awal ketika di bagian penutup
pembaca akan menjumpai Zakaria dkk. memposisikan Marind sebagai
masyarakat yang lemah dan butuh dilindungi. Dengan kata lain, hingga
penutup bukunya Zakaria dkk masih memposisikan Marind sebagai
masyarakat yang powerless.
2. Adat Dalam Politik Indonesia 6
Secara umum yang dibahas dalam buku ini adalah dinamika
kebangkitan gerakan sosial yang membawa bendera adat di Indonesia pasca
reformasi 1998 yang disebut dengan gerakan masyarakat adat (indigenous
peoples). Kebangkitan gerakan ini menjadi terlihat jelas dengan terbentuknya
sebuah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 2009 yang
mengusung wacana kedaulatan masyarakat adat.
Dalam resensinya yang dimuat di jurnal Jentera, Yance Arizona,
seorang aktivis dari Epistema Institute Jakarta menjelaskan bahwa
kebangkitan gerakan masyarakat adat ini tidak terlepas dari empat faktor
pendukung yang melatarinya, yaitu: Pertama: kebangkitan gerakan
masyarakat adat tribal peoples, indigenous peoples yang terkadang juga
disebut masyarakat "dunia keempat" (fourth world peoples) ini hasil dari
wacana yang diusung oleh beberapa organisasi internasional; Kedua: faktor
represi Orde Baru. Gerakan ini beranjak dari satu asumsi kesadaran bersama
6
15
bahwa mereka adalah korban dari kebijakan dan program-program
pembangunan selama Orde Baru berkuasa; Ketiga: faktor keterbukaan pasca
Orde Baru. Runtuhnya Orde Baru membuka ruang keterlibatan massa yang
massif di Indonesia, dan; Keempat: warisan ideologis pemikiran kolonial
seperti hukum adat (adatrecht), beschickingrecht yang dipadankan dengan
hak ulayat dan juga masyarakat hukum adat (adatrechtgemeenschap) yang
dipelopori oleh Cornelis Van Vollenhoven, professor di Universitas Leiden
sejak tahun 1909 dan bapak dari Leiden School yang melahirkan
konsep-konsep kunci dalam wacana adat sampai saat ini.7
Selain faktor pendukung kemunculannya, Davidson dan Henley dalam
pengantarnya menyatakan bahwa politik adat ini adalah sebentuk
konservatisme radikal di mana mereka melakukan tuntutan atas keadilan,
bukan atas nama keterpinggiran atau ketidakpunyaan melainkan atas nama
nenek moyang, komunitas dan lokalitas. Sehingga adat, dalam kenyataannya,
justru menentang perjuangan keadilan yang lain, misalnya keadilan gender.
Hal ini mengindikasikan bahwa adat yang dipakai untuk mendorong
demokratisasi tersebut masih menyisakan problem-problem anti-demokrasi
di dalam lokalitasnya.
Paradoks dari politik adat ini juga terletak pada sifatnya yang inklusif
sekaligus eksklusif. Menjadi inklusif ketika adat dipakai oleh para elitnya
untuk meneguhkan posisi politik dan otoritasnya dalam penentuan alokasi
sumber daya sebagaimana yang tercermin dalam kebangkitan kembali
16
sultan-sultan seantero negeri. Namun di sisi lain adat berubah menjadi
eksklusif ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok lain atas nama hak
etnis.
Satu hal lagi yang dipertanyakan dalam buku ini adalah ketika posisi
adat dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam. Maka pengelolaan
sumber daya alam oleh masyarakat adat diasosiasikan sebagai pengelolaan
sumber daya alam secara lebih arif (ecological noble savage) pun memiliki
sejumlah kerumitan ketika dihadapkan dengan proyek konservasi oleh
negara sebagaimana digambarkan oleh Tania Li di Sulawesi Tengah.
Dari penjelasan tersebut bisa dilihat bahwa buku Adat Dalam Politik
Indonesia ini telah memberikan sumbangsih kritis pada wacana gerakan
masyarakat adat di Indonesia. Secara umum buku ini menjelaskan bagaimana
adat saat ini telah berkembang menjadi alat politik untuk memperjuangkan
hak atas sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat. Buku ini juga telah
beranjak meninggalkan esensialitas adat sebagaimana yang diusung oleh
AMAN, namun sayangnya buku ini masih saja mengandaikan bahwa adat
yang esensial itu masih ada, hanya saja tidak lagi bisa diterapkan
sepenuhnya: adat masih diposisikan sebagai seperangkat ideologi harmoni8
yang terpisah dari manusianya, sehingga ini mengimbas pada ketidakhadiran
adat itu sendiri dalam setiap gerakan manusianya, kecuali hanya sekedar
sebagai alat politik.
