• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai Jalur Hijau ditinjau dari Laju Dekomposisi Serasahnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai Jalur Hijau ditinjau dari Laju Dekomposisi Serasahnya."

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn) SEBAGAI

JALUR HIJAU DITINJAU DARI LAJU DEKOMPOSISI

SERASAHNYA

KHAIRIA NAFIA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

POTENSI JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn) SEBAGAI

JALUR HIJAU DITINJAU DARI LAJU DEKOMPOSISI

SERASAHNYA

KHAIRIA NAFIA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

ABSTRAK

Khairia Nafia. Potensi Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn)

sebagai Jalur Hijau ditinjau dari Laju Dekomposisi

Serasahnya.

Salah satu tindakan pencegahan kebakaran hutan adalah dengan pembuatan jalur hijau. Jarak pagar merupakan vegetasi yang direkomendasikan sebagai tanaman jalur hijau. Salah satu syarat vegetasi yang sesuai dijadikan jalur hijau adalah serasahnya cepat terdekomposisi. Untuk mengetahui potensi Jarak pagar sebagai sekat bakar diperlukan penelitian mengenai persyaratan lain vegetasi yang sesuai dijadikan jalur hijau, dalam hal ini laju dekomposisi serasahnya. Sebagai pembanding digunakan tanaman Mahoni (Swietenia macrophylla King). Metode pendugaan laju dekomposisi dalam penelitian ini adalah dengan menghitung penurunan bobot keringnya. Kedua jenis tanaman ini mengalami laju dekomposisi tertinggi pada waktu awal pegamatan. Semakin lama laju dekomposisi semakin menurun. Rata-rata laju dekomposisi Jarak pagar adalah 14.38 % per minggu sedangkan rata-rata laju dekomposisi Mahoni adalah 9.70 % per minggu. Waktu dan jenis mempengaruhi laju dekomposisi. Berdasarkan laju dekomposisi serasahnya Jarak pagar merupakan vegetasi yang sesuai dijadikan tanaman jalur hijau.

(4)

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini saya mohon didaftar sebagai alumni :

1. Nama Instansi : Institut Pertanian Bogor

2. Fakultas / Departemen : Kehutanan / Silvikultur

3. Nama Lengkap : Khairia Nafia

4. No. Pokok : E44050210

5. Nama Orang Tua : Asmar dan Zahelli Mizen

6. Terakhir (Alamat Rumah) : Dusun Pasar No.21 Pasar Baru Pengean.

Kecamatan Pangean, Kabupaten Kuantan

Singingi, Riau

7. Nomor Telp / Hp : 085219307632

8. Tempat Tanggal lahir : Riau, 12 Juni 1987

9. Agama : Islam

10. Tanggal Masuk IPB : 15 Agustus 2005

11. Tanggal Lulus Komprehensif : 29 Desember 2009

12. Dosen Pembimbing : Dr.Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.

13. Judul Skripsi : Potensi Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai Jalur Hijau ditinjau dari Laju

Dekomposisi Serasahnya

Bogor, 11 Januari 2009

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Potensi Jarak

Pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai Jalur Hijau ditinjau dari Laju Dekomposisi Serasahnya adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, Desember 2009

Khairia Nafia

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Juni 1987 di Pengean, Kabupaten Kuantan

Singingi, Riau. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan

Asmar dan Zahelli mizen.

Pendidikan formal yang dijalani oleh Penulis :

1. SDN 042 Pangean, lulus tahun 1999

2. SLTPN 1 Pangean, lulus tahun 2002

3. SMUN 1 Kuantan Hilir, lulus tahun 2005

4. Tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Beasiswa Utusan Daerah (BUD)

Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di

linggar Jati - Indramayu, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan

Gunung Walat, dan Praktek Kerja Profesi (PKP) di PT. RAPP Riau tahun 2009.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis

menyusun skripsi yang berjudul “Potensi Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai Jalur Hijau ditinjau dari Laju Dekomposisi Serasahnya”, di bawah bimbingan Dr.Ir.

(7)

i

KATA PANGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB.

Dalam panelitian yang berjudul “Potensi Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai jalur hijau ditinjau dari laju dekomposisi serasahnya” ini, penulis mengkaji potensi Jarak

pagar sebagai jalur hijau yang ditinjau dari pendugaan laju dekomposisi serasahnya.

Walaupun objek penelitian ini hanya pada satu sifat jalur hijau saja, namun diharapkan

penelitian ini dapat memberi informasi dan rekomendasi tentang Jarak pagar sebagai jalur

hijau sehingga dapat mengurangi luasan kebakaran yang terjadi.

Penelitian ini dilakukan di Gunung Hambalang, Kampung Sukamantri, Desa Karang

Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor antara bulan Mei dan Juni 2009

yang difasilitasi oleh penelitian program Hibah Bersaing DIKTI 2009 yang berjudul

Pengembangan Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) dalam Sistem Agroforestry di Areal Perum Perhutani unit III Jawa Barat dan Banten.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab

itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun guna perbaikan

skripsi ini maupun untuk pengembangan penelitian lebih lanjut. Penulis berharap semoga

karya kecil ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2009

(8)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang senantiasa telah

melimpahkan nikmat, rahmat, dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis

mampu menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan

banyak pihak baik secara materi maupun moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Papa dan Mama tercinta, abang Champion, adek Hanif, adek Rahman, adek

Pira, dan adek Ima atas cinta, doa dan kasih sayang yang penulis peroleh

sehingga mampu berdiri dan menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dr.Ir. Lailan Syaufina, M.Sc selaku pembimbing yang telah meluangkan

waktu, pemikiran, dan tenaga sehingga penulis mampu menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

3. Bapak Dr.Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc.F.Trop, Bapak Effendi Tri Bahtiar,

S.Hut, M.Si dan Ibu Dr.Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc selaku dosen penguji dan

mengajarkan penulis arti S.Hut.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Bapak Ir. Iwan Hilwan, MS atas

ilmu, waktu, dan arahan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

5. Abang Champion selaku pembimbing bayangan dan motivator sehingga

penulis percaya diri dan menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Opu Andi Sumange Alam selaku motivator dan obat penenang yang telah

bersedia memberi banyak waktu, semangat, dukungan, dan kasih sayang

sehingga penulis mampu melalui banyak rintangan dalam penulisan skripsi

ini.

7. Irwani Gustina Teguh selaku sahabat yang bersedia bersabar, membantu

penulisan skripsi, dukungan semangat dan ikhlas berbagi kamar dengan

penulis selama tiga tahun.

8. Nyai Risna Trisnawati selaku manusia super dan bersedia menjadi sahabat

(9)

9. Jadda Muthiah selaku sahabat yang telah memberi banyak pelajaran tentang

hidup, dukungan semangat dan keceriaan.

10.Bapak Wardana dan Yuli Sunarti atas bantuannya selama penelitian ke

Gunung Hambalang.

11.Teman-teman Silvikultur 42 selaku keluarga dan sumber keceriaan bagi

penulis.

12.Ghina, Retha, Hilda, Tatik, Rifa, Fifi, Fidry, Rima, Farah, Ajeng, Muzi,

Sambang, Doddy, Chandra, Tomi, Yogi, Asep dan Kemal atas semua

dukungannya.

13.Andhika House’s Crew atas kehangatan dan keceriaannya, serta untuk Siti

Fatimah dan Siti Nurlaela atas dukungan memperindah wajah penulis. Anis,

Cici Lee Min Ho, Eka, Jubul, Dedes, Rinda, Ojel, Tsani, Uti, Lusi, Heny dan

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan merupakan sumber penghasil kayu, plasma nutfah, ekosistem, habitat

flora dan fauna serta pengatur tata air dan keawetan tanah. Hutan merupakan

tempat berlangsungnya proses-proses ekologis seperti suksesi alamiah, produksi

bahan organik dan proses dekomposisi, siklus hara, siklus hidrologi, dan

pembentukan tanah, serta tata iklim dan fungsi perosotan karbon.

Gangguan dari luar dapat menyebabkan terganggunya fungsi hutan. Salah

satu bentuk gangguan atau ancaman bagi kelestarian hutan adalah kebakaran

hutan. Kejadian kebakaran hutan dapat merusak keseimbangan ekosistem dan

merusak lima proses ekologi di dalamnya. Selain itu kebakaran hutan bersifat

eksplosif artinya terjadi dalam waktu relatif cepat dan areal yang luas.

Mengingat betapa berbahayanya dampak kebakaran hutan dan lahan maka,

perlu disadari bersama cara pencegahannya. Menurut Husaeni (2003) dalam

Suratmo et al (2003), pengisolasian bahan bakar merupakan salah satu cara dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan atau mengurangi luasan area yang terbakar.

