• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Berdiri dan Perkembangan Ahmadiyah

BAB IV PEMBAHASAN

B. Proses Berdiri dan Perkembangan Ahmadiyah

1. Latar Belakang Kehidupan Mirza Ghulam Ahmad

Sejarah berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri gerakan ini. Namanya yang asli hanyalah Ghulam Ahmad. Mirza melambangkan keturunan Mughal. Mirza Ghulam Ahmad lahir pada tanggal 13 Februari 1835 sesuai dengan 14 Syawal 1250 H

waktu shalat shubuh di desa Qadian, Punjab, India. Terlahir sebagai kembar tetapi saudara kembarnya meninggal beberapa hari kemudian. Ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtaza seorang kepala wilayah dan tuan tanah desa Qadian. Ibunya bernama Charagh Bibi yang berasal dari Keluarga Aima dari Hoshiapur yang masih kerabat kerajaan Mughal. (Abdullah Hasan Alhadar, 1980: 47)

Keluarga Mirza Ghulam Murtaza merupakan keturunan Haji Barlas, Raja kawasan Qesh yang merupakan paman Amir Tughlak Temur. Tatkala Amir Temur menyerang Qesh, Haji Barlas sekeluarga terpaksa melarikan diri ke

commit to user

Khorasan dan Samarkand dan menetap disana. Sekitar tahun 1530 M keturunan Haji Barlas yang bernama Mirza Hadi Beg, seorang kepala suku Asia Tengah keturunan Persia, pindah dari Samarkand bersama seluruh keluarga dan pengikutnya memasuki Punjab dan menetap di distrik Gurdaspur sekitar kawasan sungai Bias, yang terletak 70 mil sebelah timur Lahore. Mirza Hadi Beg mendirikan sebuah desa yang diberi nama Islampur. Mirza Hadi Beg yang masih termasuk keturunan bangsawan kerajaan Mughal, dihadiahi wilayah yang terdiri dari beberapa ratus desa oleh Raja Mughal dan diangkat sebagai Hakim atau Qazi yang membawahi wilayah sekelilingnya. Desa yang ia didirikan dikenal dengan nama Islampur Qazi. Dalam perjalanan waktu, kata Islampur tidak pernah terdengar lagi, dan desa itu disebut Qazi saja dan lama-kelamaan menjadi Qadian. (Iskandar Zulkarnaen, 2005:59)

Selama kerajaan Mughal berkuasa, keluarga ini dari waktu kewaktu senantiasa memperoleh kedudukan penting, mulia dan terpandang dalam pemerintahan kerajaan. Mirza Faiz Muhammad, pemimpin keluarga ini, berhasil mengatasi kerusuhan yang terjadi di Punjab. Maharaja Farukhsiyar kemudian menganugrahi Mirza Faiz Muhammad dengan gelar Haft Hazari di tahun 1716 M. Gelar ini hanya dianugrahkan hanya kepada anggota keluarga kerajaan. Dengan gelar ini, Mirza Faiz Muhammad memperoleh kekuasaan untuk mengendalikan 7000 prajurit Mughal. (Iain Adamson, 2010: 47)

Sepeninggal Mirza Faiz Muhammad, anaknya, Mirza Gul Muhammad, harus berjuang keras mengatasi kekacauan dan pemberontakan di Punjab. Masa kekacauan ini berlanjut sepanjang pemerintahan Muhammad Shah, Shah Alam dan Alamgir III. Mirza Gul Muhammad, menguasai wilayah yang terdiri atas delapan puluh lima desa dan menjadi tuan tanah di wilayah itu. Karena Punjab yang saat itu sedang dilanda persaingan antar kepala suku yang menantang otoritas kerajaan, maka, kekuasaan keluarga ini semakin terdesak oleh kekuatan lain di sekelilingnya, terutama oleh kaum Sikh.