17
Jika adat sebagai ideologi itu diposisikan sebagai sesuatu yang
terpisah dari masyarakat, lalu ideologi semacam apa yang menjadi
pendorong bagi gerakan yang disebut sebagai gerakan masyarakat adat? Ini
merupakan paradoks ketika pada akhir dari pendahuluannya, Henley dan
Davidson dengan serius menggulirkan wacana tentang kebangkitan adat9,
karena ternyata adat hanya diposisikan sebagai alat pendukung suatu
gerakan masyarakat. Konsekwensinya, dari buku ini penulis merasa belum
mendapatkan penjelasa tentang basis ideologis dari gerakan sosial yang
dijelaskannya.
3. Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politic and
the Tribal Slot 10
Tidak berbeda jauh dengan tulisannya dalam buku Adat Dalam Politik
Indonesia, dalam artikel ini Li juga mengatakan bahwa sesuatu yang disebut
sebagai masyara₂at adat itu ta₂ lain hanyalah ₂onstru₂ yang diterima oleh
suatu masyarakat tertentu karena sesuai dengan budaya dan sejarah
masyarakat tersebut. Secara singkat Li menjelaskan bahwa identifikasi diri
sebagai kelompok masyarakat adat adalah, pertama: Sebuah positioning yang
diambil dari praktek-praktek yang tersedimentasi secara historis, bentang
makna, praktek makna. Positioning ini timbul dari suatu pola perjuangan
partikular dan keterikatan mereka terhadap konteks; kedua: Persilangan
9
Ibid., hlm: 55.
10
18
(conjunctures) dari berbagai keadaan yang menciptakan suatu krisis dimana
sekelompok masyarakat harus mengartikulasikan identitasnya, dan itu
dilakukan sebagai pilihan (agensi). Yang disebut dengan kombinasi dari
berbagai keadaan itu adalah bagaimana Negara menyebut kelompok
masyarakat itu, dan bagaimana NGO menyebut kelompok masyarakat
tersebut: Negara menyebutnya sebagai masyarakat terasing atau ter pencil
dan orang kampung;11 sementara NGO menamai mereka dengan masyarakat
adat, tradisional, dan asli.
Dalam hal ini Li menyandarkan kerangka analisisnya kepada teori
artikulasi Stuart Hall, bahwa artikulasi adalah sebentuk koneksi yang dapat
memiliki makna ganda, yaitu: pertama, proses megeksplisitkan suatu
identitas kolektif, posisi, atau seperangkat kepentingan (menjadikannya
terartikulasi, dimengerti, dapat dibedakan, dan dipahami oleh pembaca atau
pendengarnya); kedua, menyambungkan atau mengartikulasikan posisi
tersebut dengan subjek politik tertentu. Dalam paragraf yang dikutip oleh Li,
Hall menjelaskan:
Atrikulasi adalah suatu bentuk koneksi yang dapat menyatukan dua elemen yang berbeda dalam kondisi tertentu. ini adalah sebuah pertautan yang tidak absolut dan tidak esensial selamanya. Anda harus bertanya, dalam kondisi seperti apa sebuah koneksi atau pertautan bisa terjadi? Dengan demi₂ian, yang disebut sebagai ₂esatuan wacana sebenarnya adalah artikulasi dari elemen-elemen yang berbeda dan dapat dibedakan, yang dapat diartikulasi ulang dalam cara yang berbeda-beda karena mereka tidak memiliki alamat (belongingness). Kesatuan yang menjadi penting adalah pertautan antara wacana yang diartikulasikan dan kekuatan-kekuatan sosial, yang dalam kondisi historis tertentu dapat dihubungkan. Dengan demikian, teori artikulasi adalah, pertama: suatu cara untuk memahami bagaimana elemen-elemen ideologis dalam kondisi-kondisi tertentu
11
19
berkoherensi dalam suatu wacana, dan; kedua: adalah suatu cara untuk menanyakan bagaimana elemen-elemen ini menjadi atau tidak menjadi terartikulasikan dalam suatu kombinasi keadaan tertentu pada subjek politik tertentu.
Dengan berangkat dari pemikiran Hall tersebut, Li selanjutnya
menjelaskan bahwa
Identitas kultural dengan demikian datang dari suatu tempat dan memiliki sejarah, tapi sama sekali tidak fix secara abadi di satu masa lalu yang esensial. Identitas tersebut adalah subjek dari permainan terus-menerus antara sejarah, budaya dan kuasa. Ia adalah sebuah irisan atau titik-titik yang tidak stabil dari suatu proses identifikasi. Sehingga identitas bukan sebuah esensi tapi sebuah positioning.