Metode isolasi adalah kegiatan memisahkan suatu kawasan hamparan bahan bakar

dengan kawasan hamparan bahan bakar lainnya oleh suatu penyekat yang disebut

jalur isolasi. Jalur isolasi bisa berupa jalur terbuka atau suatu jalur yang

bervegetasi.

Husaeni (2003) dalam Suratmo et al (2003), jalur isolasi terdiri dari jalur isolasi alami dan jalur isolasi buatan. Jalur isolasi yang alami misalnya sungai,

sempadan sungai, kawasan lindung selain sempadan sungai, dan punggung bukit.

Jalur isolasi buatan terdiri dari jalur yang sudah ada, yang dirancang dengan

tujuan bukan sebagai jalur isolasi tetapi dapat didayagunakan sebagai jalur isolasi

(jalan hutan, alur batas petak, jalan umum yang melintasi kawasan hutan) dan

jalur khusus yang sengaja dibuat. Ada tiga macam jalur isolasi khusus yang

sengaja dibuat, yaitu sekat bakar (fire break), sekat bahan bakar (fuel break), dan jalur hijau (green belt).

Jalur hijau merupakan sebuah jalur vegetasi yang berfungsi memisahkan

(11)

2

dijadikan sebagai jalur hijau adalah vegetasi yang tahan terhadap api, memiliki

tajuk yang rimbun, tidak menggugurkan daun yang berlebihan, cepat tumbuh,

memiliki kegunaan lain, dan serasah yang cepat terdekomposisi.

Tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) merupakan jenis yang direkomendasikan sebagai jalur hijau berdasarkan kandungan fisika dan kimianya

menurut penelitian Suryahadi (2006). Selain itu, Jarak pagar juga

direkomendasikan sebagai jalur hijau karena memiliki kemampuan bertahan hidup

yang cukup tinggi setelah terbakar, pertumbuhan yang relatif cepat, memiliki

tajuk yang cukup rimbun, serta memiliki manfaat lain yaitu bijinya menghasilkan

biodiesel yang sedang marak dikembangkan.

Untuk menindaklanjuti penelitian mengenai Jarak pagar sebagai jalur hijau,

maka perlu diteliti syarat lain vegetasi yang sesuai dijadikan jalur hijau. Dalam hal

ini meneliti mengenai laju dekomposisi serasahnya.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Membandingkan laju dekomposisi serasah Jarak pagar (Jatropha curcas

Linn) dengan laju dekomposisi serasah Mahoni.

2. Mengkaji potensi tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) sebagai jalur hijau melalui pengukuran pendugaan laju dekomposisi serasahnya.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi potensi

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebakaran Hutan

1. Pengertian umum kebakaran hutan

Menurut Saharjo (2003) dalam Suratmo et al (2003), kebakaran hutan adalah pembakaran yang menjalar bebas, mengkonsumsi bahan bakar alam dari

hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati, snags/pohon mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon.

Purbowaseso (2004) mengatakan kebakaran hutan berbeda dengan

kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan

hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan

hutan.

Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana bahan bakar bervegetasi

dilahap api, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan

tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di

kawasan non hutan (Syaufina, 2008).

Menurut Syaufina (2008) bahan bakar dalam peristiwa kebakaran hutan dan

lahan merupakan hasil dari proses kimia dimana karbondioksida, air, dan energi

matahari bersatu menghasilkan selulosa, lignin, dan komponen kimia lainnya.

Proses pembakaran dan dekomposisi merupakan proses yang berkebalikan dengan

proses fotosintesis. Dekomposisi merupakan proses yang berjalan lambat dan

melepaskan panas yang sulit terlihat dalam periode waktu yang lama. Sedangkan

proses kebakaran melepaskan energi panas dengan cepat. Secara sederhana

hubungan antara proses fotosintesis dengan pembakaran dapat digambarkan

sebagai berikut.

Proses fotosintesis :

6CO2 + 5H2O + Energi matahari (C6H12O6) n + O2

Proses pembakaran :

(13)

4

Menurut Pyne et al. (1996) dalam Syaufina (2008) tiga unsur yang memungkinkan terjadinya proses pembakaran yaitu bahan bakar, sumber panas

dan oksigen. Proses pembakaran tidak akan terjadi jika salah satu unsur tidak ada.

Prinsip-prinsip tersebut dikenal dengan segitiga api.

Sumber panas Oksigen (O2)

Bahan Bakar

Gambar 1. Segitiga api

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Api

Syaufina (2008) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi

terjadinya api, sebagai berikut :

a.Bahan bakar

Berdasarkan kaitannya dengan perilaku api, Syaufina (2008) membagi

bahan bakar ke dalam dua garis besar yaitu :

1)Sifat bahan bakar

Sifat bahan bakar terdiri dari sifat dasar (intrinsic) bahan bakar yang meliputi sifat kimia bahan bakar, kerapatan, kapasitas panas, kandungan ether

ekstraktif dan abu bebas silika; dan sifat luaran (extrinsic) bahan bakar yang meliputi muatan bahan bakar, distribusi ukuran bahan bakar, perbandingan bahan

bakar hidup dan mati, susunan bahan bakar, kesinambungan bahan bakar, dan

kekompakan bahan bakar.

2)Kadar air bahan bakar

Kadar air bahan bakar yang menunjukkan jumlah air yang dikandung oleh

(14)

5

api, terutama dalam kecepatan pembakaran dan kemampuan terbakar dari bahan

bakar.

b.Iklim/Cuaca

Iklim atau cuaca mempengaruhi kebakaran hutan secara berbeda tetapi

saling berhubungan, yaitu menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia,

kerasnya musim kebakaran yang panjang, mengatur kadar air dan flamabilitas dari

bahan bakar mati, mempengaruhi proses penyalaan api dan penjalaran kebakaran

hutan.

Faktor iklim atau cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan adalah:

radiasi matahari, suhu udara, kelembaban relatif, curah hujan, angin, dan petir.

c. Topografi

Faktor-faktor topografi yang penting meliputi aspek elevasi, tebing, daerah

curam, dan jeram. Kelerengan memengaruhi sifat-sifat dari nyala api, penjalaran

api, dan perilaku api lainnya.

Hasil penelitian Weise dan Biging (1996) dalam Syaufina (2008) menunjukkan rata-rata sudut nyala api untuk kelerengan 30% ke arah bawah

berkisar antara -39.5o dan hingga 13.5o ke arah bawah tanpa adanya pengaruh

angin. Pengaruh topografi terhadap perilaku tidak lepas dari kecepatan dan arah

angin yang turut mendorong penjalaran api.

3. Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

Menurut Husaeni (2003) dalam Suratmo et al (2003) metode pencegahan kebakaran hutan menggunakan metode 3E, yaitu Education (pendidikan),

(15)

6

a. Education

1) Pendidikan dan penyuluhan perorangan

Pendidikan dan penyuluhan ini merupakan cara yang paling efektif untuk

pencegahan kebakaran, namun akan memerlukan banyak biaya dan tenaga.

Penyuluhan ini dapat dilakukan di tempat potensial terjadi kebakaran.

2) Perkumpulan dan kelompok masyarakat

Pencegahan kebakaran memerlukan kerjasama dengan asosiasi dan

kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok ini dapat berupa kelompok pecinta

alam, organisasi pramuka, perkumpulan LSM dan perkemahan, dan lain-lain.

3) Media massa

Penggunaan media massa (radio, televisi, surat kabar) merupakan salah satu

cara penyuluhan yang paling murah dalam pencegahan kebakaran liar.

Selain itu metode pencegahan yang dapat dilakukan adalah pendidikan di

sekolah, pemasangan papan peringatan, dan pembuatan poster.

b. Penegakkan Undang-Undang dan Peraturan

Penegakan hukum merupakan cara yang paling potensial untuk pencegahan

kebakaran hutan, dimulai dengan lembaga hukum yang memadai, dikenal secara

baik dan dikelola dengan jujur. Hal utama dalam penyelidikan adalah membawa

bukti dan tersangka ke pengadilan. Fakta yang diperoleh dan bukti yang

ditemukan merupakan alat pembantu penegak hukum dalam keberhasilannya

dalam menyimpulkan suatu kasus.

Sumber atau dasar hukum pencegahan kebakaran hutan adalah

undang-undang, surat keputusan, dan peraturan daerah setempat tentang kebakaran hutan.