Pengganti Mirza Gul Muhammad, Mirza Ata Muhammad, mendapat tekanan yang semakin kuat dari kaum Sikh dan kehilangan kendali atas wilayah yang mengelilingi desanya. Kekuasaannya menyempit hanya tinggal desa Qadian

commit to user

sendiri, yang hanya menjadi benteng dengan tembok pertahanan di sekelilingnya. Daerah-daerah lain telah jatuh ke tangan musuh. Sekitar tahun 1802 M orang-orang Sikh dari Ramgarh berhasil memasuki Qadian, Mirza Ata Muhammad dan semua anggota keluarganya dipenjara. Segala miliknya dirampas, mesjid dan bangunan lain diruntuhkan, dan salah satu dari mesjid diubah menjadi kuil Sikh, dan bertahan sampai hari ini. (Muhammad Zafrulla Khan, 1979: 2)

Pada masa kekuasaan Sikh inilah keluarga Mirza Ghulam Ahmad menjadi miskin dan menderita, sehingga keluarga ini terpaksa harus meninggalkan Qadian. mereka pindah menyeberangi sungai Beas ke Begowal di mana Sardar Fateh Singh Ahluvalia, nenek moyang Maharaja Kapurthala, memperlakukan mereka dengan baik. Keluarga ini tinggal disana untuk sekitar lima belas tahun. Baru pada tahun 1818 M setelah kekuasaan Maharaja Ranjit Singh berhasil menguasai semua raja kecil, keluarga Mirza diizinkan kembali ke Qadian. Keluarga Mirza Ghulam Murtaza bergabung dengan angkatan perang Maharaja Ranjit Singh, bertempur dalam banyak peperangan, dan pada tahun 1834 M, sebagai hadiah atas jasa-jasanya, sebagian harta benda dan lima desa dari tanah milik leluhur yang semula meliputi delapan puluh lima desa diserahkan kembali kepada keluarga Mirza Ghulam Murtaza. (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 60)

Pada pemerintahan Sikh sesudah Ranjit Singh yakni pada zaman Nao Nihal Singh, waktu pusat kerajaan berada di Lahore, Mirza Ghulam Murtaza, ayah Mirza Ghulam Ahmad, memegang jabatan dalam ketentaraan Raja Nihal Singh tersebut. Dalam tahun 1841 M, Mirza Ghulam Murtaza dikirim ke daerah Mandi dan Kulu beserta jendral Ventura, seorang jenderal berkebangsaan Perancis yang bersama pasukannya disewa oleh Ranjit Singh maupun raja Sikh sesudahnya. Pada tahun 1842 M Ghulam Murtaza, memimpin tentara yang dikirim ke Peshwar, dan dalam kerusuhan di Hezarah ia berjasa besar.

Dalam pemberontakan tahun 1848 M Ghulam Murtaza, tetap setia pada pemerintah dan beserta saudaranya Ghulam Muhyiddin ikut membantu pemerintah. Tatkala Bhai Maharaj Singh sedang membawa pasukannya ke Multan untuk menolong Diwan Mul Raj, Ghulam Muhyiddin beserta kepala suku lainnya, Langer Khan Sahiwal, Sahib Khan Tiwana, dan tentara Misra Sahib Dayal

commit to user

menyerang kaum pemberontak dan mengalahkan mereka secara total; mengusir mereka sampai ke sungai Chenab. Pasukan gabungan Sikh dengan pasukan-pasukan sewaannya yang dipimpin jenderal Ventura itu memukul hebat pasukan-pasukan pemberontak pada pertempuran di Panjtar. (Abdullah Hasan Alhadar, 1980: 187)

Dalam tahun 1839 M Maharaja Ranjit Singh wafat, kerajaan Sikh mulai berpecah belah dan tidak lama kemudian Inggris meluaskan kekuasaanya ke wilayah Punjab. Ketika Inggris menguasai wilayah Punjab dan mengalahkan pemerintahan Sikh, harta benda dan tanah milik keluarga ini kembali dirampas. Inggris menetapkan kepemilikan Mirza Ghulam Murtaza atas desa Qadian dan beberapa dusun kecil yang berdekatan, tetapi menolak kepemilikan atas lim a desa yang telah dikembalikan kepada keluarga Mirza oleh Maharaja Ranjit Singh. Sebaliknya pemerintah memberikan sewa seumur hidup kepada kelurga Mirza sebesar 700 rupee setiap tahun. (Iain Adamson, 2010: 49)

