• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 A Hasil

TINJAUAN PUSTAKA

B. Dekomposisi Serasah 1 Pengertian dekomposis

3. Proses Dekomposisi Serasah

Dekomposisi terbentuk melalui suatu proses fisika dan kimia yang mereduksi secara kimia bahan organik yang telah mati pada vegetasi dan binatang. Dekomposisi bahan organik hutan mempunyai dua tahap proses. Yang pertama, ukuran partikel dari bagian bunga ke batang dari pohon yang besar, dipecah ke dalam spesies yang lebih kecil yang dapat direduksi secara kimia. Yang kedua, biasanya sampai aktivitas organisme spesies kecil ini dari bahan organik direduksi dan demineralisasi untuk melepaskan unsur dasar dari protein, karbohidrat, lipid, dan mineral yang dapat dikonsumsi, diserap oleh organisme atau dihanyutkan dari sistem (Adeson and Swift,1983 dalam Hilwan, 1993).

Proses dekomposisi (D) sangat ditentukan oleh tiga variabel yaitu : (1) organisme pengurai (O, terdiri dari hewan dan mikroorganisme), (2) kualitas

12

serasah (Q, karakter bahan organik yang menentukan kemampuan untuk pelapukan), dan (3) lingkungan fisik-kimia (P, terdiri dari ikim makro dan tanah). Jadi laju proses dekomposisi merupakan fungsi dari organisme pengurai, kualitas serasah, lingkungan fisik-kimia. Fungsi tersebut dapat dituliskan, D = f (O, Q, P). di sebagian besar tanah peranan makrofauna sebagai organisme pengurai atau perombak sangat penting. Hewan-hewan ini memecah serasah menjadi partikel- partikel yang sangat kecil, sehingga memperbesar luas permukaan dan mempermudah bakteri dan jamur untuk menguraikannya (Anderson dan Swift, 1985 dalam Hilwan, 1993).

Faktor dominan yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme dalam perombakan dan penguraian serasah adalah jenis tanaman dan iklim efek terhadap jenis tanaman terhadap mikroflora ditentukan oleh sifat fisik dan kimia daun yang tercermin dalam C/N ratio (Thaiutsa et al., 1979 dalam Hilwan, 1993).

Sifat fisik dan kimia daun serta kualitas serasah yang beragam, mengakibatkan adanya variasi kemampuan serasah untuk didekomposisi (decomposibility), yang sangat dipengaruhi oleh faktor interistik atau sifat-sifat fisik dan kimia daun, seperti tingkat kerusakan daun, kandungan lignin, unsur hara, senyawa-senyawa sekunder serta ukuran masa dan partikel (Anderson and Swift,1983 dalam Hilwan, 1993).

Dekomposisi terjadi akibat dari kegiatan jasad renik memperoleh energi untuk keperluan hidupnya. Proses ini disebut oksidasi enzimatik karena jasad renik menghasilkan berbagai enzim yang diperlukan untuk kelangsungan proses kimia yang spesifik (Soepardi,1983 dalam Hilwan,1993).

Dari keterangan ini jelaslah bahwa yang berperan sangat besar dalam dekomposisi serasah adalah mikroorganisme tanah atau jasad renik, seperti bakteri, aktinomisetes, cendawan tanah, ganggang dan protozoa. Dengan demikian curah hujan sebenarnya berperan dalam penciptaan lingkungan yang mendukung kehidupan mikroorganisme tanah.

Proses dekomposisi bahan organik merupakan reaksi enzimatik yang menghasilkan tiga macam keluaran, yaitu : (1) energi yang dibebaskan oleh jasad mikro, (2) hasil akhir yang sederhana, dan (3) humus (Soepardi, 1983 dalam

13

Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran atau fragmentasi atau pemecahan struktur fisik yang mungkin dilakukan oleh hewan pemakan bangkai (scavenger) terhadap hewan-hewan mati atau oleh hewan-hewan herbivora terhadap tumbuhan dan menyisakannya sebagai bahan organik mati yang selanjutnya menjadi serasah, debris atau detritus dengan ukuran yang lebih kecil.