Undang-undang, peraturan pemerintah pusat serta daerah tentang penggunaan api

sangat penting untuk pencegahan kebakaran hutan.

c. Teknik

Pencegahan kebakaran melalui pendekatan secara teknik ini ada 3 macam,

(16)

7

1) Modifikasi bahan bakar

Modifikasi bahan bakar merupakan usaha untuk merubah satu atau beberapa

macam karakteristik bahan bakar. Bahan bakar dapat dimodifikasi dengan

berbagai cara. Sebagai contoh cara modifikasi bahan bakar, diantaranya :

a) Memotong-motong dahan dan ranting pohon limbah penebangan menjadi

potongan-potongan yang lebih kecil atau pendek. Tujuan dilakukan

pemotongan adalah agar dahan dan ranting yang telah dipotong-potong dapat

cepat terdekomposisi. Selain itu, dapat dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan

atau kayu bakar.

b) Merubah kayu limbah penebangan menjadi serpih (chip). Serpihan kayu dapat cepat terdekomposisi dan dapat juga dijadikan sebagai bahan baku bubur

kertas.

c) Merubah kayu-kayu limbah penebangan menjadi tepung kayu atau serbuk kayu.

Serbuk kayu dapat dimanfaatkan untuk pengolahan lanjutan pada industri

kehutanan. Jika tidak dimanfaatkan, serbuk kayu dapat cepat terdekomposisi.

2) Pengurangan bahan bakar

Pengurangan bahan bakar hutan bertujuan agar jumlah bahan bakar hutan

berkurang, sehingga bila terjadi kebakaran hutan, besarnya nyala api, kecepatan

penjalaran dan lamanya kebakaran dapat dikurangi. Bahan bakar yang umumnya

dikurangi jumlahnya adalah bahan bakar permukaan.

3) Isolasi bahan bakar

Isolasi adalah kegiatan untuk memisahkan suatu kawasan hutan (sebagai

suatu hamparan bahan bakar) dengan kawasan di luarnya (sebagai hamparan

bahan bakar lain) dan atau membagi kawasan hutan tersebut menjadi bagian–

bagian kawasan hutan (sebagai hamparan bahan bakar) yang lebih kecil, oleh

(17)

8

(gundul) maupun bervegetasi, yang memisahkan bagian hutan tertentu dengan

bagian hutan lainnya, atau dengan areal di luar kawasan hutan.

Tujuan utama isolasi bahan bakar adalah untuk menghambat penjalaran api

kebakaran dari luar kawasan hutan ke dalam kawasan hutan dan sebaliknya, dan

dari bagian kawasan hutan (blok/petak) tertentu ke bagian kawasan hutan

(blok/petak) lainnya. Jalur isolasi ini berfungsi pula sebagai tempat awal operasi

pemadaman bila terjadi kebakaran hutan, terutama bila jalur isolasi ini

dikombinasikan dengan jalan hutan atau jalur bersih lainnya.

Jalur isolasi terdiri dari jalur isolasi alami dan jalur isolasi buatan. Jalur

isolasi yang alami misalnya sungai, sempadan sungai (lebar 100 m di kiri-kanan

sepanjang sungai besar atau 50 m sepanjang kiri-kanan sungai kecil), kawasan

lindung selain sempadan sungai, dan punggung bukit. Jalur isolasi buatan terdiri

dari jalur yang sudah ada, yang dirancang dengan tujuan bukan sebagai jalur

isolasi tetapi dapat didayagunakan sebagai jalur isolasi (jalan hutan, alur batas

petak, jalan umum yang melintasi kawasan hutan) dan jalur khusus yang sengaja

dibuat.

Ada tiga macam jalur isolasi khusus yang sengaja dibuat, yaitu sekat bakar

(fire break), sekat bahan bakar (fuel break), dan jalur hijau (green belt), yang dapat diuraikan sebagai berikut :

a) Sekat bakar

Sekat bakar adalah suatu jalur bersih (tanpa tumbuhan sama sekali) yang

digunakan untuk menghambat penjalaran api dan digunakan juga sebagai tempat

awal untuk operasi pemadaman kebakaran. Sekat bakar dapat berupa jalur bersih

yang sudah ada, misalnya sungai, jalan hutan, alur batas blok/petak, atau jalur

yang dibuat khusus dengan lebar tertentu, yang dibersihkan dari semua tumbuhan

sehingga berupa jalur terbuka. Sekat bakar ini sering disebut jalur kuning, mungkin sekat bakar ini banyak pada tanah-tanah yang berwarna merah

kekuningan, yang dari kejauhan atau dari udara berupa jalur yang berwarna

”kuning”.

Lebar sekat bakar ini bervariasi tergantung pada tipe hutan dan tipe

kebakaran yang akan dihambatnya, topografi dan kondisi cuaca. Sebagai patokan,

(18)

9

ditambah satu kali panjang tajuknya. Di hutan gambut, yang dipentingkan

bukanlah lebarnya tetapi kedalamannya, karena yang akan dihambat

penjalarannya adalah berupa kebakaran bawah (ground fire). Sekat bakar di hutan ini adalah berupa parit dengan lebar tertentu (0.5-1 m) dan dalamnya sampai

sedalam gambut yang ada.

Kebaikan sekat bekar adalah cukup efektif dalam menghambat penjalaran

api. Kelemahannya adalah biaya pemeliharaannya mahal dan hanya efektif untuk

menghambat api yang penjalarannya lambat. Selain itu, sekat bakar ini mudah

terjadi erosi.

b) Sekat bahan bakar

Sekat bahan bakar adalah suatu jalur lahan yang cukup lebar, yang

vegetasinya telah diubah sehingga bila ada kebakaran hutan, api akan menjalar

lebih lambat sehingga mudah untuk dipadamkan. Sekat bahan bakar ini biasanya

tertutup vegetasi yang mempunyai volume bahan bakar rendah atau sulit terbakar.

Vegetasi yang banyak digunakan adalah rumput pendek atau tumbuhan pendek

lainnya. Bila ditanami rumput makanan ternak, sekat bahan bakar ini bisa

digunakan sebagai salah satu sumber makanan ternak. Di Pulau Jawa pernah

digunakan kungkungan (Ipomea sp.) sebagai tanaman sekat bahan bakar. Tanaman lain yang dapat digunakan antara lain ketela pohon, ubi jalar, pisang dan

nanas. Sekat bahan bakar dibuat lebih lebar dari sekat bakar (sekitar 20-100 m),

dibuat sepanjang punggung bukit dan kawasan hutan, dan dapat dikombinasikan

dengan jalan hutan atau sekat bakar.

c) Jalur hijau

Jalur hijau merupakan modifikasi dari suatu sekat bahan bakar yang

vegetasinya dipertahankan tetap hidup dan hijau, dengan cara irigasi. Biaya irigasi

ini cukup mahal sehingga di Indonesia, jalur hijau ini berupa vegetasi pohon atau

perdu. Bila jalur hijau ini dibuat dengan cara penanaman, pohon atau perdu yang

dipilih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Tahan kebakaran, artinya pohon/perdu itu bisa tetap hidup bila terbakar.

2) Selalu hijau (evergreen), artinya pohon/perdu itu tidak gugur daun pada musim kemarau.

(19)

10

4) Cepat tumbuh dan mudah bertrubus (coppicing) bila dipangkas.

5) Serasah mudah terdekomposisi, agar tidak terjadi penumpukan serasah.

6) Mempunyai manfaat/kegunaan lain selain untuk menghambat penjalaran api

kebakaran hutan.

B. Dekomposisi Serasah

1. Pengertian dekomposisi

Dekomposisi adalah proses penguraian bahan organik yang berasal dari

binatang dan tumbuhan secara fisik dan kimia, menjadi senyawa-senyawa

anorganik sederhana yang dilakukan oleh berbagai mikroorganisme tanah

(bakteri, fungi, actinomycetes,dan lain-lain), yang memberikan hasil berupa hara

mineral yang dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan sebagai sumber

nutrisi. (Sutejo, Kartasapoetra dan Sastroajmodjo, 1985 dalam Dita, 2007).

Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami

dekomposisi. Menurut Kussow (1971) dalam Tim Penelitian Tanah (1991), proses dekomposisi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu : 1) proses dekomposisi

secara fisik, yaitu penghancuran bahan organik sehingga ukurannya menjadi lebih

kecil, 2) proses dekomposisi secara kimia, dan 3) proses dekomposisi secara

biologi yang merupakan proses penghancuran bahan organik yang sangat penting

karena melibatkan mikroorganisme.

Flaig et al (1977 ) dalam Tim Penelitian Tanah (1991), menyatakan penyusun utama bahan organik adalah selulosa, lignin dan protein. Melalui proses

dekomposisi, unsur hara seperti C dan N akan dibebaskan terutama dari selulosa

dan protein. Sedangkan dari hasil penghasilan lignin akan dibentuk

campuran-campuran fenol.