Mirza Ghulam Murtaza melayani pemerintahan Inggris dengan setia seperti ketika melayani pemerintahan Sikh sebelumnya. Dalam pemberontakan 1857 M keluarga ini berperan penting. Mirza Ghulam Murtaza membantu pemerintah Inggris dengan memasukkan banyak orang menjadi tentara, termasuk anaknya sendiri yang bernama Mirza Ghulam Qadir, kakak Mirza Ghulam Ahmad. Atas biaya sendiri Mirza Ghulam Murtaza mengirimkan 50 pasukan berkuda. Bergabung dalam tentara Jenderal Nicholson di Trimughat ketika menghancurkan para pemberontak 46 Native Infantry yang melarikan diri dari Sialkot. Atas dasar itu, Jenderal Nicholson memberikan surat penghargaan kepada Mirza Ghulam Qadir yang menyatakan bahwa pada tahun 1857 M keluarganya di distrik Gurdaspur betul-betul telah membantu dan setia kepada pemerintah Inggris melebihi keluarga lainnya di wilayah itu. Mirza Ghulam Murtaza dan saudara-saudaranya memperoleh hak pensiun sebesar 700 rupee, dan hak milik atas Qadian dan beberapa kampung sekitar Qadian kemudian memperoleh hak menarik pajak sebesar 5% atas daerah-daerah itu (Abullah Hasan Alhadar, 1980: 185)

Dengan demikian keluarga Mirza ini pernah menjadi pembantu setia pemerintah Inggris di India. Jauh sebelum pemerintah kolonial Inggris pun

commit to user

keluarga tersebut sudah menjalin kerjasama yang erat dengan pimpinan kaum Sikh, terutama pada masa kekuasaan Maharaja Ranjit Singh. Dengan demikian tidak aneh lagi jika gerakan Ahmadiyah bersikap kooperatif kepada pemerintah Inggris. (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 61)

Semenjak kecil Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah belajar di sekolah/madrasah ataupun suatu institusi pendidikan formal. Pada usia sekitar 7 tahun (Tahun 1841 M) ayahnya memanggil seorang guru privat yang bernama Maulvi Fazal Ilahi Sahib, seorang penduduk Qadian dan penganut mazhab Hanafi berbahasa Parsi. Setelah berumur 10 tahun yakni tahun 1845 M, dipanggil lagi seorang guru bernama Maulvi Fazal Ahmad Sahib dari Feroze-wala, Gujran-wala, dari kelompok Ahli-Hadis, untuk mengajar nahwu sarf. Pada umur 17 tahun Mirza Ghulam Ahmad dididik oleh seorang guru Syiah, yaitu Maulvi Gul Ali Shah Sahib dari Batala, untuk mengajar kitab Nahwu dan Mantiq/logika. Selain itu Mirza Ghulam Ahmad mempelajari medis dari ayahnya, seorang dokter yang berpengalaman. (Sayid Ali Nadwi, 2005: 12)

Pada masa ini Mirza Ghulam Ahmad mulai tertarik pada studi religius, terutama studi yang menyangkut Al Quran. Kitab kitab utama dipelajari adalah Al Quran dan Hadist Bukhari disamping kitab lain seperti Dala-i-lulkhairat dan

Masnawi Karya Maulana Jalaludin Rumi, Tazkiratul Aulia, Futhoohul Ghaib dan

Safarus-saa-aadat. Mirza Ghulam Ahmad tidak membatasi dirinya kepada studi tentang Islam saja, tetapi juga mulai untuk tertarik pada studi tentang agama Kristen dan Hindu. Mirza Ghulam Ahmad mempelajari Bibel dan kitab kitab Veda serta komentar pengarang-pengarang Kristen, yang pada saat itu berpolemik dengan kaum Muslim dengan menyerang pemahaman Islam dan Nabi Muhammad. (Iaian Adamson, 2010: 55)

