commit to user
i
GERAKAN AHMADIYAH
DAN KEBANGKITAN ISLAM DI INDIA (1889-1947)
SKRIPSI
Oleh:
ARFAN BAYU PRAKOSO
NIM: K4404016
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
GERAKAN AHMADIYAH
DAN KEBANGKITAN ISLAM DI INDIA (1889-1947)
Oleh :
ARFAN BAYU PRAKOSO
NIM: K4404016
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
commit to user
v ABSTRAK
Arfan Bayu Prakoso. K4404016. GERAKAN AHMADIYAH DAN
KEBANGKITAN ISLAM DI INDIA (1889-1947). Skripsi. Surakarta : Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli 2011.
Tujuan Penelitian ini untuk mendiskripsikan: (1) Latar belakang kebangkitan Islam di India, (2) Proses berdiri dan perkembangan Ahmadiyah, (3) Peran Gerakan Ahmadiyah dalam kebangkitan Islam di India. (4). Sikap Muslim terhadap Gerakan Ahmadiyah
Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yan g digunakan adalah sumber buku literatur, dan surat kabar. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dalam mengolah suatu data sejarah. Prosedur penelitian dilakukan melalui empat tahap kegiatan yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.
commit to user
vi ABSTRACT
Arfan Bayu Prakoso. K4404016. Ahmadiyya Movement and Islamic Ressurection in India (1889-1947). Paper. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, July 2011.
The aim of this research is to describe: (1) Background of the Islamic revival in India, (2) The process of establishment and development of the Ahmadiyya, (3) The role of the Ahmadiyya Movement in the Islamic revival in India. (4). Muslim attitudes toward the Ahmadiyya Movement.
This research use history methods. Data source used is literature book and newspaper. The technique of data collection is by using library study. Data analysis technique used is historical analysis, that is the analysis giving priority of sharpness in managing a historical data. The research procedure is by employing four stages activitiy thet are heuristic, critic, interpretation, and historiography.
commit to user
vii MOTTO
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu,
tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi; dan adalah Allah Maha
mengetahui segala sesuatu
(Q. S. Al Ahzab ayat 40)
Sejarah adalah pembebasan dari kepercayaan yang tidak benar, perjuangan
melawan kebodohan dan ketidaktahuan
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
1. Bapak dan Ibu
2. Kakak-Kakak dan Keponakanku
3. Mereka yang telah membantuku
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan
Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas
Maret Surakarta (UNS) yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah
menyetujui atas permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS yang telah memberikan
pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini.
4. Drs. H. Saiful Bachri, M. Pd selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Musa Pelu, S.Pd, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah
membantu pembuatan skripsi. Penulis memohon pula maaf apablila terdapat
tindakan dan perkataan penulis yang kurang berkenaan.
Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan
skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada khususnya dan
perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, Juli 2011
commit to user
x DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN ABSTRAK ... v
HALAMAN ABSTRACT vi
HALAMAN MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Manfaat Penelitiaan ... 6
BAB II LANDASAN TEORI ... 8
A. Kajian teori ... 8
1. Kebangkitan Islam ... 8
2. Paham Ahmadiyah . ... 12
3. Politik Islam ... 18
B. Kerangka Berpikir ... 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 40
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 40
B. Metode Penelitian ... 41
C. Sumber Data ... 42
D. Teknik Pengumpulan Data ... 44
E. Teknik Analisis Data ... 45
commit to user
xi
BAB IV PEMBAHASAN ... 50
A. Latar Belakang Kebangkitan Islam di India ... 50
1. Latar Belakang Kebangkitan Islam di India ... 50
2. Kebangkitan Islam di India ... 58
B. Proses Berdiri dan Perkembangan Ahmadiyah ... 62
1. Latar Belakang Kehidupan Mirza Ghulam Ahmad ... 62
2. Perkembangan Ahmadiyah 1889-1914 M ... 70
3. Perpecahan Ahmadiyah 1914 M ... 81
C. Peran Ahmadiyah Dalam Kebangkitan Islam di India ... 86
1. Bidang Pemikiran Islam ... 89
2. Bidang Dakwah Islam ... 101
D. Sikap Muslim Terhadap Ahmadiyah ... 105
BAB V PENUTUP ... 116
A. Kesimpulan ... 116
B. Implikasi ... 118
C. Saran ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 120
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Bendera Ahmadiyah... 127
Lampiran 2 : Pendiri Ahmadiyah dan ... 128
Lampiran 3 : Tokoh- 129
Lampiran 4 : Tokoh- 131
Lampiran 5 : ... 134
Lampiran 6 : 152
Lampiran 7 : Surat Permohonan Ijin Penyusunan Skripsi... 169
Lampiran 8 : Surat Keputusan Dekan FKIP UNS Tentang Izin Penyusunan
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebangkitan Islam muncul sebagai akibat dari kemunduran dan
keterbelakangan yang dialami umat Islam. Keadaan ini menggugah kesadaran
para pemikir Islam untuk mencari solusi atas masalah ini. Dimulai dengan
gerakan Wahabiyah yang dipimpin Muhammad ibn Abdul Wahab pada abad 18 di
Jazirah Arab. Pengaruh Wahabiyah menyebar dengan cepat dari Timur Tengah,
Afrika, Asia Tenggara dan anak benua India. Ketika itu pula pergerakan
intelektual lain ikut lahir, selama pertengahan terakhir abad ke 19 dan awal abad
ke 20 di daerah-daerah yang berada di bawah dampak kultural dan intelektual
Barat (Fazlur Rahman 1985: 20). India merupakan salah satu dari pusat
pergerakan ini. Di belahan dunia ini, terjadi perbenturan antar peradaban Barat
dan Timur, sistem pendidikan tradisional dan modern, pandangan hidup dunia
lama dan baru, serta Islam dengan Kristen telah mencapai puncaknya. (Sayid Ali
Nadwi, 2005: 3)
Sejarah masuknya Islam di anak benua India sudah terjadi semenjak masa
Nabi Muhammad SAW masih hidup pada abad 7 M. Pedagang-pedagang Arab
yang sudah memeluk Islam sudah berhubungan erat dengan dunia timur melalui
pelabuhan-Pada masa ini, Raja Cheraman Perumal, Raja Kadangalur dari pantai Malabar
telah memeluk Islam dan menemui Nabi, namanya diganti menjadi Tajudin. Pada
masa Umar ibn Khattab, pada tahun 643-644 M Panglima Mughira menyerang
Sind, tetapi gagal. Pada tahun itu Abdullah ibn Amar Rabbi sampai wilayah
Mekran untuk menyiarkan Islam dan memperluas daerah kekuasaan Islam. Pada
masa Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib, dikirim utusan ke wilayah India
untuk meyelidiki adat istiadat dan jalan-jalan menuju India. Inilah awal mula
Islam menyebar ke India melalui jalan darat. (Dudung Abdurahman,
commit to user
Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa Khalifah
Al-Walid, dari dinasti Bani Umayyah pada abad ke 8 M. Penaklukan wilayah ini
dilakukan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim.
Kemudian muncullah dinasti Ghaznawi mengembangkan kekuasaannya di India
di bawah pimpinan. Sultan Mahmud, dan pada tahun 1020 M, ia berhasil
menaklukan hampir semua kerajaan Hindu di wilayah ini, sekaligus
mengislamkan sebagian masyarakatnya. Setelah dinasti Ghaznawi Hancur,
muncul dinasti-dinasti kecil seperti Mamluk (1206-1290), Khalji (1296-1316),
Thuglug (1320-1413) dan dinasti-dinasti kecil lain sampai Babur datang pada
permulaan abad ke 16 dan membentuk dinasti Mughal di India.
Kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai Ibukota didirikan
Zahiruddin Babur (1482-1530), salah satu cucu Timur Lenk. Ayahnya bernama
Umar Mirza, penguasa Ferghana. (Badri Yatim, 2006: 145-147) Setelah kerajaan
Mughal berdiri, Raja-Raja Hindu di seluruh India menyusun angkatan perang
yang besar untuk menyerang Babur. Pasukan Hindu ini dapat dikalahkan Babur.
Babur meninggal pada tahun 1530 M meninggalkan kejayaan yang cemerlang.
Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Humayun, putra sulung Babur.
Sepanjang masa pemerintahannya selama sembilan tahun 1530-1539 M negara
tidak pernah merasa aman. Humayun digantikan anaknya, Akbar. Pada masa
Akbar inilah kerajaan Mughal mencapai masa kejayaannya. Kemajuan yang
dicapai Akbar masih dapat dipertahankan oleh tiga sultan berikutnya, yaitu
Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M), dan Aurangzeb (1658-1707
M). setelah itu, kemajuan-kemajuan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan.