Proses fisika dilanjutkan dengan proses biologi dengan bekerjanya bakteri yang melakukan penghancuran secara enzimatik terhadap partikel-partikel organik hasil proses fragmentasi. Proses dekomposisi oleh bakteri dimulai dengan kolonisasi bahan organik mati oleh bakteri yang mampu mengautolisis jaringan mati melalui mekanisme enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan dan hewan yang telah mati. Beberapa dari senyawa sederhana yang dihasilkan digunakan oleh dekomposer (Sunarto, 2004 dalam

Dita, 2007).

Serasah yang kaya nutrisi cenderung lebih cepat terdekomposisi dari pada serasah yang miskin nutrisi pada lantai hutan yang sama. Nisbah C/N sering digunakan sebagai petunjuk laju dekomposisi yang baik. Percobaan perombakan N dan P dapat meningkatkan laju dekomposisi serasah. Residu tanaman yang mempunyai kandungan bahan organik maupun nutrisi tanaman yang mempunyai dinding sel yang tinggi umumnya memiliki konsentrasi nutrisi yang rendah. Pengetahuan mengenai kandungan bahan organik maupun nutrisi tanaman baik untuk menduga laju dekomposisi (Waring and Schlesingan, 1985 dalam Dita, 2007).

Proses dekomposisi bahan organik secara alami akan berhenti bila faktor- faktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan dalam proses dekomposisi itu sendiri. Perlu diingat pula bahwa faktor lingkungan yang mendukung proses dekomposisi dalam kondisi yang terbatas dan bukan hanya dimanfaatkan oleh bakteri tetapi juga oleh organisme lainnya. Persaingan atas carrying capacity baik berupa oksigen maupun bahan organik, menjadi faktor kendali dalam kondisi dekomposisi. Ketersediaan bahan organik yang melimpah mungkin tidak berarti banyak dalam mendukung dekomposisi bila faktor lain seperti oksigen tersedia

14

dalam kondisi terbatas. Kedua faktor ini merupakan faktor kritis bagi dekomposisi aerobik (Sunarto, 2004 dalam Dita, 2007).

C. Jenis Tanaman

1. Jarak pagar (Jatropha curcas Linn)

Menurut Hambali (2006) tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphobiales Family : Euporbiaceae Genus : Jatropha

Species : Jatropha curcas Linn

Menurut Hambali (2006) tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) berasal dari Amerika Tengah dan didistribusikan oleh pelaut portugis melalui Pulau Cape Verde ke berbagai negara di Afrika dan di Asia. Jarak pagar telah lama dikenal masyarakat di berbagai daerah Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942-an, yang mana masyarakat diperintahkan untuk melakukan penanaman Jarak pagar sebagai pagar pekarangan.

Pohon Jarak pagar berupa perdu dengan tinggi tanaman 1-7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris, bila terluka mengeluarkan getah. Daun tanaman Jarak pagar adalah daun tunggal berlekuk, bersudut 3 atau 5, yang tersebar di sepanjang batangnya. Permukaan bagian atas dan bawah daun berwarna hijau dimana bagian bawah lebih pucat dibandingkan dengan permukaan atas. Daunnya lebar, berbentuk jantung atau bulat telur melebar dengan panjang 5-15 cm, helai daunnya bertoreh, berlekuk dan ujungnya meruncing. Tulang daunnya menjari dengan jumlah 5-7 tulang daun utama. Daunnya dihubungkan dengan tangkai daun sepanjang 4-15 cm ke batang.

Panjang tangkai daun antara 4-15 cm. Bunga berwarna kuning kehijauan, berupa bunga majemuk berbentuk malai, berumah satu. Bunga jantan dan bunga

15

betina tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan, muncul di ujung batang atau ketiak daun. Buah berupa buah kotak berbentuk bulat, diameter 2-4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning jika masak. Buah jarak terbagi menjadi 3 ruang yang masing-masing ruang diisi 3 biji. Bji berbentuk bulat lonjong, warna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan rendemen sekitar 30-50%.

Jarak pagar tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 500 mdpl. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman Jarak pagar adalah 625 mm/tahun. Tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan antara 300-2380 mm/tahun kisaran suhu yang sesuai untuk bertanam jarak adalah 20-26o C. Pada daerah dengan suhu terlalu tinggi (di atas 35o C) atau terlalu rendah (di bawah 15o C) akan menghambat pertumbuhannya dan mengurangi kadar minyak dalam biji jarak serta mungkin pula dapat mengubah komposisi asam lemaknya.