Perkawinan Mirza Ghulam Ahmad yang pertama terjadi ketika berusia enam belas tahun dengan salah seorang familinya yang bernama Hurmat Bibi. Dengan istri pertama, Mirza Ghulam Ahmad mendapatkan dua anak laki-laki Mirza Sultan Ahmad dan Mirza Fazal Ahmad, yang lahir 1853 dan 1855 M. Kemudian mereka dipisahkan dan tinggal terpisah untuk waktu yang lama, dua

commit to user

anak Mirza Ghulam Ahmad kemudian diasuh oleh saudaranya, Mirza Ghulam Qadir yang tidak berputra. Pada 1884 M ia menikah lagi dengan Nusrat Jehan Begum putri dari Nawab Nasir Delhi. Dari istri keduanya Mirza Ghulam Ahmad sepuluh anak, lima anak meninggal saat masih bayi. Dan lima anak yang hidup lebih lama adalah: Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (kelak menjadi Khalifatul Masih II), Mirza Bashir Ahmad, Mirza Sharif Ahmad, Nawab Mubarika Begum, dan Nawab Sahiba Amtul Hafeez Begum. (Muhammad Zafrulla Khan, 1979: 8)

Sampai tahun 1864 M ketika berusia 29 tahun, Mirza Ghulam Ahmad bekerja pada wakil komisaris di Sialkot dengan gaji kecil. Mirza bertahan dalam pekerjaannya itu selama empat tahun antara 1864 sampai 1868 M. di Sialkot ia berteman dengan seorang pengacara Hindu, Lala Bhim Sen, seorang guru Maulvi Syed Mir Hassan Sahib, dan seorang dokter Mir Husamuniddin Sahib. (Sayid Ali Nadwi, 2005: 12) Selama di Sialkot pula, Mirza Ghulam Ahmad terlibat diskusi dengan orang-orang Hindu dan kaum misionaris Kristen yang pada waktu itu banyak berkhotbah di tempat-tempat umum dan banyak mencela agama Islam. Mirza Ghulam Ahmad terlibat dalam diskusi dengan beberapa orang misionaris. Salah satunya dengan pendeta Butler dari Church Missionary Society yang kemudian menjadi teman dekat. Pada 1868 M setelah empat tahun tinggal di Sialkot Mirza Ghulam Ahmad kembali ke Qadian. (Iaian Adamson, 2010: 63)

Keputusan kembali ke Qadian ini berkaitan dengan keinginan ayahnya agar Mirza turut membantu keluarga dalam upaya memperoleh kembali tanah-tanah milik keluarga di pengadilan. Namun Mirza Ghulam Ahmad tidak memiliki ketertarikan menjalankan tugas ini. Mirza Ghulam Ahmad lebih tertarik mempelajari buku-buku agama (A Yogaswara, 2008: 41). Sebagian besar waktunya

buku-buku Hindu dan Nasrani mengingat pada waktu itu berbagai diskusi dan debat ideologi antara ulama Islam dengan pemuka agama nasrani dan Hindu di India marak terjadi. Masa itu dikenal dengan polemik keagamaan. Orang-orang berpendidikan menyukai kontroversi dan debat keagamaan. Para misionaris Kristen gigih menyebarkan misi mereka dan menyebarkan keraguan terhadap Islam. Pemerintah Inggris, yang secara resmi merupakan pembela iman kristiani,

commit to user

melindungi berbagai aktivitas ini. Disisi lain, para aktivis gerakan Arya Samaj dengan penuh semangat berupaya menyudutkan Islam. (Sayid Ali Nadwi, 2005: 31)