Menurut Indriani (2000) dalam Dita (2007), dekomposisi bahan organik atau pengomposan merupakan penguraian dan pemanfaatan bahan-bahan organik

secara biologi dalam temperatur termofilik (450 – 600 C) dengan hasil akhir bahan

(20)

11

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dekomposisi

Dekomposisi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor suhu tanah dan faktor

kadar air tanah (Notohadiprawiro, 1999 dalam Dita, 2007).

Suhu tanah merupakan sifat tanah yang penting karena mempengaruhi

langsung pertumbuhan tumbuhan bersama dengan air, udara, dan hara. Suhu tanah

mempengaruhi lengas tanah, aerasi, struktur, kegiatan mikroba, dan enzim,

perombakan sisa jaringan tumbuhan dan hewan serta ketersediaan hara tumbuhan

(Notohadiprawiro, 1999 dalam Dita, 2007).

Faktor iklim menentukan laju dekomposisi bahan organik sehingga

mempengaruhi kelimpahan bahan organik di permukaan tanah. Kelembaban dan

temperatur adalah variabel iklim yang terpenting sebab keduanya mempengaruhi

perkembangan tumbuhan dan mikroorganisme tanah (Thaiutsa et al., 1979 dalam

Hilwan, 1993).

Pada tingkat suhu tanah sedang (300 C) dan kelembaban tanah antara

60-80%, laju dekomposisi bahan organik mencapai tingkat tertinggi. Peningkatan

suhu dan kelembaban secara serentak, akan memperlambat laju dekomposisi

bahan organik (Thaiutsa et al., 1979 dalam Hilwan, 1993).

3. Proses Dekomposisi Serasah

Dekomposisi terbentuk melalui suatu proses fisika dan kimia yang

mereduksi secara kimia bahan organik yang telah mati pada vegetasi dan

binatang. Dekomposisi bahan organik hutan mempunyai dua tahap proses. Yang

pertama, ukuran partikel dari bagian bunga ke batang dari pohon yang besar,

dipecah ke dalam spesies yang lebih kecil yang dapat direduksi secara kimia.

Yang kedua, biasanya sampai aktivitas organisme spesies kecil ini dari bahan

organik direduksi dan demineralisasi untuk melepaskan unsur dasar dari protein,

karbohidrat, lipid, dan mineral yang dapat dikonsumsi, diserap oleh organisme

atau dihanyutkan dari sistem (Adeson and Swift,1983 dalam Hilwan, 1993). Proses dekomposisi (D) sangat ditentukan oleh tiga variabel yaitu : (1)

(21)

12

serasah (Q, karakter bahan organik yang menentukan kemampuan untuk

pelapukan), dan (3) lingkungan fisik-kimia (P, terdiri dari ikim makro dan tanah).

Jadi laju proses dekomposisi merupakan fungsi dari organisme pengurai, kualitas

serasah, lingkungan fisik-kimia. Fungsi tersebut dapat dituliskan, D = f (O, Q, P).

di sebagian besar tanah peranan makrofauna sebagai organisme pengurai atau

perombak sangat penting. Hewan-hewan ini memecah serasah menjadi

partikel-partikel yang sangat kecil, sehingga memperbesar luas permukaan dan

mempermudah bakteri dan jamur untuk menguraikannya (Anderson dan Swift,

1985 dalam Hilwan, 1993).

Faktor dominan yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme dalam

perombakan dan penguraian serasah adalah jenis tanaman dan iklim efek terhadap

jenis tanaman terhadap mikroflora ditentukan oleh sifat fisik dan kimia daun yang

tercermin dalam C/N ratio (Thaiutsa et al., 1979 dalam Hilwan, 1993).

Sifat fisik dan kimia daun serta kualitas serasah yang beragam,

mengakibatkan adanya variasi kemampuan serasah untuk didekomposisi

(decomposibility), yang sangat dipengaruhi oleh faktor interistik atau sifat-sifat fisik dan kimia daun, seperti tingkat kerusakan daun, kandungan lignin, unsur

hara, senyawa-senyawa sekunder serta ukuran masa dan partikel (Anderson and

Swift,1983 dalam Hilwan, 1993).

Dekomposisi terjadi akibat dari kegiatan jasad renik memperoleh energi

untuk keperluan hidupnya. Proses ini disebut oksidasi enzimatik karena jasad

renik menghasilkan berbagai enzim yang diperlukan untuk kelangsungan proses

kimia yang spesifik (Soepardi,1983 dalam Hilwan,1993).

Dari keterangan ini jelaslah bahwa yang berperan sangat besar dalam

dekomposisi serasah adalah mikroorganisme tanah atau jasad renik, seperti

bakteri, aktinomisetes, cendawan tanah, ganggang dan protozoa. Dengan

demikian curah hujan sebenarnya berperan dalam penciptaan lingkungan yang

mendukung kehidupan mikroorganisme tanah.

Proses dekomposisi bahan organik merupakan reaksi enzimatik yang

menghasilkan tiga macam keluaran, yaitu : (1) energi yang dibebaskan oleh jasad

mikro, (2) hasil akhir yang sederhana, dan (3) humus (Soepardi, 1983 dalam

(22)

13

Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran atau fragmentasi atau

pemecahan struktur fisik yang mungkin dilakukan oleh hewan pemakan bangkai

(scavenger) terhadap hewan-hewan mati atau oleh hewan-hewan herbivora terhadap tumbuhan dan menyisakannya sebagai bahan organik mati yang

selanjutnya menjadi serasah, debris atau detritus dengan ukuran yang lebih kecil.

Proses fisika dilanjutkan dengan proses biologi dengan bekerjanya bakteri

yang melakukan penghancuran secara enzimatik terhadap partikel-partikel organik

hasil proses fragmentasi. Proses dekomposisi oleh bakteri dimulai dengan

kolonisasi bahan organik mati oleh bakteri yang mampu mengautolisis jaringan

mati melalui mekanisme enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim yang

menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan

karbohidrat dari tumbuhan dan hewan yang telah mati. Beberapa dari senyawa

sederhana yang dihasilkan digunakan oleh dekomposer (Sunarto, 2004 dalam

Dita, 2007).

Serasah yang kaya nutrisi cenderung lebih cepat terdekomposisi dari pada

serasah yang miskin nutrisi pada lantai hutan yang sama. Nisbah C/N sering

digunakan sebagai petunjuk laju dekomposisi yang baik. Percobaan perombakan

N dan P dapat meningkatkan laju dekomposisi serasah. Residu tanaman yang

mempunyai kandungan bahan organik maupun nutrisi tanaman yang mempunyai

dinding sel yang tinggi umumnya memiliki konsentrasi nutrisi yang rendah.

Pengetahuan mengenai kandungan bahan organik maupun nutrisi tanaman baik

untuk menduga laju dekomposisi (Waring and Schlesingan, 1985 dalam Dita, 2007).

Proses dekomposisi bahan organik secara alami akan berhenti bila

faktor-faktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan dalam proses dekomposisi

itu sendiri. Perlu diingat pula bahwa faktor lingkungan yang mendukung proses

dekomposisi dalam kondisi yang terbatas dan bukan hanya dimanfaatkan oleh

bakteri tetapi juga oleh organisme lainnya. Persaingan atas carrying capacity baik berupa oksigen maupun bahan organik, menjadi faktor kendali dalam kondisi

dekomposisi. Ketersediaan bahan organik yang melimpah mungkin tidak berarti

(23)

14

dalam kondisi terbatas. Kedua faktor ini merupakan faktor kritis bagi dekomposisi

aerobik (Sunarto, 2004 dalam Dita, 2007).

C. Jenis Tanaman

1. Jarak pagar (Jatropha curcas Linn)

Menurut Hambali (2006) tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : berasal dari Amerika Tengah dan didistribusikan oleh pelaut portugis melalui

Pulau Cape Verde ke berbagai negara di Afrika dan di Asia. Jarak pagar telah

lama dikenal masyarakat di berbagai daerah Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan

oleh bangsa Jepang pada tahun 1942-an, yang mana masyarakat diperintahkan

untuk melakukan penanaman Jarak pagar sebagai pagar pekarangan.

Pohon Jarak pagar berupa perdu dengan tinggi tanaman 1-7 m, bercabang

tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris, bila terluka mengeluarkan getah. Daun

tanaman Jarak pagar adalah daun tunggal berlekuk, bersudut 3 atau 5, yang

tersebar di sepanjang batangnya. Permukaan bagian atas dan bawah daun

berwarna hijau dimana bagian bawah lebih pucat dibandingkan dengan

permukaan atas. Daunnya lebar, berbentuk jantung atau bulat telur melebar

dengan panjang 5-15 cm, helai daunnya bertoreh, berlekuk dan ujungnya

meruncing. Tulang daunnya menjari dengan jumlah 5-7 tulang daun utama.