Tanaman Jarak pagar merupakan tanaman tahunan yang tahan kekeringan. Tanaman ini juga mampu tumbuh dengan cepat dan kuat di lahan yang beriklim panas, tandus dan berbatu. Wilayah yang cocok sebagai tempat tumbuhnya yaitu di dataran rendah hingga ketinggian 300 mdpl. Namun sebaran tumbuhan dapat mencapai ketinggian 1000 mdpl, dengan temperatur tahunan sekitar 18-28.5o C.

Tanaman Jarak pagar mempunyai sistem perakaran yang mampu menahan air dan tanah, sehingga merupakan tanaman yang tahan terhadap kekeringan dan ragam tekstur dan jenis tanah, baik pada tanah berbatu, tanah berpasir maupun tanah berlempung atau tanah liat. Disamping itu, Jarak pagar juga dapat beradaptasi pada tanah-tanah yang kurang subur atau tanah beragam, memiliki drainase baik, tidak tergenang, dan pH tanah 5.0-6.5.

2. Mahoni (Swietenia macrophylla King)

Swietenia macrophylla King di Indonesia biasa dikenal dengan nama Mahoni. Mahoni di negara lain dikenal dengan nama henduras, tobasco,

Nicaragua (Venezuela), aquano (Peru), cruca (Bolivia), American mahagony,

baywood (Inggris), amerikaans mahonie (Belanda), mahagony (Amerika serikat) (Thahjono, 1972) dalam Nugraha (2008).

16

Menurut Thahjono, 1972 dalam Nugraha (2008), dalam sistem klasifikasi Mahoni mempunyai penggolongan sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub Kelas : Dicotyledonae Ordo : Sapindales Family : Meliaceae Genus : Swietenia

Species : Swietenia macrophylla

Mahoni merupakan pohon yang menggugurkan daun, ketinggiannya dapat mencapai tinggi 35 m, memiliki tajuk yang cukup rapat, lebat dan berwarna hijau tua. Batang kurang lebih berakar papan, kulit kelabu gelap, beralur dengan jarak yang lebar, agak mengelupas. Cabang atau ranting memiliki warna coklat kekelabuan, bunga berupa kuncup besar, tertutup oleh sisik tebal berwarna coklat, dan tidak berbulu.

Manfaat Mahoni menurut Pandit dan Ramdan (2002), kayu ini biasa dipakai untuk pembuatan perabot rumah tangga, vinir indah dan kayu lapis, barang kerajinan dan perpatungan, barang bubutan, pintu panel, dan komponen alat musik.

Habitat asli Mahoni berasal dari wilayah Neotropics, dari selatan Florida, Caribbean, Mexico, dan selatan Amerika pusat ke Bolivia. Penyebaran mahoni di Indonesia meliputi seluruh Pulau Jawa diantaranya Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Gunung Hambalang, Kampung Sukamantri, Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor antara bulan Mei dan Juni 2009, dengan objek penelitian Jatropha curcas Linn dan

Swietenia macrophylla King.

B. Alat dan Bahan

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah serasah daun tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) dan Mahoni (Swietenia macrophylla

King) sebagai pembanding. Peralatan penunjang yang digunakan litter bag

(kantong serasah) yang yang terbuat dari kain kasa atau nylon memiliki mata jala 1 mm berukuran 15 cm x 30 cm, kamera, tali plastik, patok bambu, oven, timbangan dan kantung plastik.

C. Metode Penelitian 1. Penentuan plot

Penelitian dilakukan pada dua jenis tanaman yaitu tanaman Jarak pagar dan Mahoni. Menggunakan rancangan acak lengkap sebagai rancangan percobaan, sehingga pada setiap tegakan diletakkan sebanyak 24 kantung serasah secara sistematik (4 baris dan 6 kolom). Gambar 2 menampilkan sistematika peletakan kantung serasah di lapangan.

18

Gambar 2. Sistematika peletakan kantung serasah daun Jarak pagar dan Mahoni

2. Pengukuran parameter

Dalam penelitian ini variabel yang diamati dan diukur antara lain: berat kering awal serasah (gram), berat akhir serasah (gram), penurunan bobot (%), laju dekomposisi (%) per minggu.