(Badri yatim, 2006: 148-149)
Satu setengah abad setelah dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya,
para pelanjut Aurngzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah
dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke 18 M kerajaan memasuki
masa-masa kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi
kepemimpinan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu
commit to user
semakin mengancam. Sementara itu, para pedagang Inggris semakin kuat
kedudukannya. (Dudung Abdurahman, 2002: 159)
Sejak tahun 1818 M Inggris menjadi kekuatan terkemuka di sebagian
besar wilayah India, terutama daerah-daerah yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, seperti Bengal, dataran sungai Gangga dan wilayah sekitar
lembah sungai Indus. Kehadiran Inggris mendapat reaksi yang beragam dari Umat
Islam. Puncak kekuasaan Inggris diraih pada tahun 1857 ketika kerajaan Mughal
benar-benar jatuh dan rajanya yang terakhir, Bahadur Syah diusir ke Rangoon
(1858). Inggris juga berusaha menguasai Afghanistan (1879) dan kekuasaan
muslim Baluchistan juga ditaklukkan (1899). Dengan demikian Imperialisme
Inggris telah merata di seluruh anak benua India.
Kehadiran Inggris mendapat reaksi yang beragam dari umat Islam. Ada
tiga kelompok yang berbeda strategi dalam merespon imperialisme Inggris.
Pertama kelompok yang non kooperatif yang dipelopori ulama tradisional
Deoband. Kedua, bekerjasama dengan Inggris diwakili Sayyid Ahmad Khan, dan
Ketiga menjaga jarak dengan Inggris yang dipelopori oleh gerakan Aligarh yang
merupakan pengikut Ahmed Khan. Kelompok Sayyid Ahmad Khan berpendapat
bahwa, loyalitas terhadap pemerintah Inggris merupakan suatu keharusan untuk
mensejahterakan umat Islam. Sikap bermusuhan akan menghilangkan kesempatan
untuk meraih posisi dalam pemerintahan. Usaha Khan yang lain adalah
membentuk lembaga pendidikan untuk mencerdaskan umat Islam. Tahun 1859
mendirikan The Translation Society di Moradabad, untuk menerjemahkan
buku-buku seni dan sains. Untuk meningkatkan moral dan aktifitas dibentuk majalah
Thzib al-Akhlak 1870. Ahmad Khan juga mendirikan perguruan tinggi
Mohammadan-Anglo-Oriental College 1876, yang kemudian berubah menjadi
Universitas Aligarh 1920 dengan menggunakan kurikulum Barat.
Kelompok penantang mengadakan perlawanan melalui gerakan anti
Inggris. Puncaknya adalah meletusnya Revolusi Mutiny tahun 1957. Banyak
perwira dan pejabat Inggris dibunuh. Namun, gerakan ini dapat dipadamkan
karena tidak didukung kekuatan yang memadai. Revolusi ini dipicu oleh sikap
commit to user
Hindu maupu Islam tidak diikutsertakan di parlemen. Di samping itu Inggris juga
mengintervensi dalam soal-soal keagamaan. Dampak dari revolusi ini justru
merugikan Umat Islam yang dianggap sebagai pemicunya. Pemerintah Inggris
mulai merangkul orang Hindu dan mengucilkan orang Islam. Keadaan ini
menjadikan posisi umat Islam lemah karena dari segi kuantitas tergolong
minoritas.
Sejak jatuhnya Mughal dan kekalahan dalam pemberontakan Mutiny tahun
1857, umat Islam India sadar bahwa kedudukannya terancam karena minoritas.
Pencarian masa depan yang cerah bagi Umat Islam merupakan usaha untuk
menemukan kepribadian, ideologi yang mengesahkan suatu tatanan sosial baru
berdasarkan cita-cita dan nilai-nilai Islam. Gerakan Islam memiliki akar sejarah
dalam fundamentalis pra-modern, seperti gerakan Syah Waliyullah dari Delhi, dan
Sayyid Ahmad Syahid dari Bareilly. Pada abad 19 dan 20 dilanjutkan oleh
nasionalis modernis seperti Sir Sayyid Ahmad Khan, Syed Amir Ali dan
Muhammad Iqbal. Dukungan lain bersal dari gerakan kebangkitan agama seperti
Jamaah Tabligh dari Maulana Muhammad Ilyas, Gerakan Sufi Reformasi
Maulana Asyraf Ali Thanavi,
Jamaat-i-Gerakan Khilafat Maulana Muhammad Ali Jauhar, dan gerakan Khaksar dari
Allamah Inayatullah Ali Masyriqi. Gerakan-gerakan inilah yang menjadi
penggerak utama bagi terwujudnya pembaruan di kalangan Umat Islam India.
(Dudung Abdurrahman. 2002: 189-192)
Ahmadiyah sebagai gerakan keagamaan juga merupakan salah satu dari
gerakan pembaruan dalam Islam. Ahmadiyah lahir di India pada akhir abad ke 19
di tengah suasana kemunduran Umat Islam India sebagai protes atas infiltrasi
budaya. Serangan gencar kaum missionaries Kristen yang memperoleh
pengikut-pengikut baru, berdirinya Universitas Aligarh yang membawa paham rasionalis
dan westernisasi merupakan tantangan terhadap eksistensi Islam di India.
Sejarah berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari Mirza Ghulam Ahmad
sebagai pendiri gerakan ini. Sebagaimana pemikir Islam lainnya. Mirza Ghulam
Ahmad berusaha memperbaiki keadaan umat Islam India melalui pola pikir dan
commit to user
Ahmadiyah sebagai gerakan Islam yang berpusat di India, menekankan
aspek-aspek spiritual Islam, yakni gerakan yang bersifat mahdiistik karena adanya
keyakinan terhadap al Mahdi. Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku telah
diangkat Tuhan sebagai al Mahdi dan al Masih merasa mempunyai tanggung
jawab moral untuk memajukan Islam dengan memberikan Interpretasi baru
terhadap ayat-ayat
Al-kepadanya.
Ciri lain dari gerakan Ahmadiyah adalah berorientasi pada pembaruan
pemikiran yang bercorak liberal. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan bahwa
pemikiran-pemikiran keagamaan Ahmadiyah lebih bercorak rasional, terutama
dalam kajiannya mengenai masalah akidah, seperti kajian persoalan kenabian,
wahyu, penjelmaan al-Masih ibn Maryam, dan kemahdian Ahmadiyah. Tokoh ini
berkeyakinan bahwa satu-satunya cara mempersatukan umat beragama dan
menjauhkannya dari sikap permusuhan hanyalah dengan membawa umat
beragama ke dalam Islam sambil menunjukkan bukti-bukti kekeliruannya. Corak
pemikiran Mirza Ghulam Ahmad yang liberal dan khas ini merupakan refleksi
dari sikapnya membela Islam dari serangan pemeluk Hindu, misionaris Kristen
dan peradaban Barat yang semakin merusak masyarakat muslim.
Pada awalnya gerakan ini mendapatkan simpati dan dukungan dari para
ulama dan umat Islam kebanyakan, tetapi semenjak pendirinya yaitu, Mirza
Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagai al Masih, al Mahdi dan seorang
Nabi, rasa simpati dan dukungan itu berubah menjadi tentangan. Pembaruan
Ahmadiyah ini telah menyentuh keyakinan umat Islam yang sangat sensitif, yaitu
masih adanya nabi dan wahyu yang diturunk
sesudah kerasulan Muhammad SAW. Inilah yang menyebabkan timbulnya reaksi
keras dan permusuhan umat Islam terhadap Ahmadiyah. (Iskandar Zulkarnain,
2005: 76-77)
Berdasarkan latar belakang di atas maka dianggap perlu adanya suatu
karya ilmiah untuk mengenang gerakan Ahmadiyah yang dianggap sebagai
commit to user
khususnya dan dunia Islam pada umumnya, dengan sebuah judul GERAKAN
AHMADIYAH DAN KEBANGKITAN ISLAM DI INDIA (1889-1947)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, kami merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah latar belakang kebangkitan Islam di India?
2. Bagaimanakah proses berdiri dan perkembangan Ahmadiyah?
3. Bagaimanakah peran Gerakan Ahmadiyah dalam kebangkitan Islam di
India?