Daunnya dihubungkan dengan tangkai daun sepanjang 4-15 cm ke batang.

Panjang tangkai daun antara 4-15 cm. Bunga berwarna kuning kehijauan,

(24)

15

betina tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan, muncul di ujung batang atau

ketiak daun. Buah berupa buah kotak berbentuk bulat, diameter 2-4 cm, berwarna

hijau ketika masih muda dan kuning jika masak. Buah jarak terbagi menjadi 3

ruang yang masing-masing ruang diisi 3 biji. Bji berbentuk bulat lonjong, warna

coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan rendemen

sekitar 30-50%.

Jarak pagar tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 500 mdpl.

Curah hujan yang sesuai untuk tanaman Jarak pagar adalah 625 mm/tahun.

Tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan antara 300-2380

mm/tahun kisaran suhu yang sesuai untuk bertanam jarak adalah 20-26o C. Pada

daerah dengan suhu terlalu tinggi (di atas 35o C) atau terlalu rendah (di bawah 15o

C) akan menghambat pertumbuhannya dan mengurangi kadar minyak dalam biji

jarak serta mungkin pula dapat mengubah komposisi asam lemaknya.

Tanaman Jarak pagar merupakan tanaman tahunan yang tahan kekeringan.

Tanaman ini juga mampu tumbuh dengan cepat dan kuat di lahan yang beriklim

panas, tandus dan berbatu. Wilayah yang cocok sebagai tempat tumbuhnya yaitu

di dataran rendah hingga ketinggian 300 mdpl. Namun sebaran tumbuhan dapat

mencapai ketinggian 1000 mdpl, dengan temperatur tahunan sekitar 18-28.5o C.

Tanaman Jarak pagar mempunyai sistem perakaran yang mampu menahan

air dan tanah, sehingga merupakan tanaman yang tahan terhadap kekeringan dan

ragam tekstur dan jenis tanah, baik pada tanah berbatu, tanah berpasir maupun

tanah berlempung atau tanah liat. Disamping itu, Jarak pagar juga dapat

beradaptasi pada tanah-tanah yang kurang subur atau tanah beragam, memiliki

drainase baik, tidak tergenang, dan pH tanah 5.0-6.5.

2. Mahoni (Swietenia macrophylla King)

Swietenia macrophylla King di Indonesia biasa dikenal dengan nama Mahoni. Mahoni di negara lain dikenal dengan nama henduras, tobasco,

Nicaragua (Venezuela), aquano (Peru), cruca (Bolivia), American mahagony,

(25)

16

Menurut Thahjono, 1972 dalam Nugraha (2008), dalam sistem klasifikasi Mahoni mempunyai penggolongan sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Angiospermae

Sub Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Sapindales

Family : Meliaceae

Genus : Swietenia

Species : Swietenia macrophylla

Mahoni merupakan pohon yang menggugurkan daun, ketinggiannya dapat

mencapai tinggi 35 m, memiliki tajuk yang cukup rapat, lebat dan berwarna hijau

tua. Batang kurang lebih berakar papan, kulit kelabu gelap, beralur dengan jarak

yang lebar, agak mengelupas. Cabang atau ranting memiliki warna coklat

kekelabuan, bunga berupa kuncup besar, tertutup oleh sisik tebal berwarna coklat,

dan tidak berbulu.

Manfaat Mahoni menurut Pandit dan Ramdan (2002), kayu ini biasa dipakai

untuk pembuatan perabot rumah tangga, vinir indah dan kayu lapis, barang

kerajinan dan perpatungan, barang bubutan, pintu panel, dan komponen alat

musik.

Habitat asli Mahoni berasal dari wilayah Neotropics, dari selatan Florida,

Caribbean, Mexico, dan selatan Amerika pusat ke Bolivia. Penyebaran mahoni di

Indonesia meliputi seluruh Pulau Jawa diantaranya Jawa Barat, Jawa Tengah dan

(26)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Gunung Hambalang, Kampung Sukamantri,

Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor antara

bulan Mei dan Juni 2009, dengan objek penelitian Jatropha curcas Linn dan

Swietenia macrophylla King.

B. Alat dan Bahan

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah serasah daun

tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) dan Mahoni (Swietenia macrophylla

King) sebagai pembanding. Peralatan penunjang yang digunakan litter bag

(kantong serasah) yang yang terbuat dari kain kasa atau nylon memiliki mata jala

1 mm berukuran 15 cm x 30 cm, kamera, tali plastik, patok bambu, oven,

timbangan dan kantung plastik.

C. Metode Penelitian

1. Penentuan plot

Penelitian dilakukan pada dua jenis tanaman yaitu tanaman Jarak pagar dan

Mahoni. Menggunakan rancangan acak lengkap sebagai rancangan percobaan,

sehingga pada setiap tegakan diletakkan sebanyak 24 kantung serasah secara

sistematik (4 baris dan 6 kolom). Gambar 2 menampilkan sistematika peletakan

(27)

18

Gambar 2. Sistematika peletakan kantung serasah daun Jarak pagar dan Mahoni

2. Pengukuran parameter

Dalam penelitian ini variabel yang diamati dan diukur antara lain: berat

kering awal serasah (gram), berat akhir serasah (gram), penurunan bobot (%), laju

dekomposisi (%) per minggu.

Langkah-langkah pengukuran pendugaan laju dekomposisi serasah adalah

sebagai berikut :

a. Kantung serasah diisi dengan serasah sebanyak 20 gram berat kering.

Sebelum dimasukkan ke dalam kantung serasah, serasah dioven terlebih

dahulu selama 24 jam dengan suhu 105o C .

b. Kantung serasah yang telah berisi serasah diletakkan di lantai hutan, sehingga

kantung serasah dapat langsung menyentuh tanah. Untuk menjaga agar

kantung serasah tidak berpindah maka diikatkan pada patok bambu. Serasah

disusun secara sistematik yaitu 4 baris dan 6 kolom.

c. Setiap satu minggu sekali diambil 6 kantung serasah dalam satu baris tiap

jenis tegakan.

d. Serasah yang telah diambil lalu dioven selama 24 jam dengan suhu 105o C.

e. Serasah yang telah dioven kemudian ditimbang untuk diukur berat keringnya.

Penurunan bobot didapat dengan rumus:

W = Wo – Wt x 100%

Wo

Dimana : Wo = berat kering awal serasah

Wt = berat kering akhir serasah (gram) per periode waktu t

(28)

19

Laju dekomposisi diduga dengan rumus :

D = Penurunan bobot

Minggu

Dimana : D = pendugaan laju dekomposisi

3. Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 1 perlakuan yaitu waktu yang

diulang sebanyak 6 kali. Dengan demikian terdapat 6 unit contoh.

Untuk mengetahui pengaruh waktu yang diberikan terhadap laju

dekomposisi serasah yang diamati, dilakukan analisis keragaman yang diperoleh

dari pengolahan data dengan menggunakan program Minitab.

Yij = + τi + ε ij

Dimana :

Yij : Nilai pengamatan minggu ke-i pada ulangan ke-j.

: Nilai rataan umum.

τi : Pengaruh minggu ke-i.

ε ij : Pengaruh acak dari minggu ke-i pada ulangan ke-j.

Hipotesis

Bentuk hipotesis yang akan digunakan/diuji adalah sebagai berikut:

a. Menguji hubungan antara waktu (minggu) dengan laju dekomposisi serasah

Jarak pagar.

Ho : Minggu tidak memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi serasah

Jarak pagar.

H1 : Minggu memiliki pengaruh laju dekomposisi serasah Jarak pagar.

b. Menguji hubungan antara waktu (minggu) dengan laju dekomposisi serasah

Mahoni

Ho: Minggu tidak memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi serasah

(29)

20

H1 : Minggu memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi serasah Mahoni.

c. Menguji hubungan antara Jenis dengan laju dekomposisi

Ho :Jenis tidak memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi.

(30)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI

A. Sejarah kawasan

Taman hutan Hambalang terletak di petak 1 Kelompok Hutan Hambalang

Barat, Bagian Hutan Mega Mendung, RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH

Bogor. Kawasan ini secara administratif termasuk dalam Desa Karang Tengah,

Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.

Kelompok Hutan Gunung Hambalang (Hambalang Barat) dikukuhkan tahun

1976 dengan pembuatan BATB tangga 01 Maret 1976 dan disyahkan tanggal 30

Maret 1976. Luas kawasan Hutan Gunung Hambalang hasil pengukuhan tersebut

adalah 6.695,32 Ha.