Langkah-langkah pengukuran pendugaan laju dekomposisi serasah adalah sebagai berikut :

a. Kantung serasah diisi dengan serasah sebanyak 20 gram berat kering. Sebelum dimasukkan ke dalam kantung serasah, serasah dioven terlebih dahulu selama 24 jam dengan suhu 105o C .

b. Kantung serasah yang telah berisi serasah diletakkan di lantai hutan, sehingga kantung serasah dapat langsung menyentuh tanah. Untuk menjaga agar kantung serasah tidak berpindah maka diikatkan pada patok bambu. Serasah disusun secara sistematik yaitu 4 baris dan 6 kolom.

c. Setiap satu minggu sekali diambil 6 kantung serasah dalam satu baris tiap jenis tegakan.

d. Serasah yang telah diambil lalu dioven selama 24 jam dengan suhu 105o C. e. Serasah yang telah dioven kemudian ditimbang untuk diukur berat keringnya. Penurunan bobot didapat dengan rumus:

W = Wo – Wt x 100% Wo

Dimana : Wo = berat kering awal serasah

Wt = berat kering akhir serasah (gram) per periode waktu t W = penurunan bobot

19

Laju dekomposisi diduga dengan rumus :

D = Penurunan bobot Minggu Dimana : D = pendugaan laju dekomposisi

3. Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 1 perlakuan yaitu waktu yang diulang sebanyak 6 kali. Dengan demikian terdapat 6 unit contoh.

Untuk mengetahui pengaruh waktu yang diberikan terhadap laju dekomposisi serasah yang diamati, dilakukan analisis keragaman yang diperoleh dari pengolahan data dengan menggunakan program Minitab.

Yij = + τi + ε ij

Dimana :

Yij : Nilai pengamatan minggu ke-i pada ulangan ke-j. : Nilai rataan umum.

τi : Pengaruh minggu ke-i.

ε ij : Pengaruh acak dari minggu ke-i pada ulangan ke-j.

Hipotesis

Bentuk hipotesis yang akan digunakan/diuji adalah sebagai berikut:

a. Menguji hubungan antara waktu (minggu) dengan laju dekomposisi serasah Jarak pagar.

Ho : Minggu tidak memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi serasah Jarak pagar.

H1 : Minggu memiliki pengaruh laju dekomposisi serasah Jarak pagar.

b. Menguji hubungan antara waktu (minggu) dengan laju dekomposisi serasah Mahoni

Ho: Minggu tidak memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi serasah Mahoni.

20

H1 : Minggu memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi serasah Mahoni.

c. Menguji hubungan antara Jenis dengan laju dekomposisi

Ho :Jenis tidak memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi. H1 : Jenis memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi.

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI

A. Sejarah kawasan

Taman hutan Hambalang terletak di petak 1 Kelompok Hutan Hambalang Barat, Bagian Hutan Mega Mendung, RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor. Kawasan ini secara administratif termasuk dalam Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.

Kelompok Hutan Gunung Hambalang (Hambalang Barat) dikukuhkan tahun 1976 dengan pembuatan BATB tangga 01 Maret 1976 dan disyahkan tanggal 30 Maret 1976. Luas kawasan Hutan Gunung Hambalang hasil pengukuhan tersebut adalah 6.695,32 Ha.

Setelah pengukuhan, dalam rangka penyusunan bagan kerja KPH Bogor jangka 1 April 1976 sampai 31 Maret 1981 dilakukan penataan hutan untuk seluruh kawasan hutan KPH Bogor dengan kegiatan risalah hutan.

Tahun 1996 dilakukan kegiatan penataan pertama Kelas Perusahaan Pinus untuk jangka 1997 – 2006 dengan kegiatan meliputi : penataan batas (tata batas), pembagian hutan, inventarisasi hutan (risalah hutan, pembagian batas anak petak dan penandaan batas anak petak) sampai penyusunan RPKH, termasuk di dalamnya Kelompok Hutan Gunung Hambalang.