Mirza Ghulam Ahmad mulai tertarik pada pergerakan kaum Hindu Arya Samaj yang merupakan tantangan baginya serta mendorongnya untuk menulis beberapa artikel keagamaan untuk menentang kepercayaan Hindu dan Kristen. (Ihsan Ilahi Dhohir 2005: 136) Mulai tahun 1872. Mirza Ghulam Ahmad giat membalas serangan-serangan dari kelompok Kristen dan kelompok Hindu khususnya Arya Samaj dan Brahma Samaj. Mirza Ghulam Ahmad banyak menulis artikel-artikel berkenaan dengan itu di berbagai media massa. Antara lain jurnal Manshur Muhammadi yang terbit dari Bangalore, Mysore, India Selatan, yang terbit setiap 10 hari sekali. Kemudian pada beberapa surat-kabar yang terbit dari Amritsar antara lain: Wakil; Safir Hind; Widya Prakash; dan Riaz Hind. Demikian pula pada Brother Hind (Lahore), Aftab Punjab (Lahore), Wazir Hind

(Sialkot), Nur Afshan (Ludhiana) dan Isyaatus-Sunnah (Batala). Begitu juga pada

Akhbar-e-Aam (Lahore). (Muhammad Zafrullah Khan, 1979: 16)

Setelah ayahnya meninggal pada 1875, ketika berumur sekitar 40 tahun Mirza Ghulam Ahmad menerima ilham Ilahi. Atas dasar keyakinannya setelah menerima wahyu, Mirza Ghulam Ahmad menyusun sebuah buku untuk menunjukkan kebenaran Islam, otentisitas al Quran sebagai wahyu Tuhan, kerasulan Muhammad sebagai utusan Allah dengan argumen rasional, dan pada sisi lain, menyangkal ajaran Kristen, Sanatan Dharma, Arya Samaj dan Brahma

Samaj, buku itu adalah

-e-wannabuwatil Mohammadiyya (bukti kebenaran kitab Al-Qur'an, dan kenabian Muhammad) atau yang lebih dikenal dengan nama Barahin Ahmadiyah. Buku itu terdiri dari empat bagian. Bagian pertama dan kedua diterbitkan pada tahun 1880 M, bagian ketiga tahun 1882, dan bagian keempat tahun 1884 M. (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 63)

Pada jilid pertama Barahin Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad lebih memfokuskan pada balasan serangan terhadap ajaran Arya Samaj yang menghina Rasulullah saw., Nabi Isa as., dan Nabi Musa as. serta yang menuduh kitab-kitab

commit to user

suci para nabi tersebut adalah palsu. Disamping itu Mirza Ghulam Ahmad menyerang akidah Arya Samaj yang menyatakan bahwa ruh tidak diciptakan oleh Tuhan, melainkan telah ada dengan sendirinya sejak awal-permulaan. Dalam jilid pertama ini pula Mirza Ghulam Ahmad mengaku memperoleh perintah dari Tuhan bahwasanya Mirza Ghulam Ahmad dijadikan Ma'mur Minallah (Utusan Allah). Dari itu juga Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai Mujaddid.

Jilid kedua masih berkenaan dengan akidah-akidah Arya Samaj. Kemudian mengenai kedudukan dan perlunya wahyu. Mengenai keunggulan Kitab Suci Al-Quran atas kitab-kitab agama lainnya. Mirza juga menekankan kaidah dasar pembuktian kebenaran suatu agama yang harus berdasarkan pada kitab suci yang diakui oleh agama itu sendiri. Pada jilid ketiga merinci keindahan dan kemuliaan Al-Quran. Menjawab serangan-serangan yang ditujukan kepada Al-Quran. Dan menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu-wahyu dari Allah Ta'ala dan Mirza Ghulam Ahmad bersedia untuk membuktikan kebenarannya.