Pada titik inilah Hall, menurut Li, menolak ide tentang suatu hubungan
langsung antara posisi sosial atau posisi kelas dengan wacana dimana
masyarakat memaknai hidupnya.
Hal menarik yang bisa diambil dari tulisan ini adalah penjelasan
bahwa apa yang dipahami sebagai masyarakat bukanlah suatu kondisi atau
keberadaan yang hadir begitu saja, melainkan adalah juga hasil dari
rangkaian perjalanan sejarah, sehingga identitas subjek atau sebuah
masyarakat pada akhirnya selalu bergulir tak henti, berada senantiasa pada
hasilnya yang tidak pernah paripurna. Namun permasalahan yang masih
tersisa dari pendekatan ini adalah, jika memang posisi sosial itu tidak
memiliki hubungan langsung dengan wacana, lalu dari mana posisi-posisi
tersebut mampu menghadirkan dirinya? Bukankah secara genealogis,
sejarah, budaya dan kuasa yang ditempatkan sebagai kekuatan yang
membentuk irisan identitas itu juga hasil dari pergerakan wacana? Dan
ketika subjek atau masyarakat mengartikulasikan dirinya dan memilih posisi
20
rasionalisasi kesadaran politis akan sebuah posisi? Sehingga dengan
demikian, masyarakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Laclau, tak lain
adalah wacana.12
Dari penjelasan ini, apa yang masih tersisa sebagai sebuah pertanyaan
teoritik, jika kembali pada beberapa poin dari penjelasan Li, adalah apa yang
membuat identitas subjek atau sebuah posisi masyarakat (baca: ideologi),
walaupun secara sadar telah dipilihnya, ia tetap saja tak pernah stabil? Apa
yang membuat proses identifikasi, walaupu merupakan hasil irisan dan
sejarah, budaya dan kuasa, tetap saja tak pernah menghasilkan kesimpulan
yang final atas suatu identitas subjek? Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah
yang melatar belakangi penulis memilih pendekatan psikoanalisa Lacanian
Žiže₂ sebagai kerangka teori dalam melakukan pembahasan tentang ideologi
ini.
G. KERANGKA TEORI
Seiring dengan berkembangnya budaya kontemporer yang disertai
dengan berkembangnya pula permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan
terkait dengan semakin derasnya gelombang objektifisasi kapitalistis segala
lini kehidupan masyarakat, pemikiran sosial kritis pun semakin dituntut
untuk menyediakan kerangka konseptual yang mampu mengimbangi dan
mempertahankan subjektifitas masyarakat. Kondisi yang demikian ini
12
21
menjadikan berbagai kerangka ilmu social-kemanusiaan kehilangan landasan
yang kuat untuk mempertahankan ide tentang agensi di tengah arus
kapitalisme global, yang tentunya ini tidak terlepas begitu saja dari pengaruh
pemikiran post-strukturalisme yang tak lagi mempercayai kemengadaan
subjek. Dalam situasi yang demikianlah Žiže₂ hadir dengan ide subjek politik
radikalnya. Dengan mempertemukan psikoanalisa Lacanian bersama tradisi
Marxis dan menaruh keduanya dalam tataran filsafat melalui logika dialektis
Hegelian, Žiže₂ telah membangun gagasan tentang ideologi dan subjek politik
yang bahkan melampaui pandangan Marxisme itu sendiri.13
Sejalan namun sedikit berbeda dengan emansipasi politik
Laclau-Moufee yang berkomitmen untuk membangun gerakan demokrasi
plural-radi₂al melalui rantai persamaan chain of equivalence) dalam suatu
medan politi₂ , Žiže₂ lebih fokus pada berbagai ragam subjektifitas dalam
dunia kontemporer, sembari menarik kembali ide tentang subjek politik
hingga pemaknaan yang radikal melalui perspektif Lacanian sebagai subjek
yang lack. Dari sanalah Žiže₂ selanjutnya merekonstruksi pengertian tentang
ideologi yang dimulainya dengan melakukan evaluasi terhadap teori ideologi
Althusserian.