Setelah pengukuhan, dalam rangka penyusunan bagan kerja KPH Bogor

jangka 1 April 1976 sampai 31 Maret 1981 dilakukan penataan hutan untuk

seluruh kawasan hutan KPH Bogor dengan kegiatan risalah hutan.

Tahun 1996 dilakukan kegiatan penataan pertama Kelas Perusahaan Pinus

untuk jangka 1997 – 2006 dengan kegiatan meliputi : penataan batas (tata batas),

pembagian hutan, inventarisasi hutan (risalah hutan, pembagian batas anak petak

dan penandaan batas anak petak) sampai penyusunan RPKH, termasuk di

dalamnya Kelompok Hutan Gunung Hambalang.

Tahun 2003 perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

(SK. Menhut N0. 174/2003) dan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun

Salak (SK. Menhut No. 175/2003) berdampak terhadap berkurangnya luas

kawasan Kelas Perusahaan Pinus KPH Bogor dari 23.280,10 Ha menjadi 9.438,80

Ha dan adanya Rescoring Fungsi Kawasan (SK. Menhut No. 195/2003)

mengharuskan dilakukan revisi RPKH tahun berjalan. Revisi dilakukan untuk sisa

jangka RPKH 2004 – 2006 dengan kegiatan penyusunan RPKH menggunakan

data hasil penjelajahan lapangan dari petugas KPH Bogor.

Tahun 2006 dilakukan penataan ulang oleh Seksi Perencanaan Hutan I

Bogor untuk jangka RPKH 2007 – 2016 dengan kegiatan meliputi: penataan

batas, pembagian hutan, inventarisasi hutan (risalah hutan, pembagian batas anak

(31)

22

Kawasan Taman Hutan Gunung Hambalang saat ini meliputi areal seluas

186,70 Ha (sesuai MoU) merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT).

Adapun batas-batas lokasi Taman Hutan Gunung Hambalang adalah :

a. Sebelah Utara : Ex Perkebunan PT. Hambalang

b. Sebelah Timur : Petak 2 kawasan hutan RPH Babakan Madang BKPH

Bogor, KPH Bogor

c. Sebelah Selatan : Kampung Leuwi Goong dan Sukamantri, Desa Karang

Tengah

d. Sebelah Barat : Kampung Karang Tengah, Desa Karang Tengah dan Ex

Perkebunan PT. Hambalang

B. Vegetasi

Jenis tanaman yang terdapat di petak 1 antara lain Pinus, Mahoni, Khaya anthotheca, Picung, Nangka. Sebagian areal ditanami palawija oleh masyarakat sekitar yang umumnya berupa tanaman Singkong, Pandan wangi, dan Pisang.

C. Iklim

Iklim di wilayah ini termasuk tipe A (Schmidt and Fergusson) dengan curah

hujan rata-rata mencapai 3.000 – 3.500 mm/tahun. Curah hujan tertinggi

umumnya terjadi pada bulan Februari dan curah hujan terendah pada bulan

Agustus. Menurut catatan BP DAS ciliwung – Cisadane kawasan Taman Hutan

Gunung Hambalang termasuk daerah tangkapan air yang kondisinya masuk dalam

kategori kritis.

D. Topografi

Lokasi Taman Hutan Hambalang terletak pada ketinggian sekitar 320 – 390

mdpl. Topografi lahan bervariasi mulai dari datar hingga agak curam dengan

(32)

23

E. Tanah

Jenis tanah di kawasan Taman Hutan Gunung Hambalang adalah asosiasi

latosol coklat dengan batuan induk berupa batuan endapan dan vulkan. Struktur

tanah sarang, sedikit berbatu dan kedalaman humus agak dalam dengan fisiografi

(33)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Serasah daun Jarak pagar setelah terdekomposisi selama 4 minggu

mengalami kehilangan bobot sebesar 35.16 % dari bobot awal sebesar 20 gram

dengan rata-rata laju dekomposisi 14.38 % per minggunya dan laju dekomposisi

tertinggi terjadi pada minggu pertama yaitu 24.03 %. Serasah daun Mahoni

setelah terdekomposisi selama 4 minggu mengalami kehilangan bobot 21.68 %

dari bobot awal sebesar 20 gram dengan rata-rata laju dekomposisi sebesar 9.70 %

per minggunya dan laju dekomposisi tertinggi terjadi pada minggu pertama yaitu

sebesar 16.86 %. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan penurunan bobot dan laju dekomposisi pada serasah daun Jatropha curcas Linn dan Swietenia macrophylla King Waktu

(Minggu )

(34)

25

Waktu (Minggu )

No Serasah daun Jatropha curcas Linn Serasah daun Swietenia macrophylla King

Adapun analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Jatropha

terhadap minggu disajikan pada Tabel 2, didapatkan P value adalah 0.000. Nilai

ini lebih kecil dari 0.05, yang artinya waktu (minggu) berpengaruh nyata terhadap

laju dekomposisi.

Tabel 2. Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Jatropha terhadap minggu

Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Swietenia terhadap

minggu disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 diketahui P value adalah 0.000 yang

berarti lebih kecil dari 0.05. Hal ini berarti waktu (minggu) berpengaruh nyata

(35)

26

Tabel 3. Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Swietenia terhadap minggu

Sumber

keragaman

DB JK KT F hit P value

Jenis 3 460.710 153.570 233.07 0.000

Galat 20 13.178 0.659

Total 23 475.888

r-sq = 97.22 %

Hubungan antara laju dekomposisi Jatropha curcas Linn dan Swietenia macrophylla King dengan periode waktu (minggu) masing-masing Y = 26.5 - 4.83X dan Y = 18.9 - 3.68X. Gambar 3 dan 4 menggambarkan laju dekomposisi

Jatropha dan Swietenia terhadap waktu (minggu).

(36)

27

Gambar 4. Analisis regresi antara laju dekomposisi daun Swietenia macrophylla King terhadap waktu, Y = 18.9 - 3.68X

Analisis sidik ragam jenis tanaman terhadap laju dekomposisi disajikan

pada Tabel 4 dan Gambar 5 menggambarkan perbedaan laju dekomposisi antara

Jarak pagar dan Mahoni. Dari Tabel 4 dapat diketahui P value adalah 0.004 yang

berarti lebih kecil dari 0.05. Hal ini berarti faktor jenis berpengaruh nyata

terhadap laju dekomposisi.

Tabel 4. Analisis sidik ragam jenis tanaman terhadap laju dekomposisi Sumber

keragaman

DB JK KT F hit P value

Jenis 1 262.55 262.55 9.25 0.004

Galat 46 1305.61 28.38

(37)

28

Gambar 5. Analisis sidik ragam jenis tanaman terhadap laju dekomposisi

B. Pembahasan

Salah satu tindakan pencegahan terjadi atau meluasnya kebakaran hutan dan

lahan adalah dengan metode pembuatan jalur hijau. Jalur hijau biasanya tertutup vegetasi yang mempunyai volume bahan bakar rendah atau sulit terbakar.

Menurut Husaeni (2003) dalam Suratmo (2003), jalur hijau merupakan modifikasi sekat bahan bakar. Jalur hijau merupakan sekat bahan bakar yang vegetasinya

dipertahankan tetap hidup dan hijau, dengan cara irigasi. Biaya irigasi ini cukup

mahal sehingga di Indonesia, jalur hijau ini berupa vegetasi pohon atau perdu.

Bila jalur hijau ini dibuat dengan cara penanaman, pohon atau perdu yang dipilih

harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Tahan kebakaran, artinya pohon/perdu itu bisa tetap hidup bila terbakar.

2. Selalu hijau (evergreen), artinya pohon/perdu itu tidak gugur daun pada musim kemarau.

3. Tajuknya rimbun, agar mampu menekan gulma yang tumbuh di bawahnya.

4. Cepat tumbuh dan mudah bertrubus bila dipangkas.

5. Serasah mudah terdekomposisi, agar tidak terjadi penumpukan serasah.

6. Mempunyai manfaat/kegunaan lain selain untuk menghambat penjalaran api

kebakaran hutan.

Menurut penelitian Suryahadi (2006) didapatkan bahwa tanaman Jarak

(38)

29

fisika dan kimianya. Hal ini dikarenakan tanaman Jarak pagar merupakan tanaman

yang relatif tahan pembakaran. Dari hasil uji pembakaran Jarak pagar didapatkan

persen tumbuh Jarak pagar setelah pembakaran sebesar 80%.

