• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU PILIHAN HUKUM

G. Proses Pemeriksaan Sengketa Dalam Arbitrase

Secara umum dapat dikatakan bahwa jalannya pemeriksaan atau penyelesaian dalam arbitrase tidak akan jauh berbeda dengan jalannya proses pemeriksaan perkara dalam pranata peradilan pada umumnya, proses jalannya pemeriksaan tersebut meliputi antara lain acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai, sistem pembuktian yang diterapkan, hak-hak para pihak dalam proses pemeriksaan serta alur jalannya pemeriksaan itu sendiri yang dimulai dari sejak permohonan untuk pemeriksaan sengketa diajukan, hingga pada akhirnya dijatuhkan suatu putusan pada tingkat akhir yang mengikat para pihak yang meminta penyelesaian perselisihan atau sengketa mereka melalui lembaga (Pranata Arbitrase tersebut).

Sebagai suatu bentuk lembaga peradilan swasta dengan hakim swasta dan seperti juga telah ditegaskan dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 bahwa perselisihan atau sengketa yang dapat diperiksa dan karenanya tunduk pada proses pemeriksaan arbitrase ini adalah perselisihan atau sengketa yang secara hukum dapat diselesaikan melalui proses perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa (pranata) arbitrase merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa hanya terdapat hal-hal dimana dimungkinkan adanya kebebasan dari para pihak untuk melakukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku umum (dalam hal ini secara teoritis dapat dikatakan dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam buku III KUH Perdata yang bersifat terbuka). Karena berarti proses pemeriksaan melalui pranata arbitrase ini tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan peradilan perdata yang menunjukkan atau menjurus ke arah perniagaan. 28

Pada dasarnya para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan sengketa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan oleh (para) arbiter yang telah ditunjuk atau diangkat tersebut, hanya saja kehendak tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis, sehingga dapat menjadi acuan Seperti pernah disinggung dalam tulisan sebelumnya, UU No. 30 tahun 999 mengenal dua macam penyelesaian perselisihan melalui lembaga arbitrase yaitu arbitrase yang diselenggarakan secara ad-hoc dan arbitrase yang dilaksanakan oleh suatu lembaga arbitrase tersendiri.

28

yang jelas bagi para arbiter tersebut. Satu hal lagi yang harus diperhatikan adalah bahwa pemilihan acara dan proses tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999.

Bagi arbitrase ad-hoc UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan, arbiter atau majelis arbitrase ad-hoc telah terbentuk, maka semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase ad- hoc tersebut akan diperiksa dan diputuskan menurut ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 1999 ini.

Khusus untuk penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, ketentuan Pasal 34 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional dan internasional berdasarkan atas kesepakatan para pihak dalam hal yang demikian, maka proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase tersebut yang dipilih oleh para pihak, akan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih kecuali ditetapkan secara lain oleh para pihak.

Berbeda dengan sidang pemeriksaan peradilan perdata yang terbuka untuk umum, semua pemeriksaan sengketa yang dilakukan oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup, ini merupakan salah satu kelebihan perbedaan dari lembaga arbitrase terhadap lembaga peradilan pada umumnya, sifat kerahasian ini cenderung menjadi pilihan utama bagi kalangan usahawan yang tidak menginginkan masyarkat umum mengetahui adanya suatu perselisihan, sengketa atau bahkan

perkara perdata yang dialami oleh usahawan dengan pihak lain yang mungkin juga merupakan ”mitra usahanya”.

Sejalan dengan pengakuan akan pranata alternatif penyelesaian perselisihan oleh Indonesia, menurut ketentuan hukum Indonesia, maka sudah selayaknya jika bahasa Indonesia, kecuali jika para pihak berdasarkan atas mufakat bersama memilih bahasa lain yang dipergunakan selama proses pemeriksaan berlangsung.

Sebagaimana halnya proses pemeriksaan peradilan pada umumnya UU No. 30 Tahun 1999 memungkinkan masuknya pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase, untuk turut serta menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, jika terdapat unsur kepentingan yang terkait, walaupun demikian sedikit berbeda dengan proses peradilan pada umumnya. Keikutsertaan pihak ketiga ini perlu disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. 29

29

Ibid, h. 125.

