• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pengujian Perda Oleh Lembaga Yudikatif

BAB III PROSES PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA

B. Proses Pengujian Perda Oleh Lembaga Yudikatif

Istilah “hak menguji” berbeda dengan “judicial review”. Kalau kita berbicara mengenai “hak menguji”, orientasinya ialah kontinental Eropa (Belanda), sedangkan “judicial review” orientasinya ialah Amerika Serikat. Walau tujuannya sama, dalam perkembangan selanjutnya apa yang dilaksanakan oleh negara-negara Eropa yang menganut sistem civil law berbeda dengan negara-negara yang menganut sistem common law.309 Istilah judicial review sesungguhnya merupakan istilah teknis khas hukum tata negara Amerika Serikat yang berarti wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi.310 Pernyataan ini diperkuat oleh Soepomo dan Harun Alrasid, mereka mengatakan di Belanda tidak dikenal istilah judicial review, mereka hanya mengenal       

308

Ibid.

309

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian….., Op.Cit., hlm. 2-3.

310

Jerome A. Barron and C. Thomas S., Constitutional Law, (St. Paul Menn-West Publishing Co., 1986), hlm. 4-5.

istilah hak menguji (toetsingensrecht), judicial review dimaksudkan menjadi salah satu cara untuk menjamin hak-hak kenegaraan yang dimiliki oleh seorang warga negara pada posisi diametral dengan kekuasaan pembuatan peraturan.311

Pengujian oleh hakim itu dapat dilakukan dalam bentuk institutional-formal dan dapat pula dalam bentuk substansial. Suatu peraturan sebagai institusi dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan perkara

‘judicial review’ itu dalam persidangan yang tersendiri, inilah bentuknya yang secara

institutional-formal. Sedangkan dapat juga terjadi pengujian yang dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. Dalam mengadili sesuatu perkara apa saja, hakim dapat saja atau berwenang mengesampingkan berlakunya sesuatu peraturan atau tidak memberlakukan sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme demikian ini dapat pula disebut sebagai ‘judicial review’ yang bersifat prosessual, atau ‘judicial review’ yang bersifat substansial.312

Dalam konsep pengujian undang-undang, khususnya berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan pula antara istilah “judicial       

311

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian….., Op.Cit., hlm. 3.

312

Lebih lanjut dituliskan bahwa ‘review’ dapat dibedakan dari ‘appeal’, seperti yang dikatakan oleh Brian Thompson, “If one appeals a decision, one is claiming that it is wrong or

incorrect, and that the appellate authority should change the decision”. Sedangkan pada ‘judicial review’, “the court is not concerned with the merits of the case, whether the decision was right or wrong, but whether it was lawful or unlawful”. Seperti dikatakan oleh Lord Brightman, “Judicial review is concerned, not with the decision, but with the decision-making process”. Lord Brightman, Constitutional and Administrative Law, (London: Blackstone Press Ltd., 1993), hlm. 398. Lihat juga

John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: MacMillan Professional Masters, 1989), hlm. 293. Lihat juga Jimly Ashshiddiqie, Judicial Review : Pengawasan terhadap Kekuasaan

Legislatif dan Regulatif dalam Perspektif Hukum Tata Negara, Makalah Pada Diklat Suncang

review” dan “judicial preview”. Review berarti memandang, menilai, atau menguji

kembali. Sedangkan Preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu.313

Dalam hubungannya dengan objek undang-undang, dapat dikatakan bahwa saat ketika undang-undang belum resmi atau sempurna sebagai undang-undang yang mengikat untuk umum, dan saat ketika undang-undang itu sudah resmi menjadi undang-undang, adalah dua keadaan yang berbeda. Jika undang-undang itu sudah sah sebagai undang-undang, maka pengujian atasnya dapat disebut sebagai judicial

review. Akan tetapi, jika statusnya masih sebagai rancangan undang-undang dan

belum diundangkan secara resmi sebagai undang-undang, maka pengujian atasnya disebut sebagai judicial preview.314

Menurut Sri Soemantri, jika pengujian itu dilakukan terhadap isi undang- undang atau peraturan perundang-undangan lainnya dinamakan sebagai hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht), jika pengujian itu dilakukan terhadap prosedur pembentukannya, disebut hak menguji formal (formele toetsingsrecht).315

Menurut Bapak Catur Irianto (Hakim di Pengadilan Negeri Medan) bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk       

313

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian….., Op.Cit., hlm. 4.

314

Ibid.