Bagi Althusser, ideologi selalu merupakan ideologi penguasa yang
bekerja melalui apa yang digagasnya dengan konsep Ideological State
Apparatus (ISA). Ideologi merupakan kekuatan yang dimaksudkan untuk
membentuk subjek melalui overdeterminasi, atau dengan cara memasukkan
13
22
subjek ke dalam golongan yang disapa (hail) atau diakuinya. Inilah subjek
dalam pandangan Althusser, bahwa sub₁e₂ selalu meru₁u₂ pada sistem
pema₂naan di luar dirinya . Individu barulah bisa disebut sebagai subjek
setelah ia terinterpelasi, terpanggil oleh ideologi sehingga menjadi subjek
konkret dari ideologi penguasa.14 Pada saat yang sama, pengalaman menjadi
sub₁e₂ ini ₁uga menghasil₂an suatu ₂ondisi yang disebut salah mengenali
(misrecognition), sehingga apa yang selanjutnya hilang dari subjek
masyarakat adalah being yang sebenarnya. Pandangan inilah yang
selanjutnya menempati posisi penting dalam tradisi pemikiran madzhab
Frankfurt, bahwa realitas masyarakat itu tak mungkin mampu mereproduksi
dirinya sendiri tanpa dukungan dari ideologi. Žiže₂ memandang ini sebagai
paradoks, karena pandangan ini sama halnya dengan mengatakan bahwa
subjek atau masyarakat mampu mereproduksi dirinya hanya ketika ia berada
pada ₂ondisi ₂esalahan dalam mengenali realitasnya. Dengan demikian
being sesungguhnya dari subjek pun menghilang, atau hadir dalam bentuk
lain.15
Berangkat dari evaluasi itu dan dengan menggunakan kerangka
identifikasi Lacanian, Žiže₂ secara radikal menegaskan bahwa hal terpenting
yang harus dilihat dalam kerja ideologi adalah fantasi. Untuk itu ia telah
memberikan suatu pemahaman bahwa kritik klasik atas ideologi yang
berpijak pada frasa terkenal Marx yang berbunyi they do not know it but they
are doing it , bahwa ideologi adalah suatu kesadaran palsu (false
14
Ibid., hlm: 101.
23
consciousness) tidak lagi bisa diberlakukan, karena false yang merupakan
kesalahan dalam mengenali realitas tak lain adalah realitas itu sendiri.
Dengan mengutip Peter Sloterdijk, Žiže₂ mengajukan bahwa yang
terjadi adalah they know very well what they are doing, but still, they are
doing it 16: bahwa ilusi ideologi bukan terletak pada level pengetahuan
(knowing) atau pemahaman subjek akan realitas, melainkan pada level
tindakan (doing) subjek. Seseorang bisa benar-benar memahami apa yang
sesungguhnya ia lakukan (bahkan hingga resiko buruk atau
kesalahan-kesalahannya), akan tetapi ia bisa tetap melakukannya. Kondisi itu
disebabkan dalam aktivitas sosialnya ia telah dipandu oleh ilusi fetisistik.17
Inilah yang sebenarnya tidak ia pahami, yaitu bukan apa yang ia lakukan,
melainkan apa yang membuatnya melakukan itu. Žiže₂ menyebutnya dengan
fantasi ideologis (ideological fantasy): bahwa level fundamental dari ideologi
bukanlah ilusi yang menutupi kebenaran dari ralitas sosial, melainkan adalah
fantasi yang menstrukturkan realitas sosial itu sendiri.18
Bagi Žiže₂, ideologi merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar
seperangkat elemen-elemen yang berbeda yang dibentuk oleh nodal poin
tertentu, atau sekedar formasi diskursif yang meliputi ketidaklengkapan dan
ketidakmungkinan masyarakat. Berbeda dari keduanya, fantasi ideologi
adalah sesuatu yang bekerja sebagai alat yang mengatur kenikmatan
(jouissance) dalam kehidupan masyarakat, dalam artian bahwa kenikmatan
16
Ibid.,
17
Ibid., hlm: 28.