4. Bagaimanakah sikap Muslim terhadap Gerakan Ahmadiyah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui :
1. Latar belakang kebangkitan Islam di India
2. Proses berdiri dan perkembangan Ahmadiyah
3. Peran Gerakan Ahmadiyah dalam kebangkitan Islam di India
4. Sikap Muslim terhadap Gerakan Ahmadiyah
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian harus dapat diketahui kegunaan dari setiap kegiatan
ilmiah, adapun kegunaan penelitian ini adalah dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a. Menambah pengetahuan sejarah, khususnya yang berkaitan dengan
Gerakan Ahmadiyah
b. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis khususnya dan
commit to user
2. Manfaat praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a. Bagi peneliti sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana
kependidikan program pendidikan sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Sebagai bahan referensi bagi pemecahan masalah yang relevan dengan
masalah ini.
c. Sebagai salah satu karya ilmiah yang diharapkan dapat melengkapi
koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan khususnya di lingkungan
commit to user
8 BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Kebangkitan Islam
Kata kebangkitan berasal dari bahasa Inggris mengandung
beberapa pengertian, yang pertama mengandung arti bahwa Islam
menjadi penting kembali, yaitu memperoleh kembali prestise dan kehormatan
dirinya. Yang kedua
berkaitan dengan masa lalu, masa kejayaan Islam yaitu masa hidup Nabi
Muhammad dan para pengikutnya. (Chandra Muzzafar, 1988: 7)
Istilah kebangkitan Islam dipergunakan untuk semua gerakan yang
bertujuan memperbaharui cara berfikir dan cara hidup umat Islam. Ibn Taimiyah
(1263- Muhyi atsaris
yakni membangkitkan kembali ajaran-ajaran lama, ajaran Rasulullah dan
para sahabatnya dengan berpedoman pada Al Quran dan Hadis. (Lothrop
Stoddard, 1966: 297)
Menurut Fazlur Rahman (1985: 22) Semua gerakan kebangkitan Islam
memperlihatkan ciri-ciri umum berikut: i) suatu reaksi terhadap kemerosotan
sosial moral masyarakat muslim, ii) suatu gerakan untuk kembali ke Islam
orisinal menanggalkan tahyul-tahyul yang ditanamkan dalam bentuk-bentuk
sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas
mazhab-mazhab hukum tradisional, dan berusaha melaksanakan ijtihad, iii) suatu anjuran
untuk melaksanakan pembaharuan ini melalui kekuatan bersenjata (jihad) bila
perlu.
Kebangkitan Islam dapat menunjukkan suatu gejala yang pernah terjadi
pada masa yang lalu, hingga kebangkitan agama Islam pada masa kini juga
menunjukkan gejala-gejala atau unsur-unsur dalam kebangkitan Islam di masa
lampau. Kejayaan Islam di masa lampau telah menjadi pijakan atau menjadi tolak
commit to user
pernah dialami oleh Nabi Muhammad bersama para sahabatnya, sehingga
peristiwa itu menjadi sangat berpengaruh terhadap proses berpikir pelaku-pelaku
kebangkitan Islam dewasa ini. Menurut kalender Islam, dunia saat ini telah
memasuki abad ke 15. dalam pandangan-pandangan beberapa sejarawan serta ahli
tasawuf, pada 7 abad pertama merupakan masa pertumbuhan peradaban Islam
secara sempurna, 7 abad berikutnya merupakan masa kemerosotan umat Islam.
Maka pada abad ke 15 ini diharapkan Islam akan mencapai puncak kejayaan lagi.
(Chandra Muzaffar, 1988: 32).
Gejala kebangkitan dewasa ini bukanlah merupakan gejala yang terjadi
secara tiba-tiba, tetapi ada keterkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang
sebelumnya. Gejala kebangkitan Islam sebenarnya sudah dimulai sejak 200 tahun
yang lalu dengan munculnya gerakan Wahabi di daerah Nedjed Arab Saudi.
Gerakan Wahabi dipelopori oleh Muhammad Abdul Wahab. (Lotroph
Stodard,1960: 33-34)
Gerakan Wahabi bertujuan semata-mata untuk memperbaiki
kepincangan-Islam sejati. Tauhid kepincangan-Islam diajarkan dalam serba kesederhanaan tanpa kompromi,
-satunya pedoman bagi segala
laku perbuatan manusia. Wahabisme menolak semua upaya untuk menafsirkan
hukum Allah secara historis dan kontekstual dengan kemungkinan adanya
penafsiran ulang ketika kondisi berubah. Dengan kata lain Wahabisme menolak
Ijtihad. Penyerdehanaan doktrin ini dibarengi dengan pelaksanaan yang keras
sekali sehingga dianggap berpandangan picik dan sangat tidak toleran terhadap
semua kepercayaan yang bertentangan dengan kepercayaannya. (Hanafi, 1995:
150).
Pada dasarnya Aliran Wahabi merupakan kelanjutan dari aliran salaf yang
telah ditetapkan Ibn Taimiyah. Menurut Ibn Taimiyah metode aliran salaf hanya
percaya kepada aqidah-aqidah dan dalil-dalil Nya yang ditujukan oleh nash karena
nash merupakan wahyu Tuhan pada Nabi. Gerakan salaf bertujuan utama
commit to user
khurafat yang disisipkan kepadanya, agar semua mahzab dipersatukan kembali
kepada kelompoknya yang asli yakni kitabullah dan sunah, berpegang teguh
pemakaian ijtihad dan menolak taqlid. Ketetapan hukum Islam dijalankan dengan
ijtihad-ijtihad baru dengan demikian segarlah terus pemikiran Islam sesuai
perkembangan jaman (Hanafi, 1995: 140)
Gerakan Salafi (purifikasi) mendapat inspirasi dari pengaruh gerakan
hadis atau kembali ke kemurnian ajaran Islam. Purifikasi sendiri berarti kembali
kepada semangat islam yang murni dan membebaskan umat Islam dari tahyul,
bidah, churafat, dan syirik. Gerakan purifikasi berarti rasionalisasi yaitu
menghapus budaya-budaya lama untuk diganti budaya baru atau mengganti tradisi
lama dengan etos baru. Purifikasi sendiri menitik beratkan pada pemurnian akidah
Islam. (Faisal Ismail, 2001: 170)
Pembaharuan atau Modernisasi adalah memurnikan Islam dari unsur-unsur
jahiliyah, lalu sesudah itu berusah memelihara kelangsungan ajarannya yang
murni (Abul Ala Maududi, 1984: 42). Pembaruan menginginkan terjadinya
aktualisasi Islam pada berbagai aspek kehidupan sosial kultural. Gerakan
pembaruan islam menolak taqlidisme. Faham kepengikutan terhadap mahzab
tanpa kritis. Kaum modernis membangkitkan semangat berfikir di kalangan umat
agar terlepas dari belenggu kebekuan dan kejumudan berfikir. Modernisasi
gerakan pembaruan pemikiran untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan
yang dihadapi dengan merujuk al quran dan sunnah sebagai landasan yang
sekaligus juga memberi pengarahan kearah pemikiran yang harus dikembangkan.
Praktek sinkretisme, mistisme, dan kolonialisme menjadi latar belakang
kemunculan gerakan pembaruan yang bercorak puritanisme dengan ijtihadiyah.
(Amin Abdullah, 2000: 47)
Munculnya gerakan Wahabi inilah yang merupakan pemicu semangat
umat Islam di seluruh dunia untuk kembali bangkit menegakkan ajaran Islam.