315

Sri Soemantri M., Hak Menguji Materiil di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 6-11. Lihat pula, Bagir Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan

Administrasi Negara di Indonesia, Diktat Mata Kuliah Fakultas Hukum Universitas Atmajaya,

Yogyakarta, 1994, hlm. 1. Lihat pula, R. Subekti, Kekuasaan Mahkamah Agung RI, (Bandung: Alumni, 1992). Lihat pula, Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian……, Op.Cit., hlm. 7. Lihat pula Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2005), hlm. 5.

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Indonesia.316 Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Badan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung merupakan pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan, selain mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung juga menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.317

Kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji Perda itu terdapat di dalam Ketetapan MPR RI Nomor III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 5 ayat (2), (3) dan (4) :

Pasal 5 ayat (2) : “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang- undangan ddi bawah undang-undang”.

Ayat (3) : “Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi”.

Ayat (4) : “Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat”.

Berdasarkan ketentuan dalam Ketatapan MPR RI Nomor III Tahun 2000 di atas terlihat bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan hak uji materiil,       

316

Hasil wawancara dengan Bapak Catur Irianto, Hakim Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 1 Juni 2009.

317

karena Perda berada di bawah undang-undang. Sementara itu, mengenai kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji Perda juga terdapat di dalam Pasal 24 A ayat (1) Amandemen UUD 1945, yang menyatakan bahwa : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.

Pengaturan kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sangat minim yaitu dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman hanya ada satu pasal saja yaitu dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dan dalam Pasal 11 ayat (3). Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung hanya ada 2 (dua) pasal saja yaitu Pasal 31 dan Pasal 31A. Pembentuk Undang- undang (legislative) menyadari pengaturan tentang Hak Uji Materiil sangat singkat sehingga memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membuat Peraturan Mahkamah Agung untuk mengatur pelaksanaan Hak Uji Materiil.

Pasal 11 ayat (2) huruf b dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal 31 dan Pasal 31A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut : Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji Peraturan Perundang- undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang”. Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, “Pernyataan tidak berlaku Peraturan Perundang-undangan sebagai hasil pengujian, sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung”. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 berbunyi :

1. Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji Peraturan Perundang- undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang.

2. Mahkamah Agung menyatakan tidak sah Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-undang atas alasan bertentangan dengan Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

3. Putusan mengenai tidak sahnya Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.

4. Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

5. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Acara Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

Pasal 31A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 berbunyi :

1. Permohonan pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan secara langsung oleh pemohon atas kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

2. Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat : a. nama dan alamat pemohon;

b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan wajib menguraikan dengan jelas bahwa :

1) materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Peraturan Perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau

2) pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku

c. hal-hal yang diminta untuk diputus.

3. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak mempunyai syarat, amar putusan menyatakan tidak dapat diterima.

4. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

5. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari Peraturan Perundang-undangan yang bertentangan dengan Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi.

6. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan pemohon ditolak.

7. Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-undang diatur oleh Mahkamah Agung.

Dalam rangka untuk pelaksanaan dan penerapan hak uji materiil, Mahkamah Agung telah beberapa kali mengeluatkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Tentang Penerapan Pelaksanaan Hak Uji Materiil, yaitu Perma Nomor 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil, Perma Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil dan Perma Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil.

Meskipun telah berulangkali Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang pelaksanaan Hak Uji Materiil, namun berdasarkan perkembangan yang terjadi dalam praktek, Peraturan Mahkamah Agung tersebut dianggap masih kurang memadai karena dalam Perma tersebut tidak mengatur secara detail tentang prosedur beracaranya, misalnya apakah proses pemeriksaannya harus dihadiri oleh pihak pemohon dan termohon, tenggang waktu untuk mengajukan Hak Uji Materiil adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak Peraturan Perundang- undangan tersebut di undangkan. Penentuan tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari ini oleh pihak yang merasa dirugikan atas penerbitan Perundang- undangan tersebut dianggap membatasi hak-haknya, padahal kemungkinan alasan untuk mengajukan Hak Uji Materiil sangat beralasan.

Perkembangan permohonan Hak Uji Materiil terhadap Perda sejak berlakunya otonomi daerah di Mahkamah Agung cukup banyak dengan berbagai alasan, ada yang mengatakan Perda tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga ada Perda satu daerah dengan Perda

daerah lain saling bertentangan, sehingga apabila permohonan untuk Hak Uji Materiil terhadap kasus tersebut, apakah Mahkamah Agung berwenang untuk memeriksa kasus Hak Uji Materiil, dan apakah indikator atau tolak ukur untuk menyatakan suatu Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah inkonstitusional. Apabila suatu kasus permohonan Hak Uji Materiil yang diajukan telah melebihi tenggang waktu yang ditetapkan Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung yaitu 180 (seratus delapan puluh) hari, dan ternyata dasar alasan pemohon sangat mendasar apakah Mahkamah Agung masih dapat menyatakan Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tersebut konstitusional.