Tahun 2003 perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (SK. Menhut N0. 174/2003) dan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (SK. Menhut No. 175/2003) berdampak terhadap berkurangnya luas kawasan Kelas Perusahaan Pinus KPH Bogor dari 23.280,10 Ha menjadi 9.438,80 Ha dan adanya Rescoring Fungsi Kawasan (SK. Menhut No. 195/2003) mengharuskan dilakukan revisi RPKH tahun berjalan. Revisi dilakukan untuk sisa jangka RPKH 2004 – 2006 dengan kegiatan penyusunan RPKH menggunakan data hasil penjelajahan lapangan dari petugas KPH Bogor.

Tahun 2006 dilakukan penataan ulang oleh Seksi Perencanaan Hutan I Bogor untuk jangka RPKH 2007 – 2016 dengan kegiatan meliputi: penataan batas, pembagian hutan, inventarisasi hutan (risalah hutan, pembagian batas anak petak dan penandaan batas anak petak) hingga penyusunan buku RPKH.

22

Kawasan Taman Hutan Gunung Hambalang saat ini meliputi areal seluas 186,70 Ha (sesuai MoU) merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Adapun batas-batas lokasi Taman Hutan Gunung Hambalang adalah :

a. Sebelah Utara : Ex Perkebunan PT. Hambalang

b. Sebelah Timur : Petak 2 kawasan hutan RPH Babakan Madang BKPH Bogor, KPH Bogor

c. Sebelah Selatan : Kampung Leuwi Goong dan Sukamantri, Desa Karang Tengah

d. Sebelah Barat : Kampung Karang Tengah, Desa Karang Tengah dan Ex Perkebunan PT. Hambalang

B. Vegetasi

Jenis tanaman yang terdapat di petak 1 antara lain Pinus, Mahoni, Khaya anthotheca, Picung, Nangka. Sebagian areal ditanami palawija oleh masyarakat sekitar yang umumnya berupa tanaman Singkong, Pandan wangi, dan Pisang.

C. Iklim

Iklim di wilayah ini termasuk tipe A (Schmidt and Fergusson) dengan curah hujan rata-rata mencapai 3.000 – 3.500 mm/tahun. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada bulan Februari dan curah hujan terendah pada bulan Agustus. Menurut catatan BP DAS ciliwung – Cisadane kawasan Taman Hutan Gunung Hambalang termasuk daerah tangkapan air yang kondisinya masuk dalam kategori kritis.

D. Topografi

Lokasi Taman Hutan Hambalang terletak pada ketinggian sekitar 320 – 390 mdpl. Topografi lahan bervariasi mulai dari datar hingga agak curam dengan fungsi Hutan Produksi Terbatas (HPT).

23

E. Tanah

Jenis tanah di kawasan Taman Hutan Gunung Hambalang adalah asosiasi latosol coklat dengan batuan induk berupa batuan endapan dan vulkan. Struktur tanah sarang, sedikit berbatu dan kedalaman humus agak dalam dengan fisiografi tanah vulkan dan batu lipatan.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Serasah daun Jarak pagar setelah terdekomposisi selama 4 minggu mengalami kehilangan bobot sebesar 35.16 % dari bobot awal sebesar 20 gram dengan rata-rata laju dekomposisi 14.38 % per minggunya dan laju dekomposisi tertinggi terjadi pada minggu pertama yaitu 24.03 %. Serasah daun Mahoni setelah terdekomposisi selama 4 minggu mengalami kehilangan bobot 21.68 % dari bobot awal sebesar 20 gram dengan rata-rata laju dekomposisi sebesar 9.70 % per minggunya dan laju dekomposisi tertinggi terjadi pada minggu pertama yaitu sebesar 16.86 %. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan penurunan bobot dan laju dekomposisi pada serasah daun Jatropha curcas Linn dan Swietenia macrophylla King Waktu

(Minggu )