24
yang sebelumnya selalu terepresi mampu diraih kembali melalui jalur
fantasi. Fantasi adalah titik kenikmatan yang eksesif dan irasional, namun
mampu membuat masyarakat merekonstruksi kehidupannya, menjelaskan
ketidaklengkapannya dengan cara menjanjikan dan menghasilkan
kenikmatan.19
Ini memberikan pemahaman bahwa masyarakat yang mengalami
kesalahan dalam mengenali realitas dan kehilangan kondisi keberadaan
sesunggunhnya itu pun memperoleh keutuhannya dari fantasi. Dengan
demikian, kondisi kehilangan itu sendiri merupakan keharusan atau syarat
bagi subjek untuk sampai pada tataran ideologis, bahwa subjek akan mampu
melahirkan fantasi hanya jika ia telah mengalami overdeterminasi penguasa
atau secara Lacanian adalah momen kastrasi bahasa, dan menyebabkannya
menjadi subjek yang kehilangan. Maka jika hal terpenting yang harus dilihat
dari kerja ideologi adalah fantasi, pertanyaannya adalah bagaimana fantasi
itu bisa ditangkap dan dipahami? Pertanyaan tersebut pun menghadapkan
pembahasan tentang ideologi pada apa yang dikatakan Lacan sebagai
simptom, yaitu realitas yang bisa ditangkap dan dibaca sebagai representasi
dari sesuatu yang jauh terpendam dalam kehidupan masyarakat. Menurut
Žiže₂, inti ajaran Lacanian menekankan simptom sebagai hal terpenting
untuk dipahami secara mendalam, karena dari interpretasi simptomlah
semua kerja psikoanalisa dimulai.20
19
Jodi Dean. 2006. Žižek s Politi s. New York: Routledge, hlm: 8.
25
Jika ideologi bekerja bukan pada tataran pengetahuan (knowing)
melainkan pada tataran sikap atau perbuatan (doing), hal pertama yang
harus dilihat dari masyarakat tak lain adalah sikap atau perbuatannya.
Doing di sini tak lain adalah bahasa realitas, aktivitas sosial masyarakat
dalam menjalani hidup kesehariannya yang tidak mungkin diandaikan begitu
saja sebagai keberlangsungan yang niscaya tanpa didasari oleh dorongan
tertentu yang mengarahkan geraknya pada tujuan tertentu pula. Dengan kata
lain, bahasa realitas itulah simptom: gejala-gejala sosial patologis yang
merujuk pada konten terdalam dari suatu keberadaan subjek masyarakat. Itu
terjadi karena subjek selalu digerakkan oleh dorongan ketaksadaran untuk
merepresentasikan dirinya secara metaforikal melalui aktivitasnya dalam
tatanan Simbolik.
Berangkat dari pembacaan terhadap simptom, analisis ini bermaksud
untuk menemukan segala bentuk realitas masyarakat yang memungkinkan
untuk diidentifikasi sebagai bahasa dari ketaksadaran. Simptom dibaca dan
diposisikan sebagai pintu masuk menuju fantasi dan hasrat akan kenikmatan
yang dikonstruksinya, dimana upaya memasuki fantasi tersebut merupakan
jalan untuk sampai pada titik traumatik yang hadir dalam bentuk dorongan
ketaksadaran (drive). Dari sana analisis ini diharapkan mampu menemukan
momen sublimasi sebagai titik dimana subjek berhasil untuk melampaui
hasratnya. Kedalaman interpretasi terhadap simptom akan menentukan
sejauh mana analisis ini mampu menjelaskan paradoks dari tatanan Simbolik
yang sekaligus mengandung pelanggar yang mensubversinya, serta
26
penjelasan tentang suatu pendorong (the Thing) dari subversifitas
pergerakannya. Proses ini menunjukkan bahwa sebuah pelanggaran yang
Sloterdijk ungkapkan kata dalam frasanya dengan kata but still, tak lain
adalah apa yang menjadi akhir dari proses dorongan ketaksadaran. Akan
tetapi itu bukanlah hal yang mudah untuk dijelaskan. Pembahasan ini harus
terlebih dahulu menjelaskan tiga konsep dari psikoanalisa Lacanian yang
menempati posisi penting bagi seluruh analisis dalam kajian ini, yaitu konsep
identifikasi subjek, yang-Real dan sublimasi.
1. Identifikasi
Dalam proses identifikasi Lacanian, perkembangan subjek berjalan
dari fase Real ke fase Imajiner dan berakhir di fase Simbolik. Yang-Real yaitu
fase dimana seorang anak belum menyadari apapun dan berada dalam
keterpenuhan atau kesempurnaan. Kemudian masuk fase Imajiner dimana ia
sudah mampu menangkap adanya tubuh ibu (liyan primordial) yang menjadi
sumber dari segala kenikmatan yang dirasakannya. Pada titik inilah ikatan
primordial (priomordial interconnectedness) itu terjalin. Selanjutnya fase
Simbolik dimana seorang anak telah memasuki kehidupan bermasyarakat
(dunia bahasa), dunia yang memisahkannya dari kenikmatan primordial
karena menyadari bahwa sang Ibu ternyata juga bersandar pada fungsi
Simbolik sang Ayah. Seorang anak pun akhirnya menjadi subjek dalam artian
27
sebagai permintaan (demand). Subjek pun mengenali dirinya melalui
hukum-hukum bahasa yang tak lain adalah bahasa Liyan.