Pada jilid keempat membahas tentang bentuk asli bahasa umat manusia, tentang kedudukan mukjizat dan pentingnya nubuatan-nubuatan/ khabar-ghaib seorang nabi berkenaan masa mendatang. Mirza Ghulam Ahmad memaparkan konsep-konsep agama Budha, Kristen dan Hindu Arya Samaj tentang Tuhan, dan membuktikan keunggulan ajaran Islam. Dan kitab-kitab Yahudi pun dipaparkan sebagai perbandingan dengan Al-Quran. (http//:www.aliislam.org/Indonesia /latar.html#top)

Buku Barahin Ahmadiyah mendapat sambutan hangat dalam lingkungan akademis dan keagamaan di India. Sambutan atas buku itu berdasar pada realita bahwa Barahin Ahmadiyah menantang agama-agama lain dengan sikap ofensif. Diantara mereka yang menghargai dan sangat mendukung Barahin Ahmadiyah

adalah Maulana Muhammad Hussain Batalwi. Dalam jurnalnya Ishaat al-Sunnah

ia menulis ulasan dengan panjang lebar memuji karya Mirza dalam enam edisi jurnalnya. Dalam ulasan itu, Barahin Ahmadiyah mendapat sambutan yang luar biasa serta dianggap sebagai sebuah karya akademis yang hebat pada zamannya, sebuah karya besar dalam riset dan penulisan. Walaupun pada akhirnya Maulana

commit to user

Muhammad Hussain Batalwi tersebut berubah dari pendukungnya menjadi salah satu musuh besarnya.

Apresiasi lain atas Barahin Ahmadiyah datang dari Maulvi Muhammad Sharif Sahib dari Bengalore, Mysore, India Selatan, yang juga editor dari jurnal

Manshoor Muhamadi, dan dari seorang tokoh sufi terkenal di India yang berasal dari Ludhiana. Yaitu Sufi Ahmad Jaan Banyak murid maupun pengikut Sufi Ahmad Jaan yang menjadi tokoh-tokoh pemuka agama Islam saat itu. Sufi Ahmad Jaan menuliskan ulasan tentang buku Barahiin Ahmadiyyah di dalam sebuah selebaran yang berjudul Isytihar Wajibul Izhar. (Sayid Nadwi, 2005: 43)

Selain Barahin Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad juga menulis buku-buku lain antara lain Surma Chasma Arya (cela bagi kaum Arya) 1886 M,

Shahna-I-Haq (Batalion Kebenaran) 1887 M, Sabz Ishtihar (selebaran hijau) ditulis 1888 M. dan Sitara-e-Qaisharah (Bintang Sang Ratu) ditulis 1989 M. Tahun 1891 M menulis buku Fath Islam (Kemenangan Islam), buku Tauzih-e-maram (Penjelasan maksud), buku Izalah Auham (Memperbaiki beberapa kesalahanpahaman), buku Mubahisa Ludhiana (Debat Ludhiana) dan Mubahisa Delhi (Debat Delhi). (Asep Burhanudin, 2005: 39)

2. Perkembangan Ahmadiyah 1889-1914 M

Pada tahun 1886 diadakan diskusi dan perdebatan antara Arya Samaj dengan Mirza Ghulam Ahmad tentang kebenaran Islam dan dalam diskusi tersebut pihak Arya Samaj meminta tanda untuk membuktikan bahwa Islam itu agama yang benar. Untuk menjawab hal ini atas ilham Ilahi, Mirza Ghulam Ahmad bepergian ke Hoshiarpur. Di sini Mirza Ghulam Ahmad menghabiskan 40 hari dalam pengasingan, sebuah praktek yang dikenal sebagai chilla-nashini. Di Hoshiapur Mirza Ghulam Ahmad mendiami rumah Sheikh Mehr Ali Sahib salah seorang pengikutnya, dan hanya meninggalkan rumah pada hari Jumat untuk rza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepadanya. (Iaian Adamson, 2010: 104)

Wahyu di Hoshiapur baru diumumkan pada bulan Desember 1888, Mirza Ghulam Ahmad secara terang-terangan menyatakan diri menyatakan diri

commit to user

mendapat perintah Tu

pengikutnya, wahyu berbahasa Arab yang ia terima berbunyi :

Taufan kesesatan telah menaungi dunia sebab itu sediakanlah bahtera, dan barang siapa suka naik bahtera itu akan selamtlah ia dari mati tenggelam adapun yang menolak kematian akan menimpanya (Fathi Islam) (Ahmadi Djajasugita, 2007: 68)