Gerakan Wahabi pada abad 18 sangat berpengaruh terhadap proses kebangkitan
commit to user
ke berbagai negara, hal ini karena pusat gerakan Wahabi di kota Nedjed terletak
pada posisi yang strategis dan sering didatangi manusia dari berbagai negara yang
sedang menjalankan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah. Dari orang-orang yang
sedang menjalankan ibadah Haji tersebut pengaruh gerakan Wahabi dibawa
pulang dan dikembangkan di negaranya masing-masing, maka jadilah
orang-orang yang membawa ajaran Wahabi tersebut sebagai reformer murni. (Lothroph
Stoddard, 1966: 30-31)
Pengaruh Ajaran Wahabi tersebar ke berbagai dunia Islam dengan bentuk
modernisasi yaitu purifikasi dengan mempergunakan Ijtihad. Pengaruhnya
tersebar antara lain di negara India bagian utara yang dibawa oleh Said Ahmad
Said Muhammad Sanusi. Kemudian muncul pula Jamaludin al Afghani seorang
reformer yang ajarannya diteruskan oleh Muhammad Abduh, seorang pembawa
perbaikan di Universitas Al Azhar. Di Asia Tenggara pada awal abad 20 muncul
intelektual Islam seperti Daud Patani, Tok Kenai, Syekh Al Hadi, dan
lain-lainnya. (Chandra Muzaffar, 1988: 9)
Para intelektual ini beranggapan bahwa masyarakat harus ditata atas dasar
Quran dan sunnah. Ini berarti bahwa nilai, prinsip, dan peraturan yang terkandung
dalam Al Quran dan Sunnah harus dipegang dalam lingkup politik, ekonomi,
kebudayaan, pendidikan, hukum, dan administrasi. Hal fundamental bagi
keyakinan ini adalah pengakuan eksplisit bahwa Quran dan Sunnah memberikan
suatu cara hidup yang kesucian dan kemurniannya tidak boleh dinodai oleh
interpretasi-interpretasi baru yang dipengaruhi waktu dan lingkungan. Ide-ide dan
kelembagaan baru dapat diterima sepanjang prinsip utama tersebut tidak diganggu
gugat dengan cara apapun. (Chandra Muzaffar, 1988: 14)
Pemikiran para intelektual ini, menumbuhan kesadaran terhadap umat
Islam untuk kembali ke ajaran Islam dan kesadaran untuk mengamalkan Islam
secara kaffah atau menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, dan menjadikan
agama Islam sebagai satu-satunya pedoman hidup. Dengan kenyataan-kenyataan
yang telah terjadi di berbagai belahan bumi tentang fenomena kebangkitan Islam,
commit to user
akan terjadi dan tak ada satu kekuatan apapun yang akan sanggup membendung
arus kebangkitan Islam yang terjadi di seluruh belahan bumi.
Sejarah mengajarkan, bahwa jika ada kemauan yang sungguh-sungguh
untuk suatu proses perbaikan diri, maka perbaikan itu akan datang juga. Satu hal
yang sudah pasti terjadi, bahwa semangat untuk perbaikan yang secara
sungguh-sungguh dan ikhlas tersebut yang dilakukan dalam berbagai manifestasi, kini
sudah terjadi perubahan yang nyata dalam dunia Islam seluruhnya, dunia Islam
sekarang ini sudah berbeda dengan dunia Islam satu abad lalu ( L Stoddard, 1966:
44-45)
Pada saat ini perlu disadari oleh umat Islam, bahwa kebangkitan Islam
pada hari ini hanya merupakan suatu bagian dari mata rantai kebangkitan Islam.
Untuk mengetahui atau memahami kebagkitan Islam sebenarnya, tidak bisa
dengan cara melihat adanya Islam di hari ini atau bagaimana Islam yang akan
datang. Namun sebaliknya untuk mengetahui kebangkitan Islam yang sebenarnya
adalah dengan melihat bagaimana kebangkitan Islam 15 abad yang lalu sebagai
tolok ukurnya.
Dari berbagai gerakan Islam yang muncul dari abad 19 hingga kini
terdapat berbagai macam corak gerakan. Ada gerakan yang menekankan pada
aspek Islam tertentu atau menekankan kehidupan duniawi dari individu-individu
gerakan puritanis dan fundamentalis Islam. Dalam tataran politis ada gerakan
negara Islam dan ada pula gerakan pembebasan seperti gerakan rakyat
Afghanistan, Aljazair, dan Khasmir. Semua dipandang sebagai gerakan yang
muncul karena dipengaruhi Islam dan merupakan bagian-bagian dari seluruh
gerakan yang berkesinambungan.
Dalam kaitannya dengan gerakan-gerakan Islam di India, gerakan
Ahmadiyah dimasukkan dalam gerakan teologi dan intelektual. Sebagai gerakan
dakwah, gerakan Ahmadiyah menitikberatkan gerakannya pada aspek spiritual
Islam, yang bersifat mahdiistis, yaitu suatu keyakinan bahwa al-Mahdi dipandang
sebagai juru damai yang mempunyi tugas menyatukan seluruh umat Islam seperti
commit to user
gerakan Ahmadiyah juga menempatkan diri sebagi gerakan pembaruan
mengembalikan umat Islam pada pangkal kebenaran Islam, berdasarkan Al
Quran, hadist, dan menyebarkannya menurut ajaran Mirza Ghulam Ahmad
berdasarkan wahyu yang diterimanya. Ahmadiyah berkeyakinan bahwa
satu-satunya jalan untuk mempersatukan umat beragama adalah dengan menjauhkan
sikap bermusuhan diantara mereka dengan jalan membawa mereka ke dalam
Islam.
2. Paham Ahmadiyah
Nama Ahmadiyah berasal dari nama sifat Rasulullah saw, Ahmad (yang
terpuji), yakni yang menggambarkan suatu keindahan/kelembutan, yang diambil
dari surat ash shaf ayat 6 yang berbunyi sebagai berikut :
Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)" Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata" (Q.S ash shaf:6)
Sebagai sebuah ajaran keagamaan, Ahmadiyah tidaklah sama dengan
ajaran keagamaan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari kajiannya mengenai
masalah akidah, seperti masalah kenabian, wahyu, penjelmaan al-Masih ibn
Maryam, kemahdian dan jihad. (Iskandar Zulkarnain, 2005: 76-77)
Terdapat dua kelompok Ahmadiyah yaitu, Ahmadiyah Qadian, dan
Ahmadiyah Lahore. Perbedaan di antara keduanya hanyalah tentang masalah
kenabian dan khilafat. Mengenai masalah kenabian, Ahmadiyah Qadian meyakini
bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang
nabi. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Mirza Tahir Ahmad Khalifatul Masih
IV
commit to user
dengan saudara-saudara yang lain adalah, bahwa Mahdi masih dinanti-nantikan oleh mereka, menurut pandangan kami Mahdi dan Masih itu telah datang. (Mirza Tahir Ahmad Khalifatul Masih IV 1984: 183)
Ahmadiyah Lahore, beranggapan Mirza Ghulam Ahmad bukan sebagai
nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam. Di dalam masalah
khilafat Ahmadiyah Qadian menyakini setelah Khulafaur Rasyidin masih akan
tetap muncul khalifah yakni khalifah (rohani), khalifah yang muncul setelah
meninggalnya Mirza Ghulam Ahmad disebut sebagai Khalifatul Masih. Aliran
Ahmadiyah Lahore berpandangan bahwa setelah Khulafaur Rasidin tidak ada lagi
Khalifah baru, yang ada hanyalah Mujjadid
a. Sejarah singkat berdirinya Ahmadiyah
Gerakan Ahmadiyah lahir akhir abad 19 M ditengah kemunduran kondisi
umat Islam di India pasca Revolusi 1857 dan serangan kelompok Hindu dan
Kristen terhadap Islam. Masa itu muncul sebuah gerakan baru mulai bangkit di
kalangan Hindu yang dikenal dengan nama gerakan Arya Samaj. Gerakan Arya
Samaj memaparkan prinsip-prinsip weda dan menolak ajaran-ajaran baik Islam
Kristen maupun Sikh.
Tahun 1880 Mirza Ghulam Ahmad mulai menulis buku Barahin
Ahmadiyah sebanyak 4 jilid selama 4 tahun. Barahin Ahmadiyah merupakan
respon yang pertama dari kalangan Islam terhadap polemik yang dilontarkan Arya
Samaj. Dalam karyanya ini ia mengemukakan pandangan tentang ajaran Islam
dan melontarkan keberatannya terhadap ajaran-ajaran Arya Samaj, Brahma
Samaj, maupun Kristen. Ketika sedang menyusun buku Barahin Ahmadiyah pada
tahun 1880 Mirza Ghulam Ahmad menginformasikan bahwa dirinya menerima
ilham dari Tuhan yang menugasi ia sebagai mujadid abad keempat belas Hijriah
dan ditunjuk untuk membela perkara-perkara Islam. (Sayid Ali Nadwi, 2005:
31-32)
Tahun 1889 Mirza Ghulam Ahmad membentuk jamaah. Jamaah itu diberi
nama Ahmadiyah. Tahun 1891 Mirza memproklamasikan dirinya adalah al Masih
penyebaran Islam ke wilayah Eropa dan dunia Barat lainnya. Mirza juga mencoba
commit to user
sebagai al Mahdi dan al Masih dirinya adalah manifestasi Krishna. Pada bulan
Desember 1905 Mirza menganjurkan pembentukan anjuman (masyarakat) yang
kemudian dinamakan Sadr Anjuman Ahmadiyah. Anjuman ini diberikan
kekuasaan penuh untuk mengurusi perkara-perkara yang berkaitan dengan
gerakan Ahmadiyah dan akan menjadi penganti Mirza sepeninggalnya. Mirza
Ghulam Ahmad meninggal tanggal 26 Mei 1908. Penggantinya adalah Maulana
Nuruddin. (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 64-67)
Kematian Nurudin membuat Ahmadiyah terpecah menjadi dua aliran.