Pada momen ini subjek berada dalam jebakan lingkaran permintaan
(infernal circle of demand), mengalami dirinya sebagai kebenaran sekaligus
kesalahan yang sama-sama berasal dari Liyan. Kebenaran, karena secara
metonimik21 Liyan mampu menyimpulkan segala kebutuhannya yang
berserak dalam satu penanda permintaan; dan juga kesalahan, karena Liyan
tak mampu menjamin kebenaran tersebut selain hanya memasrahkannya
kepada hukum-hukum bahasa yang telah ada. Kondisi ini menyebabkan
subjek mengalami keterasingan, karena ternyata bahasa tak sepenuhnya
mampu menjawab kebutuhannya. Bahasa mengandung keterbelahan dalam
dirinya, dan selanjutnya membuat subjek juga menjadi terbelah, karena
ketika kebutuhan itu ditafsirkan melalui operasi penandaan, maka akan
selalu ada yang tertinggal (leftover) sebagai suara (voice) yang selanjutnya
semakin menjauh.22 Itu terjadi karena apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh
subjek adalah hal yang jauh lebih primordial dan tak tersentuh oleh bahasa,
sementara subjek hanya mampu mengenali kebutuhannya melalui bahasa
permintaan, bahasa sebagai satu-satunya kebenaran yang diajarkan oleh
Liyan. Itulah yang menyebabkan segala permintaan subjek selalu salah
(misrecognize), karena ketika ia meminta sesuatu, permintaannya akan
21
Secara linguistic, metonimi tercipta dari kesadaran untuk menggabungkan kata hingga menghasilkan makna dari hubungan antar kata tersebut yang bersifat logis. Oleh karena itu metonimi bersifat sintagmatik, yaitu bekerja untuk merangkai penanda-penanda yang mengambang kedalam satu pemaknaan, Lacan menyebutnya sebagai poin de capiton. Lihat:
Sunardi (2002).
28
terbatas pada objek dalam tataran Simbolik, sementara nilai yang diandaikan
oleh subjek dari objek yang dimintanya tak pernah bisa tersimbolisasi.
Demikianlah subjek, melalui Liyan, ia akhirnya menjadi subjek bahasa yang
lack ($), terkastrasi, yang dengan mengusung trauma kecemasan dan
keterasingannya, ia beranjak mengarungi labirin jawaban dari pertanyaan
che vuoi? dalam samudera tatanan Simbolik.
Chevuoi?, atau apa yang kau mau?, itulah pertanyaan yang terlahir dari
situasi keterasingan dan kecemasan yang dialami oleh subjek, pertanyaan
yang datang dari Liyan setelah bahasa yang diajarkannya bukan hanya tak
mampu sepenuhnya menjamin kebutuhan yang diminta oleh subjek, bahkan
juga membuat subjek menjadi terasing. Jawaban yang diinginkan dari
pertanyaan itu bukanlah apa yang bisa dengan mudah dikatakan oleh subjek
sebagai apa yang ia minta, akan tetapi lebih pada hasrat (desire) di balik apa
yang dikatakan sebagai permintaan. Oleh karena itu pertanyaan yang
ter₂andung dalam che vuoi? tersebut pada dasarnya adalah: Kamu meminta
sesuatu dariku, tapi apa sebenarnya yang kamu minta, apa yang kamu tuju di
balik permintaan itu? . Pertanyaan inilah yang memperlihatkan kondisi
sesungguhnya dari permintaan di level Simbolik, memperlihatkan histeria
subjek dimana kondisi sesungguhnya dari permintaan tersebut adalah: Aku
meminta ini darimu, tapi apa yang sesungguhnya aku minta darimu adalah
agar kamu menyangkal permintaanku, karena [yang aku butuh sebenarnya]
bukan ini .23 Lalu apakah sebenarnya yang dimaui atau diminta oleh subjek?.
29
Subjek, yang tiba-tiba mendapati dirinya telah terintegrasi ke dalam
medan sosio-Simbolik yang sudah tersedia dengan segala mandat sosial yang
dipikulnya,24 hanya mampu menjawab che vuoi? tersebut dengan pertanyaan
histeris yang tak akan terjawab: Mengapa aku adalah aku sebagaimana yang
Liyan katakan tentangku? ,25 dengan begitu Apa sebenarnya yang diinginkan
oleh Liyan dariku? . Pertanyaan histeris ini, sebagaimana dijelaskan Žiže₂,
memungkinkan subjek untuk menghindari kementokan dari apa yang
diinginkan oleh Liyan. Sayangnya pada saat yang sama subjek juga tidak
mampu menafsirkan keinginan Liyan itu ke dalam sebentuk panggilan positif
atau mandat dimana ia bisa mengidentifikasi diri,26 sehingga apa yang
diinginkan oleh Liyan itu selamanya tidak akan diketahui oleh subjek.