No Serasah daun Jatropha curcas Linn Serasah daun Swietenia macrophylla King Bobot (gram) Penurunan bobot (%) Laju Dekomposisi (%perminggu) Bobot (gram) Penurunan bobot (%) Laju Dekomposisi (% perminggu) I 1 15.03 24.85 24.85 16.62 16.90 16.90 2 15.04 24.80 24.80 16.56 17.20 17.20 3 15.15 24.25 24.25 16.95 15.25 15.25 4 15.86 20.70 20.70 16.54 17.30 17.30 5 15.03 24.85 24.85 16.90 15.50 15.50 6 15.06 24.70 24.70 16.20 19.00 19.00 Rata-rata/minggu 24.03 24.03 16.86 II 1 14.70 26.50 13.25 16.01 19.95 9.98 2 14.59 27.05 13.53 16.04 19.80 9.90 3 14.32 28.40 14.20 16.45 17.75 8.88 4 14.71 26.45 13.23 16.22 18.90 9.45 5 14.54 27.30 13.65 16.50 17.50 8.75 6 14.37 28.15 14.08 16.02 19.90 9.95 Rata-rata/minggu 27.31 13.66 9.49 III 1 13.55 32.25 10.75 15.50 22.50 7.50 2 13.41 32.95 10.98 15.42 22.90 7.63 3 13.36 33.20 11.07 16.12 19.40 6.47 4 13.24 33.80 11.27 16.02 19.90 6.63 5 13.51 32.45 10.82 16.01 19.95 6.65 6 13.21 33.95 11.32 15.52 22.40 7.47

25

Waktu (Minggu )

No Serasah daun Jatropha curcas Linn Serasah daun Swietenia macrophylla King Bobot (gram) Penurunan bobot (%) Laju Dekomposisi (%perminggu) Bobot (gram) Penurunan bobot (%) Laju Dekomposisi (% perminggu) Rata-rata/minggu 33.10 11.04 7.06 IV 1 13.50 32.50 8.13 15.41 22.95 5.74 2 13.01 34.95 8.74 15.37 23.15 5.79 3 12.46 37.70 9.43 16.01 19.95 4.99 4 12.52 37.40 9.35 15.87 20.65 5.00 5 13.21 33.95 8.49 15.98 20.10 5.03 6 13.11 34.45 8.61 15.34 23.30 5.83 Rata-rata/minggu 35.16 8.79 5.40 Rata-rata 14.38 Rata-rata 9.70

Adapun analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Jatropha terhadap minggu disajikan pada Tabel 2, didapatkan P value adalah 0.000. Nilai ini lebih kecil dari 0.05, yang artinya waktu (minggu) berpengaruh nyata terhadap laju dekomposisi.

Tabel 2. Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Jatropha terhadap minggu Sumber keragaman DB JK KT F hit P value Jenis 3 815.806 271.935 341.77 0.000 Galat 20 159.14 0.796 Total 23 831.720 r-sq = 98.09 %

Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Swietenia terhadap minggu disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 diketahui P value adalah 0.000 yang berarti lebih kecil dari 0.05. Hal ini berarti waktu (minggu) berpengaruh nyata terhadap laju dekomposisi.

26

Tabel 3. Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Swietenia terhadap minggu Sumber keragaman DB JK KT F hit P value Jenis 3 460.710 153.570 233.07 0.000 Galat 20 13.178 0.659 Total 23 475.888 r-sq = 97.22 %

Hubungan antara laju dekomposisi Jatropha curcas Linn dan Swietenia macrophylla King dengan periode waktu (minggu) masing-masing Y = 26.5 - 4.83X dan Y = 18.9 - 3.68X. Gambar 3 dan 4 menggambarkan laju dekomposisi Jatropha dan Swietenia terhadap waktu (minggu).

Gambar 3. Analisis regresi antara laju dekomposisi daun Jatropha curcas Linn terhadap waktu, Y = 26.5 – 4.83x

27

Gambar 4. Analisis regresi antara laju dekomposisi daun Swietenia macrophylla King terhadap waktu, Y = 18.9 - 3.68X

Analisis sidik ragam jenis tanaman terhadap laju dekomposisi disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 5 menggambarkan perbedaan laju dekomposisi antara Jarak pagar dan Mahoni. Dari Tabel 4 dapat diketahui P value adalah 0.004 yang berarti lebih kecil dari 0.05. Hal ini berarti faktor jenis berpengaruh nyata terhadap laju dekomposisi.