Aliran pertama adalah Ahmadiyah Qadian di bawah pimpinan Mirza Basirudin
Mahmud Ahmad yang mengangkat diri menjadi Khalifah al Masih II. Aliran
kedua adalah Ahmadiyah Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhamad Ali.
Penyebab timbulnya perpecahan adalah: Pertama. Soal keyakinan bahwa Mirza
adalah Nabi, Qadian meyakini Mirza adalah Nabi sedangkan Lahore percaya
Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid bukan Nabi. Kedua. Soal penafsiran
terhadap nama Ahmad dalam Alquran ash sahf:6 menurut Qadian penafsiran itu
menunjuk kepada Mirza Ghulam Ahmad sedangkan kelompok Lahore meyakini
penafsiran itu menunjuk Nabi Muhammad. Ketiga. status orang muslim yang
tidak meyakini ajaran Mirza termasuk statusnya sebagai Nabi menurut Qadian
orang tersebut kafir dan berada diluar Islam. Sedangkan menurut Lahore orang
yang tidak percaya bukan kafir dan masih Islam. (http//studiislam.
wordpress.com/ 2007/09/ 22/)
b. Beberapa Pokok Ajaran Ahmadiyah
1) Masalah Al- Mahdi
Doktrin al Mahdi dan al Masih di kalangan Qadian maupun Lahore, tidak
ada perbedaan. Menurut Ahmadiyah doktrin tentang al Mahdi tidak dapat
dipisahkan dari masalah kedatangan Isa al Masih di akhir jaman. Hal itu karena al
Mahdi dan al Masih adalah satu tokoh, satu pribadi yang kedatangannya telah
dijanjikan Tuhan. Al Mahdi ditugaskan Tuhan untuk membunuh Dajjal dan
mematahkan kayu salib, yakni mematahkan argumen-argumen agama Nasrani
dengan dalil-dalil atau bukti-bukti yang meyakinkan serta menunjukkan kepada
commit to user
kembali Syariat Nabi Muhammad, sesudah umatnya mengalami kemerosotan
dalam kehidupan beragama. (Iskandar Zulkarnain, 2005: 84)
Dalam pandangan Ahmadiyah, al Masih yang dijanjikan kedatangannya
bukanlah pribadi Nabi Isa a.s. yang diutus kepada Bani Israil, melainkan salah
seorang umat Muhammad yang mempunyai persamaan dengan Isa al Masih.
Dengan demikian tokoh itu pulalah yang disebut al Mahdi. Jadi al Mahdi dan al
Masih itu satu pribadi. Ahmadiyah berpendapat bahwa al Masih yang dijanjikan
akan datang di akhir jaman bukanlah Nabi Isa yang telah meninggal, melainkan
seorang muslim yang mempunyai perangai atau sifat-sifat seperti Nabi Isa.
Pengakuan sebagai al Masih itu diumumkan pada 1891 M. pengakuan tersebut
didasarkan wahyu berbahasa Urdu yang ia terima pada tahun 1890 M. Wahyu
yang diturunan Allah kepada Mirza Ghulam Ahmad tersebut dengan sendirinya
juga menjadi dasar bagi kepercayaan kalangan Ahmadiyah Lahore maupun
Qadian. (Ihsan Ilahi Zhohir, 2005 : 194)
2) Masalah Kenabian
Terkait masalah Kenabian, di kalangan Ahmadiyah terdapat perbedaan
antara Ahmadiyah Qadian dan Lahore. Menurut paham Ahmadiyah Qadian,
hanya nabi yang membawa syariat saja yang telah berakhir karena lembaga
kenabian telah ditutup, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syariat akan
terus berlangsung. Ahmadiyah Qadian menyatakan bahwa Nabi Zhili Ghair at
(hamba tuhan yang mendapat anugrah dari Allah menjadi nabi
semata-mata karena hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga karena mengikuti
syariatnya) hanya muncul dari seorang ummat, yakni seorang pengikut Nabi
Muhammad saw, yang bernama Mirza Ghulam Ahmad..(Ihsan Ilahi Zhohir, 2005
108)
Adapun Ahmadiyah Lahore, memandang bahwa Mirza Ghulam Ahmad
bukanlah nabi, melainkan seorang Mujaddid (pembaharu agama) abad ke 14 H. Ia
mempunyai persaman dengan nabi dalam hal ia menerima wahyu atau berita
samawi. Oleh karena itu, dalam akidah secara jelas mereka menyatakan bahwa
commit to user
termasuk rukun iman maka orang yang mengingkarinya tidak dapat dikatakan
kafir (Dede Nasrudin, 2008: 84)
3). Masalah Wahyu
Wahyu menurut Ahmadiyah Lahore dan Qadian, tidak hanya dapat
diterima oleh para Nabi dan Rasul saja. Para Wali dan Mujadid juga dapat
menerima wahyu yang tidak berbeda dengan apa yang diterima oleh para Nabi
dan Rasul. Lebih dari pada itu, orang awampun dapat menerima wahyu yang tidak
berbeda dengan wahyu para Nabi, bilamana mendapatkan kecintaan dari Allah.
Wahyu menurut Ahmadiyah tetap berlangsung seperti halnya dengan kenabian.
Wahyu adalah manifestasi dari sifat rahman dan rahim Allah. Oleh karena itu
anggapan bahwa kasih sayang Allah yang berupa wahyu itu terbatas untuk zaman
dahulu saja dan tidak akan berlangsung terus, samalah halnya seperti
mempercayai bahwa Allah telah kehilangan hidup dan hanya seperti barang mati.
(Hamka Haq Al Badry, 1981: 57)
4). Masalah Jihad
Dalam doktrin tentang Jihad, tidak ada perbedaan antara Ahmadiyah
Qadian dan Lahore. Jihad menurut Ahmadiyah Qadian dan Lahore adalah hal
berusaha sekeras-kerasnya menolak musuh atau untuk melawan barang sesuatu
yang tercela. Jihad yang terbesar dalam Islam adalah tidaklah dengan pedang.
Melainkan dengan al Quran, yaitu kegiatan menyiarkan agama Islam kepada
sekalian bangsa, bahwa orang-orang Islam harus satu golongan untuk
mengundang orang-orang untuk masuk agama Islam. Perang diizinkan hanyalah
sebagai tindakan membela diri terhadap mereka yang mengangkat senjata
terhadap Islam. (Maulana Muhammad Ali, 1953: 17)
Ahmadiyah melalui Maulana Muhammad Ali membagi Jihad menjadi tiga
macam, yakni jihad akbar, jihad kabir dan jihad ashghar. 1) jihad akbar (jihad
terbesar), yaitu jihad melawan setan dan hawa nafsu yang setiap saat menggoda
dan menyesatkan manusia dari jalan benar. 2) jihad kabir ( jihad besar). Yaitu,
menyebarluaskan ajaran al Quran kepada kaum kafir dan musyrik. 3) jihad
ashghar (jihad kecil), yakni jihad yang paling rendah nilainya dan tingkatannya
commit to user
Dari ketiga macam jihad tersebut, jihad kabir dan jihad akbar yang dilancarkan
gerakan Ahmadiyah untuk membela dan menyiarkan Islam ke seluruh dunia.
Untuk masa kini Ahmadiyah berpandangan bahwa jihad lebih tepat dilakukan
dengan pena atau dengan lisan. (Iskandar Zulkarnain, 2005: 126-128)
5). Masalah Khilafat
Dalam masalah khilafat, Ahmadiyah Qadian dan Lahore terdapat
perbedaan pendapat. Menurut Ahmadiyah Qadian, khilafat itu akan berlangsung
terus menerus sampai waktu yang tak terbatas, karena khilafat itu merupakan
aspek yang sangat asasi dalam agama Islam. Islam tidak akan maju dan
berkembang hanya jika khilafat itu berlangsung secara berkesinambungan.