Adapun perkembangan permohonan hak uji materiil terhadap Perda di Mahkamah Agung dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2 Perkembangan Permohonan Hak Uji Materiil terhadap Perda di Mahkamah Agung318Tahun 2003-2007

No Tahun Jumlah Perkara

1 2003 1 perkara

2 2004 3 perkara

3 2005 3 perkara

4 2006 18 perkara

5 2007 3 perkara

Sumber : Makalah Hak Uji Materiil Imam Soebechi, SH, MH (Hakim Agung)

       318

Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, disampaikan dalam Seminar Nasional Menuju Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) Melalui Peningkatan Kompetensi Aparatur Pemerintah Daerah Dalam tertib Pembentukan Peraturan Daerah, 19-20 November 2007.

Pengajuan permohonan Hak Uji Materiil terhadap Perda tersebut diatas ada yang secara langsung mengajukan untuk diajukan ke Mahkamah Agung tanpa terlebih dahulu Perda tersebut dibatalkan oleh Pemerintah, tetapi sebagian permohonan Hak Uji Materiil tersebut terjadi akibat adanya pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah.

Sewaktu pembahasan amandemen ketiga UUD 1945 khususnya pembahasan mengenai kewenangan Hak Uji Materiil Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR ada 2 (dua) pendapat. Pendapat pertama menyatakan mengenai kewenangan Hak Uji Materiil sebaiknya berada di Mahkamah Agung. Pendapat kedua menyatakan kewenangan Hak Uji Materiil sebaiknya berada di Mahkamah Konstitusi, dengan alasan tugas-tugas Mahkamah Agung sangat banyak dan tunggakan perkara setiap tahunnya cukup besar.

Keputusan politik Amandemen ketiga UUD 1945 memutuskan adanya 2 (dua) Mahkamah yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung selain berwenang untuk memeriksa perkara kasasi juga masih diberi kewenangan untuk memeriksa sengketa Hak Uji Materiil. Mahkamah Konstitusi mempunya kewenangan untuk menguji suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945. Adapun landasan pemikiran penyelesaian Hak Uji Materiil pada pokoknya mendasari kepada antara lain319 :

       319

Departemen Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Bekerjasama Dengan UNDP, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, (Jakarta Selatan: Cappler Project, 2008), hlm. iv-8.

1. Hak Uji Materiil diletakkan di atas landasan to exercise control the government

act yakni secara konstitusional diberikan kewenangan kepada Kekuasaan

Kehakiman melalui Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan atas kegiatan Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa agar masyarakat terhindar dari Peraturan Perundang-undangan yang inkonstitusional. 2. Pemberian kewenangan untuk menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah

Undang-undang adalah masih dalam kerangka konstitusi, hal ini tidak dianggap sebagai intervensi terhadap kedaulatan legislatif (legislative sovereignity) maupun terhadap kekuasaan eksekutif dalam kewenangannya melaksanakan fungsi

delegated legislation oleh kekuasaan yudikatif (judicial power).

3. Mekanisme penerapan Hak Uji Materiil terhadap Peraturan Perundang-undangan yang bercorak inkonstitusional didasarkan pada asas lex superiori derogat lex

inferior. Penerapan asas inkonstitusional dilakukan dengan jalan menguji dan

meneliti apakah suatu Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi landasan pendelegasian Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah, yang menjadi objek Hak Uji Materiil. Bila ternyata Peraturan Perundang- undangan yang diuji tersebut mengandung pertentangan yang bersifat inkonstitusional terhadap Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut dinyatakan invalidated, dan memerintahkan pejabat yang bersangkutan untuk mencabutnya dari tengah-tengah kehidupan masyarakat.

4. Makna inkonstitusional dalam proses Hak Uji Materiil, tidak boleh diartikan dalam arti sempit, tetapi harus diproyeksikan dalam arti luas yang diformulasikan dalam terminus foundamental law atau natural justice. Suatu Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah layak dan beralasan untuk dinyatakan

invalidated oleh Mahkamah Agung apabila Peraturan Perundang-undangan itu

mengandung isi dan jiwa yang bertentangan dengan foundamental law atau

natural justice. Pengertian foundamental law atau natural justice dalam kerangka

Hak Uji Materiil baik secara umum dan kasuistik tetap pada permasalahan pokok apakah penerapan dan pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah itu :

a. mempunyai landasan filosofis, sosiologis; b. mematikan hak perdata seseorang;

c. melanggar hak asasi perorangan atau anggota masyarakat; d. melanggar prinsip-prinsip demokratis dan egalitarian; e. mengandung praktek diskriminasi;

f. penerbitannya tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

5. Permohonan Hak Uji Materiil kepada Mahkamah Agung harus diterapkan berdasarkan asas reasonableness, tidak boleh dipergunakan untuk menghambat kebijakan kepentingan umum demi mencapai suatu harapan kepada negara untuk mengatur urusan kesejahteraan masyarakat.