Tabel 4. Analisis sidik ragam jenis tanaman terhadap laju dekomposisi Sumber keragaman DB JK KT F hit P value Jenis 1 262.55 262.55 9.25 0.004 Galat 46 1305.61 28.38 Total 47 1568.16

28

Gambar 5. Analisis sidik ragam jenis tanaman terhadap laju dekomposisi

B. Pembahasan

Salah satu tindakan pencegahan terjadi atau meluasnya kebakaran hutan dan lahan adalah dengan metode pembuatan jalur hijau. Jalur hijau biasanya tertutup vegetasi yang mempunyai volume bahan bakar rendah atau sulit terbakar. Menurut Husaeni (2003) dalam Suratmo (2003), jalur hijau merupakan modifikasi sekat bahan bakar. Jalur hijau merupakan sekat bahan bakar yang vegetasinya dipertahankan tetap hidup dan hijau, dengan cara irigasi. Biaya irigasi ini cukup mahal sehingga di Indonesia, jalur hijau ini berupa vegetasi pohon atau perdu. Bila jalur hijau ini dibuat dengan cara penanaman, pohon atau perdu yang dipilih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Tahan kebakaran, artinya pohon/perdu itu bisa tetap hidup bila terbakar.

2. Selalu hijau (evergreen), artinya pohon/perdu itu tidak gugur daun pada musim kemarau.

3. Tajuknya rimbun, agar mampu menekan gulma yang tumbuh di bawahnya. 4. Cepat tumbuh dan mudah bertrubus bila dipangkas.

5. Serasah mudah terdekomposisi, agar tidak terjadi penumpukan serasah.

6. Mempunyai manfaat/kegunaan lain selain untuk menghambat penjalaran api kebakaran hutan.

Menurut penelitian Suryahadi (2006) didapatkan bahwa tanaman Jarak pagar memenuhi persyaratan sebagai tanaman jalur hijau berdasarkan kandungan

29

fisika dan kimianya. Hal ini dikarenakan tanaman Jarak pagar merupakan tanaman yang relatif tahan pembakaran. Dari hasil uji pembakaran Jarak pagar didapatkan persen tumbuh Jarak pagar setelah pembakaran sebesar 80%.

Jarak pagar juga merupakan tanaman yang selalu hijau (ever green) dimana perdu Jarak pagar selalu hijau sepanjang musim dan tidak mengalami gugur daun pada saat musim kemarau. Hal ini dapat meminimalisir penumpukan bahan bakar. Selain itu Jarak pagar juga memiliki tajuk yang cukup rimbun, dimana luas tajuk rata-rata tanaman Jarak pagar yang berasal dari stek pada umur tiga bulan adalah 635.5 cm2, sedangkan untuk Jarak pagar yang berasal dari benih pada umur tiga bulan memiliki luas tajuk rata-rata 780.8 cm2. Jarak pagar juga relatif cepat tumbuh, dimana tinggi rata-rata Jarak pagar yang berasal dari stek pada umur tiga bulan adalah 19.8 cm, sedangkan tinggi rata-rata Jarak pagar yang berasal dari benih pada umur tiga bulan adalah 24.5 cm.

Jarak pagar juga memiliki manfaat lain selain tanaman jalur hijau hijau. Tanaman ini juga memiliki manfaat sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa Jarak pagar adalah vegetasi yang sesuai untuk jalur hijau.

Jarak pagar mempunyai sistem perakaran yang mampu menahan air dan tanah, sehingga merupakan tanaman yang tahan terhadap kekeringan dan berfungsi sebagai tanaman penahan erosi. Jarak pagar dapat tumbuh pada berbagai ragam tekstur dan jenis tanah, baik pada tanah berbatu, tanah berpasir maupun tanah berlempung atau tanah liat. Disamping itu Jarak pagar juga dapat beradaptasi pada tanah-tanah yang kurang subur atau tanah bergaram, memiliki drainase baik, tidak tergenang, dan pH tanah 5.0 – 6.5.

Salah satu syarat vegetasi yang sesuai dijadikan jalur hijau adalah serasahnya cepat terdekomposisi. Dekomposisi didefinisikan sebagai penghancuran bahan organik mati secara gradual yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika. Definisi yang lain mengatakan bahwa dekomposisi adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan dipengaruhi oleh keberadaan dekomposer, baik dalam jumlah maupun diversitasnya. Sedangkan keberadaan dekomposer sendiri sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan yang sangat

Dokumen terkait