Menurut Ahmadiyah khalifah-khalifah itu dalam menjalankan tugasnya senantiasa
mendapat bimbingan wahyu dari Allah, sehingga merekapun menerima wahyu
dan ilham dari Tuhan sebagaimana para nabi dan rasul terdahulu. Pada
hakekatnya, khalifah itu menjalankan tugasnya bukanlah atas nama diri sendiri,
tetapi atas nama nabi dan rasul yang diteruskan ajarannya. (Hamka Haq Al Badry,
181: 97-100)
Ahmadiyah Lahore berpendapat, setelah Mirza Ghulam Ahmad maka
tidak akan ada lagi khalifah di kalangan Ahmadiyah. Dasar yang Ahmadiyah
Lahore gunakan adalah al Quran surat an-Nur (24) : 55 dan wasiat Mirza Ghulam
Ahmad sendiri. Dalam wasiatnya, Mirza Ghulam Ahmad sama sekali tidak
menyebutkan tentang khilafat sepeninggal dirinya, yang ada adalah para Mujjadid
yang muncul setiap satu abad termasuk setelah Mirza Ghulam Ahmad. Pandangan
Ahmadiyah Lahore mengenai tidak adanya Khalifah setelah Khulafaur Rasyidin
tersebut merupakan salah satu penyebab yang menimbulkan perpecahan di
kalangan Ahmadiyah (Iskandar Zulkarnaen, 2005 : 123)
Pemahaman Ahmadiyah dan konsep pembaruannya yang tidak sama
dengan pemahaman umum kaum muslim menimbulkan perdebatan dan
mendapatkan tentangan dari mayoritas umat Islam terutama dari kalangan ulama
dan juga gerakan kebangkitan Islam yang lain. Tentangan itu muncul karena
Ahmadiyah dianggap menyebarkan doktrin teologi yang berlawanan dengan
commit to user
adanya nabi setelah Muhammad. Padahal masalah kenabian merupakan hal
prinsip dalam ajaran Islam. Disamping masalah kenabian terma-terma keagamaan
lain, seperti pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan menerima
wahyu, sebagai Imam Mahdi, dan penjelmaan dari Al Masih ibn Maryam, juga
mengundang reaksi yang keras dari ummat Islam. Pandangan Ahmadiyah
mengenai Jihad juga menimbulkan kontroversi lain. Ahmadiyah tetap setia dan
loyal kepada pemerintah, meskipun pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah
kolonial (penjajah), asal pemerintah tersebut tidak menganggu dakwahnya.
Dengan kata lain pembaruan Ahmadiyah bertentangan arus dengan sebagian besar
umat Islam.
3. Politik Islam
a. Pengertian Politik Islam
Islam adalah agama yang sempurna sangat lengkap, sebagai suatu sistem
kehidupan yang tidak saja meliputi tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga
sistem politik termasuk bentuk dan ciri-cirinya, sistem masyarakat, ekonomi dan
sebagainya. Oleh karena itu dalam bernegara umat Islam sebaiknya kembali
kepada sistem kenegaraan Islam. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang
harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi dan Khulafaur
Rasyidin. (Sayuti Pulungan, 2002: 1)
Azyumardi Azra (1996: 2) menyatakan, Islam adalah sebuah sistem
kepercayaan dimana agama mempunyai hubungan erat dengan politik, dengan
demikian dalam realitasnya komunitas Islam bersifat spiritual dan temporal. Pada
dasarnya dalam Islam tidak terdapat pemisahan antara agama dan politik,
Menurut Bernard Lewis (1994: 3). Pertumbuhan bahasa politik Islam
berkaitan erat dengan pertumbuhan Islam sendiri, bahwa Islam adalah din wa
siyasah (agama dan politik) dalam Islam tidak terdapat pemisahan antara agama
dan politik. Bahasa politik integral dalam bahasa agama
Menurut Hamka (1982: 30I) Islam tidaklah mengenal sama sekali apa
commit to user
Menurut Ahmad Djazuli (2003:123) ajaran Islam bukan semata-mata
agama belaka, tetapi juga mengatur masalah-masalah negara.
Menurut Hrair Dekmejian yang dikutip oleh Imdadun Rahmat (2005: 14)
Islam merupakan sistem kehidupan yang total, yang secara universal dapat
diterapkan pada semua keadaan, tempat, dan waktu. Pemisahan antara agama
(din) dan negara (dawlah) tidak dikenal dalam Islam. Hukum dalam
sya dan negara
menegakkannya.
Dari penelusuran melalui (http://media.isnet.org/islam/etc/teoripolitik/
html) Beberapa orientalis berpendapat sebagai berikut :
1) Menurut V. Fitzgerald. Islam bukanlah semata agama (a relegion), namun
ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun
pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam yang
mengklaim diri mereka sebagai kalangan modernis, yang berusaha
memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam
dibangun diatas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan
dengan selaras, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
2) C.A. Nallina, mengatakan Muhammad telah membangun dalam waktu
bersamaan agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas
teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya.
3) Menurut Schacht, Islam lebih dari sekedar agama, ia juga mencerminkan
teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih
sederhana ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup
agama dan negara secara bersamaan.
4) Menurut R. Strothmann, Islam adalah suatu fenomena agama dan politik.
Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus
yang bijaksana atau negarawan.
5) D.B Mcdonald, mengatakan di sini (Madinah) dibangun negara Islam yang
pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam.
6) Sir. T. Arnold Menyatakan, adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang
commit to user
7) Menurut Gibb, Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama individual,
namun Islam meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang
independen. Islam mempunyai metode terendiri dalam sistem
kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi.
Al Ghazali yang dikutip Sayuti Pulungan (2002: 238) merumuskan teori
hubungan antara agama dan politik yang sangat dekat dan saling bergantung.
Agama adalah dasar dan sultan (kekuasaan politik) adalah penjaganya. Sesuatu
yang tanpa dasar akan runtuh dan suatu tanpa penjaga akan hilang. Pengangkatan
Imam atau penguasa, wajib menurut hukum agama dan tidak ada alasan untuk
meninggalkannya. Dengan demikian ikatan antara agama dan dunia atau antara
agama dan politik secara integral akan menciptakan wibawa kedaulatan negara di
tangan kepala negara yang ditaati, dan memiliki wibawa untuk melindungi
kemaslahatan rakyat.
Menurut pandangan kelompok Ikhwanul Muslimin, Islam adalah agama
dan negara (din wa dawlah) sekaligus. Islam memiliki konsep sosial politik
tersendiri yang harus ditegakkan oleh umat Islam. Selain wilayah
kemasyarakatan, negara juga harus diislamkan. Untuk itu, segala pemikiran
ideologi nilai-nilai dan tindakan kolektif harus bersumber dari Islam. Dengan
sistem kenegaraan. Ia harus menempatkan Islam sebagai sumber satu-satunya.
Syariat Islam harus mengatur perilaku politik, sistem dan aturan
perundang-undangan. Dengan demikian syiar Islam akan menjadi luas dan negara akan
menjadi kuat serta mampu menjamin kehidupan ideal bagi warga negara
(Imdadun Rahmat 2005: 37)
Abul Ala Maududi (1960: 21) mengatakan dasar dari sistem politik Islam
adalah keyakinan atas keesaan dan kekuasaan Allah. Tidak seorangpun berhak
membuat hukum-hukum menurut kekuasaannya sendiri dan tidak seorangpun
diwajibkan kepada hukum-hukum tersebut. Kekuasaan kekuasaan ini hanyalah
kepunyaan Allah
Dari berbagai pendapat tentang pengertian politik Islam di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa Islam sebagai agama yang sempurna mengatur seluruh
commit to user
politik dan kenegaraan. Islam bukan semata agama tetapi juga sistem politik.
Islam adalah Agama dan politik, keduanya saling berkait dan tidak dapat
dipisahkan, dan dasar dari politik Islam adalah keyakinan atas kedaulatan Tuhan
dimana negara Islam dalam menjalankan pemerintahan berdasarkan
undang-undang Tuhan.
b. Negara Islam
Hakikat sebuah negara dan dasar-dasarnya menurut ajaran Islam. Negara
dapat dikatakan wadah penyaluran aspirasi harapan dan cita-cita anggota yang
tin
secara eksplisit yang memerintahkan atau mewajibkan umat Islam untuk
mendirikan sebuah negara. Negara dalam bahasa Arab dikenal dengan daulah.