Jarak pagar juga merupakan tanaman yang selalu hijau (ever green) dimana perdu Jarak pagar selalu hijau sepanjang musim dan tidak mengalami gugur daun

pada saat musim kemarau. Hal ini dapat meminimalisir penumpukan bahan bakar.

Selain itu Jarak pagar juga memiliki tajuk yang cukup rimbun, dimana luas tajuk

rata-rata tanaman Jarak pagar yang berasal dari stek pada umur tiga bulan adalah

635.5 cm2, sedangkan untuk Jarak pagar yang berasal dari benih pada umur tiga

bulan memiliki luas tajuk rata-rata 780.8 cm2. Jarak pagar juga relatif cepat

tumbuh, dimana tinggi rata-rata Jarak pagar yang berasal dari stek pada umur tiga

bulan adalah 19.8 cm, sedangkan tinggi rata-rata Jarak pagar yang berasal dari

benih pada umur tiga bulan adalah 24.5 cm.

Jarak pagar juga memiliki manfaat lain selain tanaman jalur hijau hijau.

Tanaman ini juga memiliki manfaat sebagai sumber energi alternatif yang ramah

lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa Jarak pagar adalah vegetasi yang sesuai

untuk jalur hijau.

Jarak pagar mempunyai sistem perakaran yang mampu menahan air dan

tanah, sehingga merupakan tanaman yang tahan terhadap kekeringan dan

berfungsi sebagai tanaman penahan erosi. Jarak pagar dapat tumbuh pada berbagai

ragam tekstur dan jenis tanah, baik pada tanah berbatu, tanah berpasir maupun

tanah berlempung atau tanah liat. Disamping itu Jarak pagar juga dapat

beradaptasi pada tanah-tanah yang kurang subur atau tanah bergaram, memiliki

drainase baik, tidak tergenang, dan pH tanah 5.0 – 6.5.

Salah satu syarat vegetasi yang sesuai dijadikan jalur hijau adalah

serasahnya cepat terdekomposisi. Dekomposisi didefinisikan sebagai

penghancuran bahan organik mati secara gradual yang dilakukan oleh agen

biologi maupun fisika. Definisi yang lain mengatakan bahwa dekomposisi adalah

merupakan suatu proses yang dinamis dan dipengaruhi oleh keberadaan

dekomposer, baik dalam jumlah maupun diversitasnya. Sedangkan keberadaan

(39)

30

berpengaruh terhadap dekomposisi antara lain oksigen, bahan organik tanah, dan

bakteri sebagai agen utama dekomposisi (Sunarto, 2004 dalam Dita, 2007).

Hasil penelitian ini menunjukkan serasah daun Jarak pagar lebih cepat

terdekomposisi dibandingkan serasah daun Mahoni. Rata-rata laju dekomposisi

serasah daun Jarak pagar adalah 14.38 % perminggu dan rata-rata laju

dekomposisi serasah daun Mahoni adalah 9.70 % perminggu. Selisih rata-rata laju

dekomposisi antara serasah daun Jarak pagar dan Mahoni adalah 4.68 %

perminggu.

Waktu (minggu) sangat berpengaruh terhadap proses dekomposisi serasah

daun tanaman Jarak pagar maupun Mahoni. Waktu memiliki pengaruh nyata

terhadap dekomposisi, dan dapat diartikan semakin lama waktunya semakin besar

persen kehilangan bobotnya. Semakin banyak jumlah pengurangan bobot, berarti

semakin besar nilai dekomposisi.

Faktor jenis juga berpengaruh nyata terhadap dekomposisi. Faktor jenis

memiliki pengaruh nyata terhadap dekomposisi karena kedua jenis tanaman ini

memiliki habitus yang berbeda. Jarak pagar termasuk pada habitus perdu

sedangkan Mahoni merupakan pohon. Perdu dibedakan dengan pohon karena

perdu merupakan tumbuhan berkayu yang tidak terlalu tinggi (5-6) dan tidak

mempunyai batang tegak.

Menurut Anderson dan Swift (1983) dalam Hilwan (1993), variabel yang sangat menentukan proses dekomposisi adalah (1) organisme pengurai (terdiri

dari hewan dan mikroorganisme) (2) kualitas serasah (karakter bahan organik

yang sangat menentukan kemampuan untuk dilapukkan) dan (3) lingkungan fisik

dan kimia (terdiri dari iklim mikro dan tanah).

Berdasarkan hasil penelitian ini, perbedaan laju dekomposisi disebabkan

perbedaan kualitas serasah. Hal ini karena lokasi penelitian yang sama, sehingga

dapat diasumsikan organisme pengurai yang melakukan pelapukan sama dan

lingkungan fisik dan kimia yang sama pula.

Komposisi serasah sangat menentukan kualitas bahan sebagai sumber

makanan bagi organisme pengurai. Menurut Brady (1974) dalam Hilwan (1993), gula dan protein larut mudah untuk didekomposisi, hemiselulosa dan selulosa

(40)

31

senyawa organik yang sukar didekomposisi. Dapat dikatakan serasah daun Jarak

pagar lebih banyak mengandung senyawa organik yang mudah untuk

didekomposisi dibandingkan serasah daun Mahoni, atau serasah daun Mahoni

lebih banyak mengandung senyawa organik yang sukar untuk didekomposisi

dibandingkan dengan serasah daun Jarak pagar.

Berdasarkan kondisi fisik setelah terdekomposisi selama empat minggu,

terlihat perbedaan yang nyata antara Jarak pagar dan Mahoni. Pada akhir

pengamatan serasah daun Jarak pagar sudah tidak berupa daun utuh dan hancur.

Sedangkan serasah daun Mahoni masih berupa lembar-lembar daun utuh. Secara

kasat mata tidak terlihat adanya penghancuran pada serasah daun Mahoni.

Perbandingan kondisi fisik serasah daun Jarak pagar dan Mahoni akan disajikan

pada Gambar 6a. Gambar 6b akan menampilkan bentuk kantung-kantung serasah.

Gambar 6. (a) Perbedaan kondisi fisik serasah daun Jarak pagar

dan Mahoni. (b) Kantung-kantung serasah

Penurunan bobot dan laju dekomposisi semakin lama semakin berkurang.

Serasah daun Jarak pagar rata-rata laju dekomposisi minggu pertama adalah 24.03

% per minggu, minggu kedua berkurang menjadi 13.66 % per minggu, minggu

ketiga mengalami penurunan kembali dan laju dekomposisinya hanya 11.04 % per

minggu, dan pada minggu terakhir laju dekomposisi hanya sebesar 8.79 % per

minggu. Sedangkan pada serasah daun tanaman Mahoni rata-rata laju

dekomposisi minggu pertama sebesar 16.86 % per minggu, minggu kedua

mengalami penurunan sehingga laju dekomposisinya berkurang menjadi 9.49 %

(41)

32

terakhir rata-rata laju dekomposisi hanya sebesar 5.40 % per minggu. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Perbandingan laju dekomposisi Jarak pagar dan Mahoni

Laju dekomposisi yang semakin lama semakin menurun ini disebabkan oleh

kandungan bahan organik yang semakin lama semakin sedikit. Pada waktu awal

serasah jatuh kandungan hara dan senyawa organik yang terkandung dalam

serasah tersebut masih cukup tinggi. Organisme pengurai dapat menjadikan hara

dan senyawa organik tersebut sebagai substrat atau bahan makanan. Jika

kandungan bahan organik yang terkandung semakin menurun maka laju

dekomposisi juga semakin menurun karena semakin sedikitnya substrat atau

kandungan bahan makanan bagi organisme pengurai.

Selain itu, pada waktu awal dekomposisi, senyawa organik yang mudah

terurai yang masih mendominasi kandungan bahan organik serasah tersebut. Saat

kandungan hara dan senyawa organik yang mudah untuk didekomposisi menurun,

maka laju dekomposisi menurun pula. Semakin lama senyawa organik yang

mudah didekomposisi ini akan menurun jumlahnya dan proses dekomposisi pun

semakin melambat. Saat kandungan senyawa organik yang tersisa berupa senyawa

organik yang sulit untuk didekomposisi misalnya lignin, maka laju dekomposisi

(42)

33

Komponen-komponen yang penting dari serasah adalah daun, ranting,

dengan ukuran diameter < 1 cm dan cabang kecil dengan ukuran diameter ≤ 2 cm,

alat-alat produksi (bunga dan buah) dan kulit pohon (Proctor, 1983 dalam Hilwan, 1993).