Dengan demikian subjek akhirnya melihat Liyan juga mengalami lack,
karena tidak pernah mampu menjelaskan keinginannya secara gamblang.
Karena itu subjek selanjutnya berhasrat untuk menambal kekurangan (lack)
Liyan dengan menjadikan dirinya sebagai objek dari hasrat Liyan, dan secara
bersamaan sub₁e₂ ₁uga melihat sesuatu yang ia cari ada di dalam Liyan.
Sesuatu inilah yang Lacan sebut sebagai ob₁e₂ a (petit objet a), suatu objek
yang menyebabkan subjek mengalami hasrat, menjadi subjek hasrat (subject
of desire) yang menginginkan sesuatu lebih di balik sesuatu yang ia minta;
hasrat yang di dalamnya mengandung makna desire is the desire of the Other.
24
Ibid., hlm: 123.
25
Ibid., hlm: 126.
30
Oleh karena itu Lacan menyebut objek a itu, termasuk di dalamnya adalah
hasrat Liyan, sebagai penyebab (cause) hasrat.27
Yang penting untuk diketahui adalah bahwa objek a bukanlah sebuah
objek Imajiner yang bisa diidentifikasi secara indrawi, tidak juga objek
Simbolik yang bisa dipahami melalui bahasa. Objek a adalah semacam nilai
atau kualitas yang tanpa sadar ditangkap oleh subjek dalam objek Imajiner
atau Simbolik yang membungkusnya, dimana sifat dari kualitas tersebut
sama sekali tidak stabil dan tak bisa dinilai secara objektif, atau nilai yang
dikandungnya berada di luar objektifitas. Setiap kali objek itu dijelaskan
secara rasional, yang muncul hanyalah rasionalisasi dari irasionalitanya,
karena rujukan dari objek a itu adalah yang-Real, sesuatu yang sesungguhnya
dimaui oleh subjek namun selalu berada dalam ketaksadaran. Dengan
menyinggung masalah rasionalisasi, maka subjek telah masuk ke dalam
dunia fantasi Lacanian, yaitu semacam gambaran (gaze) yang bekerja sebagai
rasionalisasi yang menjembatani gap antara subjek sebagai pertanyaan dan
objek a sebagai jawaban. Oleh karena itu fantasi ini disimbolkan dengan
$◊a), yaitu ketika subjek berhadapan dengan objek a.
Berhadapan dengan objek a, berarti subjek sedang berhadapan
dengan sesuatu yang irasional, yang tanpa sadar telah menjadi pusat dan
menyita sebagian besar perhatiannya. Dalam hal ini Žiže₂ menjelaskan
bahwa sebagai narasi, fantasi memiliki tujuh cara kerja dalam menggiring
subjek merasionalisasi objek a dan men₁awab che vuoi?. Ketu₁uh cara ₂er₁a
27
Bruce Fink. 1997. A Clinical Introduction to Lacanian Psychoanalysis: Theory and Technique.
31
fantasi inilah yang menempat₂an ₁awaban Aku mau ini dari sub₁e₂ pada
posisi sebagai simptom yang mensubtitusi Aku mau kamu menolak
kemauanku, karena sesungguhnya bukan itu yg aku mau. Dengan ₂ata lain
yang ingin dibahasakan dalam simptom itu adalah dalam kemauanku, yang
aku mau adalah lebih dari sekedar kemauan. Inilah paradoks dari simptom:
kemunculannya selalu dengan jalan merusak tatanan Simbolik subjek, tetapi
jika simptom itu ditiadakan maka seketika subjek kehilangan segala yang ia
miliki.28 Dan justru karena itu, kerja fantasi adalah demi memediasi segala
hal yang tak mampu tertampung oleh simptom, termasuk di dalamnya adalah
subversi dari yang-Real.