Pada hakikatnya istilah daulah tidak t
-unsur dasar dalam
hanya menerangkan unsur-unsur dasar atau prinsip-prinsip umum pemerintahan
Islam secara global. Ayat-ayat yang berhubungan dengan tata cara pemerintahan
tidak banyak. Ayat ayat ini dijabarkan oleh Nabi dalam sunahnya, baik bentuk
perkataan, perbuatan maupun ketetapan. ( Muhammad Iqbal, 2001: 156)
1). Pandangan Islam mengenai negara
Negara atau daulah dalam ajaran Islam, merupakan suatu keniscayaan
dalam kehidupan bermasyarakat. Karena negaralah yang mengatur segala
sendi-sendi kehidupan manusia. Dan aturan-aturan itu berbentuk undang-undang yang
mengikat, mengatur dan memaksa. Mendirikan negara dan memilih kepala negara
dalam prespektif ajaran agama Islam merupakan kebutuhan suatu komunitas yang
tidak dapat dipungkiri karena manusia hidup bersama dalam satu tempat dan
saling berinteraksi, maka diperlukan suatu lembaga khusus mengatur
permasalahan-permasalahan yang terjadi ditengah-tengah mereka yang disebut
negara. (Annajah, No.01/IV/September/ 2008 hal.47)
Secara umum terdapat dua arus pemikiran utama mengenai hukum
menegakkan negara. Golongan pertama mengatakan bahwa negara wajib di
commit to user
negara didasarkan pada nash. Sebagian yang lain mengatakan bahwa pewajiban
itu didasarkan pada akal. Sebagian yang lainnya lagi mengatakan bahwa
pewajiban itu didasarkan oleh nash sekaligus akal. Golongan kedua mengatakan
bahwa negara boleh ditegakkan, namun tidak harus. Yang harus adalah tegaknya
hukum-hukum Allah dan tercapainya ketertiban dalam kehidupan manusia.
Golongan ini berfikir bahwa apabila semua manusia memiliki kebijaksanaan
maka secara otomatis tatanan masyarakat akan tertib dan hukum-hukum Allah
akan tegak. (http//menaraislam.com/content/view/75/40)
a). Pendapat pertama. Menegakkan negara Islam adalah wajib. Pendapat ini
didukung oleh kelompok Sunni dan Syiah.
(1) Pandangan Sunni.
Pandangan ulama Sunni sepakat bahwa yang menggantikan Nabi tidak
ditentukan oleh teks agama tetapi diserahkan kepada ijtihad dan penalaran
ummat Islam sendiri.
Menurut pandangan Al Mawardi seperti dikutip Muhammad Iqbal
(2001: 204) pendi
kifayah. Menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib,
sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah negara.
Maka hukum mendirikan negara juga wajib (fardhu kifayah)
Menurut pendapat Abdul Qadir Al Baghdadi yang dikutip oleh Ulil
Abshar Abdalla (2007: 134) bahwa: (a). Sesungguhnya Imamah adalah
keharusan bagi umat Islam, yaitu untuk memilih seorang Imam
(penguasa), (b). Cara memilih seorang Imam dalam umat Islam adalah
melalui pemilihan dengan cara ijtihad, bukan melalui penunjukan dari
Nabi maupun teks agama. (c). Tidak ada suatu nash atau dalil pun dari
Nabi yang mengharuskan seorang tertentu diangkat sebagai Imam atau
penguasa.
Pendapat yang disampaikan oleh Al -Baghdadi ini wemakili sebagian
besar pendapat di kalangan Sunni. Pendapat ini menujukkan bahwa
memilih seorang Imam adalah wajib, masalah pemilihan penguasa
commit to user
melalui nash karena urusan politik sangat dibentuk dan dipengaruhi oleh
perubahan jaman, sehingga Islam tidak perlu menetapkan sistem yang
pasti, rigid, dan berlaku sepanjang jaman.
(2). Pandangan Syiah.
Kaum Syiah tetap memelihara konsep dasar yang fundamental tentang
doktrin Imamah sebagai kepemimpinan yang berdimensi spiritual dan
politis. Pandangan Syiah mengenai kepemimpinan, bahwa kepemimpinan
ditetapkan dengan nash dari Allah dan Dari Rasul. Imamah adalah hal
yang fundamental dalam ajaran Islam (ushuludin), dan keyakinan
seseorang tidaklah menjadi sempurna tanpa meyakini Imamah itu. Imamah
bukan urusan yang bersifat umum yang diserahkan kepada umat, dan
menentukan orang untuk memegang jabatan itu menurut kehendak umat,
dan yang berhak memegang otoritas spiritual dan politis setelah Nabi
wafat adalah Ahl al Bait (keluarga Nabi) yaitu Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya. Kepemimpinan dan kekuasaan di bidang spiritual dan
politik, dan sifat kekudusan yang ada pada Nabi telah diwariskan kepada
Ali dan berlanjut kepada Imam-imam penerusnya. Perbedaanya terletak
pada Nabi menerima wahyu, sedang imam tidak. Imamah termasuk rukun
agama dan kaidah Islam orang yang tidak meyakini imamah maka ia kafir.
Doktrin ini dipegang oleh Syiah Imamiyah atau Syiah dua belas.
(Annajah, No.10/V/Juli/2009 hal.17-19)
Imam mempunyai kekuasaan dan peranan penting dalam penetapan
hukum dan undang-undang. Imam mempunyai kekuasaan paripurna dalam
penentuan undang-undang, dan setiap perkatanya termasuk bagian dari
syariat. Karena itu kaum syiah menetapkan bahwa seorang imam: 1) harus
(terpelihara) dari berbagai perbuatan salah, lupa dan maksiat.
Seorang imam wajib ishmah (terpelihara dari dosa, baik lahir maupun
batin, baik sebelum menjadi Imam maupun sesudah memangku jabatan
Imamah 2) seorang Imam boleh membuat hal yang luar biasa dari adat
kebiasaan yang mereka sebut mukjizat untuk mengukuhkan
commit to user
seorang Imam harus mempunyai ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang
berhubungan dengan syariat. Pengetahuan yang luas itu bukan melalui
proses belajar dan ijtihad, tapi merupakan ilmu ladunni, yaitu
kemakrifatan yang dilimpahkah Allah kepada para Imam 4) Imam adalah
pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestariannya agar
terhindar dari penyelewengan. (Sayuthi Pulungan, 2002: 206-207)
b). Pendapat kedua. Negara Islam boleh ditegakkan tetapi tidak harus.
Pandangan ini diwakili oleh kelompok Khawarij, dan Muktazilah.
(1) Pandangan Khawarij
Pembentukan lembaga khalifah atau pemerintahan, menurut Khawarij,
bukanlah merupakan suatu keharusan atau wajib. Hal ini tergantung
kepada kehendak umat apakah suatu pemerintahan perlu dibentuk atau
tidak. Jelasnya Khawarij berpendapat bahwa membentuk pemerintahan
dan mengangkat seorang Imam bukan wajib melainkan keadaanlah
yang mengharuskannya ada. Mengenai kualifikasi bagi seseorang untuk
menduduki jabatan khalifah disamping tidak disyaratkan harus berasal dari
suku tetentu. Menurut Khawarij sang calon harus punya kekuatan ilmu,
berlaku adil, punya keutamaan dan wara . (Sayuthi Pulungan, 2002: 200)
(2) Pandangan Muktazilah
Pemikiran politik muktazilah berpendapat pembentukan lembaga
dasar pertimbangan rasio dan tuntutan muamalah manusia. Urusan
Imamah diserahkan kepada umat, mereka berhak memilih seseorang untuk
melaksanakan hukum-hukum Tuhan dan bukan hak istiwewa keluarga
maupun suku tertentu. Asalkan ia beragama Islam, mukmin , dan bersifat
adil (Sayuthi Pulungan, 2002: 210)
2). Negara Islam (Khilafah)
Kata khilafat diturunkan dari kata khalafa yang berarti seseorang yang
menggantikan orang lain sebagai penggantinya. Istilah khilafat adalah sebutan
untuk masa pemerintahan khalifah. kata khilafat analog dengan kata imamat dan
commit to user
menegakkan agama dan urusan dunia. Ketiga istilah tersebut merupakan sebutan
bagi institusi politik untuk menggantikan urusan kenabian dalam urusan agama
dan urusan politik. Seseorang yang melaksanakan fungsi kekhalifahan,
keimamahan dan keamiran dalam sejarah islam disebut khalifah, imam, dan amir.