Daun merupakan sebagian besar dari serasah yang ada di lantai hutan,

bahkan 70% dari serasah yang ada di lantai hutan berupa daun. Sisanya ranting,

patahan cabang, batang dan lain sebagainya. Sehingga kecepatan terdekomposisi

serasah daun tanaman tersebut menjadi salah satu penentu sesuai atau tidaknya

suatu vegetasi dijadikan sebagai jalur hijau.

Tanaman yang serasahnya cepat terdekomposisi mampu memperbaiki siklus

hara dalam tanah. Jika terjadi penumpukan serasah di lantai hutan, maka akan

memperlama perputaran siklus hara. Jadi, selain mengurangi volume bahan bakar

kecepatan dekomposisi serasah suatu jenis tanaman juga membantu menyuburkan

tanah.

Penumpukan bahan organik dapat terjadi bila tidak ada kesetimbangan

antara suplai bahan organik dengan kecepatan dekomposisi. Beban bahan organik

semakin berat seiring dengan terhambatnya kecepatan dekomposisi (Irawan, 2003

dalam Dita, 2007).

Serasah yang cepat terdekomposisi menyebabkan pengurangan volume

bahan bakar di lantai hutan. Jika suatu vegetasi memiliki serasah yang sulit untuk

didekomposisikan maka akan terjadi penumpukan bahan bakar yang justru

mengakibatkan kejadian kebakaran hutan dan lahan menjadi lebih besar.

Berdasarkan pendugaan laju dekomposisi serasahnya, Jarak pagar adalah vegetasi

yang cocok dijadikan jalur hijau. Serasah yang jatuh dapat dengan cepat

(43)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Laju dekomposisi pada serasah daun Jatropha curcas Linn lebih cepat terdekomposisi dibandingkan serasah daun Swietenia macrophylla King. 2. Ditinjau dari segi laju dekomposisi, Jatropha curcas Linn merupakan

vegetasi yang sesuai untuk dijadikan jalur hijau.

B. Saran

Perlu penelitian lebih lanjut mengenai potensi Jarak pagar sebagai jalur

hijau dari karakteristik yang lain. Misalnya mengenai kemampuan bertahan hidup

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Dita FL. 2007. Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran

(Korth.) Burck dan Hopea bancana (Boerl.) Van slooten di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Hambali E, A Suryani, Dadang. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodisel. Jakarta : Penebar Swadaya.

Hilwan I. 1993. Produksi Laju Dekomposisi, dan Pengaruh Alelopati serasah

Pinus merkusii Jungh, et de Vriese dan Acacia Willd, di Hutan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa barat. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Husaeni EA. 2003. Manajemen Bahan Bakar. Di dalam : Suratmo FG, EA Husaeni, NS Jaya. 2003. Pengatahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Hal : 229-248

Nugraha M. 2008. Aplikasi Teknik Puteran Bibit berukuran Besar Pada Jenis Pohon Kihujan, Mahoni, Matoa, dan Salam. Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pandit IKN, H Ramdan. 2002. Anatomi Kayu. Pengantar Sifat Kayu sebagai Bahan Baku. Bogor : Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Purbowaseso B. 2004. Suatu Pengantar Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta : Rineka Cipta.

Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Perilaku Api, Penyebab dan Dampak Kebakaran. Malang : Bayumedia Publishing.

Saharjo BH. 2003. Tipe Kebakaran Hutan. Di dalam : Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS. 2003. Pengatahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Hal : 151-154.

Saharjo BH. 2003. Perilaku Api. Di dalam : Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS. 2003. Pengatahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Hal : 155-166

Suryahadi Y. 2006. Potensi Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) Sebagai Tanaman Sekat Bakar. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

(45)
(46)

37

Lampiran 1. Analisis Sidik Ragam

a. Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi serasah jatropha terhadap minggu

Hipotesis:

Ho : Minggu memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi=0 H1 : Minggu mempengaruhi laju dekomposisi

One-way ANOVA: japtropha versus minggu

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Kesimpulannya, minggu berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah Jatropha.

b. Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi serasah swietenia terhadap

minggu

Hipotesis:

Ho : Minggu memiliki pengaruh terhadap laju dekomposisi=0 H1 : Minggu mempengaruhi laju dekomposisi

(47)

38

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+-- 1 6 16.858 1.366 (-*-) 2 6 9.485 0.555 (-*-)

3 6 7.058 0.527 (-*-) 4 6 5.397 0.428 (-*-)

---+---+---+---+-- 7.0 10.5 14.0 17.5

Pooled StDev = 0.812

(48)

39

Lampiran 2. Analisis Regresi

a. Analisis regresi antara laju dekomposisi serasah Jatropha terhadap minggu

Regression Analysis: jatropha versus minggu

The regression equation is japtropha = 26.5 - 4.83 minggu

Predictor Coef SE Coef T P Constant 26.458 1.221 21.67 0.000 minggu -4.8322 0.4459 -10.84 0.000

S = 2.44229 R-Sq = 84.2% R-Sq(adj) = 83.5%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 700.50 700.50 117.44 0.000 Residual Error 22 131.22 5.96

Total 23 831.72

Dari output di atas diperoleh persamaan regresi: japtropha = 26.5 - 4.83 minggu

(49)

40

b. Analisis regresi antara laju dekomposisi serasah Swietenia terhadap minggu

Regression Analysis: swietenia versus minggu

The regression equation is swietenia = 18.9 - 3.68 minggu

Predictor Coef SE Coef T P Constant 18.9025 0.8749 21.61 0.000 minggu -3.6812 0.3195 -11.52 0.000

S = 1.74979 R-Sq = 85.8% R-Sq(adj) = 85.1%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 406.53 406.53 132.78 0.000 Residual Error 22 67.36 3.06

Total 23 473.89

Unusual Observations

Obs minggu swietenia Fit SE Fit Residual St Resid 6 1.00 19.000 15.221 0.598 3.779 2.30R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Dari output di atas diperoleh persamaan regresi: swietenia = 18.9 - 3.68 minggu

(50)

41

Lampiran 3. Analisis Sidik Ragam antara jenis tanaman

Hipotesis:

Ho : kedua tanaman memiliki laju dekomposisi yang sama H1 : kedua tanaman tidak memiliki laju dekomposisi yang sama

General Linear Model: laju dekomposisi versus jenis tanaman

Factor Type Levels Values jenis tanaman fixed 2 1, 2

Analysis of Variance for laju dekomposisi, using Adjusted SS for Tests

Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P jenis tanaman 1 262.55 262.55 262.55 9.25 0.004 Error 46 1305.61 1305.61 28.38

Total 47 1568.16

S = 5.32755 R-Sq = 16.74% R-Sq(adj) = 14.93%

Unusual Observations for laju dekomposisi

laju

Obs dekomposisi Fit SE Fit Residual St Resid 1 24.8500 14.3771 1.0875 10.4729 2.01 R 5 24.8500 14.3771 1.0875 10.4729 2.01 R

R denotes an observation with a large standardized residual.

(51)

POTENSI JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn) SEBAGAI

JALUR HIJAU DITINJAU DARI LAJU DEKOMPOSISI

SERASAHNYA

KHAIRIA NAFIA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Gambar

Gambar 2. Sistematika peletakan kantung serasah daun Jarak pagar dan Mahoni
Tabel 1. Hasil pengamatan penurunan bobot dan laju dekomposisi pada serasah daun Jatropha curcas Linn dan Swietenia macrophylla King
Tabel 2. Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Jatropha terhadap minggu
Tabel 3. Analisis sidik ragam antara laju dekomposisi tanaman Swietenia terhadap minggu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulis mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah

Populasi dalam penelitian ini adalah aparatur Pemerintah Daerah yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah di Kabupaten Sidoarjoa. Metode pengambilan sampel yang digunakan

Lannoituksella saatiin nostettua sekä heinänurmen että apilanurmen satoa, mutta 1.. sadon N-lannoituksen nosto 50 kg:sta 100 kg:aan ei enää lisännyt satoa

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami gejala PMS pada tingkat ringan, yaitu sebanyak 54 responden (71,1%).. Dari 41 responden yang status gizi

kecamatan di wilayah Kabupaten Sumba Timur. Data karakteristik wilayah pendayagunaan sumber daya air yang terdiri atas potensi sumber air, IPA, jumlah penduduk, sawah,

Gaya bahasa : Gaya bahasa Roman “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” ini sangat memberi warna dengan adanya syair yang melukiskan keindahan, kelincahan,

Para pembuat keputusan dan pemangku kepeningan yang terlibat di dalam REDD+ di ingkat regional dan lokal juga harus memperimbangkan kerangka hukum dan kebijakan

Konduksi adalah proses dimana panas mengalir dari daerah yang mempunyai suhu lebih rendah dalam suatu medium atau antara medium-medium yang lain yang berhubungan... Persamaan