Situasi ini sebagaimana yang juga dijelaskan oleh Žiže₂ bahwa salah
satu dari kedudukan fantasi adalah sebagai pelanggar inheren (inherent
transgression) dari struktur Simbolik yang menaunginya.29 Pelanggaran ini
terjadi ketika secara bersamaan fantasi juga menjelaskan bahwa tatanan
Simbolik pada dasarnya adalah ajakan kosong (empty gesture), yaitu pilihan
yang hadir untuk meniadakan dirinya sendiri dengan cara menyembunyikan
makna sesungguhnya dari pilihan tersebut.30 Inilah gap yang memisahkan
antara kebebasan yang dijamin oleh aturan Simbolik dengan fantasi yang tak
hanya memperlihatkan bahwa kebebasan itu hanyalah semu, bahkan
menjelaskan juga kemungkinan pilihan yang sesungguhnya. Gap ini hanya
bisa diatasi dengan jalan melampaui fantasi (traversing the fantasy), yaitu
penerimaan terhadap fakta ketertutupan radikal (pilihan sesungguhnya)
28
“la o Žižek. Ibid., hlm: 85.
29
Slavo Žižek. 2008. The Plague of Fantasies. London: Verso, hlm: 24
32
yang traumatis. Karena hanya dengan demikian subjek bisa terintegrasi
dengan masyarakat. Jika fase ini mampu dilewati dengan baik, dalam arti
subjek berhasil malampaui fantasinya, pada saat itulah ia mulai memasuki
domain dari dorongan,31 dan subjek pun berubah dari subjek yang
dikendalikan oleh hasrat (subject of desire) menjadi subjek yang dikendalikan
oleh dorongan (subject of drive).
Dorongan yang dimaksud disini adalah dorongan kematian (death
drive) Freudian, yaitu suatu dorongan dari ketaksadaran untuk mencapai
kepuasan, kepuasan yang dijelaskan oleh Lacan lebih dari sekedar seksual
(tubuh secara natural), karena seksualitas yang dihasrati subjek selalu adalah
hasil dari integrasinya dengan tatanan Simbolik. Lebih dari itu, kepuasan
yang menjadi tujuan dari dorongan adalah cinta (the Other s love), yang
berada di luar konseptualisasinya sendiri, dimana aktivitas seksual hanya
sebagai bagian dari upaya subjek untuk mengobati lack-nya.32 Žiže₂
menjelaskan dimensi penting dari dorongan ini dengan mengaitkannya
bersama teori eternity Nietzschean, bahwa dorongan ini tak lain adalah
semacam detakan singular yang melawan keterbatasan hasrat, dimana
kepuasannya hanya akan mungkin terwujud dari sifat pengulangannya yang
tiada henti (abadi). Oleh karena itu bagi Žiže₂ dorongan bekerja dengan
melakukan pengulangan terus menerus, menerima pengulangan sebagai
satu-satunya solusi radikal dari pertentangan antara dua dimensi fantasi
31
Ibid., hlm: 40
32
33
yang telah dijelaskan sebelumnya: inherent transgression dan empty
gesture.33
Hal yang penting untuk dipahami terkait dorongan adalah
perbedaannya dengan apa yang biasa disebut sebagai insting tubuh. Dalam
penjelasannya Žiže₂ mengatakan:
Penyelesaian dorongan (closure of drive) ini tidak sama dengan insting tubuh hewani pra-Simbolik; menjadi krusial adalah dasar keterputusan antara dorongan dan tubuh, yakni: dorongan sebagai sesuatu yang abadi (eternal-undead) mengganggu ritme instingtif dari tubuh. Untuk alasan itu, maka dorongan seperti itu adalah dorongan kematian (death drive): berdiri sendiri tanpa mempedulikan kebutuhan tubuh dan sekedar hidup di tubuh. Seakan ada organ bagian dari tubuh menyublim terpisah dari tubuh dan menjadi sesuatu (the Thing) yang mulia/terhormat dan terjebak dalam lingkaran infinitive, yang tak putus-putus berputaran di celah kemungkinan dimana ia ingin men₁adi bagian dari stru₂tur tubuh. […] Organ yang ta₂ mati dan yang terus berdenyut ini merupakan desakan buta; adalah dorongan itu sendiri, yang hidup melampaui batas generasional ataupun kerusakan.34
Bagi Žiže₂, hal inilah yang diabaikan oleh Nietzche, yaitu gap mutlak antara
tubuh organik dan ritme gila dari dorongan , dimana terdapat organ sublim
yang menjadi bagian dari tubuh, yaitu Liyan primordial (the primordial
Other) yang Lacan sebut sebagai materialisasi dari jouissance.35
Sampai di sini, subjek menampilkan dirinya sebagai hasil dari
dorongan, yaitu dorongan dari ketaksadaran yang selalu hadir demi
mensubversi simbolisasi hasrat, menjadikan hasrat subjek bekerja bukan
untuk mencapai jouissance, melainkan untuk memproduksi hasrat
selanjutnya secara metonimikal: berpindah dari satu objek ke objek lain
dengan tetap mempertahankan secara minimum suatu konsistensi