Dalam rumusan Pasal 48 UU No. 30 Tahun 1999 mewajibkan pemeriksaan atas sengketa untuk diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 180 hari terhitung sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk, walau demikian atas persetujuan para pihak dan jika memang diperlukan sesuai ketentuan Pasal 33 UU No. 30 Tahun 1999 maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang, adapun rumusan ketentuan Pasal 33 ini adalah sebagai berikut :

”Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :

a. Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu. b. Sebagai akibat ditetapkannya putusan provisionil atau putusan sela lainnya.

c. Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan. 30

Pada umumnya pilihan hukum ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian awal yang menjadi dasar terbitnya perbedaan pendapat, perselisihan ataupun sengketa, walau demikian sebagaimana halnya perjanjian arbitrase itu sendiri dimungkinkan untuk dibuat setelah perbedaan pendapat, perselisihan atau sengketa terbit, UU No. 30 Tahun1999 juga memungkinkan atau secara lugas kita katakan memberikan hak kepada para pihak untuk menentukan sendiri pilihan hukum yang dipilih untuk menyelesaikan perbedaan pendpat, perselisihan atau sengketa yang telah ada tersebut. Dalam hal para pihak tidak menentukan hukum mana yang akan berlaku, penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU NO. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa yang harus diberlakukan adalah ketentuan hukum dari tempat dimana arbitrase diselenggarakan.

Kebebasan untuk melakukan pilihan hukum tidak begitu saja memberikan kewenangan yang mutlak bagi para pihak untuk melakukan pilihan atas ketentuan hukum dari setiap negara, jika hukum yang dipilih tersebut tidak memiliki hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perjanjian yang dibuat. Dalam hal yang demikian hakim bebas untuk menilai apakah suatu pilihan hukum telah dilakukan secara patut atau tidak.

para pihak ingin menentukan sendiri tempat arbitrase yang telah ditentukan dan akan menjadi pusat dan tempat penyelenggaraan proses pemeriksaan sengketa. Walaupun demikian Undang-undang No. 30 Tahun 1999 membuka kemungkinan bagi arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan. Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata.

Seperti halnya jalannya proses pemeriksaan persidangan dalam pranata peradilan, jalannya proses pemeriksaan sengketa dalam pranata arbitrase juga diawali dengan pemasukan surat permohonan oleh pemohon, yang selanjutnya diikuti dengan

31

Arbiter atau majelis arbitrase diperkenankan untuk mengadakan pemeriksaan tempat atau barang yang dipersengketakan atau hak lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar juga hadir dalam pemeriksaan tersebut. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 memberikan kelonggaran bagi para pihak, termasuk dalam hal para arbiter untuk menentukan sendiri jalannya proses pemeriksaan arbiter tersebut, selama dan sepanjang hal tersebut relevan dan dianggap perlu untuk menunjuk jalannya proses pemeriksaan serta dalam kerangka waktu yang ditentukan, dengan tidak mengurangi makna esensial dari lembaga arbitrase yang bersifat cepat disamping terjaga kerahasiaannya.

30

Ibid, h. 126.

31

proses penjawaban surat permohonan tersebut oleh pihak termohon, sebagai bagian dari hak para pihak untuk didengar selama proses pemeriksaan berlangsung.

Surat tuntutan yang diajukan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya : 1. Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak.

2. Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti. 3. Isi tuntutan harus yang jelas.

Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbiter akan menyampaikan jawabannya, satu salinan tuntutan tersebut kepada pemohon. Penyampaian surat berisikan tuntutan wajib disertai perintah bahwa termohon harus meanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 hari terhitung sejak diterimanya salinan tuntutan, oleh termohon. Apabila lewatnya jangka waktu 14 hari tidak menyampaikan jawabannya maka arbiter atau ketua majelis arbitrase wajib memanggil termohon atau kuasanya untuk hadir dalam sidang arbitrase dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak surat perintah menghadap dikeluarkan.

Dokumen terkait