(Sayuti Pulungan, 2002: 45-48)
Menurut pandangan Ibnu Khaldun dalam Annajah
(No.10/V/Juli/2009.hal.24) khilafah adalah tanggung jawab umum yang di
kehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan
akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya, karena kemaslahatan akhirat adalah
tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman pada
syariat. Hakikatnya sebagai pengganti fungsi pembuat syariat (Rasulullah) dalam
memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan.
Menurut Abul Ala Maududi (1960: 45), Negara Islam adalah negara yang
dibentuk atas dasar quran dan sunnah negara yang mencakup semua kehidupan
dan termasuk di dalamnya seluruh soal hidup dimana rakyat dijamin keadilan
sosialnya sesuai dengan keuniversilan hukum Tuhan (divine law)
Menurut Munawar Khalil (1984: 28) Khilafah adalah pimpinan umum
mengenai urusan agama dan dunia sebagai pengganti Nabi dalam memelihara
sesuatu yang termasuk urusan keagamaan yang wajib ditaati umat. Umat Islam
dari masa ke masa wajib hukumnya mendirikan khilafah dan mengangkat khalifah
yang bertanggung jawab atas terpeliharannya hukum-hukum Allah dan menjamin
terlaksananya undang-undang dan hukum-hukum Allah diantara umat islam
Menurut Musfolah Maufur (1990: 58) Khilafah adalah kewajiban terbesar
bagi ummat untuk mewujudkannya dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat
dan individu. khilafah disebut sebagai imamah al kubro. Hukumnya wajib dengan
adanya makmum dikalangan ummat, yaitu sebagai panutan makmum dan kaum
muslim di dalam urusan dunia dan akhirat. Khilafah merupakan suatu sarana
bersatunya muslim untuk mewujudkan idealisme Islam dalam memelihara agama
dan kemaslahatan ummat.
Menurut ibn Taimiyah yang dikutip oleh Mujar Ibnu Syarif (1995: 47)
commit to user
ategaknya negara instrumen yang dimaksud antara lain keadilan, persaudaraan,
penciptaan perdamaian dan lain-lain. Ahmad Djazuli (2003: 393) merincikan
lebih jelas instrumen-instrumen yang harus dipedomani dalam mengelola negara
diantaranya adalah :
(1)Prinsip kehidupan manusia di bumi. Dalam prinsip ini Allah menegaskan
bahwa manusia diciptakan adalah sebagai khalifah yang akan
memakmurkan bumi ini. Karenanya manusia bertanggung jawab untuk
mengelola dan memelihara dari kehancuran.
(2)Prinsip kekuasaan sebagai amanah. Allah memerintahkan manusia
melaksanakan amanah yang diembankan kepadanya. Dalam islam amanah
merupakan sesuatu yang harus dipelihara karena kelak akan dipertanggung
jawabkan kepada Allah. Kekuasaan merupakan salah satu amanah yang
harus dijalankan dengan baik, sesuai dengan perintah-perintahNya. Islam
tidak mentolerir segala bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan
kekuasaan.
(3)Prinsip penegakan keadilan. Keadilan merupakan suatu hal yang harus
senantiasa diperjuangkan dan ditegakkan dalam masyarakat.
(4)Prinsip musyawarah. Musyawarah memegang peranan penting dalam
pengambilan keputusan umat beriman
(5)Prinsip persaudaraan dan persatuan. Dalam hal ini Islam mengajarkan agar
umatnya selalu saling menasehati dan melakukan kontrol atas kekuasaan
agar kebaikan selalu terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat.
b) Terdapat beberapa sabda nabi yang mengisyaratkan perlunya
kepemimpinan atau pemerintahan. Diantara sabda Nabi yang dimaksud adalah
maka mereka diminta menunjuk salah
c) Beberapa kewajiban agama, seperti mengumpulkan dan mendistribusikan
zakat, jihad, dan lain-lain, tidak akan dapat terlaksanakan dengan baik tanpa
commit to user
d) Mendirikan negara itu menurut Ibn Taimiyah menjadi penting karena tidak
ada seseorang yang mampu meraih kesejahteraan sempurna baik di dunia maupun
di akhirat, kecuali jika dia tergabung dalam sebuah perkumpulan, mewujudkan
kerjasama dan saling tolong-menolong. Kerjasama dan tolong menolong itu
dimaksudkan untuk menggapai manfaat sekaligus mencegah segala mudharat.
e) Menolak bencana yang disebabkan interaksi antara sesama manusia yang
diprediksikan akan menimbulkan pertikaian dan peperangan, dan pada akhirnya
nanti akan menimbulkan kehancuran umat manusia. Untuk itu diperlukan
intervensi negara dan pemimpin yang ditaati sehingga hal-hal yang bersifat
destruktif dapat ditangani dengan baik
a) Fungsi Negara Islam
(1)Masalah kedaulatan. kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah. Allah
sebagai pemegang kedaulatan mutlak dan pemegang otoritas tertinggi
dalam negara.
(2)Pemerintahan berundang undang al quran dan sunnah rasul ditambah hasil
ijtihad khalifah dan keputusan majelis syura jika dalam penyelesaan
masalah yang timbul tidak ada penjelasannya dalam nash syariat.
(3)Kekhalifahan melaksanakan prinsip musyawarah, prinsip musyawarah
bagi semua lapisan masyarakat. (Muhammad Hamidullah,1959: 150)
b) Unsur dan Sendi Negara
Untuk mendirikan negara diperlukan bebrapa unsur dan sendi negara.
(1) Harus ada wilayah. (2) Harus ada Pemerintah sebagai pengelola negara
yang akan menyelenggarakan segala urusan negara dan rakyat. (3) Harus ada
rakyat. (4) keadilan. Keadilan mencakup melaksanakan kewajiban-kewajiban
yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul. (5) Adalah pengelola negara. Raja tidak
mungkin mampu sendirian mengelola urusan kerajaan, karena itu membutuhkan
orang-orang yang membantunya dalam pengelolaan urusan negara dan rakyat.
Unsur-unsur dalam menjamin kerjasama dan ikatan antar warga negara.
(1) Berdasarkan agama yang menjadi tiang penyangga bagi kemaslahatan dan
keutuhan negara. (2) Harus mempunyai pemimpin yang perkasa. Ia berperan
commit to user
tercapai. (3)Keadilan yang menyeluruh. Terwujudnya keadilan akan menciptakan
persatuan, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negeri, yang akhirnya
mengamankan kedudukan penguasa. (4) Keamanan negara, keamanan akan
mewujudkan ketentraman batin rakyat dan cita-cita mereka dalam memperoleh
kemaslahatan hidup. (5) wilayah yang subur. (6) Harapan yang optimis. (Sayuthi
Pulungan, 2002: 226-227)
c) Tugas dan Tujuan Negara Islam
Lembaga Imamah mempunyai tugas dan tujuan umum. (1)
Mempertahankan dan memelihara agama menurut prinsip yang ditetapkan dan
apa yang menjadi ijmak oleh generasi salaf. (2). Melaksanakan kepastian hukum
dan berlakunya keadilan yang universal. (Abul Ala Maududi,1960: 35) (3)
Melindungi wilayah Islam dan memelihara kehormatan rakyat agar meraka bebas
dan aman baik jiwa maupun harta. (4) Memelihara hak-hak rakyat dan
hukum-hukum Tuhan. (5) membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh. (6) Jihad
terhadap orang-orang yang menentang eksistensi Islam. (7) Memungut pajak dan
sedekah menurut yang diwajibkan syara, nas, dan ijtihad. (8). Mengatur
penggunaan harta baitulmal secara efektif. (9) Meminta nasehat dan pendangan
dari orang-orang terpercaya. (10)Dalam mengatur ummat dan memelihara agama,
pemerintah dan kepala negara harus langsung menanganinya sendiri dan meneliti
keadaan yang sebenarnya. (Sayuthi Pulungan, 2002: 260)
3). Struktur Negara Islam
Taqiyudin an Nabhari (1996: 57) membagi struktur pemerintahan Islam
menjadi delapan jabatan yaitu a). khalifah, b). Muawin Tawfidh, c). Muawin
Tanfidz, d). Amirul Jihad, e). Wali, f). Qadhi, g). Masalih daulah, h). Majlis
Umat.
a) Khalifah (Kepala Negara)
Menurut istilah dan dalam kenyataan sejarah, Khalifah adalah pemimpin
yang menggantikan nabi dalam tanggung jawab umum terhadap pengikut
agama ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-undang-Nya yang
mempersamakan semua orang didepan kebenaran, dan sebagai khalifah rasul