Pengaturan Hak Uji Materiil dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 sangat sedikit sekali, Pasal tersebut hanya mengatur tentang :

1. Tolak ukur untuk menilai atau menguji suatu Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang, yaitu dengan cara :

a. Peraturan Perundang-undangan tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

b. Prosedur pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

2. Tata cara/prosedur pengajuan Hak Uji Materiil dilakukan melalui :

a. Permohonan yang diajukan secara langsung kepada Makamah Agung.

b. Pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi, tidak secara rinci mengatur sebagaimana disebutka diatas.

3. Amar putusan dapat berupa :

a. Permohonan tidak dapat diterima. b. Permohonan dikabulkan.

c. Apabila permohonan dikabulkan, putusan tersebut harus dimuat dalam Lembaran Berita Negara.

Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan-perbedaan pengujian Perda oleh lembaga eksekutif dan yudikatif tersebut maka berikut ini Penulis akan menggambarkan perbedaan pengujian Perda antara Mahkamah Agung dengan Pemerintah pada tabel di bawah ini yaitu :

Tabel 3 Perbedaan Pengujian Perda antara Mahkamah Agung dan Pemerintah320

No Kategori Mahkamah Agung (Judicial Review) (Executive Review) Pemerintah 1. Bentuk Review Permohonan Keberatan 1.Pengawasan preventif Perda oleh

Pemerintah Pusat terhadap Ranperda yang bermuatan APBD, Pajak dan Retribusi Daerah serta Tata Ruang.

2.Pengawasan represif Perda oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah.

2 Lembaga yang melakukan Review

Mahkamah Agung Departemen Dalam Negeri dibantu oleh :

1. Departemen Keuangan 2. Departemen Pekerjaan Umum 3. Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia 3 Sifat kewenangan

lembaga yang melakukan Review

Bersifat Pasif yaitu menunggu datangnya permohonan dari pemohon Review.

Bersifat Aktif yaitu melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap seluruh Perda yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.

4 Kapasitas Lembaga dalam melakukan

Review

Menyelesaikan sengketa peraturan perundang-undangan yang timbul di bawah undang-undang terhadap undang-undang (konflik norma).

Dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap Pemerintah Daerah.

5 Dasar Hukum kewenangan Review

1. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. 2. Pasal 11 ayat (2) huruf b

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

3. Pasal 31 ayat (1) sampai ayat (5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung.

4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 yang sudah diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil

1. Pasal 114 ayat (1) sampai ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemda. 2. Pasal 145 ayat (1), ayat (2), ayat

(3), dan ayat (4) jo Pasal 136 ayat (4) jo Pasal 218 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemda.

6 Standar Review 1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

       320

http://www.legalitas.org/database/artikel/lain/yance.arizona.pdf, diakses pada tanggal 15 Juni 2009.

Makamah Agung (Judicial Review)

2. Pembentukannya tidak

memenuhi ketentuan yang berlaku.

7 Waktu Review Permohonan Keberatan paling lambat diajukan ke MA setelah 180 (seratus delapan puluh) hari pengundangan Perda. Tetapi tidak diatur berapa lama proses review harus diselesaikan oleh MA.

1. Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.

2. Bila Perda dibatalkan, maka Peraturan Presiden pembatalan harus sudah ditetapkan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda tersebut. 8 Waktu Eksekusi Paling lama 90 (sembilan puluh)

hari setelah putusan yang mengabulkan permohonan keberatan Perda, Perda harus dicabut oleh DPRD bersama Kepala Daerah.

Paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkannya pembatalan Perda, Kepala Daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda, selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda tersebut.

9 Bentuk Hukum Pembatalan

Putusan Mahkamah Agung Peraturan Presiden 10 Upaya Hukum Tidak dapat diajukan Peninjauan

Kembali (PK).

Mengajukan keberatan pada Mahkamah Agung,

Pemerintah (Executive Review)  Kategori

No

Dari tabel tersebut di atas dapat dilihat perbedaan pengujian Perda antara Mahkamah Agung dan Pemerintah. Ada 10 (sepuluh) kategori yang berbeda dalam pengujian Perda antara Mahkamah Agung dan Pemerintah, yaitu dari bentuk Review hingga Upaya Hukum yang dilakukan akibat dibatalkannya suatu Perda. Standar pengujian Perda yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut berbeda, bila Mahkamah Agung menguji suatu Perda atas dasar apakah satu Perda bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan apakah prosedur pembuatan Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka Pemerintah menguji Perda tidak hanya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi dari Perda, tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum.

Dokumen terkait