Perintah Tuhan dalam Wahyu tersebut menuntut Mirza Ghulam Ahmad melakukan dua hal, pertama, menerima baiat dari pendukungnya, kedua,

membuat bahtera, yakni membuat wadah untuk menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke seluruh penjuru dunia. Perintah Tuhan

perintah Tuhan untuk membuat bahtera yakni membuat wadah (organisasi) menurut Ahmadiyah Lahore telah dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Oleh karena itu pada tahun 1888 oleh Ahmadiyah Lahore dianggap sebagai berdirinya Ahmadiyah. (Iskandar Zulkarnen, 2005: 64)

Pada tanggal 12 Januari 1889 Mirza Ghulam Ahmad mengumumkan sepuluh syarat Baiat bagi terbentuknya Jamaah Ahmadiyah yaitu sbb:

a. Di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur senantiasa akan menjauhi syirik.

b. Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim , perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru-hara, dan memberontak serta tidak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya.

c. Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu semata-mata karena

mengikuti per -Nya, dan dengan sekuat

tenaga akan senantiasa mendirikan shalat Tahajud, dan mengirim salawat kepada Junjungannya Yang Mulia Rasulullah s.a.w dan memohon ampun dari kesalahan dan mohon perlindungan dari dosa;

akan ingat setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah, lalu

mensyukurinya dengan hati tulus, serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan.

commit to user

d. Tidak akan mendatangkan kesusahan apa pun yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk Allah umumnya dan kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya, biar dengan lisan atau dengan tangan atau dengan cara apa pun juga.

e.

susah ataupun senang, dalam duka atau suka, nikmat atau musibah; pendeknya, akan r

bersedia menerima segala kehinaan dan kesusahan di jalan Allah.

suatu musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka.

f. Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu, dan benar-benar akan menjunjung tinggi perintah

Al-dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan menjadi pedoman baginya dalam tiap langkahnya.

g. Meninggalkan takabur, sombong; akan hidup dengan merendahkan diri, beradat lemah-lembut, berbudi pekerti yang halus, dan sopan-santun.

h. Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam lebih dari pada jiwanya, hatanya, anak-ananknya, dan dari segala yang dicintainya.

i. Akan selamanya menaruh belas kasih terhadap makhluk Allah umumnya, dan akan sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang dianugerahkan Allah

j. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini "Imam Mahdi dan

Al-Masih Al- -mata karena Allah dengan pengakuan

taat dalam hal makruf (segala hal yang baik) dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya, dan menjunjung tinggi ikatan perjanjian ini melebihi ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan persahabatan ataupun ikatan kerja. (Iaian Adamson, 2010: 107-108)

commit to user

Pembaiatan baru dilaksanakan pada 11 Maret M 1889 di kota Ludhiana di rumah Mia Ahmad Jaan. Orang yang melakukan baiat pertama kali adalah Maulana Nuruddin Sahib yang sekaligus menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri paham ini. Setelah itu diikuti oleh sekelompok kecil antara lain Mir Abbas Ali, Mian Muhammad Husain Moradabadi, dan M Abdullah Sanauri. Pelaksanaan pembaiatan tidak dilakukan di kota Qadian tempat kelahiran Mirza Ghulam Ahmad, tetapi di kota Ludhiana wilayah Punjab. Ludhiana merupakan sebuah kota yang jauh lebih penting dibanding Qadian karena merupakan pusat aktivitas misionaris Kristen dan merupakan tempat penerbitan jurnal Kristen Noor Asfahan (pertama kali terbit pada bulan Maret 1873 M). Di samping itu Ludhiana merupakan salah sekolah bagi misionaris (Mission High School) tertua di India dan tempat para tokoh Islam seperti Maulana Abdul Qadir, Abdul Aziz dan Muhammad yang aktif berperan dalam pemberontakan melawan

Dokumen terkait